Pertunjukan wayang topeng di Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumber Pucung, Kabupaten Malang, yang ditanggap untuk nazar atas kesuksesan menjadi pegawai negeri. Tampak adegan Gunung Sari dan Patrajaya. (Koleksi Robby Hidayat).
Aa
Aa
Aa
Aa
RUMAH joglo itu berdiri kokoh. Di depan dan belakangnya, rindang pohon besar menciptakan suasana teduh dan tenang. Suasana rumah itu sendiri tak pernah sepi. Beberapa anak muda belajar menabuh gamelan, berlatih menari, atau melantunkan macapat.
Ki Mohammad Soleh Adi Pramono (64 tahun) menjadikan rumahnya sebagai kantong budaya demi melestarikan kesenian Malang. Demi tujuan itu, dia mendirikan Padepokan Seni Mangun Darmo pada 26 Agustus 1989 di Dusun Kemulan, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Malang.
Dua pemuda menabuh bonang dengan ritme cepat di dalam ruangan, tepat di depan pendopo seluas sekira 40 meter persegi. Ruangan itu penuh gamelan. Memasuki rumah utama, topeng-topeng khas Malang dengan beragam karakter terpajang apik di dinding ruang tamu.
RUMAH joglo itu berdiri kokoh. Di depan dan belakangnya, rindang pohon besar menciptakan suasana teduh dan tenang. Suasana rumah itu sendiri tak pernah sepi. Beberapa anak muda belajar menabuh gamelan, berlatih menari, atau melantunkan macapat.
Ki Mohammad Soleh Adi Pramono (64 tahun) menjadikan rumahnya sebagai kantong budaya demi melestarikan kesenian Malang. Demi tujuan itu, dia mendirikan Padepokan Seni Mangun Darmo pada 26 Agustus 1989 di Dusun Kemulan, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Malang.
Dua pemuda menabuh bonang dengan ritme cepat di dalam ruangan, tepat di depan pendopo seluas sekira 40 meter persegi. Ruangan itu penuh gamelan. Memasuki rumah utama, topeng-topeng khas Malang dengan beragam karakter terpajang apik di dinding ruang tamu.
“Selain tari topeng, di sini juga bisa belajar menabuh gamelan, berlatih macapat,” ujar Soleh. Soleh, yang piawai membawakan tari Klono, juga memberikan pelatihan seni lain macam tari Srimpi Limo, Jaran Kepang, Beskalan, bagi siapa saja yang mau mempelajarinya.
Soleh lahir dari trah seniman. Ayahnya, Sapari, adalah ahli macapat Malang. Kakeknya, Tirtonoto, adalah penari topeng yang sohor. Dan buyutnya, Kek Rusman, adalah dalang topeng masyhur wilayah Tengger sampai Tumpang.
“Padepokan ini berdiri dalam rangka uri-uri topengnya kakek, uri-uri wayang kulitnya pakde, dan uri-uri macapatnya bapak,” ujar Soleh.
Di rumahnya, Soleh sibuk mempersiapkan ulang tahun padepokan ke-26. Untuk itu, dia telah menyelesaikan belasan topeng gaya Malang yang terbungkus plastik dan tertata rapi di meja kerjanya. Di meja kerjanya yang lain, tiga miniatur topeng berukuran lebih kecil selesai dicukil, tinggal proses menghaluskan cukilan dan pewarnaan.
Ki Mohammad Soleh Adi Pramono. (Aryono/Historia.ID).
Inspirasi dari Panji
Wayang topeng Malang atau disebut topeng Malang adalah dramatari dengan penari mengenakan topeng sementara dalang mengisahkan cerita dan dialog. Padepokan Seni Mangun Darmo bukan satu-satunya yang mencoba melestarikannya di tengah gempuran budaya populer.
Menurut Soleh, topeng sudah menjadi bagian dari kehidupan budaya manusia. Mulanya manusia menggunakan topeng saat berburu hewan. Pemburu yang dapat membunuh hewannya kemudian membuat topeng sesuai hewan buruan tersebut.
