Letnan Kolonel (Purn.) Soemadyo, mantan anggota DKP Resimen Tjakrabirawa. (Riyono Rusli/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
BAGI anggota Brigade Mobil (Brimob), Porong dan Watukosek adalah tempat bersejarah dalam hidup mereka. Kedua tempat yang berdekatan itu punya fungsi berbeda. Porong adalah kantornya sementara Watukosek tempat pelatihannya.
Watukosek-Porong tak hanya tempat latihan untuk para tamtama. Para bintara dan perwira yang hendak menjadi Brimob juga harus merasakan kerasnya pendidikan di sana. Pendidikan pasukan khusus semacam ini yang bercampur seperti itu biasanya “lepas pangkat” alias tak memandang lagi pangkat dan dibuat sama kerasnya.
Bagi banyak polisi, Watukosek dan Porong adalah tempat latihan terberat. “Kalau di Porong berat. Porong itu sudah terkenal,” kenang salah satu alumninya, Kapten (Purn.) Sudarno kepada Historia.ID. Kini, pangkat kapten di polisi menjadi Ajun Komisaris Polisi (AKP).
BAGI anggota Brigade Mobil (Brimob), Porong dan Watukosek adalah tempat bersejarah dalam hidup mereka. Kedua tempat yang berdekatan itu punya fungsi berbeda. Porong adalah kantornya sementara Watukosek tempat pelatihannya.
Watukosek-Porong tak hanya tempat latihan untuk para tamtama. Para bintara dan perwira yang hendak menjadi Brimob juga harus merasakan kerasnya pendidikan di sana. Pendidikan pasukan khusus semacam ini yang bercampur seperti itu biasanya “lepas pangkat” alias tak memandang lagi pangkat dan dibuat sama kerasnya.
Bagi banyak polisi, Watukosek dan Porong adalah tempat latihan terberat. “Kalau di Porong berat. Porong itu sudah terkenal,” kenang salah satu alumninya, Kapten (Purn.) Sudarno kepada Historia.ID. Kini, pangkat kapten di polisi menjadi Ajun Komisaris Polisi (AKP).
Brimob merupakan pasukan paramiliter Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Di zaman Hindia Belanda, polisi macam ini adalah Veldpolitie (Polisi Lapangan). Itulah yang membuat latihannya berbeda dari polisi pada umumnya.
Sudarno merasakan bagaimana kerasnya pendidikan di sana. Lelaki kelahiran Sragen, Mei 1944 itu masuk polisi setelah menyelesaikan sekolahnya di Sragen. Waktu masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) dan masuk pelatihan Brimob, usianya belumlah 20 tahun. Toh, dia berhasil lulus.
Ketika baru dinas di kepolisian, Sudarno memulainya dari pangkat Agen Polisi Tingkat Dua, setara dengan Bhayangkara Dua (Bharada) sekarang. Dari yang terbawah di kepolisian itu, pangkatnya berangsur naik.
Jago Tembak
Mendapat pelatihan militer sepeti tentara, Brimob punya kemampuan tempur, setidaknya dalam perang kota. Terlebih pasukan “ranger” di dalamnya. Sebelum 1965, pasukan dengan kemampuan ala US Ranger Angkatan Darat Amerika itu dimiliki kepolisian RI.
“Latihan kalau di kemiliteran itu macam-macam. Ada merayap, ada halang rintangan, vuurdup yang ditembaki itu, terus menembak jarak dekat-jarak jauh, menembak kepercayaan,” ingat Soemadyo kepada Historia.ID. Soemadyo pensiun sebagai polisi dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel atau kini setara Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP).
Kemampuan menembak anggota ranger itu harus di atas rata-rata kemampuan Brimob pada umumnya. Para anggota ranger itu mendapat pelatihan dari Amerika di Okinawa dan Filipina. Di era Perang Dingin itu, bantuan Amerika kepada negara tertentu erat kaitannya dengan upaya memerangi komunisme. Polri tampaknya dipercaya untuk misi semacam ini. Brimob tentu potensial menyediakan calon siswa pelatihan ranger.
“Pendidikan lanjutan sifatnya seperti komando. Awalnya pasukan itu dinamakan Ranger. Ranger itu kan nama asing. Nama asing itu oleh militer tidak boleh. Lalu dijadikan Pelopor. Ranger waktu itu sudah tiga angkatan. Setelah 1961, tiga angkatan karena dilarang. Akhirnya diganti Pelopor,” terang Soemadyo yang pernah berada dalam pasukan tersebut.
