JIKA tak ada pagebluk, Jalan Potlot III tak pernah sepi. Anak-anak muda dari berbagai daerah berdatangan dan nongkrong di sana. Siapa lagi magnetnya kalau bukan grup musik legendaris Indonesia bernama Slank.
Situasinya jauh berbeda dibandingkan setengah abad lalu ketika Sidharta Manghuruddin dan keluarganya tinggal di sana. Rumah Sidharta ibarat villa peristirahatan. Belum banyak rumah di sekitarnya. Potlot pun punya reputasi sebagai “tempat jin buang anak”.
“Ini semua kebun,” kata Sidharta, lelaki berusia 86 tahun, sambil mengarahkan telunjuk ke luar rumah ketika menggambarkan kondisi kampung ketika dia baru tinggal di Potlot.
Kebun-kebun itu ditumbuhi berbagai tanaman, termasuk pohon durian berukuran besar dan berbuah lebat. Saat ini di dekat rumah Sidharta ada Jalan Duren Tiga, yang menghubungkan Jalan Raya Pasar Minggu dengan Jalan Mampang Prapatan Raya. Penamaan jalan itu bukan berdasarkan tiga pohon durian yang tumbuh di sana tapi keberadaan pabrik korek api cap Duren yang bergambar tiga durian.
JIKA tak ada pagebluk, Jalan Potlot III tak pernah sepi. Anak-anak muda dari berbagai daerah berdatangan dan nongkrong di sana. Siapa lagi magnetnya kalau bukan grup musik legendaris Indonesia bernama Slank.
Situasinya jauh berbeda dibandingkan setengah abad lalu ketika Sidharta Manghuruddin dan keluarganya tinggal di sana. Rumah Sidharta ibarat villa peristirahatan. Belum banyak rumah di sekitarnya. Potlot pun punya reputasi sebagai “tempat jin buang anak”.
“Ini semua kebun,” kata Sidharta, lelaki berusia 86 tahun, sambil mengarahkan telunjuk ke luar rumah ketika menggambarkan kondisi kampung ketika dia baru tinggal di Potlot.
Kebun-kebun itu ditumbuhi berbagai tanaman, termasuk pohon durian berukuran besar dan berbuah lebat. Saat ini di dekat rumah Sidharta ada Jalan Duren Tiga, yang menghubungkan Jalan Raya Pasar Minggu dengan Jalan Mampang Prapatan Raya. Penamaan jalan itu bukan berdasarkan tiga pohon durian yang tumbuh di sana tapi keberadaan pabrik korek api cap Duren yang bergambar tiga durian.
Sidharta sosok yang sederhana. Blangkon yang biasa dikenakan menjelaskan dari mana dia berasal.
Sidharta, yang biasa dipanggil Mamang, dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, pada 1936. Dia adalah putra sulung dari pasangan Soemarno Sastroatmodjo dan Armistiani. Ibunya pernah menjadi guru taman kanak-kanak. Sedangkan ayahnya seorang dokter tentara yang mengharuskannya berpindah-pindah tempat penugasan. Mula-mula di Surabaya, Banjarmasin, Tanjung Selor, kembali ke Jawa Timur, hingga akhirnya di Jakarta. Ayahnya kemudian diangkat sebagai gubernur pertama DKI Jakarta.
Pada 1961, setahun setelah ayahnya menjadi gubernur, Sidharta menikahi gadis Minang bernama Iffet Veceha Azis St. Besar atau biasa dipanggil Bunda Iffet. Mereka dikarunia tiga anak: Adrianto Eka Wibawa, Bimo Setiawan Almachzumi alias Bimbim, dan Dianto Yusuf Suryawirawan atau Massto.
Pada mulanya keluarga Sidharta tinggal di Jalan Dempo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Setelah mengontrak selama beberapa tahun, mereka pindah ke gang kecil di kawasan Duren Tiga.
Ketika masih kecil, jika ditanya alamat rumahnya, Adrianto Eka Wibawa atau biasa disapa Adrian selalu menjawab Duren Tiga. “Gak jauh dari Jalan Duren Tiga, dari situ belok kanan. Masuknya dari Jalan Pensil. Jalan pribadi,” ujar Adrian.
