Tanpa kesaksian Vivian Bullwinkel, dunia takkan mengetahui Pembantaian Pulau Bangka. Perawat, serdadu, dan warga sipil Australia dibantai tentara Jepang.
Vivian Bullwinkel bertugas dalam Australian Army Nursing Service. (vivianbullwinkel.com).
Aa
Aa
Aa
Aa
SENYUM ceria menghiasi wajah 22 perawat yang tergabung dalam Australian Army Nursing Service (AANS) begitu tiba di Heidelberg Military Hospital, Melbourne. Petang 24 Oktober 1945, di tengah guyuran hujan, mereka mendapat sambutan meriah. Mereka adalah para perawat yang selamat dari kekejaman tentara Jepang semasa Perang Dunia II.
Vivian Bullwinkel ada di antara mereka. “Dia menunjukkan bekas peluru yang menyerempet pinggang kanannya sewaktu serdadu-serdadu Jepang membantai para perawat, serdadu, dan warga sipil Australia di pantai Bangka,” tulis harian The Argus, 25 Oktober 1945.
Sekira dua bulan kemudian, Bullwinkel membeberkan kepada The Canberra Times, 21 Desember 1946, tentang apa yang kemudian dikenal dengan Pembantaian Pulau Bangka. Kesaksiannya membuka mata dunia akan kekejaman Jepang dan mendorong Australia untuk melakukan penyelidikan.
SENYUM ceria menghiasi wajah 22 perawat yang tergabung dalam Australian Army Nursing Service (AANS) begitu tiba di Heidelberg Military Hospital, Melbourne. Petang 24 Oktober 1945, di tengah guyuran hujan, mereka mendapat sambutan meriah. Mereka adalah para perawat yang selamat dari kekejaman tentara Jepang semasa Perang Dunia II.
Vivian Bullwinkel ada di antara mereka. “Dia menunjukkan bekas peluru yang menyerempet pinggang kanannya sewaktu serdadu-serdadu Jepang membantai para perawat, serdadu, dan warga sipil Australia di pantai Bangka,” tulis harian The Argus, 25 Oktober 1945.
Sekira dua bulan kemudian, Bullwinkel membeberkan kepada The Canberra Times, 21 Desember 1946, tentang apa yang kemudian dikenal dengan Pembantaian Pulau Bangka. Kesaksiannya membuka mata dunia akan kekejaman Jepang dan mendorong Australia untuk melakukan penyelidikan.
Kejatuhan Singapura
Beberapa jam sebelum menyerang Pearl Harbor, Hawaii, Amerika Serikat, yang menandai Perang Dunia II, Jepang membombardir Malaya. Semenanjung Malaya pun jatuh pada akhir Januari 1942. Dalam waktu hampir bersamaan, Jepang membombardir Singapura, yang jadi pangkalan militer Inggris. Kendati kelelahan, tentara Persemakmuran yang dipimpin Jenderal Arthur Percival mencoba melawan.
Kolonel A.P. Derham, asisten direktur Medical Service Divisi ke-8 Tentara Australia, cemas terhadap keselamatan para perawat Australia yang tergabung dalam AANS dan pasiennya di Singapura. Dia mengusulkan pemulangan mereka dengan Mayor Jenderal Gordon Bennet, perwira Komando Staf Umum. Bennet menolak gagasan itu, khawatir kepergian para perawat akan meruntuhkan moral. Para perawat sendiri memilih bertahan. Namun, ketika Jepang kian meningkatkan serangan dan memutuskan suplai air bersih, tak ada pilihan kecuali mengambil langkah evakuasi.
Pada 10 Februari 1942, evakuasi pertama dilakukan. Enam perawat beserta pasien-pasiennya diangkut kapal SS Wah Sui. Mereka selamat dan tiba di Fremantle, Australia Barat dua pekan kemudian. Evakuasi kedua nyaris gagal. Kapal Star Empire yang mengangkut 60 perawat mendapat serangan dari pesawat-pesawat Jepang. Banyak penumpang yang tewas ataupun terluka. Kendati rintangan begitu berat, ke-60 perawat selamat sampai tujuan.
Rombongan evakuasi ketiga mengangkut 65 perawat, termasuk Vivian Bullwinkel yang berusia 27 tahun. Rombongan berangkat pada 12 Februari 1942 dengan kapal SS Vyner Brooke. Hari pertama, kapal Vyner Brooke berlayar di tengah cuaca berkabut dan udara terik. Esoknya, kapten kapal memutuskan menyembunyikan Vyner Brooke ke pulau kecil agar tak jadi mangsa pesawat-pesawat Jepang. Namun, pada 14 Februari 1942 dua serangan pesawat-pesawat Jepang membuat Vyner Brooke terbakar hebat.
“Para perawat, yang melakukan tugas mereka, bergegas melewati kapal yang terbakar dengan membawa morfin dan perban, merawat yang terluka sebelum menyelamatkan diri,” tulis Larry Writer dalam The Australian Book of Heroism: Stories of Courage and Sacrifice.
Tak lama berselang, kapal Vyner Brooke tenggelam.
Bullwinkel dan penumpang lain menyelamatkan diri dengan sekoci dan bagian kapal. Berjam-jam mereka terombang-ambing di lautan, tak tahu arah. Pijar api di kejauhan, yang dibuat kawan-kawan yang sudah duluan tiba di Pantai Radji, Bangka, menuntun mereka menuju pantai. Ke-60 orang yang selamat itu, 22 di antaranya perawat AANS, akhirnya berbaring kelelahan di pantai.
