Ganefo dan Mimpi Besar Sukarno

Sukarno menyelenggarakan Ganefo untuk menandingi Olimpiade. Pesta olahraga negara-negara nonblok ini dipicu sikap politik Indonesia terhadap Israel dan Taiwan.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Ganefo dan Mimpi Besar SukarnoGanefo dan Mimpi Besar Sukarno
cover caption
Poster Sukseskan Ganefo dalam acara rapat umum Front Pemuda menyukseskan Dwikora pada 1963. (Perpusnas RI).

DENGAN antusias, sedari pagi publik Jakarta berbondong-bondong datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mereka melalui Jalan Sudirman yang berhiaskan ratusan umbul-umbul dan bendera merah putih. Kendaraan berjejalan. Lautan manusia tak terhindarkan. Maklum, tiket masuknya gratis.

Pukul tiga sore, stadion sudah dipenuhi 100.000 penonton. Di luar gerbang tak kalah ramai. Satu jam kemudian, Presiden Sukarno tiba menggunakan helikopter. Dimulailah rangkaian acara pembukaan pesta olahraga akbar The Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Satu per satu kontingen tiap negara berparade, defile, sambil disambut riuh penonton.

DENGAN antusias, sedari pagi publik Jakarta berbondong-bondong datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mereka melalui Jalan Sudirman yang berhiaskan ratusan umbul-umbul dan bendera merah putih. Kendaraan berjejalan. Lautan manusia tak terhindarkan. Maklum, tiket masuknya gratis.

Pukul tiga sore, stadion sudah dipenuhi 100.000 penonton. Di luar gerbang tak kalah ramai. Satu jam kemudian, Presiden Sukarno tiba menggunakan helikopter. Dimulailah rangkaian acara pembukaan pesta olahraga akbar The Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Satu per satu kontingen tiap negara berparade, defile, sambil disambut riuh penonton.

Lalu seorang atlet Indonesia, Harun Al-Rasjid, berlari membawa obor untuk menyalakan tungku api Ganefo. Api berkobar dibarengi pengerekkan bendera dan nyanyian himne Ganefo. Acara seremonial yang tidak asing namun bermakna besar bagi para peserta.

Sukarno naik ke podium. Suasana tiba-tiba hening. Dengan satu kalimat singkat dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Prancis, ia menyatakan, “dengan ini, Ganefo I saya buka.”

Suara meriam menyambut. Balon-balon diterbangkan ke langit. Ribuan merpati lambang perdamaian terbang mengepakkan sayap. Dan para penonton bersukaria.

Setelah resmi dibuka pada 10 November 1963, cabang-cabang olahraga mulai dipertandingkan. Para atlet dari 51 negara berlaga memperebutkan medali.

Diinisiasi Indonesia, Ganefo bukan hanya pesta olahraga semata, namun juga sarana pertukaran budaya di antara negara-negara berkembang di dunia. Kelahirannya didahului campur tangan isu politik yang cukup kompleks.

Presiden Sukarno membuka musyawarah kerja di Markas Besar Ganefo tahun 1965. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Politisasi Olahraga

Pada 8 Februari 1963, dunia olahraga Indonesia dibuat terkejut. Sebuah pesan dikirim dari Lausanne, Swiss, markas Komite Olimpiade Internasional (IOC): Indonesia diskors dari keanggotaan IOC.

Awal masalah ini bermula dari penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta pada 24 Agustus–4 September 1962. Indonesia tak bersedia mengeluarkan visa untuk kontingen dari Taiwan dan Israel. Alasannya dikemukakan Sukarno dengan tegas: Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut dan solidaritas rakyat Indonesia terhadap perjuangan negara-negara Arab dan Republik Rakyat China.

Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos).

“Presiden Indonesia, Sukarno, sangat antusias mendukung pelaksanaan Asian Games. Ia melihatnya sebagai sarana untuk mengejawantahkan serangkaian tujuan politik, termasuk politik luar negeri yang mengokohkan dirinya sebagai pemimpin negara-negara nonblok,” tulis Charles Little dalam “Games of the Newly Emerging Forces”, termuat dalam Sports Around The World: History, Culture and Practice.

Kecaman atas sikap Indonesia berdatangan. Paling keras datang dari Guru Dutt Sondhi, pendiri dan wakil presiden Asian Games Federation (AGF). Ia menolak mengakui keabsahan Asian Games IV. Publik Indonesia menganggap ini hinaan besar bagi Sukarno, yang berujung pada pecahnya kerusuhan di depan Kedutaan Besar India di Jakarta.

