Gelora dari Purwakarta

Usai ditinggalkan Divisi Siliwangi, perjuangan bersenjata di Jawa Barat dilanjutkan Satoean Pemberontak 88.

OLEH:
Hendi Jo
.
Gelora dari PurwakartaGelora dari Purwakarta
cover caption
Kereta api Belanda kena sabotase Satoean Pemberontak 88. (gahetna.nl).

SENJA hampir tenggelam. Kompi Satoean Pemberontak 88 (SP 88) pimpinan Saridil bergerak cepat. Mereka melepaskan sekrup-sekrup rel kereta api di dekat Pasirembe, Purwakarta. Sejurus kemudian mereka menyingkir ke arah perbukitan.  

Sekitar pukul 18.00, dari arah Bandung, datanglah kereta api ekspres Bandung-Jakarta yang dikawal militer Belanda. Ketika melintasi jalur tersebut, kereta langsung anjlok dan terguling.  

Di atas bukit, para anggota SP 88 menghajar tanpa ampun gerbong kereta api itu dengan berbagai jenis senjata api. Darah mengucur dari selasela gerbong. Para pengawal kereta api yang selamat keluar dan memberikan perlawanan. Pertempuran tak terelakkan.  

“Korban banyak berjatuhan di pihak Belanda, sedangkan di pihak SP 88 seorang pejuang bernama Darya gugur seketika” tulis Affandi Bratakoesoemah dalam Sejarah Gerilya SP 88. Aksi SP 88 pada 29 September 1948 itu bikin geram militer Belanda. Namun aksi ini bukanlah yang pertama dan terakhir. Mereka melancarkan aksi serupa di Ciganea, Cibungur, dan Cikampek. Puncaknya, pada 22 Oktober 1948, SP 88 kembali melakukan aksi di Bendul, utara kota Purwakarta, yang menewaskan beberapa penumpang dan melukai puluhan lainnya.

SENJA hampir tenggelam. Kompi Satoean Pemberontak 88 (SP 88) pimpinan Saridil bergerak cepat. Mereka melepaskan sekrup-sekrup rel kereta api di dekat Pasirembe, Purwakarta. Sejurus kemudian mereka menyingkir ke arah perbukitan.  

Sekitar pukul 18.00, dari arah Bandung, datanglah kereta api ekspres Bandung-Jakarta yang dikawal militer Belanda. Ketika melintasi jalur tersebut, kereta langsung anjlok dan terguling.  

Di atas bukit, para anggota SP 88 menghajar tanpa ampun gerbong kereta api itu dengan berbagai jenis senjata api. Darah mengucur dari selasela gerbong. Para pengawal kereta api yang selamat keluar dan memberikan perlawanan. Pertempuran tak terelakkan.  

“Korban banyak berjatuhan di pihak Belanda, sedangkan di pihak SP 88 seorang pejuang bernama Darya gugur seketika” tulis Affandi Bratakoesoemah dalam Sejarah Gerilya SP 88. Aksi SP 88 pada 29 September 1948 itu bikin geram militer Belanda. Namun aksi ini bukanlah yang pertama dan terakhir. Mereka melancarkan aksi serupa di Ciganea, Cibungur, dan Cikampek. Puncaknya, pada 22 Oktober 1948, SP 88 kembali melakukan aksi di Bendul, utara kota Purwakarta, yang menewaskan beberapa penumpang dan melukai puluhan lainnya.  

“Sabotase dilakukan oleh sekelompok teroris yang merusak jalan kereta api hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan hebat,” demikian keterangan yang terlansir dalam dokumen Arsip Nasional Belanda pada 23 Oktober 1948.  

Beberapa minggu setelah peristiwa itu, militer Belanda menangkap sepuluh lelaki anggota SP 88 yang dituduh terlibat dalam sabotase.  

Pamflet propaganda yang dibuat SP 88. (Koleksi Stef Scagliola).

Nama Samaran

Sesuai kesepakatan Perjanjian Renville pada awal 1948, Divisi Siliwangi meninggalkan wilayah Jawa Barat. Namun, menurut Siliwangi dari Masa ke Masa yang ditulis Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi (Sendam VI), secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Siliwangi menyisakan sebagian kecil anggotanya di Jawa Barat untuk terus mengobarkan perlawanan.  

Di Purwakarta, salah satu yang tetap bertahan adalah Field Preparation Barisan Hitam (FPBH), sebuah kesatuan campuran tentara dan lasykar. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri, sejak 1 Februari 1948 FPBH lantas mengubah namanya menjadi SP 88.  