Sementara itu, tanpa perlawanan berarti dari tentara Persemakmuran, Singapura jatuh ke tangan Jepang pada 15 Februari 1942.
Pembantaian Pulau Bangka
Kesulitan menghinggapi mereka keesokan harinya. Mereka belum makan dan minum selama dua hari. Upaya mencari makanan gagal. Begitu pula upaya meminta pertolongan dari penduduk setempat yang takut ketahuan Jepang. Mereka hanya berhasil menemukan sebuah mata air yang kemudian jadi home base.
Tak kuasa menahan lapar, Sedgeman, salah seorang perwira kapal Vyner Brooke, usul agar mereka menyerah kepada Jepang. Terjadilah perdebatan. Tanpa sepengetahuan yang lain, Sedgeman datang bersama 20-an serdadu Jepang.
Ketegangan membuncah. Alih-alih menawan mereka, serdadu Jepang memerintahkan setengah dari rombongan untuk membentuk barisan. Tak lama bayonet menghujam mereka. Beberapa menit kemudian serdadu Jepang kembali melakukan hal yang sama. Tinggal menyisakan 23 orang termasuk 21 perawat AANS.
Dalam bahasa Jepang, komandan serdadu Jepang memerintahkan yang tersisa menuju ke tepi laut. Merasa ajal sudah mendekat, beberapa perawat protes. Mereka menunjuk ban di lengan mereka, menyampaikan pesan bahwa anggota palang merah adalah nonkombatan yang harus dilindungi. Namun, sang komandan Jepang tak hirau. Pasrah tapi tanpa menangis atau protes, mereka berjalan menuju tepi laut.
Mereka berbaris menghadap ke laut lepas. Bullwinkel berada di posisi paling kanan. Lalu para serdadu Jepang mulai menembak. Barisan perempuan itu jatuh satu per satu, termasuk Bullwinkel. Bullwinkel rupanya selamat. “Vivian Bullwinkel, yang tubuhnya lebih tinggi dari lainnya, tertembak pinggulnya dan selamat,” ujar sejarawan Lynette Silver kepada Historia.
Peluru yang menyerempet pinggang Bullwinkel hanya membuatnya jatuh pingsan. Ketika tersadar, Bullwinkel merasa mual karena air memenuhi perutnya. Namun, dia tetap berpura-pura mati, takut serdadu Jepang akan menghabisinya jika ketahuan. Ketika ombak akhirnya menyeretnya ke pantai, dia memberanikan diri duduk dan membuka mata. Para serdadu Jepang ternyata sudah pergi. Masih dihantui rasa takut, Bullwinkel berlari menuju hutan, bersembunyi.
Keesokan harinya dia memberanikan diri ke mata air. Sebuah suara mengagetkannya. Dia mengira ada serdadu Jepang. Ternyata Pat Kingsley, prajurit Inggris yang selamat dari pembantaian di pantai. Kingsley selamat dengan luka tembak di lengan dan luka tusukan di dadanya. Mereka lalu bersembunyi di hutan. Bullwinkel merawat luka Pat Kingsley. Dua minggu kemudian, mereka menyerahkan diri kepada Jepang. Keduanya lalu jadi tawanan Jepang.
Bullwinkel bersalaman dengan Pat Kingsley sebelum berpisah. Tak lama setelah itu, dia mendengar Pat Kingsley tewas akibat luka-lukanya.
Di kamp, Bullwinkel bertemu Jesse Simmons, rekannya ketika bertugas di Singapura. Mereka saling berbagi kisah sedih. Mereka juga menanggung perlakuan kejam Jepang selama di kamp. Bullwinkel tak pernah mengeluh dan terus optimis. “Dia terus berkata pada dirinya, dia harus berhasil kembali ke rumah untuk memberi kesaksian kepada dunia tentang pembantaian Pulau Bangka. Tanpa dia, mereka yang mati akan dilupakan, hanya menjadi statistik perang. Para prajurit yang membunuh mereka akan dibiarkan begitu saja,” tulis Elizabeth dan Angell.
Pasca Perang
Ketika Jepang kalah perang dan tukar-menukar tawanan terjadi, Bullwinkel dan bekas tawanan lain kembali ke Australia. Karena kesakiannya tentang Pembantaian Pulau Bangka, Australia melakukan penyelidikan. Namun, sidang terhadap kasus itu tak bisa digelar karena tak satu pun serdadu Jepang yang bertanggung jawab atas pembantaian itu masih hidup. “Jadi, kita hanya punya kesaksian, tapi tak punya pengadilan untuk pembantaian para perawat,” ujar Lynette.
Pembantaian Pulau Bangka akhirnya tak dibawa ke Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh atau dikenal sebagai Pengadilan Tokyo. “Komandan unit yang bertanggung jawab kemudian bertugas di Manchuria pada akhir perang dan tak dipulangkan oleh Rusia sampai 1948. Dia ditangkap dan ditahan di Penjara Sugamo pada 6 Juni 1948, namun bunuh diri dua hari kemudian,” tulis D.C.S. Sissons dalam “The Australian War Crimes Trials and Investigations (1942–51)”.
Untuk mengenang jasa para perawatnya dalam Perang Dunia II, pemerintah Australia mendirikan Australian Service Nurses National Memorial di Canberra pada 1999. Monumen juga didirikan di Pantai Radji.
“Tanpa kesaksiannya, dunia mungkin tak kan pernah mendengar kekejaman ini dan 21 perempuan yang tewas akan tak teridentifikasi,” tulis Elizabeth dan Angell.
Vivian Bullwinkel meninggal dunia pada 3 Juli 2000.*