“Rombongan demonstran juga menyerbu hotel tempat Sondhi menginap, mencarinya dari kamar ke kamar. Beruntung baginya, ia bisa menyelinap pergi dan sore itu juga ia berhasil keluar dari Jakarta (menuju India),” tulis Mihir Bose dalam The Spirit of The Game: How Sport Has Changed the Modern World.

Go to hell with IOC, kita negara-negara berkembang sudah punya ajang olahraganya sendiri, Ganefo.

Di tengah kecaman, Asian Games IV berlangsung dengan sukses. Jepang menjadi pemuncak medali, diikuti Indonesia, India, dan Pakistan.

AGF melemparkan masalah ini ke IOC. IOC bersidang, dan hasilnya Indonesia diskors dari keanggotaan IOC dalam batas waktu yang tak ditentukan sampai Indonesia meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi tindakannya. Penolakan Indonesia terhadap Israel dan Taiwan dianggap IOC sebagai tindakan yang mencederai cita-cita Olimpiade. Indonesia dianggap terlalu jauh mencampurkan urusan olahraga dengan politik.

“Untuk kali pertama dalam sejarahnya yang membentang selama 69 tahun, IOC harus memutuskan untuk mengeluarkan sebuah negara yang sudah menjadi anggotanya,” tulis Rusli Lutan dan Fan Hong dalam “The Politicization of Sport: GANEFO-A Case Study” yang terhimpun dalam Sport, Nationalism, and Orientalism: The Asian Games karya Fan Hong.

Sukarno meradang dan memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) keluar dari IOC pada 14 Februari 1963. Ia mencap India sebagai pengkhianat semangat Dasasila Bandung 1955. Sementara IOC, menurutnya, sudah menjadi kepanjangan tangan kaum imperialis untuk mendominasi urusan olahraga untuk kepentingan sendiri; kecaman mereka terhadap Indonesia yang mencampuri urusan olahraga dengan politik adalah sebuah sifat munafik.

“Jika pandangan dan sikap mayoritas anggota AGF, yang merepresentasikan 13 negara yang menandatangani konvensi Asia-Afrika di Bandung, bahwa Asian Games tidak benar-benar merefleksikan semangat Bandung dengan benar, maka kita harus mengadakan Asian Games baru, yang benar-benar merefleksikan semangat Bandung. Sekarang juga, kita akan mengadakan ajang olahraga baru di antara negara-negara Nefos, secepat mungkin terlaksana, ya, pada tahun 1963 ini,” ujar Sukarno, dikutip India and the Olympics karya Boria Majumdar dan Nalin Mehta.

Karena itu, atas usul Menteri Olahraga Maladi dan juga Sukarno, Indonesia bertekad untuk membuat pesta olahraga sendiri sebagai tandingan Olimpiade.

Poster Ganefo.

Minim Ongkos

Persiapan dilaksanakan dengan kilat sesuai instruksi Sukarno. Menteri Maladi ditugaskan untuk mengurusinya. Konferensi persiapan dilaksanakan di Jakarta pada 27–29 April 1963. Sepuluh negara hadir sebagai anggota penuh: Kamboja, China, Guinea, Indonesia, Irak, Pakistan,
Mali, Vietnam Utara, Republik Persatuan Arab, dan Uni Soviet. Sedangkan Sri Lanka dan Yugoslavia hadir sebagai pengamat. Nama pesta olahraga ini pun dikemukakan ke publik untuk kali pertama: The Games of The New Emerging Forces (Ganefo).

Sukarno dalam pidato pembukaan konferensi di Hotel Indonesia menjelaskan bahwa tujuan Ganefo secara politis bertujuan menandingi IOC dan kubu imperialisme di dalamnya. Ia tidak menentang idealisme Olimpiade yang dicetuskan Baron de Coubertin, pendiri sistem Olimpiade modern, sebagai sarana persatuan, perdamaian, dan persahabatan antarmanusia di seluruh dunia.

