Sidang pelaku penggranatan di Perguruan Cikini pada 30 November 1957. (IPPHOS).
Aa
Aa
Aa
Aa
TIDAK butuh waktu lama buat Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) untuk menciduk para pelaku Peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Presiden Sukarno selamat dari percobaan pertama pembunuhan itu, namun sepuluh orang tewas dan lebih dari seratus orang luka-luka. Tiga hari berselang dari kejadian, Komandan KMKBDR Mayor Dachyar melaporkan bahwa para pelaku yang berasal dari Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah dalam penahanan dan siap diadili. Siapa mereka sebenarnya?
Para pelaku penggranatan terdiri dari Jusuf Ismail (24), Saadon bin Mohamad (18 tahun), Tasrif bin Hoesain (23), dan Mohamad Tasim bin Abubakar (22). Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan “Asrama Sumbawa” di Gang Ampiun No. 21 Cikini, Jakarta Pusat.
Jusuf Ismail kelahiran Tente, Bima, NTB, pada 1933. Menurut arsip Dinas Pembinaan Mental, Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, Berkas Perkara Cikini 1957, setelah lulus sekolah menengah pada 1952, Jusuf pergi ke Jakarta melalui wadah Persatuan Pemuda dan Pelajar Pulau Sumbawa (P3S). Dia lantas diangkat menjadi guru berstatus pegawai negeri bergaji Rp475 di Sekolah Rakyat Negeri Cidurian Pagi, Cikini, Jakarta Pusat.
TIDAK butuh waktu lama buat Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) untuk menciduk para pelaku Peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Presiden Sukarno selamat dari percobaan pertama pembunuhan itu, namun sepuluh orang tewas dan lebih dari seratus orang luka-luka. Tiga hari berselang dari kejadian, Komandan KMKBDR Mayor Dachyar melaporkan bahwa para pelaku yang berasal dari Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah dalam penahanan dan siap diadili. Siapa mereka sebenarnya?
Para pelaku penggranatan terdiri dari Jusuf Ismail (24), Saadon bin Mohamad (18 tahun), Tasrif bin Hoesain (23), dan Mohamad Tasim bin Abubakar (22). Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan “Asrama Sumbawa” di Gang Ampiun No. 21 Cikini, Jakarta Pusat.
Jusuf Ismail kelahiran Tente, Bima, NTB, pada 1933. Menurut arsip Dinas Pembinaan Mental, Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, Berkas Perkara Cikini 1957, setelah lulus sekolah menengah pada 1952, Jusuf pergi ke Jakarta melalui wadah Persatuan Pemuda dan Pelajar Pulau Sumbawa (P3S). Dia lantas diangkat menjadi guru berstatus pegawai negeri bergaji Rp475 di Sekolah Rakyat Negeri Cidurian Pagi, Cikini, Jakarta Pusat.
Jusuf kemudian mengikuti kursus Sekolah Guru Bantu (SGB) di Menteng Kecil serta Perguruan Islam di Jalan Madura No. 57 Jakarta pada 1955. Jusuf juga bergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi sayap Partai Masyumi, sebagai anggota cabang Cikini.
Sebagaimana Jusuf Ismail, Tasrif lahir di Tente, Bima, NTB, pada April 1934. Setelah lulus dari SGB di Raba Bima, dia meniti profesi guru sebagai pembantu instruktur pendidikan SR Talabiu. Tasrif kemudian merantau ke Jakarta pada 1954 dan mengajar di SR Cidurian Petang sebagai guru berstatus pegawai negeri.
Selain mengajar, Tasrif sempat menjadi wartawan lepas harian Abadi, organ Partai Nahdlatul Ulama. Dia mulai menjadi kader GPII cabang Gambir, Jakarta Pusat, pada awal 1957. Di situlah dia mulai lebih mengenal kawan-kawan asal Bima yang biasanya berbasis di Asrama Sumbawa.
Sementara Saadon masih berstatus mahasiswa. Pemuda kelahiran Langa, Pinrang, Sulawesi Selatan, tahun 1939 ini kuliah di Akademi Bahasa Arab, Jalan Menteng No. 58, Jakarta. Sedangkan Mohamad Tasim, yang kelahiran Dompu, NTB, tahun 1935 seorang pengangguran.
Lewat perantara Saleh Ibrahim, keempat pemuda itu masuk Gerakan Anti Komunis (GAK) pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis, wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD, 1952–1956) dan tokoh intelijen TNI.
Saleh Ibrahim, juga asal Bima, adalah ketua GPII cabang Gambir, Jakarta Pusat. Dia juga pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan ketua P3S Jakarta.