Jalan Pensil adalah jalan buntu yang terhubung dengan Jalan Raya Pasar Minggu. Karena jalan di depan rumahnya masih gang senggol, mobil Sidharta hanya bisa masuk dari Jalan Pensil. Baru setelah 1975 jalan itu diperlebar dengan mengorbankan sebagian tanah miliknya. Maka jadilah Jalan Potlot III.
Di sisi barat Jalan Potlot III, terdapat Jalan Potlot II dan Potlot I. Jalan Potlot I terhubung dengan Jalan Duren Tiga Raya. Jalan Potlot II terhubung dengan Jalan Minyak Raya. Jalan Potlot I, II dan III dulunya terkait dengan seorang tuan tanah bernama Haji Riin. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah gang di sana.
Jalan Potlot kian dikenal orang menyusul ketenaran Slank yang didirikan Bimbim pada 26 Desember 1983. Potlot identik dengan Slank. Begitu pula sebaliknya. Tak banyak orang tahu mengapa Potlot dipakai sebagai nama jalan.
Sejarah Potlot
Mulanya Adrian juga tak tahu kenapa jalan di dekat rumahnya dinamai Jalan Potlot. “Tapi ketika jalan ini dibangun, dibesarin, hampir berbarengan dengan pelebaran Jalan Pasar Minggu, baru kita sadar oh iya di sana Indoplano,” ujarnya.
Indoplano yang dimaksud Adrian adalah pabrik pembuat potlot atau pensil. Pabrik ini sudah ada sebelum keluarga Sidharta tinggal di sana.
“Dari sini ada masjid, belok kanan, nah di situ ada tanah luas. Dulu Jalan Duren Tiga itu belum ada,” kata Sidharta menunjukan lokasi pabrik potlot Indoplano. Kira-kira di sekitar Jalan Potlot I. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Al Hidayah.
Indoplano atau lengkapnya NV Perusahaan Dagang dan Industri Indonesian Planning Office didirikan oleh Raden Mas Koesmoeljono dan Dr Koes Sardjono, keduanya kelahiran Randudongkal, Pemalang, Jawa Tengah. Indoplano adalah pabrik potlot pertama di Indonesia.
Masa itu potlot adalah barang impor. Harganya tidak murah dan sulit dijangkau kantong orang kebanyakan. Bahkan di sekolah, kebanyakan siswa tak memakai potlot tapi batu sabak, yang ukurannya cukup besar dan untuk menghapus tulisan harus menggunakan air.
Sejarah potlot dimulai sekira 1400 menyusul penemuan material yang kemudian dinamakan grafit. Proses pembuatan potlot kayu kemudian diperkenalkan pada 1795 oleh ahli kimia dari Prancis, Nicolas Conte. Dia mematenkan cara pembuatan potlot yang berasal dari campuran grafit dan tanah liat yang dibakar sebelum dimasukkan ke dalam bungkus kayu.
Di Indonesia, hingga Perang Dunia II, kebutuhan potlot dipenuhi dengan impor. Pada masa pendudukan Jepang, usaha pembuatan potlot dirintis oleh Wong S.J. Menurut MingguanDjaja, 21 September 1963, sebelum masa perang, Wong bekerja sebagai tukang bubut pada pabrik mesin Tjin Hin di Bandung. Setelah Jepang datang dia berhenti karena tak ada pekerjaan. Didorong kebutuhan hidup, dia memutuskan untuk membuat potlot.
Wong membuat “hati” potlot dari koolplat accu yang ditumbuk halus menjadi tepung dan dicampur tanah liat. Seperti membuat bakmi, dia menekan campuran itu menjadi batangan-batangan kecil dan menjemurnya. Untuk gagangnya, dia menggunakan kayu jati. Dengan teknologi sederhana itu Wong menghasilkan 18-24 batang potlot per hari. Namun, menjelang perang usai, Wong menutup usahanya.
Kebutuhan potlot, yang dipenuhi dengan impor, meningkat setelah tahun 1950-an. Iklan-iklan di suratkabar masa itu menampilkan potlot Staedtler dari Jerman dengan importir tunggal NV Gunung Agung di Kwitang. Kemudian ada Indoprom sebagai importir tunggal untuk pulpen Sailor dan potlot Tiga Burung. Pulpen Sailor diimpor dari Jepang, sedangkan potlot Tiga Burung, nama lokal untuk De Drie Vogels bikinan Faber Castell dari Jerman.