“Kami dengan senang hati bergabung ke dalam IOC karena kami sependapat dengan ide yang disampaikan oleh Baron de Coubertin. Tapi apa yang ternyata kami dapatkan dari IOC? Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka sekarang hanyalah sebuah alat imperialisme dan politik! Kami punya pengalaman pahit dengan Asian Games! Bagaimana perasaanmu, komunis China! Ketika kamu dikucilkan dari olahraga internasional hanya karena kamu negara komunis? Ketika mereka tidak bersahabat dengan Republik Persatuan Arab, ketika mereka mengucilkan Korea Utara, ketika mereka mengucilkan Vietnam Utara, bukankah itu keputusan politik?” kecam Sukarno.

Konferensi berlangsung dengan sukses. Prinsip-prinsip Ganefo juga dikemukakan. Kegiatan Ganefo I akan didasarkan pada semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan idealisme Olimpiade yang sejati: bertujuan mempromosikan kemandirian perkembangan kebudayaan berolahraga di seluruh negara-negara Nefos, menstimulasi hubungan baik di antara pemuda-pemudi Nefos, serta mempromosikan jembatan persahabatan dan perdamaian dunia pada umumnya.

Ganefo I akan dilaksanakan pada 10–22 November 1963 di Jakarta, dengan Indonesia sebagai panitia pelaksananya. Ada tiga program utama, yakni ajang kompetisi olahraga, pesta seni, dan tur delegasi ke beberapa wilayah di Indonesia.

Sementara Jakarta bergegas mempersiapkan Ganefo, IOC mengamati gerakan ini. “IOC dan federasi internasional tidak dapat menoleransi pergerakan olahraga yang terang-terangan bertujuan politis, terutama yang ingin menyaingi Olimpiade,” tulis Richard Espy dalam The Politics of the Olympic Games: With an epilogue, 1976–1980.

Amplop dan perangko edisi khusus Ganefo.

IOC kemudian mengumumkan bahwa mereka tak mengakui Ganefo dan akan mempertimbangkan kembali hak untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964 bagi atlet-atlet yang berpartisipasi dalam Ganefo. Indonesia tak bergeming dan tetap melayangkan undangan ke negara- negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sejumlah negara, kendati dilanda bimbang karena seruan IOC, menyambut uluran Sukarno.

Satu hal yang menarik dari penyelenggaraan Ganefo adalah minimnya ongkos yang dikeluarkan Indonesia selaku tuan rumah. China menyumbangkan US$18 juta untuk transportasi semua delegasi Ganefo sebagai bentuk dukungan, juga karena diberi kesempatan berkompetisi di ajang olahraga internasional. Dilihat dari permukaan, konsep Ganefo tak lain adalah replika dari Olimpiade, begitu pula cabang-cabang olahraganya.

“Kompleks olahraga sudah tersedia dan didanai pembangunannya oleh Soviet untuk Asian Games IV. Amerika baru saja menyelesaikan jalan layang yang mempermudah akses dari Tanjung Priok ke Senayan. Jepang mengucurkan dananya untuk membangun hotel berstandar internasional yang dapat mengakomodasi peserta Ganefo dari perkampungan atlet. Meskipun ongkosnya rendah, namun timbal balik politisnya sangat tinggi bagi Indonesia,” tulis Ewa T. Pauker dalam “Ganefo I: Sports and Politics in Djakarta”, Jurnal Asian Survey, Vol. 5, No. 4, April 1965.

Gencarnya pengaruh dari Uni Soviet dan China mengundang kritik. “Indonesia saat itu begitu dilematis. Ekonomi dalam negeri sedang hancur, namun di sisi lain Indonesia ingin bangkit sebagai pelopor dunia ketiga,” ujar Suditomo, 75 tahun, salah satu anggota panitia logistik selama pelaksanaan Ganefo.

Kartu pos edisi khusus Ganefo.

Bukan Sekadar Kompetisi

“Saya paling depan duduknya,” ujar Eni Nuraeni, 66 tahun, atlet renang Jawa Barat dalam Ganefo, mengingat saat Sukarno memberikan petuah pada kontingen Indonesia di Istana Merdeka pada 8 November 1963. “Kalau tak salah, saya masih berusia 18 tahun saat itu, namun saya bangga melihat dan mendengar apa yang disampaikan oleh Sukarno.”

Sukarno menekankan bahwa Ganefo adalah ajang menjalin persahabatan melalui olahraga, prestasi boleh dinomorduakan. Dengan kata lain, Ganefo adalah sebuah wadah bagi people-to-people diplomacy.

