Gelap Terang Listrik Pedesaan

Program andalan pemerintah Orde Baru ini bukan hanya menerangi desa-desa, tapi juga menyetrum warganya untuk memilih partai berkuasa.

OLEH:
Aryono
.
Gelap Terang Listrik PedesaanGelap Terang Listrik Pedesaan
cover caption
Paul Swanson dan Ray Shoff, staf NRECA, mengamati panel beban listrik di Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 30 September 1981. (PDO-RE & NRECA).

SETIAP senja, Desa Keseneng pada 1970-an seperti tak berpenghuni. Gelap dan sepi. Sebagian penduduk desa menggunakan lampu petromak yang berbahan bakar minyak tanah sebagai sarana penerangan di rumah.

“Itu pun hanya dimiliki segelintir orang seperti perangkat desa. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan senthir (lampu minyak kelapa) untuk penerangan rumah,” ujar Basuki, 55 tahun, kepala dusun Keseneng, kepada Historia.

SETIAP senja, Desa Keseneng pada 1970-an seperti tak berpenghuni. Gelap dan sepi. Sebagian penduduk desa menggunakan lampu petromak yang berbahan bakar minyak tanah sebagai sarana penerangan di rumah.

“Itu pun hanya dimiliki segelintir orang seperti perangkat desa. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan senthir (lampu minyak kelapa) untuk penerangan rumah,” ujar Basuki, 55 tahun, kepala dusun Keseneng, kepada Historia.

Keseneng merupakan satu dari tiga dusun di Desa Keseneng; dua dusun lainnya adalah Tlawah dan Keseseh. Desa ini masuk dalam lingkungan Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kendal. Lokasinya terselip di lembah Gunung Ungaran dan berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

“Listrik baru masuk Keseneng, seingat saya, menjelang Pak Harto lengser,” ujar Basuki, yang telah 24 tahun menjadi kepala dusun. Setelah listrik masuk, perlahan desa ini melepaskan predikatnya sebagai desa tertinggal.

Listrik Masuk Desa menjadi program andalan pemerintah Orde Baru, bahkan bahan kampanye untuk mendulang suara demi kemenangan partai berkuasa. Pemerataan informasi dan peningkatan taraf hidup masyarakat, terutama di pedesaan, menjadi tujuan normatif proyek ini.

Tertarik Filipina

Pada Agustus 1966, pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Tenaga dan Listrik (Gatrik), yang membawahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di bawah kepemimpinan Ahmad Mohammad Hoesni, Gatrik mulai memikirkan program elektrifikasi nasional, termasuk ke wilayah-wilayah pedesaan.

Program listrik pedesaan menjadi tema diskusi hangat dalam dua lokakarya yang dihelat Gatrik pada Agustus 1969 dan Maret 1970. Lokakarya tersebut menghasilkan puluhan rekomendasi untuk pemerintah.

“Ia juga dengan jelas menerangkan program listrik pedesaan sebagai sebuah basis untuk menyediakan pasokan listrik bagi permukiman di bawah tingkat kecamatan yang tidak terkoneksi jaringan listrik PLN,” tulis Anto Mohsin, doktor lulusan Sains dan Teknologi Universitas Cornell, dalam “Wiring the New Order: Indonesian Village Electrification and Patrimonial Technopolitics (1966-1998),” Journal of Social Issues in Southeast Asia Vol. 29 No. 1 tahun 2004.

Namun gagasan tersebut menguap begitu saja begitu Hoesni dan Direktur PLN Amir Hoesein dicopot dari kedudukannya pada 1970. Alasannya, catat Anto Mohsin, terindikasi terpengaruh kekuatan Orde Lama. Fungsi dan wewenang Dirjen Gatrik dipreteli sebelum akhirnya dibubarkan pada 1973 dan kemudian diserahkan kepada PLN.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">USAID menawarkan bantuan menerapkan program listrik pedesaan seperti di Filipina.</div>

Kendati memegang tanggung jawab untuk semua segi perlistrikan di Indonesia, PLN memiliki banyak keterbatasan. Biaya operasionalnya tinggi. Sistem pembangkit dan distribusi listriknya usang. Kapasitas pembangkit listriknya pun masih rendah. Angin segar berembus ketika datang tawaran bantuan dari United States Agency for International Development (USAID) tentang kemungkinan menerapkan program listrik pedesaan seperti yang dilakukan di Filipina.

