Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit tiba di Den Haag, Belanda, 24 Oktober 1960. (Harry Pot/Arsip Nasional Belanda).
Aa
Aa
Aa
Aa
RIBUAN mahasiswa memenuhi halaman Universitas Thammasat siang itu. Dengan membawa poster dan spanduk, mereka menyuarakan protes atas kembalinya mantan Perdana Menteri Thanom Kittikachorn, yang dinilai mahasiswa sebagai diktator. Thongchai Winichakul, mahasiswa tingkat dua Universitas Thammasat, tak mau ketinggalan aksi itu. Namun, ia tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi pada sore 6 Oktober 1976 itu.
Tensi aksi mahasiswa kian tinggi menjelang sore. Nyanyian anti-Thanom menggema. Tak lama kemudian, militer mulai merangsek masuk kampus. Belum sempat berunding, mahasiswa dikejutkan rentetan tembakan. Beberapa mahasiswa ambruk berlumuran darah. Thongchai terpaku melihat rekan-rekannya terkapar. Sementara mahasiswa lain berlarian menyelamatkan diri. Militer segera mengejar dan menangkap mahasiswa, termasuk Thongchai. Belum puas menangkap, mereka juga memukuli mahasiswa.
RIBUAN mahasiswa memenuhi halaman Universitas Thammasat siang itu. Dengan membawa poster dan spanduk, mereka menyuarakan protes atas kembalinya mantan Perdana Menteri Thanom Kittikachorn, yang dinilai mahasiswa sebagai diktator. Thongchai Winichakul, mahasiswa tingkat dua Universitas Thammasat, tak mau ketinggalan aksi itu. Namun, ia tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi pada sore 6 Oktober 1976 itu.
Tensi aksi mahasiswa kian tinggi menjelang sore. Nyanyian anti-Thanom menggema. Tak lama kemudian, militer mulai merangsek masuk kampus. Belum sempat berunding, mahasiswa dikejutkan rentetan tembakan. Beberapa mahasiswa ambruk berlumuran darah. Thongchai terpaku melihat rekan-rekannya terkapar. Sementara mahasiswa lain berlarian menyelamatkan diri. Militer segera mengejar dan menangkap mahasiswa, termasuk Thongchai. Belum puas menangkap, mereka juga memukuli mahasiswa.
Peristiwa itu masih tersimpan di ingatan Thongchai meski telah 36 tahun berselang. Pengaruhnya sangat besar. “Peristiwa ini sangat memengaruhi cara saya memandang sejarah,” katanya dalam ceramah “Thailand’s Crisis” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 6 Juli 2012. Bagi Thongchai, sejarah tak lagi bisa dilihat sekadar kronologi dan peristiwa, melainkan juga keberpihakan dan keterlibatan.
Thongchai datang ke Jakarta bukan cuma sebagai guru besar sejarah Universitas Wisconsin Madison, Amerika Serikat, tapi juga saksi hidup perubahan di Thailand yang terjerembab ke dalam krisis. Dengan sokongan kerajaan, militer mengudeta pemerintah sipil pada 2006. Meski tanpa pertumpahan darah, kudeta itu menambah panjang daftar campur tangan militer dalam politik Thailand.
Pertentangan antara penyokong Thaksin Shinawatra, perdana menteri terguling, dan penentangnya tak juga mereda. Kekacauan bertambah kala posisi kerajaan kembali dipertanyakan dalam sistem demokrasi. Ekonomi Thailand pun tergoncang. Thongchai menyaksikan itu semua. Ia mencoba merentang akar centang-perenang negerinya itu jauh ke belakang.
Kekuatan Militer
Keterlibatan militer Thailand dalam politik bukan hal baru. Menurut Vijarn Panjaroen dalam The Royal Thai Army, muasalnya bisa dilacak dari masa Kerajaan Sukothai (1257–1438). Kala itu Thailand masih bernama Siam. Wilayahnya jauh lebih luas ketimbang Thailand sekarang.