“Itu dilakukan untuk memberi kesan kita adalah kesatuan para pemberontak yang terlepas dari TNI,” ujar Gar Soepangat (88 tahun), eks anggota SP 88.

Embel-embel angka “88” diartikan para anggota SP 88 sebagai simbol dari nama dua pemimpin Republik: Sukarno-Hatta. Angka 8 yang pertama adalah huruf S (sa), huruf kedelapan dalam alfabet Jawa. Adapun 8 yang kedua adalah H, huruf kedelapan dalam alfabet Romawi.  

“Jadi kami melakukan pemberontakan terhadap Belanda tetap mengatasnamakan Sukarno-Hatta, pemimpin Republik Indonesia,” ujar Soepangat.  

Menurut Affandi Bratakoesoemah, para pemimpin SP 88 sendiri menyamarkan nama mereka menggunakan bahasa Sansekerta. Misalnya, Oesman Soemantri disamarkan menjadi Tritunggal, A.S. Wagianto pakai nama Sang Dewata, dan Agus Moein Atmadiredja jadi Trisulung. Robert B. Cribb, sejarawan Australia, merekam strategi penyamaran nama itu dalam bukunya Gangsters and Revolutionaries.

Malah, menurut Cribb, bukan hanya mengadopsi nama-nama berbau Sanskerta, para komandan SP 88 pun kerap menggunakan nama-nama unik seperti Phantom Bom.  

Anggota SP 88 terbilang besar; ditaksir lebih dari 1.500 personel dengan kekuatan senjata sekitar 450 pucuk. Sudjono Dirdjosisworo dalam Siliwangi dari Masa ke Masa edisi III, pasukan ini terpencar di Jarong-Cibungur (Purwakarta)-Cikampek-Dawuan (Karawang). Soepangat menyebut wilayah operasi SP 88 lebih luas lagi. Selain Karawang dan Purwakarta, SP 88 beraksi di Bekasi, Jakarta Timur, Subang dan sebagian wilayah Cianjur Utara.  

Dalam aksinya, SP 88 mengutamakan kecepatan dan kerahasiaan. Sesuai moto mereka “datang seperti angin dan pergi pun laksana angin”, sebisa mungkin para anggota SP 88 tidak menarik perhatian saat tengah menjalankan aksi-aksinya.  

Oewasta bin Asman terdakwa pertama dijatuhi hukuman mati. Di bawah kepemimpinannya, penduduk desa terpaksa merusak jalur kereta api dan unscrewing. (gahetna.nl).

Aksi Barisan Hitam

Sepanjang tahun 1948, situasi Karawang dan Purwakarta mencekam. Aksi kelompok berseragam hitam yang menamakan diri SP 88 cukup membuat ciut nyali kaum bumiputra yang bekerja sebagai mata-mata atau pegawai pemerintah sipil bentukan Belanda. Menurut Cribb, di beberapa tempat seluruh kader pemerintah tingkat bawah tiba-tiba lenyap begitu saja.  

“Bahkan ada rencana SP 88 menyerang bupati Karawang dalam satu serbuan,” tulis Cribb.

Operasi kontra-intelijen menjadi spesialisasi SP 88. Dalam berbagai aksi, SP 88 tidak hanya melibatkan anggota laki-laki tapi juga perempuan. Salah satunya bernama Roekiah. Dia merupakan komandan intel SP 88 yang beroperasi di wilayah Cicariang, Purwakarta kota, Kembangkuning, Cikuya, Perkebunan Jatiluhur, Cilutung, Cilalawi, dan Cicariang. “Laporan-laporannya sangat valid dan berguna buat kesatuan,” kata Gar Soepangat.  

Namun, tak ada aksi SP 88 yang membuat polisi dan tentara Belanda sangat jengkel selain operasi agitasi propaganda dan sabotase mereka. Mereka memasang puluhan bendera merah-putih di kota Purwakarta setiap menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI. Selain itu, SP 88 beraksi lewat coretan-coretan propaganda di tembok-tembok gedung dan kereta api. Penyebaran poster ancaman kepada mata-mata Belanda pun kerap mereka lakukan di berbagai pusat keramaian.  

Soepangat masih ingat bagaimana dia memimpin aksi corat-coret dan penempelan poster di dalam kota Purwakarta. Biasanya aksi itu dilaksanakan beberapa menit sebelum tengah malam atau lewat tengah malam. “Kami harus kucing-kucingan dengan patroli tentara Belanda,” kenangnya.  

