Farah Gladys menjadi sampul Majalah Filem, Juli 1973.
Aa
Aa
Aa
Aa
PETANG di pertengahan Juni 1972, kehebohan menyeruak di bandara Singapura. Orang ramai bertanya-tanya ketika melihat seorang perempuan cantik mirip aktris Hollywood: “Apakah Liz melawat ke Singapura?”
Perempuan tersebut adalah Farah Gladys, artis Indonesia. Dia datang ke Singapura untuk memamerkan batik terbaru dari negaranya. Toh, Berita Harian tanggal 28 Juni 1972 tetap memasang judul berita yang menggoda pembacanya, “Elizabeth Taylor Melawat S’pura”. Karena kemiripan itulah dia dijuluki “Elizabeth Taylor dari Indonesia”.
Nama Farah Gladys memang tak familiar bagi kebanyakan orang Indonesia. Maklum, sebagai aktris maupun peragawati, kariernya terbilang singkat.
PETANG di pertengahan Juni 1972, kehebohan menyeruak di bandara Singapura. Orang ramai bertanya-tanya ketika melihat seorang perempuan cantik mirip aktris Hollywood: “Apakah Liz melawat ke Singapura?”
Perempuan tersebut adalah Farah Gladys, artis Indonesia. Dia datang ke Singapura untuk memamerkan batik terbaru dari negaranya. Toh, Berita Harian tanggal 28 Juni 1972 tetap memasang judul berita yang menggoda pembacanya, “Elizabeth Taylor Melawat S’pura”. Karena kemiripan itulah dia dijuluki “Elizabeth Taylor dari Indonesia”.
Nama Farah Gladys memang tak familiar bagi kebanyakan orang Indonesia. Maklum, sebagai aktris maupun peragawati, kariernya terbilang singkat.
Gladys lahir tahun 1939 dengan nama Gladijs Malcolm. Ayahnya, Malcolm, berasal dari Iran dan menganut agama Kristen-Armenia sementara ibunya beragama Katolik. Mereka tinggal di sebuah rumah mungil di Gang Scott –kini Jalan Budi Kemuliaan. Sebagaimana gadis Indo lainnya, Gladys disekolahkan di HBS Carpentir Alting Stichting di Merdeka Timur.
Ketika banyak warga Armenia memilih eksodus, keluarga Gladys tetap tinggal. Disangka Belanda, rumah mereka nyaris diserbu pemuda yang melakukan aksi pembebasan Irian Barat. Berkat Saleh Bisjir, yang menjadi kawan baik keluarga Malcolm, rumah selamat. Tak lama, Gladys dinikahi Saleh Bisjir.
Saleh Bisjir seorang pengusaha keturunan Arab yang terkenal. Dia juga dikenal hartawan yang dermawan. Dia pernah membantu Hamid Algadri dalam panitia membantu perjuangan Aljazair dan Tunisia. Dia juga memagari makam wakaf di Tanah Abang.
Setelah menikah, Gladys masuk Islam dan berganti nama jadi Farah. Berkat sang suami pula dia masuk Islam. Bahkan setelah suaminya meninggal, lima tahun setelah mengarungi biduk perkawinan, dia menunaikan ibadah haji. Dari perkawinan ini dia mendapatkan seorang putra bernama Munir.
“Gladys... hidup bagaikan dalam cerita: muda, cantik, kaya, dan... janda lagi! Kehidupannya bagaikan bintang-bintang film Hollywood...: main golf, naik kuda, auto-rally, modeshow. Bergelimang duit. Mukanya yang mirip Liz Taylor sering terpampang di majalah-majalah pop,” tulis Tempo, 24 Juli 1971.
Farah kemudian menjadi peragawati. Dia pernah memenangi Queen of Metropolitan Ball 1971 dengan pakaian Cleopatra. Bersama peragawati lainnya, antara lain Eny Sukamto, dia bergabung dengan grup The Pro’s.
“Karena badannya bagus, tinggi, meski agak gemuk, trus ada yang tertarik untuk promosikan, dia mulai jadi model,” ujar Kadjat Adrai, waktu itu wartawan mingguan Sinar Minggu dan kemudian majalah hiburan Sonata. Kadjat kini jadi penulis buku dan skenario. “Farah ramah, murah senyum, dan senang ngobrol. Kehidupannya terbilang bersih.”
Farah juga terjun di industri perfilman. Dia berperan dalam tiga film Lantai Berdarah (1971), Si Bongkok (1972), dan Percintaan (1973). Dalam Si Bongkok dia melakoni peran utama sebagai Widuri. Dia sempat hendak membintangi film Pengejaran ke Neraka, produksi bersama Cathay Keris Film Production dari Singapura dan Umbara Film dari Indonesia, tapi membatalkannya.
Beberapa tahun menjanda, Farah kerap ditanya wartawan mengenai kawin lagi. Namun, dia selalu mengelak. Pada akhirnya, menurut Alwi Shahab dalam “Gereja Armenia di Gedung BI”, dimuat Republika, 4 Maret 2006, Farah kemudian menikah dengan “salah seorang menteri Kabinet Pembangunan pada masa Pak Harto.”