Perebutan wilayah kerap kali terjadi di antara kerajaan yang berdiri di Siam. Sukothai, yang menempati sebagian wilayah utara Siam, menjadi yang terkuat. Kerajaan itu menapaki masa gemilang di bawah Raja Ram Khamhaeng (1279–1319). Sang raja mempercayakan hidup-mati kerajaan pada korps militer. Pemerintahannya penuh dengan orang-orang militer yang setia kepada raja.
Selepas Ram Khamhaeng wafat, Sukothai melemah. Militer tak lagi berkuasa. Raja penggantinya kurang cakap dan cermat mengatur wilayah vasal (bawahan). Akibatnya kerajaan-kerajaan vasal melepaskan diri. Ayutthaya muncul sebagai kekuatan baru. Selama empat abad berdirinya, sebuah kitab perang mashyur terbit. Kitab ini berisi panduan perang, taktik dan strategi militer, serta pandangan filosofis terkait militer. Ketika sinar kerajaan Ayutthaya memudar pada abad ke-18, kitab ini pun kehilangan daya pikat.
Hingga abad ke-19, beberapa kerajaan silih berganti menguasai Siam. Meski tempo penguasaannya berbeda, mereka punya satu kesamaan: ditopang kekuatan militer. Raja percaya pada mereka; sebaliknya, militer patuh terhadap raja. Tradisi ini berlanjut sampai berdirinya negara Siam modern bersamaan invasi negeri Barat di kawasan Indochina.
Partai Rakyat menyarankan kedudukan raja berada di atas politik. Inilah pintu masuk militer dalam sejarah Thailand modern.
Sebelum invasi, masyarakat Siam, termasuk keluarga kerajaan, telah berkontak dengan Barat. Sebagian mereka bahkan bersekolah di Inggris dan Prancis. Kala beberapa wilayah Indochina seperti Myanmar, Kamboja, Burma, dan Laos ditaklukkan, Siam tetap berdiri. Wilayah ini terbebas dari pendudukan Barat justru karena kontak dengan Barat. “Pembaratan dan modernisasi berperan dalam kebertahanan Siam sebagai negara independen,” tulis J.M. Pluvier dalam South-East Asia From Colonialism to Independence.
Kepulangan orang Siam yang mengenyam pendidikan di negeri Barat berpengaruh terhadap perubahan politik pada 1932. Mereka menuntut adanya reformasi politik sehingga kerajaan dapat lebih terbuka. Untuk mencapai itu, mereka menyebarkan gagasan melalui koran, menulis petisi formal kepada raja, hingga menyiapkan revolusi. Perlawanan ini berbuah: monarki absolut akhirnya runtuh. Jabatan perdana menteri pun diperkenalkan.
Partai Rakyat, kelompok penentang monarki absolut, segera mengubah Siam menjadi monarki konstitusional. Beberapa anggota militer, yang juga berdarah bangsawan, diketahui ikut bergabung dalam Partai Rakyat. Mereka menyarankan kedudukan raja berada di atas politik. “Di atas ini berarti jauh atau terpisah dari urusan politik pemerintahan. Seperti tangan saya ini,” terang Thongchai sembari mengibaratkan tangan kiri sebagai politik dan tangan kanan sebagai raja. Tangan kanan berada jauh di atas, sedangkan tangan kiri di bawah. Tak menempel.
Menurut Thongchai, inilah pintu masuk militer dalam sejarah Thailand modern. Untuk kali pertama, raja dilarang berpartisipasi dalam politik. Kaum monarkis, penyokong kerajaan, tak tinggal diam. Mereka berusaha mengembalikan kedudukan raja. Kembalinya raja akan menguatkan kedudukan mereka. Di sinilah, Thongchai melihat kerajaan tak semata raja, tapi juga jejaring kepentingan dari sekelompok orang yang terkait, langsung maupun tak langung, dengan kerajaan.