Di Filipina, dengan bantuan USAID, program listrik pedesaan dimulai dengan pembentukan dua koperasi listrik pedesaan sebagai pilot project di Mindanao Utara dan Pulau Negros, dengan menggunakan model di Amerika Serikat pada 1930-an. National Rural Electric Cooperative Association (NRECA), yang membangun koperasi listrik pedesaan di negara-negara berkembang seperti Amerika Latin dan Asia, menyediakan asistensi pembentukan koperasi tersebut.

“Kendati menemui masalah dan hambatan, program tersebut berhasil mengalirkan listrik ke jutaan rumah. Pada 1970-an terjadi peningkatan pesat, dengan lebih dari seratus koperasi listrik pedesaan terbentuk dan satu juta keluarga pedesaan mendapatkan suplai listrik,” tulis Gerald Foley dan Jose D. Logarta Jr., “Power and Politics in the Phillipines”, termuat dalam The Challenge of Rural Electrification: Strategies for Developing Countries suntingan Douglas F. Barnes.

Tawaran USAID itu mendapat sambutan hangat.

Pelatihan operasional distribusi dan pemeliharaan jaringan listrik di kantor operasi sementara di Bone-Bone, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. (PDO-RE & NRECA).

Tawaran Bantuan

Sejak 1961, United States Agency for Internasional Development (USAID) sudah memperkenalkan program listrik pedesaan. Dengan bantuan USAID, 45 orang dari Internasional mengikuti pelatihan tentang berbagai aspek listrik pedesaan di AS dan lebih dari 30 orang di Filipina. Namun, diskusi intens baru terjadi pada November 1975. Diskusi ini menghasilkan Project Identification Document (PID) yang dimasukkan ke USAID dan sebuah permintaan dari pemerintah Internasional untuk studi prakelayakan.

Studi prakelayakan dilaksanakan tim National Rural Electric Cooperative Association (NRECA), dengan dukungan dari PLN dan Direktorat Jenderal Koperasi. Setelah itu studi kelayakan dilakukan di sejumlah lokasi di Jawa dan luar Jawa yang jadi sasaran proyek. Sementara survei sosial ekonomi dilakukan tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

PLN bergerak cepat. Untuk menangani program ini, PLN membentuk Sub-Direktorat Perlistrikan Desa pada Oktober 1976 yang dipimpin J.J. Rumondor. Bersama Direktorat Jenderal Koperasi, PLN menyelenggarakan seminar tentang listrik pedesaan. Mereka juga mengirim beberapa staf untuk mengikuti pelatihan intensif di Filipina.

Dari bahan-bahan tersebut, pemerintah Indonesia mengajukan secara resmi permintaan bantuan teknis dan keuangan kepada USAID berupa pinjaman sebesar US$42 juta dan hibah US$6 juta. USAID mengabulkannya. Dukungan keuangan kemudian datang dari Kanada melalui Canadian Internasional Development Agency (CIDA) berupa pinjaman lunak sekira US$21 juta dan hibah US$1,8 juta. Sementara pemerintah Kerajaan Belanda memberikan pinjaman sebesar US$5 juta.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Pemerintah Indonesia mengajukan permintaan bantuan teknis dan keuangan kepada USAID.</div>

Pemerintah menyalurkan seluruh bantuan tersebut ke PLN untuk proyek listrik di Jawa dan BRI untuk luar Jawa yang akan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Koperasi.

Di Jawa, program akan dijalankan PLN dengan mengandalkan transmisi PLN di Jawa Tengah. Pada tahap awal, proyek ini akan dijalankan di tujuh lokasi: Pekalongan, Klaten, Bantul, Sragen, Magelang, Wonogiri, dan Banyumas.

Sementara di luar Jawa, Lampung Tengah, Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Luwu (Sulawesi Selatan) dipilih sebagai pilot project. Pelaksananya adalah Koperasi Listrik Pedesaan (KLP), dibentuk dan dikelola staf yang mendapat pelatihan dari NRECA. KLP menangani pekerjaan dari pembangunan pembangkit tenaga listrik hingga penyalurannya ke pelanggan. Maka, terbentuklah KLP Sinar Siwo Mego di Kabupaten Lampung Tengah, KLP Sama Botuna di Kabupaten Luwu, dan KLP Sinar Rinjani di Kabupaten Lombok Timur.

