Gagalnya Gerakan Rabu Pagi

Andi Azis memimpin serdadu KNIL yang menolak kedatangan pasukan TNI dari Jawa. Sempat berhasil merebut komando militer kota Makassar, namun akhirnya gagal dan menyesal.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Gagalnya Gerakan Rabu PagiGagalnya Gerakan Rabu Pagi
cover caption
Kapten Andi Azis membacakan pledoinya. (Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan).

SEBAGIAN serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) asal Ambon, yang menolak bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat), menolak kedatangan pasukan TNI dari Jawa ke Makassar. Pemerintah RIS tentu tahu tuntutan itu. Namun, Batalion Worang dari Jawa Timur tetap dipaksakan datang ke Makassar. Sehingga serdadu KNIL pun mengambil tindakan.

Komandan batalon tersebut adalah Mayor Hein Victor Worang, orang Minahasa yang juga pernah berdinas di KNIL. Worang juga ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pasukan TNI dari Jawa umumnya bekas gerilyawan pejuang kemerdekaan.

Kapten Andi Azis menjadi kurang tidur setelah ke rumah Mr. Dr. C.R.S. Soumokil. Namun, dia harus bergerak sejak dini hari. Sebelum pagi, dia harus memberikan pengarahan kepada pasukan KNIL yang hendak bergerak. Setelah para bintara KNIL itu bubar dan bergerak bersama pasukannya, barulah Andi Aziz mempersiapkan diri.

SEBAGIAN serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) asal Ambon, yang menolak bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat), menolak kedatangan pasukan TNI dari Jawa ke Makassar. Pemerintah RIS tentu tahu tuntutan itu. Namun, Batalion Worang dari Jawa Timur tetap dipaksakan datang ke Makassar. Sehingga serdadu KNIL pun mengambil tindakan.

Komandan batalon tersebut adalah Mayor Hein Victor Worang, orang Minahasa yang juga pernah berdinas di KNIL. Worang juga ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pasukan TNI dari Jawa umumnya bekas gerilyawan pejuang kemerdekaan.

Kapten Andi Azis menjadi kurang tidur setelah ke rumah Mr. Dr. C.R.S. Soumokil. Namun, dia harus bergerak sejak dini hari. Sebelum pagi, dia harus memberikan pengarahan kepada pasukan KNIL yang hendak bergerak. Setelah para bintara KNIL itu bubar dan bergerak bersama pasukannya, barulah Andi Aziz mempersiapkan diri.

“Setelah masing-masing bubar, saya mengenakan alat perang saya, pisau komando saya, helm saya,” ingat Andi Azis seperti diberitakan harian Het Parool, 10 Maret 1979. Andi Azis pun dalam posisi siap tempur bersama pasukan KNIL yang mendaku diri sebagai Pasukan Bebas.

“Kita akan menduduki pelabuhan. Tembakan diarahkan ke laut […] Bagi kami mereka datang untuk membuat kekacauan. Kami tahu siapa itu Batalion Worang kala itu. Mereka belum memiliki disiplin yang cukup. Mereka tak terlihat seperti tentara,” kata Andi Azis.

Batalion Worang mendarat di Jeneponto untuk menduduki dan merebut kota Makassar, 20-21 April 1950. (IPPHOS/ANRI).

Jumlah pasukan Batalion Worang sekitar 1000 orang bersenjata lengkap. Namun, di luar kota Makassar sendiri terdapat gerilyawan yang mendukung RIS dan berharap NIT yang disposori Belanda dibubarkan. Andi Azis dkk. terbilang kalah jumlah. Namun, untuk sekadar menguasai kota, pasukannya bisa diandalkan.

“Saya tidak memiliki banyak pasukan, saya hanya memiliki 125 orang. Saya tidak tahu persis sekutu saya. Bagaimanapun seluruh KNIL di Makassar akan bergabung kepada sersan-sersan tadi. […] Kami bergerak sejak pukul 5 pagi. Pukul 6 mereka sudah datang kepada saya membawa tawanan,” kata Andi Azis. Ketika mereka bergerak, hari sudah berganti Rabu, 5 April 1950.

