G30S di Mata Saudara Tua

Buku karya sejarawan Jepang ini mengungkap posisi pemerintah Jepang dalam peristiwa G30S. Kaum kiri mendesak Kabinet Sato mengambil sikap tegas atas kekejaman yang terjadi di Indonesia.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
G30S di Mata Saudara TuaG30S di Mata Saudara Tua
cover caption
Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato dan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, 5 Januari 1972. (National Archives and Records Administration).

PAGI, 1 Oktober 1965, setelah menghabiskan malam bersama Presiden Sukarno di Wisma Yaso, seperti biasa Naoko Nemoto atau lebih dikenal sebagai Dewi Sukarno menemani Sukarno. Tak ada kejanggalan yang dia lihat. Pun sampai saat Sukarno pergi ke Istana untuk sarapan bersama tamu-tamunya.

Yang berbeda, Dewi tak kembali melanjutkan tidur setelah kepergian suaminya. Kapten Polisi Suparto, yang bertugas sebagai perwira penghubung dirinya dengan presiden, menemuinya. Kepada Dewi, dia mengatakan ada peristiwa berdarah yang dilakukan sekelompok tentara yang menamakan diri Gerakan 30 September. Suparto melanjutkan, presiden dalam keadaan aman.

Siang harinya, Dewi didatangi Martono, mantan atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Tokyo. Menurutnya, Martono diutus sekelompok perwira tinggi Angkatan Darat yang di dalamnya antara lain Mayjen TNI Soeharto. “Di situlah Dewi pertama kali mendengar nama Mayor Jenderal Soeharto,” tulis Aiko Kurasawa, sejarawan Keio University, Jepang, dalam buku ini.

PAGI, 1 Oktober 1965, setelah menghabiskan malam bersama Presiden Sukarno di Wisma Yaso, seperti biasa Naoko Nemoto atau lebih dikenal sebagai Dewi Sukarno menemani Sukarno. Tak ada kejanggalan yang dia lihat. Pun sampai saat Sukarno pergi ke Istana untuk sarapan bersama tamu-tamunya.

Yang berbeda, Dewi tak kembali melanjutkan tidur setelah kepergian suaminya. Kapten Polisi Suparto, yang bertugas sebagai perwira penghubung dirinya dengan presiden, menemuinya. Kepada Dewi, dia mengatakan ada peristiwa berdarah yang dilakukan sekelompok tentara yang menamakan diri Gerakan 30 September. Suparto melanjutkan, presiden dalam keadaan aman.

Siang harinya, Dewi didatangi Martono, mantan atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Tokyo. Menurutnya, Martono diutus sekelompok perwira tinggi Angkatan Darat yang di dalamnya antara lain Mayjen TNI Soeharto. “Di situlah Dewi pertama kali mendengar nama Mayor Jenderal Soeharto,” tulis Aiko Kurasawa, sejarawan Keio University, Jepang, dalam buku ini.

Dewi mulai bingung. Meski dalam surat Sukarno menyebut G30S merupakan peristiwa internal Angkatan Darat, Dewi lebih yakin PKI berada di balik peristiwa berdarah itu. Maka, dia berusaha meyakinkan suaminya agar menjauh dari PKI dan merajut kembali hubungan dengan Angkatan Darat (AD). Diam-diam dia berkomunikasi dengan Yohana Sunarti, istri Jenderal TNI AH Nasution. Dia juga menginisiasi sejumlah pertemuan antara Sukarno dan Nasution dalam balutan acara makan malam dan lain-lain.

Merasa yakin hubungan Sukarno-Nasution bisa dipulihkan, Dewi pergi ke Tokyo awal 1966 untuk menindaklanjuti pembicaraan pendanaan pembangunan emergency hospital di kawasan Semanggi –idenya digagas Yohana. Sekembalinya ke Jakarta, Dewi mendapati situasi politik jauh lebih buruk dari yang diperkirakan. Kekuasaan Soeharto bertambah kuat.

Ketika keduanya bermain golf pada 20 Maret 1966, Soeharto memberi tiga opsi kepada Dewi agar dipilih Sukarno: pergi ke luar negeri untuk beristirahat, tetap tinggal tapi sebagai presiden sebutan saja, atau mengundurkan diri secara total. Soeharto merekomendasikan opsi pertama dan menyarankan Jepang atau Makkah sebagai tempat peristirahatan. Sejak itu, “ia menyadari bahwa dia dan suaminya telah kalah dalam pertandingan ini.”

Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang karya Aiko Kurasawa (Penerbit Buku Kompas, 2015).

Menunggu dan Memutuskan

Berbeda dari Dewi, pemerintah Jepang bersikap menunggu. Selain minim informasi, mereka tak mau mempertaruhkan hubungan emosional yang sudah terjalin dengan Sukarno. Hingga awal 1966, sikap pemerintah Jepang masih mendukung Sukarno. Mereka yakin Sukarno bisa mengendalikan komunis maupun tentara.

“Dukungan Jepang terhadap Sukarno sebagian dapat dijelaskan oleh kedekatan pribadi dengan para politisi dan birokrat, dan sebagian lagi oleh posisi ekonomi dan internasional Jepang di pertengahan 1960 itu,” tulis Aiko.