Negeri Kudeta
Sadar keinginan rakyat tak terbendung, kaum monarkis tak berminat membawa Siam kembali ke monarki absolut. Mereka mencari rumusan bagaimana kerajaan tetap relevan dalam sistem demokrasi yang diinginkan rakyat. Tujuan mereka tercapai pada 1947. Bekerja sama dengan generasi baru elite militer, kaum monarkis mengudeta pemerintahan. Pridi Phanomyong, tokoh di balik kudeta 1932 sekaligus pemimpin Partai Rakyat, harus menyingkir dan hidup di pengasingan. “Inilah akhir dari Partai Rakyat dan benar-benar menjadi mula masa rezim militer tanpa agenda demokrasi,” ungkap Thongchai.
Militer menunjuk pemerintahan sementara untuk menggelar pemilu parlemen. Belum usai menyusun undang-undang pemilu, pemerintahan sementara itu terguling. Ini terjadi misalnya pada 28 Oktober 1957 dalam masa Perdana Menteri Plaek Phibunsongkhram. Kala itu Phibun tengah menggalang kekuatan untuk melawan rivalnya sesama militer, Sarit Thanarat. Ia melontarkan gagasan keterbukaan politik di Thailand. Gagasannya ditentang sebagian kalangan militer.
Curiga Phibun membahayakan posisi kerajaan, kudeta pun dilakukan. Beberapa saat setelah kudeta, Sarit mengumumkan, “Militer akan menjamin keamanan Kerajaan Muangthai dan mengenalkan sistem pemerintahan demokratis.” Sarit alergi sistem demokrasi Barat. Ia mengatakan, “Rakyat harus mengembangkan demokrasi yang hidup dan tumbuh dari tanah, tradisi, dan kebudayaan Muangthai.”
Militer melarang mahasiswa protes. Pemogokan buruh tak diizinkan. Tak boleh ada perkumpulan lebih dari lima orang. Yang melanggar ditangkap.
Sarit kemudian mendirikan United Thai People’s Party bersama dua kompatriotnya, Thanom Kittikachorn dan Prapas Carushatian. Pada 1969, Thailand menggelar pemilu pertama setelah kudeta 1957. Untuk kali pertama, partai bentukan militer ini berpartisipasi dan langsung menjadi pemenang. Thanom diangkat sebagai perdana menteri.
Hanya dua tahun berselang, Thanom membubarkan parlemen hasil pemilu, membekukan undang-undang dasar, dan membentuk Dewan Revolusi Darurat. Meski menang pemilu, militer tak ingin melihat penentangnya berada di parlemen. Mahasiswa dilarang protes. Pemogokan buruh tak diizinkan. Tak boleh ada perkumpulan lebih dari lima orang. Yang melanggar ditangkap.
Beberapa mahasiswa tak mengacuhkan peringatan itu. Dengan membawa bunga, sekelompok mahasiswa berjalan ke Monumen Demokrasi di Bangkok. Di sana mereka meletakkan karangan bunga bertulis “untuk demokrasi rakyat Muangthai dan untuk para pelacur parlemen”. Tak lama kemudian, mereka ditangkap bersama anggota parlemen sayap kiri dan penentang militer.
Menuju Demokrasi
Muak dengan tingkah polah militer, mahasiswa menggalang kekuatan. Didukung rakyat, mereka turun ke jalan pada 14 Oktober 1973. 400 ribu orang tumpah ruah di jalanan Bangkok. Mereka meminta raja mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil.
Polisi, penyokong rezim yang berkuasa, mencoba membubarkan massa. Beberapa orang mencari perlindungan di sekitar istana. Beberapa nekat memanjat pagar istana sebagai simbol kedudukan kerajaan di Thailand: pelindung dan penengah situasi. Tanpa pakaian resmi kerajaan, anggota kerajaan keluar dan menunjukkan simpati. Raja berpihak pada rakyat. Perubahan pun terjadi. Trio diktator Sarit, Thanom, dan Prapas jatuh.
“Tahun itu dinilai sebagai awal demokrasi sesungguhnya di Thailand, baik dalam pemerintahan rakyat maupun sistem parlemen,” ujar Thongchai. Kurun itu, ia ikut dalam perlawanan terhadap militer. Masih menjadi siswa sekolah menengah atas, ia sudah menggalang kekuatan bersama buruh dan mahasiswa untuk mengembalikan pemerintahan ke tangan rakyat.
