Geger Sampai ke Negeri Induk

Masyarakat di Hindia Belanda dan Belanda terbelah ke dalam dua kelompok dukungan. Pemberontakan di kapal De Zeven Provincien jadi bahan kampanye pemilihan anggota parlemen Belanda.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Geger Sampai ke Negeri IndukGeger Sampai ke Negeri Induk
cover caption
Anggota RSP berdemonstrasi menuntut pembebasan Henk Sneevliet yang dipenjara karena mengkritik pemerintah Belanda dalam kasus pemberontakan kapal De Zeven Provincien. (IISG).

PEMBERONTAKAN awak kapal De Zeven Provincien dengan cepat menimbulkan berbagai reaksi, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda. Di Batavia, kecaman datang dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C. de Jonge yang dalam pidatonya pada 7 Februari 1933 menyebut aksi para matros kapal perang Hindia Belanda itu sebagai tindakan tak bertanggungjawab.  

Pernyataan gubernur jenderal tersebut diamini oleh De Vaderlandse Club, sebuah perkumpulan warga Hindia Belanda beraliran konservatif sekaligus penyelenggara apel kesetiaan di mana de Jonge berpidato. Sebagaimana ditulis oleh Elly Touwen-Bouwsma dalam “Pemberontak atau Perintis Kemerdekaan: Tanggapan Indonesia terhadap Pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien”, termuat di buku De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesia Berontak (1933), ribuan penduduk Eropa, pribumi, dan Tionghoa hadir dalam pertemuan di Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), Batavia itu.  

Menurut Elly, pemberontakan di kapal perang De Zeven Provincien itu mengobarkan emosi, baik di Belanda maupun di Hindia Belanda. Sejarawan Belanda Louis de Jong dalam bukunya Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia Kedua, red.) menyebut peristiwa tersebut sebagai salah satu peristiwa sejarah terpenting di kalangan orang Belanda yang terjadi pada era 1930-an.

PEMBERONTAKAN awak kapal De Zeven Provincien dengan cepat menimbulkan berbagai reaksi, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda. Di Batavia, kecaman datang dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C. de Jonge yang dalam pidatonya pada 7 Februari 1933 menyebut aksi para matros kapal perang Hindia Belanda itu sebagai tindakan tak bertanggungjawab.  

Pernyataan gubernur jenderal tersebut diamini oleh De Vaderlandse Club, sebuah perkumpulan warga Hindia Belanda beraliran konservatif sekaligus penyelenggara apel kesetiaan di mana de Jonge berpidato. Sebagaimana ditulis oleh Elly Touwen-Bouwsma dalam “Pemberontak atau Perintis Kemerdekaan: Tanggapan Indonesia terhadap Pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien”, termuat di buku De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesia Berontak (1933), ribuan penduduk Eropa, pribumi, dan Tionghoa hadir dalam pertemuan di Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), Batavia itu.  

Menurut Elly, pemberontakan di kapal perang De Zeven Provincien itu mengobarkan emosi, baik di Belanda maupun di Hindia Belanda. Sejarawan Belanda Louis de Jong dalam bukunya Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia Kedua, red.) menyebut peristiwa tersebut sebagai salah satu peristiwa sejarah terpenting di kalangan orang Belanda yang terjadi pada era 1930-an.  

Masyarakat terbelah pada sikap mengutuk atau mendukung aksi pemberontakan itu, begitu juga sebagian besar pers yang terbit. Koran-koran yang berhaluan nasionalis di Hindia Belanda membela nasib awak kapal seraya menanggapi kritis apel kesetiaan yang dihadiri de Jonge itu. Sementara koran-koran berbahasa Belanda menuduh balik dukungan pers berhaluan nasional tak berdasar. Harian De Java Bode sebagaimana dikutip dari Elly menulis bahwa “di De Zeven Provincien ada propaganda komunis.”  

Saling serang pemberitaan antara koran-koran yang pro pemerintah kolonial dengan yang anti terus berlanjut sepanjang Februari 1933. Soeara Oemoem edisi 18 Februari 1933 menuduh gubernur jenderal mempolitisir sedemikian rupa peristiwa pemberontakan itu demi kepentingan kekuasaannya. Serangan Soeara Oemoem kepada pemerintah berakhir pada penangkapan pemimpin redaksinya.  