“Nah, saya minta kepadamu sekalian supaya engkau saudara-saudara dan anak-anakku yang mewakili Indonesia dalam Ganefo pertama ini, tunjukkan bahwa engkau sebagai wakil rakyat Indonesia yang berbudi pekerti tinggi, bernilai jiwa tinggi, dan berprestasi dari hasil budi pekerti yang tinggi,” ujar Sukarno. “Jadi kita punya tujuan menyelenggarakan Ganefo supaya sebanyak mungkin negara-negara Nefos bersatu padu dalam rasa persahabatan, dan dalam rasa cinta-mencintai satu sama lain”.

“Poin menjalin persahabatan itu yang begitu ditekankan oleh Sukarno kepada kami,” kenang Eni.

Pada 10 November 1963, Ganefo dibuka dengan meriah. Selama 12 hari, 51 negara peserta bertanding dalam 20 cabang olahraga. Sekitar 2.700 atlet berkompetisi, ditambah ofisial dan wartawan dari berbagai negara peserta.

51 negara peserta ini datang dari empat benua: Asia (Afghanistan, Burma, Kamboja, Sri Lanka, Korea Utara, Indonesia, Irak, Jepang, Laos, Lebanon, Mongolia, Pakistan, Palestina, China, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Thailand, dan Vietnam Utara), Afrika (Aljazair, Guinea, Maroko, Nigeria, Mali, Senegal, Somalia, Tunisia, dan Republik Persatuan Arab), Eropa (Albania, Belgia, Bulgaria, Cekoslovakia, Finlandia, Prancis, Jerman Timur, Hungaria, Italia, Belanda, Polandia, Rumania, Uni Soviet, dan Yugoslavia), serta Amerika (Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Cuba, Dominika, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela).

“Atletik menjadi cabang olahraga paling populer dengan 23 kontingen berkompetisi di dalamnya, diikuti balap sepeda (16), tenis meja (15), tenis (14), tinju (13) dan renang (13). Tuan rumah mengikuti semua cabang olahraga, diikuti China dan Korea Utara yang berkompetisi di 13 cabang,” tulis Russell Field dalam The Olympic Movement’s Response to the Challenge of Emerging Nationalism in Sport: An Historical Reconsideration of GANEFO.

Negara-negara peserta Ganefo. (Merdeka/Perpusnas RI).

Namun tak semua negara mengirimkan kontingen terbaiknya. Mayoritas negara yang berpartisipasi menaruh simpati pada Ganefo, namun tak ingin keanggotaannya di IOC ikut terancam.

“Sebagian besar negara partisipan tidak mengirimkan kontingen yang resmi karena takut dikeluarkan dari Olimpiade. Secara umum, hanya atlet-atlet berkaliber lebih rendah dari level Olimpiade yang dikirim ke Ganefo,” tulis Rusli Lutan dan Fan Hong.

Sebagai contohnya adalah Jepang. Meski diundang pemerintah Indonesia, komite Olimpiade mereka menolak untuk hadir di Ganefo. Namun himpunan pengusaha Jepang yang takut bisnisnya di Indonesia terganggu akibat penolakan ini akhirnya mengirimkan kontingen sendiri, tanpa restu komite nasionalnya.

Maroko dan Filipina mengirim delegasi yang direkrut dari prajurit militer. Brasil, Bolivia, dan Chili mengirimkan atlet dari kalangan mahasiswa. Begitu pula negara-negara Eropa, mayoritas kontingen yang dikirim berasal dari organisasi olahraga milik faksi-faksi politik oposisi di negara masing-masing.

Salah satu yang paling mencolok adalah kontingen Belanda dengan atletnya Guda Heijke, peloncat indah berusia 16 tahun, yang berhasil menyabet emas untuk cabang loncat indah. “Ia dikirim oleh Nederlandse Culturele Sportbond, organisasi pemuda dengan basis sosialis yang kental di Belanda,” tulis Russell Field.

“Kalau saya lihat, menurut saya Ganefo itu seperti ajang hura-hura ya,” ujar Yohanes Paulus Lay, 68 tahun, atlet atletik yang ikut berkompetisi dalam Ganefo, sambil terkekeh. “Ada yang lari tidak pakai spikes, kita pakai spikes sudah hebat sekali saat itu.”

“Yang penting kita berolahraga, senang, banyak teman. Beda dengan Asian Games; di sana orang yang kami lawan sudah punya nama saat itu. Mereka lebih elite. Saya pribadi merasa Ganefo kompetitifnya tidak ada,” tambahnya.