Thongchai melihat kehidupan politik Thailand berubah. “Periode ini sangat liberal sekaligus radikal di mana gerakan-gerakan rakyat dan radikal sangat memengaruhi kehidupan politik,” kata Thongchai. Meski diselingi pembantaian dan kudeta pada 1976, beberapa elite militer cenderung menerima demokrasi. Rakyat diperkenankan menyuarakan pendapatnya ketimbang masa awal kudeta militer pada 1930-an. Media beroleh kebebasan mencari dan menyebarkan informasi.
Pamor raja naik. Sejak 1932, peran raja dalam kehidupan politik sangat kecil meski secara umum kerajaan tak pernah kehilangan tempat di hati rakyat. Sebelum peristiwa Oktober 1973, rakyat terkesan dengan pribadi Bhumibol Adulyadej, sang raja. Ia bersahaja. Ia bekerja untuk kemakmuran rakyat miskin dan mereka yang berada di dataran tinggi. Ia suka berjalan ke tempat-tempat terpencil yang berlumpur dengan memakai peta, kadang berkalungkan teropong. Dalam bahasa orang Thai, Bhumibol memancarkan kebijaksanaan tertinggi (barami).
“Orang Thai percaya bahwa kekuasaan tidak selalu korup. Ah, itu di Barat. Sebaliknya, mereka yakin kekuasaan adalah kebijaksanaan tertinggi,” terang Thongchai.
Citra Bhumibol ini terhunjam di benak kaum intelejensia dan mahasiswa. Maka, ketika ada kesempatan mengembalikan pemerintahan demokratis, mereka meminta restu dari Bhumibol.
Meski penghormatan terhadap Bhumibol tak bisa diragukan, kudeta terus menghantui Thailand. Tak ada pemerintahan yang bertahan hingga masa tugasnya usai. Alasan militer klise: ingin membersihkan pemerintahan yang korup. Sejak 1980, isu korupsi sudah merebak dan menjadi komoditas paling laku di media.
Pada 1988, militer mencoba mengudeta perdana menteri yang terpilih tanpa kudeta, Prem Tinsulanonda. Tapi gagal tersebab keberpihakan kerajaan pada Prem.
Memandang situasi dapat memburuk dengan cepat, Prem menempuh jalan diplomatis. Ia menyerahkan kekuasaan secara sukarela kepada Jenderal Chaticai Choonhavan. Chaticai hanya berkuasa selama dua tahun. Faksi lain di tubuh militer mengudetanya pada 1992. Jenderal Suchinda Krapyayoon naik walau hanya sebulan. 50 orang menjadi tumbal pergolakan itu. Tumbangnya Suchinda lewat pertumpahan darah itu menanamkan tekad pada militer bahwa mereka tak berniat kudeta lagi. Rakyat percaya. Namun kepercayaan itu luntur pada 2006.
Jenderal Sonthi Boonyaratgin mengambil alih kekuasaan dari Thaksin Shinawatra. Orang-orang yakin ini akibat korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh Thaksin. Tapi Thongchai tak percaya. Menurutnya, sejarah membuktikan alasan kudeta selalu kompleks dan tak lepas dari konstelasi tiga kekuatan di Thailand: raja, bangsa, dan agama. “Thaksin menggoncangkan salah satu pilar itu, yaitu raja. Itulah alasan utama penyokong monarki mengudetanya,” ungkap Thongchai.
Bhumibol, yang diharapkan menjadi penengah, sudah sakit-sakitan. Calon penggantinya kurang populer. Rakyat belum melihat ada barami dalam diri anak-anak Bhumibol. Pertikaian antarfatsun politik memanas kala Yingluck Shinawatra, perdana menteri Thailand, dianggap sedang menyusun undang-undang yang meminggirkan monarki. Saat ini, tak ada yang bisa memprediksi ke mana angin membawa Thailand. Tak terkecuali Thongchai, meski ia yakin, kelak, perubahan besar akan terjadi di Thailand.*