Enamel dan Modernitas

Iklan enamel menandai persentuhan masyarakat Hindia dengan perdagangan global dan modernitas. Ia dirancang kental budaya lokal.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Enamel dan ModernitasEnamel dan Modernitas
cover caption
Iklan enamel tembakau Shag.

SEORANG lelaki berpeci, berbaju koko dengan paduan kain sarung bermotif batik, tengah asyik menikmati sebatang rokok sembari berjongkok. Asap mengepul. Belum juga habis, tangannya yang menggenggam sebungkus tembakau dan sehelai kertas papir siap membuat lintingan rokok lagi. Di bawah ilustrasi gambar tersebut, tertera sebaris teks: “Warning Ingat-ingat!! Tjoema Tembaco Shag Tjap Boelan Bintang Njang Toelen.”

Ya, inilah desain iklan tempo dulu. Dibuat pada lempengan baja bermutu tinggi dengan ketebalan 2-3 milimeter. Meski dibuat di Eropa, aroma lokal begitu terasa. Produsen tembakau Negeri Kincir Angin sadar betul bagaimana menggaet konsumen di Hindia Belanda, salah satu pasar potensial pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20. Mereka, dengan perancang iklannya, mencoba mencomot kultur lokal dalam iklan.

SEORANG lelaki berpeci, berbaju koko dengan paduan kain sarung bermotif batik, tengah asyik menikmati sebatang rokok sembari berjongkok. Asap mengepul. Belum juga habis, tangannya yang menggenggam sebungkus tembakau dan sehelai kertas papir siap membuat lintingan rokok lagi. Di bawah ilustrasi gambar tersebut, tertera sebaris teks: “Warning Ingat-ingat!! Tjoema Tembaco Shag Tjap Boelan Bintang Njang Toelen.”

Ya, inilah desain iklan tempo dulu. Dibuat pada lempengan baja bermutu tinggi dengan ketebalan 2-3 milimeter. Meski dibuat di Eropa, aroma lokal begitu terasa. Produsen tembakau Negeri Kincir Angin sadar betul bagaimana menggaet konsumen di Hindia Belanda, salah satu pasar potensial pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20. Mereka, dengan perancang iklannya, mencoba mencomot kultur lokal dalam iklan.

“Dulu tembakau Shag sangat terkenal. Papa saya juga mengisap itu. Lucunya, teks Inggris ‘Warning’ yang tertera pada iklan kerap disalahpahami oleh orang Indonesia, dianggapnya sebagai merek tembakau. Maka kalau beli tembakau Shag, dulu orang bilang beli tembakau ‘Warning’. Itu menunjukkan betapa kuatnya pengaruh iklan saat itu,” kata Hauwming, kolektor enamel yang telah menekuni hobinya sejak 2002.

Orang Indonesia biasa menyebutnya iklan enamel, papan reklame, atau enamel saja. Sedang orang di belahan benua Eropa atau Amerika menyebutnya enamel advertising signs. Istilah enamel merujuk pada teknik dekorasi yang meleburkan bubuk kaca di atas lempengan besi baja bermutu tinggi di dalam sebuah oven dengan temperatur tinggi. Bubuk itu lalu mengurai hingga menyatu dan menjadi keras.

“Itulah kenapa enamel sangat kuat. Ia tahan dari berbagai gangguan cuaca, antikarat dan antigores. Ia hanya akan sedikit gompal bila terjadi benturan yang benar-benar keras,” kata Hauwming. Dinilai awet dan kuat, media periklanan ini dipilih sebagai iklan luar ruang pada akhir abad ke-19 di Eropa.

Iklan enamel rokok beras Tuton.

Dalam Enamel Advertising Sign, Chistoper Baglee dan Andre Morley menyebut pria Inggris bernama Benjamin Baugh yang memprakarsai penggunaan enamel sebagai media beriklan. Pada kunjungannya ke Jerman, pionir pembuatan enamel, dia ingin memperluas usahanya sebagai produsen lempengan logam. Sekembalinya ke Inggris, dia mengajukan paten atas pembuatan logam dan proses enamel. Dua dekade kemudian, dia memperluas teknik enamel lempengan baja dari panel dekoratif ke pelat iklan. Sukses, dia mendirikan perusahaan pertama pembuat papan enamel bernama “Patent Enamel Company Limited” di Inggris pada 1889.

Sejak itu, enamel menjadi tren dalam periklanan. Beberapa produk menggunakannya, dari bahan makanan hingga tembakau, dari sepeda motor hingga mobil. Bahkan, pada awal Perang Dunia I, hampir setiap toko kecil di Inggris menampilkan warna-warni enamel di dinding yang mempromosikan barang-barang yang diiklankan. Iklan enamel kemudian merambah negara-negara Eropa, Amerika, hingga Asia, termasuk Hindia Belanda.

Karakteristiknya kuat, awet, dan tahan lama jadi cocok untuk wilayah Nusantara dengan kondisi cuaca tropis. Di Hindia, kehadiran enamel tak lepas dari pertumbuhan ekonomi sejak diterapkannya sistem ekonomi liberal pada 1870. Kebijakan ini membuat banyak pengusaha asing berdatangan dan menanamkan modal untuk memperluas jaringan niaga. Hindia Belanda menjadi pasar potensial bagi berbagai produk dan jasa. Untuk meraih minat konsumen, iklan enamel menjadi media promosi yang meluas dan efektif.