Di antara para tawanan itu terdapat Panglima Tentara Teritorium Indonesia Timur Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta, atasan Andi Azis. Buku Sejarah TNI-AD, 1945–1973: Peranan TNI-AD Menegakkan Negara Kesatuan RI menyebut kala itu Andi Azis sempat bilang ke Mokoginta, “Het Pijt me, Overste, maar ik moct het doen. Artinya ‘saya menyesal, Overste, tapi saya harus melakukannya’.”

Andi Azis yang tak punya niatan politik praktis sebagai orang muda, akhirnya menyesali apa yang telah terjadi.

“Pasukannya yang tangguh. Kekuatan kompi memberontak di bawah perintahnya dan menangkap serta melucuti senjata sebanyak dua kali lipat dari jumlah mereka, termasuk Komandan Teritorial Tentara Nasional di Indonesia Timur, Letkol Mokoginta. Mereka merebut komando militer Makassar, ibu kota Negara [Indonesia Timur],” tulis harian Sidney Morning Herald, 17 April 1950.

Kala itu, anggota CPM bawahan Mokoginta juga ditawan oleh sedikit orang saja dari pasukan kompi Andi Azis dalam TNI. Pasukan Andi Azis disebar ke sepuluh titik di kota Makassar. Kolonel Schotberg, Komandan Tentara Teritorial Timur Besar dan Kalimantan, tak bisa mengendalikan pasukannya.

“Anda harus kembali,” perintahnya kepada para serdadu KNIL. Namun, perintah yang tanggung itu tak dihiraukan para serdadu KNIL yang berontak. Komandan Batalion Infanteri KNIL di Makassar, Mayor van Maastricht, juga tak bisa berbuat apa-apa.

Hari itu adalah harinya para sersan KNIL Ambon di Makassar. Mayor dan kolonel tak dianggap, sementara jenderal hanya bisa pusing. Para sersan yang bergerak di bawah Andi Azis itu berperan besar dalam Gerakan Rabu Pagi.

Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta disumpah sebelum memberikan kesaksiannya dalam persidangan Andi Azis. (Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan).

Pada hari pertama, pasukan Andi Azis berhasil menghalau Batalion Worang yang harus mengungsikan keluarga batalion tersebut ke Balikpapan. Koran Australia, The Argus Melbourne, 12 April 1950, mencatat setelah mengungsikan keluarga, maka kombatan batalion itu naik kapal untuk menyerang kota Makassar.

Setelah Batalion Worang dihalangi, TNI kemudian tak hanya mengerahkan batalion-batalion dari Jawa Timur. Brigade Garuda Mataram dari Jawa Tengah yang dipimpin Letnan Kolonel Soeharto juga dikirim ke Makassar. Pasukan-pasukan itu dipimpin oleh Kolonel Alex Evert Kawilarang. Gerakan militer Andi Azis pun gagal dan tidak mendapat dukungan banyak pihak.

“Pada tanggal 5 April Perdana Menteri NIT Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri karena tidak menyetujui tindakan Andi Azis. Pemerintah kemudian dipegang oleh kabinet baru yang pro-RI di bawah pimpinan Ir. Putuhena dan pada 21 April, Wali Negara NIT Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia dilebur ke dalam negara kesatuan Indonesia,” catat Nugroho Notosusanto dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI

Gerakan Rabu Pagi tak menghasilkan apa-apa. Baik bagi Andi Azis maupun politisi sipil macam Soumokil yang punya kepentingan politiknya dengan memanfaatkan para bintara KNIL Ambon. 

“Jika kudeta berhasil, mereka mengambil alih aksi. Jika gagal, mereka menjatuhkan Azis dan pemberontaknya seperti batu bata. Andi Azis yang tak punya niatan politik praktis sebagai orang muda, akhirnya menyesali apa yang telah terjadi,” tulis Ben van Kaam dalam “De rebel die een bloedbad voorkwam” yang dimuat koran Trouw, 29 Maret 1980. Setelahnya pasukan yang berontak dikumpulkan dan dikeluarkan dari Makassar.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65432f53080f03307999d96f