Sementara itu, nun jauh di Amsterdam, Belanda, Bob de Wilde masih berusia sembilan tahun pada 21 Juli 1933 saat ibunya mengajaknya turun ke jalan, menyambut pembebasan Henk Sneevliet dari penjara di Amstelvenweg, Amsterdam. Bersama puluhan pendukung Sneevliet dari Partai Sosialis Revolusioner (Revolutionair Sociaalist Partij, RSP), Bob kecil dan ibunya menyaksikan Sneevliet berpidato begitu keluar dari pintu penjara.  

“Waktu itu dia berpidato tentang pemberontakan kapal De Zeven Provincien dan pentingnya mendukung usaha pembebasan negeri kolonial seperti Indonesia,” ujar Bob de Wilde, kini berusia 92 tahun, yang ditemui Historia pada November 2015 di kediamannya di Amsterdam.

Bob suami Ellen Santen, cucu tiri Henk Sneevliet dari istrinya, Mien Draaijer. Kedua orang tua Bob anggota RSP. Partai itu didirikan Sneevliet pada 2 Februari 1929 dan menjadi satu-satunya partai yang secara jelas berpihak mendukung aksi para matros De Zeven Provincien sekaligus mengecam keras tindakan pemerintah mengebom kapal itu di perairan Selat Sunda.

Max Perthus dalam Henk Sneevliet Revolutionair-Socialist in Europa en Azie menulis tak lama setelah menerima berita tentang Zeven Provincien, Sneevliet menyusun manifesto dukungan kepada seluruh awak kapal pemberontak. Manifesto yang diterbitkan di kota Den Helder itu dinilai pemerintah Belanda sebagai tindakan menghasut orang untuk memberontak dan melakukan kekerasan terhadap penguasa. Karena itu pula Sneevliet diganjar lima bulan penjara sejak 21 Februari 1933 sampai dengan 21 Juli 1933.  

Dukungan Sneevliet terhadap kaum buruh Indonesia memang tidak berubah sejak kali pertama dia tiba di Jawa pada 1913 dan diusir dari sana pada 1918. Terlebih dia punya riwayat membentuk Garda Merah (Roode Garde), sarekat marinir dan buruh galangan kapal di Surabaya pada 1917.  

Sekoci mengangkut para pemberontak kapal De Zeven Provincien. (KITLV).

Zeven Provincien dan Kampanye Pemilu 1933

Berbeda dari partai RSP, Partai Anti-Revolusioner (Anti-Revolusionair Partij, ARP) pimpinan Hendrikus Colijn justru mendukung tindakan pemerintah kolonial mengebom kapal Zeven Provincien. Colijn, yang berpengalaman sebagai serdadu dalam perang Aceh itu, justru menjadikan isu pemberontakan itu sebagai bahan kampanyenya menegakkan keamanan dan ketertiban (rust en orde) di Hindia Belanda. Colijn kelak terpilih menjadi perdana menteri Belanda.  

Peristiwa Zeven Provincien terjadi tak lama jelang masa kampanye pemilihan anggota parlemen di Belanda, April 1933. Sehingga isu tersebut dengan cepat menjadi bola panas liar yang menjadi pembahasan di kalangan politikus Belanda. Bagi sebagian kalangan, insiden ini digunakan sebagai momentum untuk meraih simpati pada kampanye pemilihan anggota parlemen Belanda yang berlangsung pada April 1933.  

Penangkapan Sneevliet juga mendorong solidaritas anggota partainya untuk turun ke jalan menuntut pembebasan ketuanya yang juga mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Buletin dwimingguan De Arbeid edisi Sabtu, 25 Februari 1933 milik Sekretariaat Buruh Nasional (Nationaal Arbeiders Secretariaat, NAS) mengkritik cara pemerintah menangani kasus De Zeven Provincien seraya menuntut pembebasan Sneevliet dan kawan-kawannya.  