Kurator seni, Enin Supriyanto dalam katalog Enamel: Lapisan Sejarah dan Periklanan Modern di Indonesia menulis, banyaknya iklan enamel yang hadir di Hindia menunjukkan koloni Belanda ini merupakan bagian dari titik-titik penghubung perniagaan modern yang tersambung secara global.

“Dengan kata lain berbagai kegairahan industri dan produksi dari masa Revolusi Industri (ke-2) Eropa di paruh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dengan cepat pula menjangkau masyarakat perkotaan di Indonesia, entah masyarakatnya siap atau tidak, suka atau tidak,” tulis Enin.

Iklan enamel sepeda Stokvis.

Produk Barat Rasa Lokal

Produk industri Eropa yang hadir di Hindia, dan sebelumnya sudah menggunakan enamel sebagai media iklan di negeri asal, mulai menerapkannya di Hindia. Tak heran jika di awal kehadirannya, iklan enamel di Hindia kental budaya dan idiom Barat. Pasalnya, produk-produk yang dipromosikan ditujukan bagi orang Belanda dan Eropa di kota-kota besar di Hindia. Toh, itu tak mengurangi minat penduduk bumiputra menengah atas untuk membelinya sebagai bagian dari modernitas.

Pramoedya Ananta Toer dalam novel Jejak Langkah dengan apik menggambarkan keriuhan masyarakat bumiputra dalam persentuhannya dengan modernitas pada awal abad ke-20. Tokoh Minke begitu terkagum-kagum dengan sepeda miliknya yang notabene produk industri Barat. “(...) sepeda yang akhirnya kuangsur juga dari toko sepeda Van Hien di Jalan Noordwijk. Bukan main ramai anak-anak Kwitang menonton aku belajar mengendarai. Betul tiga hari kemudian aku sudah menjinakkan kendaraan ajaib itu.”

Di Hindia, Enin menulis, iklan enamel produk sepeda hingga suku cadangnya hadir lumayan riuh. Potensi pasar yang potensial, kemudian mendorong para produsen dan perancang untuk memberi rasa lokal pada desain iklan. Heterogenitas kultural masyarakat Hindia menjadi sumber inspirasi visual bagi para perancang iklan.

Muncullah desain iklan serupa tembako Shag cap Boelan Bintang dengan atribut keislaman yang kental. Begitu juga iklan rokok Neptune, sabak Emata Slate, atau sepeda Fahrrad. Sementara enamel mesin jahit merek Singer menampilkan perempuan berkebaya yang sedang menjahit dengan mesin tersebut.

Iklan enamel mesin jahit merek Singer.

Dalam perkembangannya, bukan hanya produsen Eropa yang menggunakan iklan enamel. Pengusaha pribumi pun tak mau ketinggalan. Lihatlah iklan rokok Prijaji dengan figur seorang pangeran mengenakan busana Jawa, lengkap dengan keris pusaka.

Meski diberi nuansa lokal, atau dikenal dengan istilah desain indies, iklan-iklan enamel tersebut tetap dibuat di Eropa. “Teknologi dan seluruh kelengkapan pembuatan iklan enamel yang beredar di Hindia dibuat di Eropa. Pembuatan enamel cukup rumit dan menuntut kecakapan tinggi, sedang sumber daya manusia di Hindia belum mencukupi,” kata Karina Rima Melati, dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) di Akademi Komunikasi Indonesia, Yogyakarta. “Negara-negara pembuat enamel antara lain Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, dan Jerman.”

Jika pengiklan ingin memesan iklan ename, mereka biasanya mendatangi agen atau cabang perusahaan pembuatan enamel dari Belanda yang didirikan di kota-kota besar di Hindia seperti Langcat-Bussum, ‘T Raedhuys Amsterdam, Posta Amsterdam, Verenigde Blik Fabrieken Amsterdam Verblifa –semua perusahaan ini sudah tak lagi beroperasi.

Usia iklan enamel tidaklah panjang. Tak lebih dari dua dekade. Perang Dunia II, menurut Hauwming, menjadi salah satu pemicu ambruknya iklan enamel. “Pabrik-pabrik logam, seperti di Jerman, yang tadinya membuat enamel dialihfungsikan untuk membuat peralatan perang,” katanya. Kehadiran teknik cetak offset yang menawarkan kecepatan, harga murah, dan kemudahan kreasi dalam rupa desain apa pun, membuat enamel makin terkapar.

Iklan enamel kini menjadi barang koleksi yang diburu para kolektor. “Semakin langka barangnya semakin mahal harganya,” ujar Hauwming. Ia bukan hanya indah untuk dinikmati tapi juga bagus untuk mempelajari perjalanan sejarah Indonesia terkait perniagaan, periklanan, dan gaya hidup masyarakat.*

Foto-foto oleh Micha Rainer Pali/Historia.ID

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
647dca20c44c3fc748aa8fb1