“Dari topeng binatang, penggunaan topeng pun berkembang. Pada abad ke-8, di Kerajaan Kanjuruhan, Prabu Gajayana membuat awathara topeng untuk menghormat arwah leluhur. Jika ada orang mati, dibuatkan topeng yang disesuaikan dengan derajat kastanya, seperti emas, perunggu, batu, dan kayu,” ujar Soleh. Kanjuruhan adalah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat kota Malang sekarang.
Berawal dari upacara pemujaan arwah yang bersifat magis-religius, topeng berkembang menjadi kesenian rakyat. Pada masa Wisnuwardhana di Singasari, topeng digunakan pada dramatari wayang wang dengan menampilkan cerita Ramayana dan Mahabharata. Perubahan terjadi ketika masa Kertanegara, raja Singasari terakhir. Demi mengingat kembali leluhurnya di Kerajaan Jenggala, Kediri, dan Singasari, terciptalah kisah Panji.
Kisah Panji adalah kumpulan cerita yang berpusat pada kisah cinta Raden Inu Kertapati (atau Panji Asmarabangun) dari Kerajaan Jenggala dengan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana) dari Kerajaan Panjalu. Kedua kerajaan itu mulanya satu kerajaan besar bernama Panjalu (Kediri) yang dipimpin Airlangga sebelum dibagi menjadi dua. Dua kekasih itu terpisah, kemudian saling mencari sambil berkelana dan mengalami banyak halangan. Akhirnya, mereka menyatu kembali. Kisah Panji kemudian muncul dalam beragam versi dan menyebar di beberapa tempat di Nusantara, yang dikategorikan sebagai “Lingkup-Panji”.
Penari topeng Bapang. (The Wayang Topeng World of Malang).
Baik tari topeng maupun kisah Panji berkembang pesat di masa Majapahit dan penyebaran Islam. “Hayam Wuruk kala itu membuat pertunjukan raket. Raja sendiri mampu menari, melawak, memainkan wayang, menjadi wayang wanita,” ujar Soleh, mantan suami Karen Elizabeth Schrieber, sinden bule dari Amerika Serikat. “Pada era sebelumnya Raden Wijaya mencipta boneka dengan topeng emas yang disebut sanghyang puspa sarira.”
Menurut Robby Hidajat, dosen Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik Universitas Negeri Malang, Hayam Wuruk sering mempertunjukkan raket di keraton sebagai bagian dari upayanya membangun citra. “Dia memiliki kebanggaan tersendiri jika bisa mementaskan cerita Panji yang berasal dari era nenek moyangnya zaman Kerajaan Kediri,” ujar Robby, yang juga penulis buku Wayang Topeng Malang.
Tak heran jika cerita Panji banyak terpahat sebagai relief di beberapa candi era Majapahit seperti Candi Mirigambar di Kabupaten Tulungagung, Candi Yudha di lereng Gunung Penanggungan, dan terutama Candi Penataran di Blitar.
Masuknya Islam tak menghentikan laju perkembangan tari topeng. Justru kesenian ini berkembang pesat. Sunan Kalijaga, misalnya, membuat sembilan topeng yang dipakai dalam sebuah pertunjukan wayang topeng pada sekira abad ke-16. Sembilan karakter tersebut, menurut Soedarsono dalam Wayang Wong, mewakili tokoh-tokoh seperti Panji Kesatriyan, Candrasih, Gunungsari, Andogo, Raton (Raja), Klana, Danawa (raksasa), Renco (sekarang Témbém) atau Dhoyok, dan Turas (sekarang Pénthul atau Bancak). Dalam pembuatannya, Kalijaga berkiblat pada wayang gedhog yang berintikan cerita Panji.
