Berkembang pesat karena Revolusi Iran, Syiah di Indonesia justru jauh dari kesan revolusioner. Memilih bergerak dalam pemikiran, penerbitan, dan pendidikan.
Ayatullah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran. (irdc.ir/Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
WAJAHNYA mengguratkan ketakutan. Kakinya gegas melangkah menuju pesawat pribadinya di sebuah bandara di Teheran, Iran. Syah Reza Pahlevi, diktator Iran sejak 1941, hanya ditemani sang istri saat hendak meninggalkan Iran pada 16 Januari 1979. Orang kepercayaannya lebih dulu mencari selamat. Kabur tanpa sepengetahuannya.
Revolusi tak tertahankan lagi. Rezim yang dipimpinnya tumbang. Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual Iran, menggantikannya. Dan dia menyebut peristiwa itu sebagai Revolusi Islam Iran. Perubahan itu segera mengundang sorotan banyak orang. Sebuah revolusi muncul lantaran didorong semangat keagamaan.
Banyak kalangan tak percaya itu bisa terjadi, terutama mereka yang tinggal di Amerika Serikat, negara penyokong rezim Pahlevi. Meski begitu, ketakutan tetap melanda mereka. Iran dinilai akan mengekspor revolusinya ke sejumlah negara muslim.
WAJAHNYA mengguratkan ketakutan. Kakinya gegas melangkah menuju pesawat pribadinya di sebuah bandara di Teheran, Iran. Syah Reza Pahlevi, diktator Iran sejak 1941, hanya ditemani sang istri saat hendak meninggalkan Iran pada 16 Januari 1979. Orang kepercayaannya lebih dulu mencari selamat. Kabur tanpa sepengetahuannya.
Revolusi tak tertahankan lagi. Rezim yang dipimpinnya tumbang. Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual Iran, menggantikannya. Dan dia menyebut peristiwa itu sebagai Revolusi Islam Iran. Perubahan itu segera mengundang sorotan banyak orang. Sebuah revolusi muncul lantaran didorong semangat keagamaan.
Banyak kalangan tak percaya itu bisa terjadi, terutama mereka yang tinggal di Amerika Serikat, negara penyokong rezim Pahlevi. Meski begitu, ketakutan tetap melanda mereka. Iran dinilai akan mengekspor revolusinya ke sejumlah negara muslim.
Di Indonesia, Buya Hamka, ulama Sunni terkemuka, menyebut revolusi itu bisa disepadankan dengan revolusi besar dunia lainnya seperti Revolusi Prancis dan Rusia. Perbedaannya terletak pada spiritualisme dalam Revolusi Iran. “Nilai terpenting revolusi itu adalah kesuksesan Iran melawan sekularisme,” tulis Hamka dalam Panji Masyarakat, 1 Maret 1979.
Pemuda muslim di Indonesia pun menyambut revolusi itu dengan sukacita. Harapan baru mengemuka: Islam bisa menjadi kekuatan di antara hegemoni perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Mazhab Syiah yang melandasi revolusi di Iran pun tak luput dari perhatian. Keberhasilan itu melontarkan tanya kritis kaum muda terhadap mazhab Sunni. Sunni dianggap belum memberikan sesuatu yang nyata di beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim. Pakistan, negara Sunni yang mengklaim negara Islam, justru dibelit konflik primordial tak berujung.
Syah Mohammad Reza Pahlevi dijatuhkan oleh Revolusi Islam Iran. (pahlevi.org/Wikimedia Commons).
Menarik Mahasiswa
Terlontar pula kritik kepada ulama di negara Sunni. “Tak sedikit para ulama di negeri Sunni justru dianggap ikut andil melegitimasi pemerintahan yang tak demokratis dan otoriter lewat fatwanya,” tulis Hamdan Basyar dan Rahman Zainuddin dalam Syiah dan Politik di Indonesia. Sementara Syiah dipandang kaum muda mampu memberikan tawaran berbeda: sebuah revolusi, keadilan melawan ketidakadilan dan kezaliman. Tergerak elan revolusioner itu, pemuda muslim di Indonesia pun mempelajari Syiah secara bertahap.
“Mereka tak lantas mempelajari Syiah sebagai mazhab fikih (hukum agama), melainkan bersentuhan dulu dengan pemikiran para tokoh Syiah seperti Ali Syariati dan Murtada Muthahhari,” ujar Jalaluddin Rakhmat, intelektual Syiah terkemuka di Indonesia. Mengudar pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustadh’afin), gagasan mereka cepat melesap ke benak para pemuda.
Kebanyakan peminat gagasan itu berasal dari kalangan kampus negeri di Jakarta, Bandung, dan Makassar. Mereka merengkuh gagasan-gagasan itu melalui buku-buku terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris. Terbitnya buku-buku ini sejalan dengan bersitumbuhnya gairah masyarakat kampus negeri terhadap Islam. Memasuki 1980-an, masjid-masjid kampus semarak dengan dakwah Islam. Berawal dari Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB), gairah itu merembet ke Masjid Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI).