SP 88 juga membuat marah pihak Belanda karena para pekerja kereta api rute Jakarta-Cirebon melakukan mogok massal. Inilah yang menurut laporan Dinas Intelijen Belanda pada 20 Desember 1948, bertajuk Activiteit SP 88 Onder S.S, merupakan bukti pengaruh SP 88 sudah merembes hingga ke instansi transportasi yang dikelola pihak Belanda.  

Penggulingan kereta api dan pencegatan konvoi logistik adalah “kesukaan” lain dari SP 88. Menurut catatan Affandi Bratakoesoemah, setidaknya sudah lima kali SP 88 melancarkan aksi tersebut.

Empat anggota SP 88 yang didakwa melakukan penghancuran rel kereta api di Purwakarta. 1. Soechri bin Tanoe 2. Salim bin Bojo 3. Dasir bin Eli 4. Darja bin Sarta. (gahetna.nl).

Konflik Kawan Seiring

Akhir 1948, situasi kemananan di Jawa Barat semakin kritis. Berbagai gangguan terhadap pemerintah sipil bentukan Belanda semakin menggila. Alih-alih mengendalikan situasi, polisi dan tentara Belanda malah tersudut di pos masing-masing. Inisiatif penyerangan berpindah ke tangan kaum gerilyawan.  

Kondisi tersebut menyebabkan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor mencopot Mayor Jenderal Durst Britt dari jabatannya sebagai Komandan Divisi 7 December (Divisi C) dan menggantikannya dengan Mayor Jenderal (KNIL) E. Engles pada 27 September 1948.  

“Mayor Jenderal Engles menemukan kenyataan pahit Jawa Barat merupakan ‘het centrum van de guerilla-activiteit in de Archipel’ (pusat kegiatan gerilya di Nusantara),” tulis Himawan Soetanto dalam Long March Siliwangi.

Namun kemajuan itu tidak serta merta membuat para gerilyawan di Jawa Barat cepat puas. Untuk lebih mengefektifkan perlawanan, pada 17-19 November 1948, empat organ besar perlawanan di Jawa Barat (SP 88, Barisan Banteng, Bamboe Roentjing dan Tentara Islam Indonesia) membentuk Badan Pemerintah Sipil Jawa Barat (BPS Jawa Barat). Sebagai ujung tombak perlawanan didirikan pula Divisi 17 Agustus dengan pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution dari Bamboe Roentjing.  

Wahidin bermimpi, dengan divisi baru itu, mereka dapat fokus terhadap perjuangan militer. Namun ide tersebut ternyata tak dipahami secara serius oleh SP 88. Itu terbukti dengan tetap konsistennya SP 88 terhadap khittahnya: organ perlawanan psikologis lewat sabotase, kontraintelijen, dan agitasi-propaganda. “Mereka beranggapan cara-cara seperti itu dapat cepat memukul Belanda hingga menjadi limbung,” ujar Cribb.  

Gar Soepangat. (Hendi Jo/Historia.ID).

Pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan agresi militer II. Situasi tersebut mengharuskan Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat sesuai perintah kilat Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Tentu saja SP 88 dan Barisan Banteng menyambut baik kedatangan kembali Divisi Siliwangi, sebaliknya Tentara Islam Indonesia (TII) dan Bamboe Roentjing bersikap dingin,” ujar Gar Soepangat.  

Ketidakkompakan di antara anggota Divisi 17 Agustus terus berlangsung. Klimaksnya terjadi awal Agustus 1949 saat pemerintah Indonesia memerintahkan seluruh kekuatan bersenjatanya melakukan gencatan senjata menyusul Perjanjian Roem-Royen. “Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing menolak keras perintah itu karena ketidakyakinan akan niat baik politik Belanda,” tulis Bratakoesoemah.  

Perbedaan sikap tersebut otomatis membuat Divisi 17 Agustus bubar. Namun konflik di antara bekas “kawan seiring dan seperjuangan” itu belum juga padam. Sekitar November 1949, komandan SP 88 Letnan Kolonel Oesman Soemantri ditembak mati oleh “orang-orang tak dikenal” di Tegaldanas, Karawang.  

Tewasnya sang pemimpin menjadi sinyal berakhirnya organ perlawanan yang disegani pihak Belanda. Akhirnya pada Januari 1950, Mayor Wagijanto (pengganti Oesman Soemantri) menyatakan SP 88 bubar dan menyerahkan nasib anggotanya kepada keputusan masing-masing.  

“Sejak itulah kami tinggal sejarah,” ujar Gar Soepangat yang begitu SP 88 bubar memutuskan keluar dari dinas militer*

Majalah Historia No. 30 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66d67c71bb52ec96f12addfe