Indoprom, catat Phạm Văn Thuỷ dalam Beyond Political Skin: Colonial to National Economies in Indonesia and Vietnam (1910s-1960s), adalah importir benteng yang diakui oleh pemerintah Indonesia pada November 1950. Perusahaan ini bekerja sama dengan Indoprom di Jepang dan Indoprom di Hong Kong. Dua pertiga pemegang saham perusahaan adalah warga negara Indonesia. Direktur dan wakilnya, Tan Thong Yam dan Tan Thong Kie, adalah keturunan Tionghoa.
Program Benteng dimulai sejak April 1950 dengan tujuan menumbuhkan “pengusaha pribumi”. Lewat program ini, pemerintah memberikan lisensi impor, alokasi devisa, dan kredit kepada “pengusaha pribumi”. Realisasinya jauh panggang dari api.
Untuk memenuhi kebutuhan potlot yang selalu diimpor dari luar negeri itulah Koesmoeljono dan Koes Sardjono mendirikan pabrik potlot Indoplano pada 1953.
Koesmoeljono lahir pada 13 September 1905. Ayah dan kakeknya pernah menjadi pejabat di pemerintahan kolonial Belanda. Lahir dari keluarga priyayi Jawa, Koesmoeljono bisa mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Rechtschool (Sekolah Hukum) di Jakarta. Sempat bekerja sebagai pegawai pengadilan gubermen (pemerintah kolonial) selama setahun, dia melanjutkan pendidikan di sekolah hukum di Belanda.
Pulang ke Tanah Air, Koesmoeljono membuka praktik hukum serta konsultan bagi para produsen dan eksportir karet bumiputera di Pontianak hingga 1941. Dia juga aktif dalam organisasi sebagai ketua cabang Comite Indonesia Berparlemen Pontianak. Setelah itu menjabat pokrol opisil (pengacara resmi) Raad van Justitie atau Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Koesmoeljono menjadi ketua Comite-perhoeboengan antara Rakjat dan Balatentara Dai Nippon. Tak lama, dia menjadi direktur pabrik minyak kelapa di Tegal, kepala Biro Tekstil dan Industri Departemen Urusan Sosial, dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Dengan sokongan dari pengusaha Agus Musin Dasaad dan Hasjim Ning, Koesmoeljono mendirikan Bank Perniagaan Indonesia di Yogyakarta –kelak merger dengan beberapa bank menjadi Bank Lippo. Sebagai bankir, dia juga terlibat dalam Perhimpunan Bank Nasional (Perbana) dan Panitia Pembukaan Persatuan Bank-bank Nasional Indonesia.
Koesmoeljono memiliki hubungan erat dengan para pemimpin dan anggota-anggota terkemuka Partai Nasional Indonesia (PNI) di dalam KNIP. Hubungan ini pula yang membuka pintu lebar-lebar bagi perkembangan bisnisnya.
Jika Koesmoeljono akrab dengan bisnis dan politik, Koes Sardjono atau kadang ditulis Koessardjono lebih dekat dengan dunia ilmiah.
Koes Sardjono lahir pada 10 September 1906 –sumber lain menyebut 1907 dan 1909. Dia dikenal sebagai antropolog Indonesia pertama setelah lulus dari Universitas Leiden dengan disertasi “De Botjah Angon (Herdersjongen) in de Javaanse Cultuur” (1947) yang menganalisis mitologi pedesaan Jawa berkenaan dengan tokoh anak gembala.
Koes disebut-sebut pernah menjabat direktur Biro Perantjang Negara, yang berada di bawah Dewan Perantjang Negara –kini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas. Pada 1954, dengan menumpang kapal “Willem Ruys” dari Royal Rotterdam Lloyd, dia mengunjungi Eropa selama lebih dari dua bulan. Sekembalinya ke Indonesia, seperti tersua dalam iklan di suratkabar, Dr. (Phil) R.M. Koes Sardjono menikah dengan G. van Charldorp di kampung halamannya pada 10 November 1954.
Belum jelas apa hubungan Koes Sardjono dengan Koesmoeljono. Apakah memiliki hubungan darah, atau semata-mata satu kampung, sehingga keduanya bersama-sama mendirikan Indoplano.