Haidar Bagir, mahasiswa Teknik Industri ITB, menjadi salah satu aktivis terkemuka Masjid Salman kala itu. “Bergabung dalam jurnal mahasiswa Pustaka, minatnya terhadap bacaan Syiah sangat besar. Dia pun memiliki rasa kagum pada Khomeini. Hingga akhirnya dia memilih Syiah sebagai mazhabnya,” tulis Zulkifli, doktor jebolan Universitas Leiden dalam tesisnya “The Struggle of the Shi’is in Indonesia”.
Sehingga ada seorang tokoh Sunni bilang, 'kalian ini disuruh belajar revolusi, malah bawa Syiah ke sini'.
Terdorong keinginan memperkenalkan mazhab Syiah, Haidar lalu mendirikan Mizan, penerbit buku-buku Islam, pada 1983. Belum lama berdiri, Mizan menerbitkan buku Dialog Sunni-Syi’ah pada 1984. Karya ini diterbitkan lantaran Haidar melihat belum ada pemahaman yang berimbang mengenai Syiah serta kerap kali tuduhan dan caci maki kepada mazhab Syiah lebih kuat ketimbang studi terhadapnya.
Pada saat bersamaan, di Jakarta, seorang mahasiswa asal Makassar, Agus Abubakar al-Habsyi, begitu giat mengenalkan Syiah di Masjid Arif Rahman Hakim UI. Dia sudah mengenal mazhab Syiah sebelum Revolusi Iran meletus. Meski persentuhan pertamanya dengan Syiah terjadi di Makassar, dia baru serius belajar Syiah di Jakarta.
Sembari belajar, anak muda keturunan Hadramaut ini juga aktif berdebat dengan sejumlah tokoh Sunni di masjid itu. Salah satunya dengan H.M. Rasjidi, menteri agama pertama Indonesia. Reputasinya sebagai penganut Syiah pun tersebar. “Sebagai konsekuensinya, dia dilarang ikut pertemuan di masjid. Posisinya dalam organisasi mahasiswa pun dicopot,” tulis Zulkifli.
Berbeda dari mereka, sejumlah pemuda muslim dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) berkesempatan langsung mempelajari Syiah di Iran. “Saat itu musim revolusi. Mereka masuk ke Iran melalui India. Diselundupkan. Beberapa juga ada yang berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),” kata Jalal.
Awalnya, tujuan mereka bukan untuk belajar Syiah, melainkan mencari tahu bagaimana orang Syiah mampu meletupkan revolusi. Setibanya di Iran, mereka justru terkesan dengan cara hidup ulama di sana, dan malah meninggalkan mazhab Sunni mereka. Sekembalinya ke Indonesia pada 1984, praktik keberagamaan mereka pun berubah. “Sehingga ada seorang tokoh Sunni bilang, ‘kalian ini disuruh belajar revolusi, malah bawa Syiah ke sini’,” tutur Jalal seraya tertawa.
Jalaluddin Rakhmat berjabat tangan dengan Ayatullah Sayid Ali Khamenei. (fa.abna24.com).
Tidak Revolusioner
Saat Pancasila diberlakukan sebagai azas tunggal untuk semua organisasi masyarakat dan partai politik pada 1984, kalangan Islam menganggap Orde Baru berusaha mengecilkan peran Islam dalam politik. Depolititasi Islam ini menuai kritik. Sebagian anggota HMI menolak penerapan azas tunggal. Namun, organisasi itu akhirnya memutuskan untuk menerima azas tunggal. Tak terima keputusan itu, sebagian anggota lalu mendirikan HMI tandingan yang disebut HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Beberapa motor penggeraknya diketahui tertarik dengan Syiah.
Pada tahun itu pula, Jalal, kala itu dosen di Universitas Padjadjaran (Unpad), beroleh kesempatan menghadiri Konferensi Islam di Colombo. Bersama Haidar Bagir dan Endang Saefudin Anshary, tokoh Persatuan Islam (Persis), dia bertemu dengan ulama Syiah. Ulama itu memberinya buku. Padahal, sebelumnya, dia sudah mendapat peringatan dari M. Natsir, pendiri DDII, agar jangan menerima buku apapun dari ulama Syiah. Sejak itu, dia tertarik Syiah dan mempelajarinya secara intensif.
Menyadari mazhab Syiah berkembang cukup pesat setelah Revolusi Iran, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai organisasi pemerintah, tak tinggal diam. Pada Maret 1984, MUI mengeluarkan rekomendasi terkait Syiah. Salah satu poin yang ditekankan adalah perbedaan pemahaman terhadap imamah (pemerintahan) antara Sunni dan Syiah. Syiah memandang perlunya menegakkan kepemimpinan di bawah Imam dan inilah yang dikhawatirkan MUI. Meski begitu, rekomendasi ini bukanlah fatwa sehingga tak ada seorang pun yang bisa melarang penyebaran mazhab Syiah.