Ganefo memang tidak menitikberatkan pada sisi olahraga saja. Selama 12 hari itu juga diadakan Ganefo Art Festival, yang terdiri dari acara pentas seni dan pemutaran film negara-negara Nefos. Salah satu yang paling mendapat perhatian adalah rombongan dari Meksiko, dengan penyanyi Maria de Lourdes sebagai bintangnya.

“Gadis Mexico yang mempunyai suara ‘metzo Soprano’ itu telah mendapatkan publikasi yang baik dari wartawan di Jakarta setelah memberikan pertunjukkannya di gedung Megaria,” tulis harian Bintang Timur, 23 November 1963, dalam artikel “Maria Jadi Rebutan!”

Secara umum, di lapangan Ganefo berlangsung sukses. Di hari terakhir, China menjadi pemuncak klasemen diikuti Uni Soviet, Indonesia, Republik Persatuan Arab, dan Korea Utara. Setelah penutupan, para kontingen dari luar negeri dijadwalkan melakukan kunjungan ke berbagai wilayah Indonesia, antara lain Bali, Bandung, Medan, dan Cirebon.

Penutupan Ganefo I di Jakarta, 22 November 1963. (ANRI).

Dampak Ganefo

Keberhasilan Ganefo memberikan efek politis yang besar. Pada 24 dan 25 November 1963, dua hari setelah penutupan Ganefo, para delegasi mencanangkan pendirian Conference of New Emerging Forces (Conefo), dengan harapan mempermanenkan Ganefo.

Sukarno ditahbiskan sebagai pendiri Ganefo. Ia pula yang mencanangkan Conefo, dengan tujuan menghimpun suara negara-negara Nefos dalam sebuah organisasi resmi. Menurutnya, perjuangan melawan imperialisme belum akan berakhir dan Ganefo akan terus ada untuk melawan. Sebuah gedung baru pun dibangun untuk menjadi markasnya –sekarang menjadi gedung MPR/DPR RI.

“....Conefo, Conference of New Emerging Forces, yaitu suatu konferensi politik daripada rakyat-rakyat Asia, Afrika, Latin Amerika, Eropa, yang menghendaki dunia baru saudara-saudara, satu dunia baru daripada persaudaraan, persahabatan tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Bukan saja persatuan politik, tetapi juga persatuan di lapangan olahraga daripada New Emerging Forces itu,” ujar Sukarno dalam pidatonya.

Kendati demikian, Indonesia tetap berharap bisa mengikuti Olimpiade di Tokyo. Akhirnya, pada 27 April 1964, KOI mengirimkan surat kepada IOC meminta pencabutan skors atas Indonesia untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. IOC bergeming. Namun atas desakan anggotanya yang berasal dari negara-negara Arab dan Jepang sebagai tuan rumah, IOC akhirnya mencabut skorsing terhadap Indonesia. Namun IOC tetap mengajukan syarat: melarang atlet-atlet Indonesia yang ikut berkompetisi di Ganefo untuk mengikuti Olimpiade.

Kontingen Indonesia tetap berangkat. Setelah sampai di Tokyo, mereka mengancam IOC: mengizinkan seluruh kontingen Indonesia untuk ikut dalam Olimpiade atau seluruhnya akan mengundurkan diri. IOC tetap pada putusannya. Indonesia pun akhirnya memutuskan angkat kaki dari Olimpiade Tokyo 1964.

Go to hell with IOC, kita negara-negara berkembang sudah punya ajang olahraganya sendiri, Ganefo,” ujar Sukarno.

Namun sayangnya, kisruh politik 1965 dan pergantian kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto membuat inisiatif Ganefo yang terbangun cukup kokoh menguap begitu saja. Pembangunan gedung Conefo terbengkalai, sebelum dilanjutkan namun dialihfungsikan sebagai gedung legislatif.

Pada 2013 tidak ada hingar bingar terdengar dari kompleks Gelora Bung Karno. Bahkan tak ada perayaan untuk memperingati setengah abad pelaksanaan Ganefo, ajang olahraga yang begitu mencuri perhatian dunia kala itu.

“Walaupun Ganefo hanya games yang pernah berlangsung sekali, namun itu tetap merupakan sejarah ya. Harus tercatat, dan jangan dilupakan,” ujar Eni Nuraeni.*

Majalah Historia No. 17 Tahun II 2014.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642538ce3b49e1277f556e5d