Indoplano, catat Koesnodiprodjo dalam Kamus singkat dan singkatan-kata dalam-negeri dan luar-negeri dengan terdjemahan dan pendjelasannja, terbitan tahun 1955, adalah perseroan dagang yang berpusat di Jakarta sejak 12 Januari 1953. Mula-mula ia berdiri sebagai firma pada 4 Juni 1951 tapi kemudian dibubarkan pada 5 Oktober 1953.
Sebenarnya Koesmoeljono dan Koes Sardjono sudah merencanakan pembangunan pabrik potlot pada 1951. Pembangunan akhirnya terealisasi tahun 1952 dan rampung setahun kemudian dengan menghabiskan ongkos sekitar Rp1.250.000.
Pabrik potlot Indoplano diresmikan pada 29 April 1953 oleh Nyonya Sjamsoeridjal, istri dari Walikota Jakarta. Saat peresmian, Koeslmoeljono tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kementerian Perekonomian dan Bank Industri.
Pembukaan pabrik potlot ini menarik minat yang besar dari berbagai otoritas, anggota parlemen, perwakilan dagang dan industri, serta masyarakat. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan beberapa pejabat negara menyempatkan diri berkunjung ke sana. Mereka pulang dengan membawa oleh-oleh sekotak potlot buatan Indoplano.
Mesin Modern
Pada Rabu pagi, siswa-siswi kelas IB dari Sekolah Menengah Ekonomi Pertama Jakarta sudah berkumpul di depan sekolah. Dengan teratur, mereka naik ke dalam bis. Perjalanan pun dimulai. Setengah jam perjalanan, sampailah mereka di sebuah pabrik di Pasar Minggu. Pada papan nama terbaca Pabrik Potlot Indoplano.
Kedatangan guru dan siswa itu disambut oleh direktur pabrik. Setelah itu mereka diantar melihat-lihat pabrik. Begitulah Buntarman mengisahkan tentang pabrik potlot Indoplano dalam bukunya Djakarta: Kota Lambang Kemerdekaan, yang terbit pertama tahun 1956.
Untuk menerangkan cara potlot dibuat, para pengunjung diajak menuju tempat pengergajian. Mula-mula kayu digergaji menjadi papan lalu dimasukkan ke dalam dapur (oven) selama dua jam untuk dikeringkan. Sesudah itu diketam dan dilubangi. Lubang itu dituangkan bahan pelekat dan bubuk potlot. Pada papan, yang sudah berisi bahan, diletakkan papan lain yang kemudian dikempa supaya melekat dan dipotong sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Pekerjaan terakhir adalah pengecatan delapan bahkan 12 kali dan diberi cap: Indoplano.
Seluruh produksi hingga menjadi potlot dikerjakan mesin. Pabrik dilengkapi mesin-mesin buatan Jepang, yang bisa menghasilkan sekira sejuta batang potlot per bulan.
Pabrik potlot Indoplano terbilang kecil. Wartawan Kedaulatan Rakyat, 15 Agustus 1953, melaporkan pabrik seluas 1200 meter persegi ini mempekerjakan 59 orang; 50 laki-laki dan sembilan perempuan. Pembuatan potlot mengandalkan mesin yang didatangkan dari Jepang. Beberapa ahli Jepang memberikan pelajaran yang diperlukan kepada para pekerja.
“Sekarang hanya tinggal seorang saja instruktur Jepang di pabrik Kalibata, yaitu T. Yoshida, seorang pelatih,” tulis Kedaulatan Rakjat. “Memang Yoshida-san punya pabrik potlot di Jepang.” Untuk menularkan ilmunya, Yoshida mendapat gaji 200 dolar sebulan.
Pada 1953, potlot buatan Indoplano dijual seharga Rp0,40 di pasaran. Harga itu dianggap lebih murah daripada pensil impor. Kualitasnya terbilang lumayan.
Wartawan Kedaulatan Rakyat menyebut potlot merek “Made in Indonesia Indoplano 200 B” yang halus bercat persis seperti potlot buatan luar negeri yang dipakainya dulu. “Ketika dicoba, umumnya boleh dikatakan baik dan lunak, cuma kadang-kadang agak keras. Hal ini saya kira dalam waktu pendek, dengan pengalaman dan penyelidikan laboratorium bisa hilang.”