Menurut Musthofa Kamal, dosen Jurusan Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Malang, sepeninggal Sunan Kalijaga, tari topeng seolah tenggelam. Surya Atmojo, yang dulunya abdi dalem keraton Majapahit, mengungsi ke daerah Malang sambil membawa topeng dan keterampilan menarinya. Dia mengabdi kepada bupati Malang sebagai mantri agung atau asisten bupati.
“Bupati tertarik dengan keahlian Surya Atmojo sebagai penari topeng, yang pada akhirnya menetapkan tari topeng sebagai tarian khas Malang,” tulis Musthofa Kamal dalam “Wayang Topeng Malang: Sebuah Kajian Historis Sosiologis”, dimuat jurnal Resital Vol. 8 No. 1, Juni 2010.
Rombongan pemain topeng pada pasar malam di Surabaya, 1905. (KITLV).
Masa Kejayaan
Bentuk kesenian topeng dikenal luas di Jawa, kendati beberapa daerah memiliki gaya topeng, kostum, dan bentuk tarian masing-masing. Di Malang, karakter tokoh wayang diwujudkan dalam bentuk topeng berukir. Karakter yang digambarkan adalah tokoh Klana Sewandana, Panji Asmarabangun, Gunungsari, Bapang, Ragil Kuning, Sekartaji, prajurit Jawa, dan Sabrang.
“Karakter-karakter topeng, menurut Mbah Karimoen, maestro topeng Malang dari dusun Kedungmonggo, ada 97. Tapi itu kan baru kisah Janggala-Kediri, belum cerita dari Singasari, Urawan, dan Kediri,” ujar Soleh sembari menerangkan beberapa karakter topeng yang dia miliki.
Mbah Karimoen dikenal sebagai pengukir topeng pada 1970-an. Dia juga mendirikan Padepokan Seni Topeng Asmorobangun tahun 1982 di Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Malang. Tujuannya melestarikan topeng Malang Kedungmonggo.
Setelah mengalami pasang-surut pada masa kerajaan kuno, kesenian wayang topeng diperkirakan muncul kembali pada akhir abad ke-19. Kesenian ini mengalami masa kejayaan pada 1930-an. Berdasarkan keterangan dari Bupati Malang Adipati Ario Suryodiningrat, Theodore Gautier Thomas Pigeaud dalam Javaanse Volksvertoningen (Pertunjukan Rakyat di Jawa) terbit 1938, mencatat keberadaan 21 set topeng yang masing-masing berisi 40–60 topeng. Kesenian wayang topeng tersebar di berbagai desa di Malang. Pemain-pemain topeng yang terkenal terutama berasal dari Desa Pucangsongo di Kecamatan Tumpang.
Cikal-bakal wayang topeng di Pucangsongo kerap dikaitkan dengan bencana banjir yang melanda desa itu dan penduduk desa bernama Ruminten. Ini berdasarkan penuturan Tirtonoto kepada Soleh, yang tak lain adalah cucunya.
Konon, pada abad ke-20, ketika terjadi banjir Sungai Amprong yang bermata air di pegunungan Tengger, Pak Ruminten pergi menengok sawahnya yang terendam banjir. Melihat dugel, potongan batang pohon, yang sempat hanyut, dia mengambilnya dengan harapan bisa dipakai untuk diang, perapian. Setelah dikeringkan dan dibakar, ternyata kayu tersebut tak termakan api. Timbul niatnya untuk menjadikannya topeng. “Dari potongan kayu yang kurang lebih 50 cm itu dibelah dan dipotong menjadi 4 bagian, masing-masing dijadikan tokoh Klana, Gunung sari, Panji Asmorobangun, dan Patrajaya,” ujar Soleh dikutip Musthofa.
Ruminten adalah kemenakan Reni, pengukir topeng dari dusun Polowijen, sebelah selatan kota Malang. Menurut sejarawan Onghokham, pada 1930-an Reni adalah seorang petani kaya di Polowijen, yang kala itu dikenal sebagai pusat topeng Malang. Dia adalah pembuat topeng terbesar gaya Malang dan memimpin salah satu rombongan wayang topeng terbaik pada masanya. “Di dunia wayang topeng Malang masa kini, desa Polowijen terkenal sebagai desa Reni,” tulis Onghokham dalam “The Wayang Topeng World of Malang”, termuat di jurnal Indonesia No. 14, Oktober 1972.
