Tjokorda Gde Raka Soekawati dikukuhkan sebagai presiden Negara Indonesia Timur, Desember 1946. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBAGAI pemuka politik Sulawesi Selatan, Nadjamoedin Daeng Malewa kecewa tak diikutsertakan dalam delegasi yang dipimpin Dr. G.S.S.J. Ratulangi ke sidang PPKI di Jakarta pada Agustus 1945. Dia pun memutar haluan. Sementara Ratulangi jadi gubernur Sulawesi, Nadjamoedin memutuskan bekerja sama dengan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).
Pada Februari 1946, Nadjamoedin menghadap Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook dan para pejabat Belanda di Jakarta. Kunjungan Nadjamoedin memuluskan jalan Van Mook merealisasikan idenya untuk menerapkan bentuk negara federal.
SEBAGAI pemuka politik Sulawesi Selatan, Nadjamoedin Daeng Malewa kecewa tak diikutsertakan dalam delegasi yang dipimpin Dr. G.S.S.J. Ratulangi ke sidang PPKI di Jakarta pada Agustus 1945. Dia pun memutar haluan. Sementara Ratulangi jadi gubernur Sulawesi, Nadjamoedin memutuskan bekerja sama dengan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).
Pada Februari 1946, Nadjamoedin menghadap Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook dan para pejabat Belanda di Jakarta. Kunjungan Nadjamoedin memuluskan jalan Van Mook merealisasikan idenya untuk menerapkan bentuk negara federal.
Pada 16–25 Juli 1946, Van Mook menggelar Konferensi Malino, yang menghasilkan keputusan untuk membangun ketatanegaraan baru di wilayah Hindia Belanda dengan sistem Negara Indonesia Serikat. Keputusan konferensi ditandatangani oleh Tjokorda Gde Raka Soekawati, Nadjamoedin Daeng Malewa, R.J. Mathekohy, A. Asikin Noor, dan Sultan Hamid II.
Van Mook melanjutkan agendanya dalam Konferensi Denpasar pada 7 Desember 1946. Di tengah konferensi, terjadi pembantaian di Sulawesi Selatan oleh Kapten Raymond Westerling. Menurut Edwar Poelinggomang, peristiwa itu membuat takut para delegasi. “Jadilah keputusan membentuk negara Uni Indonesia-Belanda disetujui,” ujarnya.
Pada 24 Desember 1946 terbentuk negara federal pertama, Negara Indonesia Timur, yang mencakup seluruh Indonesia timur kecuali Papua. Soekawati terpilih sebagai wali negara, sementara Nadjamoedin sebagai perdana menteri merangkap menteri perekonomian.
Menurut Putra Agung, guru besar sejarah Universitas Udayana, Kabinet Nadjamoedin jatuh karena dianggap korupsi tekstil. Selain itu, Nadjamoedin dan Soekawati mendukung agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia. Penggantinya, Kabinet Warrow, hanya berumur tiga bulan. Tak banyak beda, Perdana Menteri Warrow dan Menteri Kehakiman R.S. Soumokil dianggap tak tegas dalam mengutuk agresi militer dan skandal tekstil.
“Tentu saja hal ini menimbulkan banyak kritik. Warrow pun jatuh,” tulis Putra Agung dalam “Negara Indonesia Timur 1946–1950,” dimuat Jurnal Sejarah tahun 2007.
Dibentuklah Kabinet Anak Agung Gde Agung, kabinet koalisi yang bertahan dua periode karena mewakili semua fraksi di kabinet.
Dalam bidang ekonomi, Negara Indonesia Timur mengandalkan ekspor kopra yang mencapai 200 ribu ton. Untuk memenuhi kebutuhan tekstil, pemerintah mengimpor 70 juta meter. Menurut neraca perdagangan, harga barang yang diekspor masih melebihi harga barang yang diimpor.
“Dengan keadaan ini dapat disimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia Timur adalah sehat,” tulis Ide Anak Agung Gde Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat.
Dalam bidang budaya, menurut Barbara Hatley dalam “Menciptakan Kebudayaan untuk Bangsa Baru: Sulawesi Selatan 1950–1965”, yang termuat dalam Ahli Waris Budaya Dunia, pemerintah Negara Indonesia Timur menaruh perhatian besar dengan membentuk Jajasan Pusat Kebudajaan Indonesia Timur di ibu kota Makassar. Para seniman dan intelektual pun menyambutnya dengan antusias. Departemen Informasi Negara Indonesia Timur menerbitkan mingguan Pandji Negara, yang menyediakan ruang bagi kegiatan kebudayaan dalam rubrik “Budaja”.
Sebagai wilayah terkuat Belanda, Negara Indonesia Timur mampu bertahan hingga akhir dalam tubuh Republik Indonesia Serikat. Ketika militer Belanda ditarik dari wilayah itu, para pemimpin Negara Indonesia Timur memutuskan melebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara yang ingin memisahkan diri tergabung dalam gerakan Soumokil dengan bendera Republik Maluku Selatan.*