Pabrik Indoplano awalnya hanya membuat potlot hitam, tapi kemudian memproduksi juga pensil berwarna. Untuk membuat potlot, Indoplano menggunakan kayu jamuju (Podocarpus imbricatus) yang tumbuh di Kalimantan. Tapi bubuk potlotnya, grafit, masih diimpor dari Jepang. Sebab, jenis grafit di Indonesia kurang baik karena tidak begitu hitam. Sedangkan untuk cat, Indoplano bekerja sama dengan pabrik cat merek Indonesia.
Menurut Buntarman, pabrik potlot Indoplano baru dapat membuat 60.000 gross setahun –1 gross sama dengan 144 buah atau 12 lusin. Kendati jauh dari kebutuhan dalam negeri, produksi pabrik ini dapat mengurangi impor potlot dari luar negeri. Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, catat Buntarman, membutuhkan tiga juta batang potlot setiap bulan. Ini berarti sepertiga dari jumlah potlot yang didatangkan dari luar negeri seperti Belanda, Jerman, Cekoslowakia, dan Jepang. Dana yang harus dikeluarkan sekira tujuh setengah juta rupiah.
Impor potlot memang masih tinggi. Majalah Rimba Indonesia, Th. V, No. 1-2, tahun 1956, menyajikan data impor potlot yang diperoleh dari Kantor Statistik Jakarta. Negara-negara yang mengekspor potlot ke Indonesia adalah Jepang (60%), Jerman (29,6%), Cekoslowakia (4.4%), Australia (4%), dan negara lain (2%).
Menurut taksiran, kebutuhan potlot di Indonesia mencapai 240.000 gross setiap tahun. Namun, produksi satu-satunya pabrik potlot di Indonesia masih sedikit. Selama 1954, Indoplano menghasilkan 6.000 gross tiap bulan atau 72.000 gross tiap tahun.
Indoplano berencana meluaskan pabrik serta mendatangkan mesin dan alat-alat dari Jerman. Harapannya, kapasitas produksi bisa meningkat menjadi 300.000 gross, dan bahkan 400.000 gros tiap tahun.
Pencapaian target tentu tergantung pada ketersediaan kayu sebagai bahan potlot. Menurut Rimba Indonesia, Indoplano mendatangkan kayu pulai (Alstonia scholaris) dari Sampit dengan harga Rp775 tiap m2 persegi sampai ke pabrik dengan ukuran tebal 712 cm –panjang dan lebar tidak jadi soal.
Sebenarnya ada beberapa jenis kayu yang bisa dijadikan bahan potlot seperti kayu jamuju dan damar (Agathis loranthifolia). Untuk potlot, kayu damar harus dipilih yang lurus dan tidak berputar. Bahan terbaik adalah kayu jamuju tapi jenis ini sukar didapat.
“Tambahan pula kayu ini baik sekali untuk alat-alat kantor kantor seperti mistar dan sebagainya,” tulis Rimba Indonesia. “Oleh sebab itu kayu jamuju akan dipergunakan untuk potlot-potlot istimewa seperti potlot gambar dan potlot tinta yang dihasilkan sekira 10% dari jumlah produksi.”
Kalah Bersaing
Pabrik potlot di Pasar Minggu hanyalah salah satu lini usaha Indoplano. Menurut Kedaulatan Rakyat, 15 Agustus 1953, ketika mendirikan firma yang kemudian dikenal sebagai Indoplano, Koesmoeljono dan Koes Sardjono mula-mula berusaha mendatangkan barang-barang teknik dari luar negeri. Dalam waktu hanya tiga tahun, Indoplano mempunyai pabrik besi di Tegal (dulu NV Machine Fabriek & Metaalgieterj F. Brunger) dan sebuah pabrik es di Pontianak.
Pada perkembangannya, pabrik es tampaknya berhenti beroperasi. Pabrik di Tegal bernama PT Dwika masih menyediakan mesin-mesin pengecoran logam, pompa air, pompa lumpur, dan lain-lain. Berdirinya pabrik potlot merupakan pengembangan lini usaha Indoplano.