Baris atas dari kanan: Kelono, Raksasa, Panji. Baris tengah dari kanan: Panji, Punakawan, Panji Anom. Baris bawah dari kanan: Ragil Kuning, Gunung Sari, Ragil Kuning. (The Wayang Topeng World of Malang).
Pada masa Reni, lanjut Onghokham, wayang topeng mencapai masa kejayaan. Ini tak lepas dari sokongan dari bupati Malang, yang menyediakan bahan-bahan (lempengan emas tipis, cat, dan kayu) dan membantu menetapkan standar artistik. Tak heran jika topeng buatan Reni memiliki proporsi, warna, dan bentuk yang sempurna. Karya topengnya menjadi koleksi museum dan diminati para bangsawan. “Di Malang, topeng Reni dianggap sebagai standar klasik,” tulis Onghokham.
Rupanya, masa tahun 1930-an adalah bulan madu pegiat kesenian topeng Malang. Antarkelompok saling berhubungan. Mereka saling meminjam alat baik gamelan maupun topeng. Cara ini terus langgeng dan membuat kesenian ini tetap eksis. Perkumpulan wayang topeng berkembang di Malang selatan (Senggereng, Jenggala, Wijiamba, dan Turen) maupun Malang bagian timur.
Kendati jumlahnya terbatas, pengukir topeng juga masih eksis. Karya mereka biasanya dipesan perkumpulan yang tak punya pengukir topeng. Selain Reni, seniman yang punya kemampuan mengukir topeng antara lain Yai Nata di dusun Slelir dan Wiji di Desa Kopral Sumberpucung. Pada 1950-an muncul pengukir topeng bernama Kangsen dari dusun Jabung. Beberapa seniman juga memberi perhatian pada perkembangan kesenian ini. Pada 1940-an, Samut, salah satu tokoh legendaris pemeran Gunungsari, bersama dalang Tirtonoto rajin membina perkumpulan wayang topeng di Malang bagian timur.
Pamor topeng Malang meredup setelah desa mulai terintegrasi dengan kehidupan urban banyak orang lebih memilih bekerja di kota. Orang juga kehilangan minat pada wayang topeng dan lebih memilih ludruk, wayang orang, dan bioskop. Onghokham menulis terakhir kali wayang topeng dipertunjukkan di Malang tahun 1956 atau 1957 di masa Bupati Malang R. Djapan yang punya minat pada kesenian lokal.
Di Polowijen, satu-satunya yang terlibat dalam bisnis wayang topeng adalah Kastawi, keturunan Reni. Dia juga dikenal sebagai pengukir topeng dan memiliki rombongan wayang. Karena wayang topeng meredup, dia melirik bisnis furnitur, sementara kegiatan lama hanya jadi sambilan. Selain situasi yang berubah, Kastawi juga tak bisa bersaing dengan kelompok Jabung, yang juga kerabatnya, dengan gamelan perunggunya yang terkenal.
“Kastawi mungkin akan menjadi orang terakhir di Polowijen yang mengukir topeng dan dengan beberapa cara melanjutkan tradisi topeng dari masa lalu. Dia tak punya murid atau asisten yang bisa menggantikannya sebagaimana Reni dulu,” tulis Onghokham.
Keruntuhan topeng di Polowijen bukanlah akhir dari topeng Malang. Pusat wayang topeng bergeser ke Jabung. Di sana ada Kangsen, pemimpin produksi, yang seringkali juga seorang dalang, serta pemilik kostum, set topeng, dan gamelan. Ayahnya berasal dari Desa Polowijen dan saudara dari Reni. Selain Jabung, pembuat topeng juga masih ada di daerah seperti Senggreng, Kepanjen, Sumberpucung, dan Ngliyep.