Sementara Zulkifli Lubis saat itu buron setelah melancarkan sejumlah aksi menentang pemerintah dan KSAD A.H. Nasution. Ketika bergerak di bawah tanah, Lubis mendekati sejumlah tokoh-tokoh pemuda Islam. Salah satu yang didekati adalah Dahlan Ranuwihardjo, anggota GPII.
Dalam biografinya, Dahlan Ranuwihardjo mendapat kabar dari seorang kawan, Zuber Husen, mantan sekjen Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam yang memiliki hubungan baik dengan Zulkifli Lubis. Isinya, “Pak Haji” alias Lubis ingin bicara dengan Dahlan. Pertemuan pun terjadi. Saat itu Lubis bicara banyak soal peta politik dan perspektif politiknya.
“Mas Dahlan, bagaimana sampai GPII ikut dalam BKPSM? BKPSM kan di bawah A.H. Nasution. Mas Dahlan kan tahu bahwa Pak Nasution ‘tidak bisa dipegang’,” ujar Lubis. BKPSM adalah Badan Kerja Sama Pemuda Militer.
Jusuf Ismail sudah mendapat indoktrinasi bahwa Presiden Sukarno menghalang-halangi perkembangan Islam.
Dahlan mengatakan tak memihak Nasution maupun Lubis. “Saya tidak melihat Nasution sebagai Nasution, saya melihat Nasution sebagai KSAD yang memegang jabatan secara legal konstitusional.”
Rupanya hal yang sama dilakukan Lubis kepada tokoh GPII lainnya, termasuk Saleh Ibrahim.
Untuk menyelesaikan tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Studi tentang Peristiwa Cikini tahun 1957”, Dahlan sempat mewawancarai Tasim, salah satu pelaku penggranatan. Menurut Tasim, Lubis mengajak Saleh Ibrahim bekerja sama untuk melenyapkan PKI karena dianggap punya pengaruh besar di kalangan pemuda dan pelajar Bima di Jakarta.
“Pada awal November, didirikan organisasi ilegal, Gerakan Anti Komunis (GAK) dengan pusat kegiatannya di rumah Saleh Ibrahim Gang Ampiun No. 21/A Jakarta Pusat,” tulis Dahlan. Dalam gerakannya, GAK memiliki pasukan kecil namun militan guna menebar teror di Jakarta.
Lubis membentuk GAK untuk memaksa pemerintah agar tak memberikan hak hidup bagi komunis, terlebih setelah Partai Komunis Indonesia memperoleh suara besar dalam pemilihan umum tahun 1955 dan hendak dilibatkan dalam “kabinet empat kaki” yang digagas Sukarno.
Jusuf Ismail digaet Saleh Ibrahim pada awal Agustus 1957, sementara Saadon, Tasrif, dan Tasim awal November 1957. Mereka diindoktrinasi lewat ceramah-ceramah ulama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kyai Mukti di Asrama Sumbawa maupun di Gang Kebon Kacang II No. 46 Jakarta Pusat. Mereka juga mendapat pelajaran dan pelatihan tertulis tentang tata cara bertempur dari Zulkifli Lubis.
“Jusuf Ismail sudah mendapat indoktrinasi bahwa Presiden Sukarno menghalang-halangi perkembangan Islam dan membayangkan apabila presiden terbunuh, Islam akan cepat berkembang,” tulis Peter Kasenda dalam Zulkifli Lubis: Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD.
Tak lama setelah kejadian penggranatan di Perguruan Cikini, Asrama Sumbawa digerebek aparat KMKBDR. Para penghuninya beserta barang bukti satu peti granat di bawah tempat tidur diamankan. Tidak hanya di Asrama Sumbawa, KMKBDR juga menyisir sejumlah lokasi lain yang sebelumnya dicurigai, hingga akhirnya menangkap keempat pelaku utamanya.
Dahlan dalam tesisnya menyebut, Saadon yang tak terjaring penggerebekan di Gang Ampiun baru bisa ditangkap pada 3 Desember di Jalan Gondangdia Kecil No. 9A di rumah milik Abdurrachman Banjarah. Mereka kemudian diperiksa dan ditahan di Penjara Cipinang.
Keempat pelaku diajukan ke Pengadilan Tentara Tinggi Jakarta yang dipimpin Letkol Mr. R Gunawan, mulai 28 April 1958. Surjo Sediono dalam Peristiwa Tjikini (1958) menyebut Saadon, Tasrif, dan Jusuf Ismail divonis hukuman mati, yang baru dieksekusi pada 30 Mei 1960. Sementara Tasim, yang hanya berperan menyimpan dan mengeluarkan granat untuk ketiga rekannya, dihukum 20 tahun penjara.*