Sebagai “pengusaha pribumi”, Koesmoeljono dan Koes Sardjono tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan kemudahan melalui Program Benteng. Berkat kedekatan dengan Mr. Wilopo, politisi PNI yang juga menjabat perdana menteri, mereka mendapatkan bantuan kredit dan lisensi untuk melakuan impor barang kebutuhan dalam negeri dan mengamankan kontrak proyek pemerintah. Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital menyebut Indoplano kemudian fokus menjadi agen tunggal untuk impor manufaktur.
Iklan Indoplano menunjukkan bahwa mereka menjadi agen tunggal untuk impor segala jenis kendaraan bermotor, mesin, lokomotif, hingga pesawat dan helikopter dari perusahan-perusahaan Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat.
Dengan menjadi agen tunggal, pembelian barang-barang tersebut harus melalui Indoplano. Sebut saja, pada 1955, pemerintah memesan 25 mesin cetak uang dari Schuler A.G., Jerman Barat, melalui Indoplano. Dua tahun kemudian, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) membeli empat helikopter tipe Bell 47 G-2 buatan Bell Aircraft Corporation, Amerika Serikat. Pada era 1970-an, Indoplano masih menjadi agen tunggal pesawat De Havilland dari Kanada.
Selain Koesmoeljono dan Koes Sardjono, Wilopo disebut-sebut ikut bergabung dengan Indoplano. Sosok lain yang memperkuat Indoplano adalah Sumarah, yang menjabat direktris 1951-1979. Sumarah kelak menikah dengan Kim Adyatman, asisten Wakil Presiden Adam Malik. Sri Mulyono Herlambang, setelah tak lagi menjabat Kepala Staf Angkatan Udara, tercatat pula pernah jadi direktur Indoplano.
Kendati fokus sebagai agen tunggal, Indoplano tak lupa untuk mengembangkan pabrik potlotnya.Sepanjang pemerintahan Sukarno, pabrik pensil itu terus berproduksi. Namun Indoplano tak lagi sendiri.
Pada 1959, pabrik pensil seluas dua hektar berdiri di Cililitan dengan nama PT Indonesia Pertama. Salah satu sosok yang terlibat dalam perusahaan ini, yakni Tan Thong Yam alias Herry Sudibjo Tanudibroto, yang sebelumnya menjabat direktur Indoprom. Belum jelas apakah ada hubungan antara Indoprom dan Indonesia Pertama. Menariknya lagi, sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah jadi penasehat pabrik potlot ini.
Mingguan Djaja, 21 September 1963, melaporkan bahwa kedua perusahaan itu mampu memenuhi kebutuhan potlot di dalam negeri yang mencapai 360.000 gross per tahun. Bahkan Direktorat Urusan Impor Departemen Perdagangan RI akhirnya menghentikan impor potlot hitam. Bahkan, jika terdapat cukup bahan baku, kapasitas produksi bisa ditingkatkan untuk kebutuhan ekspor.
Dua tahun kemudian, untuk kali pertama ekspor potlot akhirnya dilakukan oleh PT Indonesia Pertama. Duta Swasta tahun 1965 memberitakan potlot bikinan pabrik ini diberi nama “Conefo Builds The World Anew”.
Setelah peralihan kekuasaan, keadaan berubah drastis. Setelah masuknya modal asing, potlot dari luar negeri membajiri pasar dalam negeri. Potlot bikinan Indoplano mulai tergeser karena kalah bersaing.
Dalam tajuk rencana berjudul “Perlindungan bagi Pengusaha Pribumi” di Indonesia Raya, 3 September 1970, Mochtar Lubis menyoroti sejumlah kelemahan “pengusaha pribumi”. Mereka terbiasa berdagang berdasarkan pesanan-pesanan pemerintah karena hubungan istimewa dengan para pejabat. Kesempatan serupa mulai berkurang karena bertambah banyak departemen yang melakukan pembelian melalui tawaran-tawaran umum. Selain itu, bukan saja minim pengalaman dan tenaga ahli, kurangnya modal dan perlindungan dari pemerintah membuat “pengusaha pribumi” lemah menghadapi saingan asing.
“Umpamanya saja pabrik potlot Indoplano sejak beberapa lama terpaksa menghentikan produksinya karena tak kuat bersaing dengan potlot-potlot bikinan RRT yang dijual dengan rugi di pasaran di luar RRT,” tulis Lubis.