Proyek listrik pedesaan akhirnya masuk dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1978. Di sana disebutkan bahwa pembangunan kelistrikan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan kota serta mendorong dan merangsang perekonomian.

Industri kecil pengrajin mebel menggunakan listrik pedesaan di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, Agustus 1994. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Mengandalkan Koperasi Listrik

Ketersediaan dana memungkinkan pemerintah mulai menjalankan program Listrik Masuk Desa. Sejalan dengan itu, pemerintah merehabilitasi pusat pembangkit tenaga listrik, penambahan daya terpasang, serta perluasan jaringan transmisi maupun distribusi.

Masyarakat menyambut baik kehadiran listrik di desa mereka. Sejak adanya listrik, warga desa tak lagi bergantung pada lampu minyak tanah untuk penerangan di rumah maupun tempat umum. Mereka juga memanfaatkan listrik untuk pendidikan, memperoleh informasi, dan beragam aktivitas.

Pada tahun-tahun pertama, program ini berjalan lambat. Biaya pemasangan sambungan dan instalasi masih dianggap memberatkan. Begitu pula biaya bulanannya. PLN sendiri berupaya mengatasi kendala ini. Antara lain dengan membuat paket listrik menyala, dengan pembayaran model angsuran. Seperti yang terjadi pada instalasi di Desa Sukalilah, Garut, Jawa Barat. Tiap rumah mendapat jatah 450 watt dengan tegangan 220 volt.

“Biaya pemasangan per rumah sebesar Rp84.000. Uang muka Rp14.000 dan sisanya dapat dicicil selama sepuluh bulan,” ujar Soegito BEE, kepala PLN distribusi Garut, dikutip Kompas 23 Juni 1978.

Di sejumlah desa, masyarakat tak bisa menahan keinginan untuk mendapatkan aliran listrik. Menurut Anto Mohsin, keinginan itu terpenuhi dengan adanya bantuan mesin diesel; biasanya diberikan menjelang pemilihan umum. Misalnya, pada 1977, dua desa di Bantul, Yogyakarta, menerima satu set mesin diesel dari Presiden Soeharto agar penduduk desa mencoblos partai berkuasa, Golkar.

Penduduk desa lainnya mengandalkan penerangan dari generator milik perusahaan di sekitarnya. Ada juga yang membeli generator secara gotong royong –umumnya mangkrak karena tak adanya operator terlatih. Pengalaman menarik terjadi di Lubuk Sukon, Aceh. Di sana penduduk memiliki generator secara komunal yang menyuplai listrik ke rumah-rumah.

“Daya listriknya amat terbatas dan listrik hanya tersedia pada malam hari untuk penerangan rumah,” tulis Selo Soemardjan dan Kennon Breazeale dalam Cultural Change in Rural Indonesia: Impact of Village Development. “Layanan ini berhasil dipertahankan selama sepuluh tahun sampai kabel listrik PLN mencapai desa tersebut.”

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Sejak adanya listrik, warga desa tak lagi bergantung pada lampu minyak tanah.</div>

Perlahan namun pasti, program ini mulai menemui sasaran. Jika pada 1978/1979, PLN hanya mampu menyalurkan listrik ke 231 desa dengan 23.900 sambungan, pada 1989 jumlah meningkat menjadi sekira 4,2 juta konsumen di 19.000 desa.

Di luar Jawa, pembentukan tiga KLP telat karena terhalang banyak kendala. Praktis baru pada 1980-an ketiganya baru bisa beroperasi. Itu pun cakupan layanannya belum memenuhi target karena keterbatasan jaringan. Selain itu, pengurus KLP merasa Direktorat Jenderal Koperasi melemahkan wewenang dan otonomi mereka dalam pengambilan keputusan.

Kendati berjalan tersendat, jumlah pelanggan maupun jangkauan pelayanan KLP perlahan meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 1983 mereka mampu melayani 5.804 pelanggan yang tersebar di 46 desa, pada 1987 jumlahnya menjadi 30.007 rumah di 151 desa.

Pada 1987 terbentuk KLP Wira Karya di Kabupaten Lhokseumawe, yang memanfaatkan kelebihan listrik dari Pabrik Pupuk Iskandar Muda dan Pabrik Pupuk ASEAN. Beberapa koperasi unit desa (KUD) juga berperan sebagai distributor dengan memanfaatkan tenaga listrik yang dibangkitkan dan disediakan PLN. Selain itu, terdapat koperasi-koperasi yang bergiat di bidang kelistrikan desa atas dasar swadaya.