Pasukan yang sempat disebut Batalyon Rangers lalu dinamai sebagai Resimen Pelopor (Menpor).
Soemadyo berasal dari Jawa Tengah. Laki-laki kelahiran Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul pada 12 Desember 1938 itu lulusan SPN Banyubiru tahun 1960. Dia kemudian ikut pelatihan di Watukosek. Soemadyo lebih senior dari Sudarno kendati sama-sama memulai karier dari bawah.
Kemampuan khusus Soemadyo ketika berada di Menpor adalah penembak jitu (sniper). Dia dilatih menembak kepercayaan. Dalam menembak kepercayaan, seorang penembak harus menembak sasaran yang bisa berupa balon atau buah yang dipegang seseorang. Orang yang memegang itu tak boleh kena tembak.
“Jangan sampai salah bidik,” aku Soemadyo yang sekilas wajahnya mirip Michael Caine ini.
Sebagai penembak jitu, Soemadyo pernah memakai senapan Garand, LE, Corbine dan paling mutakhir adalah AR-15 yang merupakan versi sipil dari M-16. Namun, sebagai sniper Soemadyo tak hanya dituntut cakap menembak tapi juga harus tahu kelebihan dan kekurangan senapan. Menurut Soemadyo, isi magazine AR-15 itu lebih banyak dan tembakan beruntunnya lebih cepat. Kelebihan itu yang agaknya membuat AR-15 menjadi senapan standar Amerika dan juga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Soemadyo lebih lama di Porong daripada Sudarno. Soemadyo bahkan pernah menjadi pembantu pelatih. Di sana, Soemadyo hingga berpangkat Ajun Brigadir Polisi (Abrip) yang di TNI setara kopral.
Masuk Istana
Ketika Sudarno baru selesai pelatihan di Porong, beberapa tamtama dari Porong hendak dimasukkan ke dalam satuan khusus pengawal Presiden Sukarno. Nama satuan itu adalah Detasemen Kawal Pribadi (DKP), yang berada di Resimen Tjakrabirawa. Komandan Resimen Tjakrabirawa adalah Brigadir Jenderal CPM Mohamad Sabur dan komandan DKP adalah Komisaris Besar Mangil Martowidjojo.
“Lalu di sana 28 orang diambil untuk mengawal presiden,” aku Sudarno, yang menjadi salah satu dari 28 anggota pilihan itu.
Dirinya mungkin segelintir orang yang paling beruntung. Belum tugas ke mana-mana waktu baru tamat, Sudarno justru langsung ditempatkan dalam DKP. Seingatnya, waktu masuk DKP pada Februari 1964. Usianya baru 20 tahun kurang tiga bulan.
Selain Sudarno, Soemadyo juga salah satu dari ke-28 yang ditarik ke DKP di Jakarta. Pasukan pengawal Sukarno itu tentu membutuhkan penembak jitu. Ketika berada di DKP, Sudarno dan Soemadyo berada dalam peleton yang dipimpin Ajun Inspektur Polisi (AIP) II Sribusono. Kini, AIP II setara Pembantu Letnan Dua (Pelda) TNI.
Lantaran tugas mereka di DKP mengawal Presiden Sukarno dari jarak dekat, mereka melihat kehidupan Sukarno yang tak dilihat orang pada umumnya. Baik itu sebagai presiden maupun sebagai ayah dari anak-anaknya.
“Dia tidak macam-macam. Pagi baca koran,” kenang Sudarno yang tidak suka banyak bicara itu mengomentari Presiden Sukarno.
Selama menjadi anggota DKP, Sudarno pernah bertugas di Istana Jakarta, Istana Bogor, dan Istana Cipanas. Dari ketiga istana kepresidenan itu, kata Sudarno, presiden jarang berada di Cipanas.
Sudarno tentu melihat banyak orang penting keluar-masuk istana. Antara lain Mayor Jenderal TNI Soeharto. Tentu saja Sudarno juga pernah melihat Letnan Kolonel Untung yang beda satuan dengannya. Untung adalah Komandan Batalyon Kawal Kehormatan yang anggotanya berasal dari Angkatan Darat di Jawa Tengah.