Perlahan jejak pabrik potlot Indoplano pun menghilang.
“Ketika kami pindah ke sini, pabrik (pensil) sudah gak ada,” kata Adrian, yang saat itu berusia 5 tahun. Sidharta, ayahnya, mengamini.
Potlot Kembali Jaya
Wajah sekitar pabrik potlot yang berada di Pasar Minggu kemudian berubah. Nama Jalan Potlot disematkan, tapi orang-orang mulai melupakan Indoplano. Jumlah penghuni di Jalan Potlot dan sekitarnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Tapi perubahan mencolok terjadi pada 1990-an yang membuat Jalan Potlot terkenal. Angin perubahan itu dihembuskan oleh Bimo Setiawan Almachzumi alias Bimbim, putra kedua Sidharta.
Sejak sekolah menengah pertama, sekitar 1981, Bimbim bermain musik di Cikini Stones Complex. Dari namanya, band ini kerap membawakan lagu-lagu Rolling Stones. Hanya membawakan lagu Rolling Stones lama-lama bikin Bimbim jengah. Dia ingin berekspresi lewat lagu sendiri. Karena teman-temannya tak setuju, Bimbim membentuk grup musik Slank.
Sebelum sukses di industri musik, bongkar pasang personil terjadi belasan kali. Adrian sempat masuk pula di Slank. Setelah perjuangan panjang, Slank akhirnya merilis album pertama Suit-Suit... He-He (Gadis Sexy) pada 1990. Setelah itu album lain menyusul. Slank mendaki anak tangga ketenaran.
Bimbim dkk adalah segolongan kecil musisi Indonesia yang sadar pentingnya memiliki alat produksi sendiri. Semangat Slank kira-kira mirip Indoplano waktu dulu memproduksi potlot. Mereka melakukan gebrakan dengan membangun sebuah studio rekaman di Potlot, Piss Records –kemudian berubah jadi Slank Records. Studio ini membuat Slank mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dalam industri musik Indonesia. Alat produksi itu kemudian bukan hanya menghidupi Slank, tapi juga mengangkat musisi-musisi lain yang berkreativitas di Potlot.
Jika dulu Potlot didatangi pekerja pabrik pensil, sejak era 1990-an Potlot didatangi anak-anak muda gila musik. Mereka berproses di Potlot dan akhirnya dikenal pendengar musik Indonesia: Andy Liany, Anang Hermansyah, Imanez, Oppie Andaresta, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya itu. Jalan Potlot kemudian didatangi para penggemar Slank dari berbagai daerah yang dikenal dengan sebutan Slankers. Untuk mereka lah, Bimbim menulis lagu “Mars Slankers” yang masuk dalam album Road to Peace (2004) untuk menggambarkan arti penting Potlot.
Di sini tempat cari senang
Salah tempat kalau kau cari uang
Di sini orang-orang penuh kreativitas
Tempat orang-orang yang terbaik
Sidharta membawa kebiasaan lama dari keluarganya sebelum hidup mandiri dan berkeluarga. Dari ayahnya, Soemarno Sastroatmodjo, Sidharta belajar pentingnya sarapan bersama. Sidharta memelihara kebiasaan sarapan bersama itu di Potlot III.
“Kami, tiap hari tiap pagi, kalu sarapan pasti kumpul bersama. Di situ kita tukar pikiran, tukar cerita,” ujar Sidharta.
Dalam sebuah sarapan bersama, lahir ide membuat grup band dari anak dan cucu Sidharta. Orang yang membawa kebiasaan sarapan bersama itu pun, namanya dijadikan band itu: The Sidhartas.
The Sidhartas, yang dibentuk 2016, terdiri dari Bimbim (vokalis), Massto (drum), Awa San Diogo (gitar), dan Firas Rachun (bas). Dua nama terakhir adalah anak-anak Adrian, mungkin sebagai perwakilan ayahnya sebagai anak sulung Sidharta.
Mereka pula yang mendirikan label Rekaman POTS untuk menaungi The Sidhartas dan kemudian Rachun, MRT, Satu Per Empat, dan Reaksi.
Pabrik potlot Indoplano telah mengukir sejarah. Jalan Potlot masih menggoreskan sejarah.*