Bagi RSP, insiden Zeven Provincien dan penangkapan Sneevliet menjadi momentum untuk memperoleh dukungan dari para pemilihnya. Menurut Baart van der Steen dalam makalahnya ‘Kiest Sneevliet uit de cel!’ Henk Sneevliet, de RSP en de verkiezingen van 1933” (Pilih Sneevliet keluar dari penjara! Henk Sneevliet, RSP dan Pemilu 1933, red.) ratusan buruh berdemonstrasi di depan penjara seraya meneriakkan tuntutan “Bebaskan Sneevliet dan kawan-kawan kami lainnya!”  

Dukungan kepada Sneevliet terlihat dari ribuan surat yang dikirim kepadanya di penjara. Max Perthus mencatat ada lebih dari 1800 surat dukungan terhadap Sneevliet, menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat di Belanda berada di pihak yang sama dengannya dalam soal pemberontakan kapal De Zeven Provincien.  

Pemenjaraan Sneevliet selama lima bulan di lain sisi justru berdampak positif bagi posisi politiknya. Dia terpilih jadi anggota parlemen sekaligus satu-satunya wakil RSP yang lolos dalam pemilu 1933. Sementara itu partai ARP yang mengusung isu “rust en orde”, sebuah sikap politik yang berlawanan dari RSP, memeroleh dua kursi anggota parlemen. Bahkan Colijn, ketuanya, terpilih menjadi perdana menteri Belanda.  

Henk Sneevliet ketika menjadi sekretaris pada Semarangsche Handelsvereeniging tahun 1917. (IISG).

Relasi Ideologi

Dukungan Sneevliet terhadap awak kapal De Zeven Provincien memperlihatkan temali solidaritas gerakan kiri yang telah terjalin semenjak dua dekade pertama abad 20. Dengan melihat berbagai hubungan di antara kelasi marinir dan sarekat buruh pelabuhan Surabaya serta corak gerakan, sejarawan Louis de Jong menyatakan pemberontakan awak kapal De Zeven Provincien diprakarsai oleh kelompok komunis.  

Namun, argumen de Jong dibantah oleh J.C.H. Blom yang mengatakan bahwa baik Komintern maupun Partai Komunis Belanda dan Indonesia tak ada yang menggugat pemerintah Belanda dan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas apa yang terjadi pada awak kapal perang itu. Sementara itu, M. Sapija, salah satu pelaku dalam peristiwa itu, dalam bukunya Sedjarah Pemberontakan di Kapal Tudjuh, menulis kalau aksi pemberontakan tidak memperlihatkan kecenderungan pengaruh kelompok komunis.  

Elly Trouwen juga sulit membuktikan motif politik kelompok nasionalis di dalam pemberontakan itu. Semua ini menurutnya bisa dimengerti karena represi pemerintah kolonial terhadap semua gerakan pembebasan Hindia Belanda terlalu kuat untuk membuat orang terbuka memperlihatkan afiliasi politiknya. Terlebih sejak terjadinya peristiwa pemberontakan PKI 1926, banyak gerakan di bawah tanah yang memainkan peran secara hati-hati agar tidak menimbulkan reaksi balik yang merugikan untuk gerakan itu sendiri.  

Namun, dari beberapa peristiwa yang terjadi setelah peristiwa, terlihat jelas bahwa pemberontakan kapal De Zeven Provincien merupakan muara dari seluruh persoalan yang sedang terjadi, mulai krisis ekonomi yang membelit dunia sejak 1930 sampai dengan pengekangan gerakan buruh dan gerakan pembebasan nasional yang sejak lama dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Relasi gerakan yang menentang kolonialisme, baik yang ada di Hindia Belanda maupun di Belanda, menemukan momentum perlawanannya dengan terjadinya peristiwa De Zeven Provincien ini.  

Pendek kata, menurut Elly Trouwen, pemberontakan di kapal De Zeven Provincien dapat dilihat sebagai protes sosial menentang pengurangan gaji yang diilhami gagasan gerakan kemerdekaan nasional, yang dilakukan untuk mengguncang kehidupan orang Eropa di Hindia Belanda yang selama bertahun-tahun menunjukkan superioritasnya.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66bc24c3b02737d4f52b7f00