Di masa itu, kenang Sudarno dan rekan-rekannya di DKP, kehidupan di istana begitu hangat dan jauh dari kesan “angker”. Kehidupan di sana tak hanya menyenangkan bagi keluarga presiden tapi juga untuk pengawal-pengawalnya, terutama buat mereka yang masih bujangan. Rokok dan makan mereka aman alias nyaris selalu ada. Mereka jarang keluar dari istana. Itu sebabnya banyak tamtama DKP telat menikah dan baru menikah setelah mereka tak lagi di DKP.
Soemadyo dan Sudarno bertugas mengawal Sukarno dari Februari 1964 hingga Agustus 1967. Sebab, kondisi politik berubah setelah peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965. Usai peristiwa berdarah yang membuat petinggi Angkatan Darat terbunuh itu, situasi politik Indonesia memburuk. Sukarno terus dipojokkan hingga kekuasaannya melemah.
Pak Harto kalau gak ada Supersemar gak akan bisa njabat [presiden].
Kendati begitu, lawan politik Sukarno yang dipimpin Letnan Jenderal TNI Soeharto tak mau melawan secara terbuka. Perlawanan dilakukan dengan pengerahan massa-mahasiswa yang tak henti berdemonstrasi untuk memojokkan Sukarno. Kondisi tak aman yang ditimbulkannya dijadikan dalih oleh lawan Sukarno untuk meminta “katebelece” agar dapat bertindak mengatasi keadaan. Para lawan Sukarno akhirnya berhasil mendapatkannya setelah berhasil membuat gagal rapat kabinet pada 11 Maret 1966 yang diikuti dengan perginya Sukarno ke Istana Bogor. Ke sanalah Soeharto mengutus tiga jenderal Angkatan Darat untuk meminta surat perintah guna mengendalikan keamanan, yang akhirnya didapatkan dan dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
DKP ada ketika para jenderal menghadap Presiden Sukarno terkait dengan Supersemar. Seingat Sudarno, tidak ada todong-menodong di sana. Hanya ada para jenderal.
Dengan Supersemar itu, Letnan Jenderal TNI Soeharto bekerja. Namun, dia menyalahgunakan wewenang yang diberikan presiden dengan membubarkan PKI, lawan politik Angkatan Darat. Supersemar sejatinya bukanlah surat penyerahan mandat kekuasaan, tapi hanya surat perintah teknis pengamanan keadaan. Soeharto tak mengindahkannya dan terus melemahkan Sukarno. Surat perintah itu tentu telah membuat Soeharto bisa melakukan banyak hal dengan mengatasnamakan keamanan dan ketertiban.
Sukarno akhirnya lengser usai pidato pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pimpinan Jenderal TNI A.H. Nasution. Supersemar yang selalu dimitoskan Orde Baru pimpinan Soeharto sebagai surat sakti itu hilang. Sudarno tidak habis pikir bagaimana mungkin surat yang katanya penting bagi Orde Baru itu bisa hilang.
“Pak Harto kalau gak ada Supersemar gak akan bisa njabat [presiden,” kata Sudarno.
Gonjang-ganjing politik nasional itu ikut mempengaruhi DKP. Sudarno satu dari 400-an anggota DKP terakhir yang menjaga Presiden Sukarno.
“Mengawal presiden sampai selesai, sampai Bung Karno lengser,” kata Sudarno.
Setelah Sukarno lengser dan tidak dikawal DKP lagi, maka DKP pun bubar. Semua personelnya kembali ke kepolisian dan melanjutkan karier dengan menduduki berbagai posisi. Kualitas kerja mereka menentukan karier mereka di zaman Orde Baru ketika tak mengawal Bung Karno lagi.
Sebagai polisi pilihan yang pernah menjadi anggota DKP, polisi macam Sudarno punya kecerdasan rata-rata lebih baik daripada polisi lain. Sehingga mereka mendapat kesempatan sekolah dan naik pangkat ke jenjang bintara dengan masuk Sekolah Calon Bintara (Secaba), lalu letnan dengan masuk Sekolah Calon Perwira (Secapa). Menurut Sudarno, tidak semua eks DKP pensiun sebagai perwira lantaran tergantung kualitas masing-masing dalam bekerja.*