Para pengukir topeng tak sembarangan menebang pohon untuk dibuat topeng. “Untuk membuat topeng, kami mengenal budaya uker. Sebuah pohon ditancapkan pantek atau penanda lalu di bawahnya diberi sesaji. Keesokan harinya, jika pantek itu jatuh, maka pohon belum bisa dipotong dan kayunya dibuat topeng,” terang Soleh.
Aspek mistik dan magis memang selalu terkait kesenian Jawa. Seperti dicatat Onghokham, dalang seringnya dianggap sebagai dukun, topeng dan penari juga dihormati, gamelan terkenal dihargai sebagai pusaka. Namun, pertumbuhan kekuatan Islam di Jawa kemudian berpengaruh pada dunia wayang topeng Malang. Misalnya, perempuan tak boleh menonton pertunjukan topeng karena bisa menyebabkan perilaku tak bermoral di antara penonton. “Pengaruh paling baru pada wayang topeng, bagaimanapun, berasal dari komersialismenya. Akibatnya adalah sekularisasi seni,” tulis Onghokham.
Pemain topeng dari Jabung, Tumpang yang memerankan Gunung Sari. (The Wayang Topeng World of Malang).
Berdiri di Dua Kaki
Robby Hidajat selama meneliti topeng Malang memiliki pengalaman ketika bertanya kepada narasumber seputar kegiatan perkumpulan tari topeng tahun 1960-an. “Jika ditanya sebelum 65, para narasumber langsung ingat bahwa saat itu banyak sekali tanggapan. Namun, jika pertanyaan bergeser ke periode 1965, mereka langsung banyak diamnya,” ujar Robby yang juga seorang penari.
Pada 1960-an, kesenian tari topeng Malang kerap dipesan masyarakat untuk meramaikan acara, baik bersifat pribadi seperti pernikahan maupun acara komunal seperti bersih desa. Toh, keadaan ini tak membuat pamor topeng Malang kembali ke masa kejayaannya. Pegiat kesenian wayang topeng pun dihadapkan pada kondisi sulit. Kusnan Ngaisah, misalnya, memilih berhenti menjadi penari topeng, pengukir topeng sekaligus pemimpin wayang di desanya, Bakalan Krajan. Selain tanggapan berkurang, membina pemain baru juga sulit karena para pemuda memilih jadi pekerja kasar di kota.
“Perhatian masyarakat terhadap wayang topeng semakin berkurang, salah satu penyebabnya adalah tidak ada lagi orang yang memperkuat pembiayaan organisasi,” tulis Musthofa.
Situasi kian suram sejak peristiwa 1965. Semua organisasi kesenian, tak terkecuali tari topeng Malang, tiarap. Meski tak ditemukan seniman topeng Malang yang menjadi aktivis PKI, tetapi saat itu segala hal yang berbau kesenian rakyat bisa dicap komunis. Jadi, jika ada seniman yang memiliki gamelan, lalu sering manggung, sudah pasti akan dicap komunis.
“Daripada dituding begitu, mereka memilih tidak aktif,” ujar Robby. “Pasca-1965, di daerah Banjarsari, ada sekotak topeng dikubur beserta kostum pemainnya. Bahkan, memiliki gongseng atau gelang krincing saja takutnya bukan kepalang.”
Jenis-jenis topeng Malang. (Koleksi Padepokan Seni Mangun Darma-Sulastiman).
Memasuki 1970-an, seni topeng kembali merangkak. Satu dekade kemudian, beberapa seniman topeng tergerak untuk melestarikan kesenian lokal ini. Mereka mendirikan padepokan untuk pendidikan tari seperti yang dilakukan Karimoen di Kecamatan Pakisaji dan Soleh di Tumpang. Keberadaan mereka melengkapi beberapa perkumpulan wayang topeng yang masih bertahan. Jumlahnya kian menyusut, terutama karena kendala regenerasi.