Untuk menghilangkan kesan politis, banyak penganut Syiah bergerak di jalur pendidikan. Pada 1988, misalnya, Jalal bersama teman-temannya dari Unpad dan ITB mendirikan sekolah di Bandung, tanpa memberi label organisasi atau sekolah Syiah. Menurut Jalal, sekolah ini sebermula terbuka bagi orang di luar mazhab Syiah. “Keberhasilan Jalal mendirikan sekolah ini tak lepas dari hubungan baik Jalal dengan Husein al-Habsyi, ulama Syiah Indonesia,” tulis Zulkifli.
Setahun setelah sekolah itu berdiri, sekelompok mahasiswa Syiah di Universitas Indonesia membentuk kelompok belajar Abu Dzar. Pencetusnya berasal dari Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika. Agus Abubakar menjadi salah satu mentor di kelompok studi ini. Saban bulan mereka menggelar diskusi, kursus filsafat, dan kegiatan keagamaan lainnya. Harapan mereka tak lain untuk menghadirkan citra positif Syiah di kalangan kampus. Jauh dari kesan revolusioner, tapi lekat dengan tradisi keilmuan.
Syiah di sini hanya sebatas pemikiran. Lihat saja alumni Iran, termasuk dari HMI, yang pulang ke sini. Loyo semua.
Meski penganut Syiah mendirikan lembaga pendidikan, kecurigaan khalayak terhadap Syiah tak reda. Menjelang pecahnya reformasi, sebuah seminar tentang Syiah dihelat di Masjid Istiqlal pada 24 September 1997. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi salah satu penggagas seminar itu.
Keterlibatan ini tak lepas dari konflik dua kelompok di tubuh ABRI sejak 1990-an, yang dikenal dengan ABRI hijau dan ABRI merah-putih. Muaranya pada rebutan kursi wakil presiden. ABRI hijau, dimotori Faisal Tanjung, panglima ABRI, dekat dengan kelompok Islam. Sedangkan
ABRI merah-putih digawangi R. Hartono, mantan Kepala Staf Angkatan Darat, lebih bervisi nasionalisme. Tapi menjelang dan sesudah seminar itu, R. Hartono mendukung kelompok Sunni untuk mewaspadai Syiah. Hasil seminar itu terangkum dalam sebuah buku berjudul Mengapa Menolak Syi’ah? Dalam satu artikelnya, K.H. Thohir Abdullah al-Kaff, pemimpin pondok pesantren al-Bayyinat, mengkhawatirkan pecahnya konflik Sunni-Syiah di Indonesia seperti di Pakistan dan Bahrain. “Melihat perkembangan Syiah yang cukup pesat, dua wajah yang bertentangan (Sunni-Syiah) dapat mengancam stabilitas keamanan,” tulis Al-Kaff.
Sementara itu, Faisal Tanjung, seperti dikutip al-Kaff, mengatakan, “Sukar dibayangkan stabilitas nasional akan terwujud jika stabilitas internal umat Islam tidak terjadi.” R. Hartono tak mau kalah merengkuh simpati kaum Sunni. Dia menyatakan Sunni lebih cocok dan pas untuk bangsa Indonesia. Ulama pun diminta waspada. “Tugas para ulama untuk menyelamatkan generasi muda dari paham yang meresahkan itu,” kata R. Hartono.
Setahun kemudian, reformasi pecah. Rezim diktator tumbang oleh gerakan mahasiswa dan intelektual. Tapi gerakan Syiah tak memainkan peran signifikan dalam peristiwa itu. Jalal mengakui bahwa Syiah yang berkembang di Indonesia berbeda dari Syiah di Iran. “Syiah di sini hanya sebatas pemikiran. Lihat saja alumni Iran, termasuk dari HMI, yang pulang ke sini. Loyo semua,” seloroh Jalal.
Kekhawatiran banyak orang bahwa Iran akan mengekspor revolusinya ke sejumlah negara muslim tak terbukti. Berada di bawah rezim tiran sekalipun, Syiah di Indonesia tak melancarkan revolusi. Mereka lebih memilih bergerak di jalur penerbitan dan pendidikan.
Di bawah Orde Baru, penganut Syiah lebih aman dari ancaman fisik. “Tak pernah ada serangan fisik pada orang Syiah. Mungkin karena kala itu isu SARA (suku, agama, ras, dan budaya) sangat sensitif,” terka Jalal.
Justru saat mereka mempunyai ormas berbadan hukum, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), dan setelah reformasi bergulir, mereka mulai menerima serangan fisik.*