Aochi Washio dan istrinya berperan dalam prostitusi paksa perempuan Eropa di Batavia. Kasus pertama yang diadili dalam pengadilan kejahatan perang Jepang.
Sebuah rumah yang diduga bekas Sakura Club di Jalan Suwiryo, Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
AWAL Juni 1942, Aochi Washio bertolak ke Batavia dengan kapal. Segera setelah kedatangannya, dia diminta wali kota (Tokubetsu Sityo) Tsukamoto Sakai untuk mengelola restoran milik kota Batavia yang ditunjuk militer, Salon Akebono.
Salon Akebono semula sebuah restoran-kafe bernama Trianon, berlokasi di Noordwijk 2 (sekarang Jalan Juanda). Restoran ini bukan hanya untuk personel militer tapi juga warga sipil asal Jepang. Sesekali mereka menggelar pasar malam dengan pelayan perempuan Indo yang cantik. Kota Batavia memasukkan tiga perempuan Eropa ke bagian staf manajemen. Salah satunya, yang kemudian bertanggung jawab atas “urusan perempuan” dan jadi pasangan adalah Aochi adalah Elisabeth H. Beerhorst.
AWAL Juni 1942, Aochi Washio bertolak ke Batavia dengan kapal. Segera setelah kedatangannya, dia diminta wali kota (Tokubetsu Sityo) Tsukamoto Sakai untuk mengelola restoran milik kota Batavia yang ditunjuk militer, Salon Akebono.
Salon Akebono semula sebuah restoran-kafe bernama Trianon, berlokasi di Noordwijk 2 (sekarang Jalan Juanda). Restoran ini bukan hanya untuk personel militer tapi juga warga sipil asal Jepang. Sesekali mereka menggelar pasar malam dengan pelayan perempuan Indo yang cantik. Kota Batavia memasukkan tiga perempuan Eropa ke bagian staf manajemen. Salah satunya, yang kemudian bertanggung jawab atas “urusan perempuan” dan jadi pasangan adalah Aochi adalah Elisabeth H. Beerhorst.
Aochi warga kota Nagasaki yang sudah tinggal di Batavia sejak 1920. Dia sempat jadi pemilik sekaligus manajer Hotel Matsumoto di Molenvliet Oost 27 (kini Jalan Hayam Wuruk) sebelum masa perang –kemudian berganti nama jadi Hotel Suwa. Dia sempat pulang ke negaranya ketika konflik Jepang-Belanda, dan kembali lagi setelah Jepang menduduki Indonesia.
Pada 2 Juni 1943, Aochi diminta mendirikan rumah bordil bagi warga sipil Jepang oleh Kolonel Inami dari pemerintah militer Jepang (Gunseikanbu). Aochi menolak. Karena terus didesak, terlebih Beerhorst bersedia membantu, dengan enggan Aochi membuka Sakura Club pada 10 September 1943, berlokasi di sebuah blok perumahan di Gang Horning di Palmenlaan 24 (sekarang Jalan Suwiryo, Jakarta).
Menurut Mayumi Yamamoto, research fellow di Institute of Asia Pacific Studies, Waseda University, Sakura Club juga memiliki sebuah restoran bar, dan hampir selalu terdapat perempuan Eropa dan Indo. Dari 17 perempuan, 11 perempuan berasal dari Batavia dan sebelumnya menjadi pelacur –mereka ditahan di kamp Tjideng. Perempuan lainnya berasal dari Semarang, Bandung, Salatiga, dan Yogyakarta.
“Dari perempuan ini, hanya dua yang lahir di Indonesia, sedangkan sisanya berasal dari Belanda. Meski tak semua perempuan berada di Sakura Club sejak didirikan hingga ditutup, lebih dari setengah dari perempuan dari kamp Tjideng sudah ada sejak Sakura Club berdiri, bahkan beberapa di antaranya sudah mulai satu bulan sebelumnya,” tulis Mayumi Yamamoto, “Misplacing the Sakura Club in Postwar Colonial Imagination”, dimuat dalam Journal of Asia-Pacific Studies, Universitas Waseda, Mei 2011.
Setelah kekalahan Jepang, Sakura Club ditutup pada September 1945. Ketika militer Belanda kembali datang, warga sipil Jepang berkemas pulang ke tanah airnya, termasuk Aochi Washio. Tepat sebelum naik kapal dari Tanjung Priok, Aochi dibawa polisi Belanda untuk interogasi dalam pengadilan perang kelas BC –klasifikasi jenis kejahatan: B untuk kejahatan perang dan C untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada 25 Oktober 1946, ketua pengadilan militer sementara Kolonel J.H. Peter menyatakan Aochi bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun atas kejahatan perang “prostitusi paksa”. Aochi mengatakan semua bisnis yang berhubungan dengan pelacuran tak dilakukan olehnya, tapi oleh Lies Beerhorst. Namun, sebagaimana tertera dalam berkas perkaranya, pengadilan menganggap Aochi, sebagai pemimpin Sakura Club, “tahu perlakuan Lies Beerhorst terhadap para pelacur, dan bahkan perlakuan ini merupakan hasil dari perintah yang diberikan kepada Lies Beerhorst oleh terdakwa” serta “mengambil keuntungan” darinya. Awal Desember, Aochi meninggal dunia di penjara Glodok pada usia 60 tahun.
Lies Beerhorst juga dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara delapan tahun, dengan semua aset dan harta benda disita. Soeloeh Ra’jat, 7 Februari 1947, menyebutnya “makelar perempuan”, sementara Panji Ra’jat pada tanggal yang sama menyebutnya “mak-buyung Jepang” yang memikat gadis-gadis untuk “Rumah Sakura”.
Pengadilan ini menjadi pengadilan kejahatan perang pertama dalam kasus “prostitusi paksa” yang digelar di Jakarta pada 1946.*