Kini, para pegiat seni di Malang berkeinginan membuat tari topeng Malang menjadi ikon budaya lokal. Meski positif, tetapi ada beberapa kendala. Robby menjelaskan kesenian topeng harus memiliki “kaki hiburan” dan “kaki politik”.
“Kaki politik dimaksudkan ia memiliki dukungan kuat di pemerintahan. Jika pun ada, misalnya salah satu perkumpulan punya hubungan khusus dengan pemerintah daerah, ya otomatis tanggapan akan banyak menuju dia. Ini nanti akan timbul persoalan dengan grup lain,” ujar Robby.
Jika ditilik dari “kaki hiburan”, tari topeng sudah memilikinya. Sekarang tari topeng tak harus melewati berbagai ritual khusus. Lama pementasan juga bisa dipadatkan.
Mulanya, pertunjukan bisa memakan waktu hingga enam jam yang dibagi dalam beberapa adegan tari. Pementasan dimulai dengan lantunan gending giro atau lagu pembukaan dan masuk tari pembuka –khusus versi Malang bagian barat dan selatan, ujar Robby, berupa penari bertopeng warna merah dan putih yang disebut patih atau bangtih. Adegan ini menjadi penanda bagi penonton untuk bersiap, mencari tempat duduk yang nyaman untuk menyaksikan pertunjukan.
Setelah tari patih, masuk ke adegan pembuka (jejer). Di Malang timur pakai jejer Jawa, biasanya Kediri. Namun, jika Malang barat dan selatan, memakai latar sabrang, daerah seberang. Kemudian disusul adegan perang sebentar atau perang gagal.
Jenis-jenis topeng Malang. (Padepokan Seni Mangun Darma-Sulastiman).
Menginjak pukul 12 malam, ada adegan selingan. Tokoh Bapang atau Gunungsari (putra Lembu Amijaya, raja Kediri) tampil. Pada adegan ini, terjadi interaksi berupa permintaan tarian dari penonton.
“Misalnya penonton bisa minta gerak Satrio Jolo, Lanjar Luru Kemiri, lalu Wader Pari Nyusung Beji. Jika pentas di acara pernikahan, ada larangan permintaan gerak Temanten Purik karena dipercaya usai pertunjukan kedua pengantin akan purik, bertengkar,” ujar Robby. Permintaan tari dari penonton kini sudah jarang, karena jarang pula penonton yang paham gerak dalam tari topeng Malang.
Setelah selingan, masuk adegan jejer kedua. Pasukan Sabrang yang dipimpin tokoh Klono akan datang melamar ke Kediri, tetapi lamarannya ditolak sehingga terjadilah perang brubuh. Sabrang atau Klono kalah dan mundur. Meski Klono kalah, ia tidak dibunuh.
“Nah, ini berbeda dari kisah Mahabharata dan Ramayana yang ramai dengan saling membunuh. Sebagian peneliti menafsir ada unsur Buddhis; yang jahat itu tidak dibunuh, namun ditekan saja. Ada juga yang bilang, ini karena dulunya topeng ini sebagai wahana penyatuan agama Hindu-Buddha pada era Singasari, mencipta perdamaian di antara keduanya,” ujar Robby.
Setelah Klono kalah, maka masuk jejer akhir, penutup. Biasanya Panji Asmorobangun dan Sekartaji bertemu.
Kini, pementasan yang berdurasi 6 jam bisa dipadatkan menjadi 1 jam. Adegan tari Bapang, misalnya, dulu bisa memakan waktu hingga 1 jam, tetapi kini bisa dibuat 3–5 menit.
“Tari topeng bergerak luwes. Jika untuk kepentingan pendidikan atau tontonan bisa dimainkan intinya saja. Namun, jika untuk kegiatan ritual, pasti semua tahapan akan dilalui,” ujar Soleh.
Para seniman tari topeng Malang, setidaknya dari cerita Soleh, tak merasa khawatir akan punah; meski kesenian ini sudah tak bisa lagi dijadikan penyangga kebutuhan hidup yang utama.*