“Penerangan di waktu malam untuk desa-desa dan kebangkitan industri kecil di daerah pedesaan pun makin hari makin terasa dengan adanya Listrik Masuk Desa,” ujar Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR 16 Agustus 1982.

Perwakilan warga dari enam desa di Cikijing, Majalengka, Jawa Barat mengadukan oknum panitia ke Komnas HAM karena menetapkan tarif pemasangan listrik tanpa musyawarah. (IPPHOS/Perpusnas RI).


Pendulang Suara

Program listrik pedesaan menjadi salah satu program unggulan pemerintah Orde Baru. Bahkan program ini dipakai untuk kepentingan politik sebagai bahan kampanye pemenangan Golkar dalam pemilihan umum. Caranya, menurut Anto Mohsin, Soeharto biasanya mengirimkan beberapa menteri untuk meresmikan program Listrik Masuk Desa di sebuah desa. Acara peresmian dipakai untuk mengaitkan Golkar dan Orde Baru dengan program tersebut. Cara ini terus dilakukan hingga kekuasaannya runtuh.

“Banyak desa dialiri listrik. Namun penduduk desa bukan hanya mendapatkan listrik di rumah-rumah mereka, mereka juga ‘disetrum’, boleh dikatakan, untuk memberikan suara mereka ke Golkar,” tulis Anto Mohsin.

Hal yang sama terjadi pada Koperasi Listrik Pedesaan (KLP). Sekalipun keputusan tertinggi berada di tangan anggota koperasi, investasi modal yang diperoleh dari iuran anggota sangatlah kecil. Akibatnya keterlibatan pemerintah justru menciptakan ketergantungan, bahkan sering kali dimanfaatkan untuk tujuan politik.

“Selama 1980-an dan awal 1990-an pemerintah melalui partai yang berkuasa menggunakan KLP SR sebagai pengumpul suara,” tulis Catoer Wibowo dalam “Demand-Side Management at Koperasi Listrik Pedesaan Sinar Rinjani, Indonesia”, tesis master di Universitas Flensburg, Jerman, tahun 2004. “Kondisi yang dipengaruhi politik ini membuat KLP SR dalam banyak kasus dalam posisi tidak menguntungkan. Dalam satu kasus KLP SR harus menginstal jaringan listrik untuk vila milik pemerintahan yang berjarak sekira 11 km dari pembangkit listrik terdekat sementara tak ada permukiman penduduk di sepanjang jalan.”

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Penduduk desa juga “disetrum” untuk memberikan suara mereka ke Golkar.</div>

Pemerintahan Soeharto sendiri tak kekurangan dana untuk menjalankan program Listrik Masuk Desa. Pada 1990, misalnya, pemerintah mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia dan dana hibah dari Jepang.

Namun salah satu tujuan program ini untuk melibatkan koperasi pada akhirnya menemui kegagalan. Setelah reformasi, kondisi KLP carut-marut. Mereka menghadapi banyak kendala seperti kenaikan harga listrik, besarnya biaya operasional karena tidak adanya subsidi bahan bakar minyak, hingga mesin pembangkit yang rusak. Bahkan mereka menangguk utang atas pembelian listrik dari PLN. Setelah berlarut-larut, KLP dibubarkan dan para pelanggannya dialihkan ke PLN.

Listrik Masuk Desa masih menjadi program pemerintah selanjutnya, kendati gaungnya kurang terdengar. Pada 2013, misalnya, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, di bawah kepemimpinan Helmy Faishal Zaini, membuat iklan layanan masyarakat tentang Listrik Masuk Desa. Iklan layanan berdurasi 1,5 menit ini mengisahkan seorang anak dari dusun Nangga Paria, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang berkirim surat kepada sang menteri tentang ketiadaan listrik di desanya. Suratnya direspons. Panel-panel surya dipasang di desanya hingga listrik pun menyala.

Toh, kendati program ini sudah dicanangkan hampir setengah abad lalu, masih ada desa-desa yang gelap gulita. Lalu sampai kapan semua desa di Indonesia akan terang benderang?*

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64213482ce09cdc6dd637425