Jepang menganggap Sukarno pemimpin istimewa dari Dunia Ketiga dan mengapresiasi aspirasi nasionalistiknya. Beberapa politisi Jepang seperti Nobusuke Kishi dan Hayato Ikeda, keduanya pernah menjabat perdana menteri, masih mengidap mentalitas Pan-Asia Timur Raya yang mereka pegang teguh sebelum masa perang. Bahkan, Kishi masih menjaga hubungan baik dengan Sukarno.

Pengganyangan terhadap kaum komunis di Jawa lebih kejam daripada yang pernah dilakukan Hitler.

Hubungan kedua negara juga terjalin apik karena pembayaran pampasan perang. Bagi Indonesia, dana pampasan perang menjamin kelangsungan ekonominya dan pembangunan nasional. Bagi Jepang, proyek pampasan perang merupakan langkah untuk normalisasi hubungan bilateral sekaligus sarana menangguk untung dan menciptakan pasar.

Pemerintah Jepang memperkirakan rezim Sukarno tetap bakal kuat karena tidak terlihat seorang pun yang cukup kompeten untuk menggantikan tempatnya, sehingga kepentingan Jepang hanya dapat dicapai dengan mendukung Sukarno.

Tapi sikap itu berubah setelah Jepang mengetahui Sukarno mulai kehilangan kendali kekuasaan. Perdana Menteri Eisaku Sato pun berpaling pada Soeharto.

Sato seorang pragmatis dan bukan penganut Pan Asia Timur Raya seperti dua perdana menteri sebelumnya. Dia tak terlalu mempedulikan politik dan lebih mengedepankan Jepang sebagai bagian dari blok Barat yang kapitalis, sehingga kepentingan ekonomi menjadi dasar kebijakannya. 

Dengan mendukung Soeharto, kepentingan ekonomi jangka panjang Jepang di Indonesia akan lebih terjamin. Sikap Tokyo itu menjadi acuan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, yang kala itu dikepalai Shizuo Saito. Meski tak secara terang-terangan, mereka terus meninggalkan Sukarno dan mendukung Soeharto.

Aiko Kurasawa, penulis buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang. (Hendi Jo).

Media Kiri

Media-media di Jepang juga menghadapi situasi yang sama. Sulit mendapatkan informasi memadai mengenai situasi di Indonesia. Berita mengenai kudeta dan situasi di Indonesia baru muncul pada 3 Oktober 1965 yang disiarkan Asahi Shinbun. Berita itu didapatkan dari seorang kameramennya yang saat kejadian berada di Jakarta. Selebihnya, pada pekan pertama, media-media Jepang hanya mengandalkan berita-berita dari media di Kuala Lumpur dan Singapura. Media-media Jepang kemudian berbondong-bondong mengirimkan wartawan ke Indonesia. Kecuali media kiri, mereka umumnya mengkritik Sukarno.

“Perihal pembunuhan massal, para diplomat dan jurnalis Jepang telah mengetahui tentangnya, sekalipun para pengusaha Jepang tidak banyak tahu tentang itu. Akan tetapi, pemerintah Jepang tidak pernah mengkritiknya secara resmi. Media Jepang juga tidak mengangkat isu itu dalam skala luas,” tulis Aiko.

Menarik melihat apa yang dilakukan media-media kiri Jepang, terutama Akahata (Bendera Merah), organ Partai Komunis Jepang (JCP). Alih-alih terbawa arus informasi yang cenderung memihak Soeharto, mereka justru memberitakan suasana Indonesia secara lebih utuh, termasuk pembantaian massal. Pada 8 Oktober 1965, misalnya, Akahata menulis bahwa PKI tak ada hubungan dengan G30S. Mereka juga intens memberitakan pengganyangan terhadap kaum komunis, bahkan menyebut “kekejaman di Jawa lebih kejam daripada yang pernah dilakukan Hitler”.

Kebijakan editorial Akahata tentu sejalan dengan JCP. Dalam pernyataan resminya, JCP menuduh G30S digunakan sebagai dalih kaum kontrarevolusi dan Sekutu untuk menghancurkan kaum komunis di Indonesia.

Perlahan mata kaum kiri Jepang terbuka. Protes disuarakan. Kaum kiri di Jepang mendesak Kabinet Sato mengambil sikap tegas atas kekejaman yang terjadi di Indonesia. Mereka juga mendesak penghentian bantuan dana kepada pemerintahan Soeharto. Menurut mereka, Kabinet Sato yang mengakomodasi kepentingan Amerika tengah membantu kaum reaksioner Indonesia.

Sejarah kemudian mencatat, dengan membela Soeharto, yang mengubah haluan politik-ekonomi Indonesia menjadi sejalan dengan Barat, Jepang menuai keuntungan ekonomis jauh lebih besar berkat perannya sebagai mitra ekonomi Indonesia.

Buku ini menambah daftar panjang kajian mengenai G30S dan sesudahnya. Meski Jepang tak terlibat dalam kudeta berdarah itu, respons dan sikapnya ikut membentuk wajah politik dan ekonomi Indonesia. Di sinilah letak penting buku ini.*

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
651a5ef324fd40d10ce97e63