Granat Makar di Makassar

Presiden Sukarno hampir jadi tumbal untuk sebuah republik baru yang memisahkan diri dari Republik Indonesia. Ditengarai ada peran Belanda di balik upaya pembunuhan itu.

OLEH:
Allan Akbar
.
Granat Makar di MakassarGranat Makar di Makassar
cover caption
Massa antusias mendengarkan pidato Presiden Sukarno di Makassar, 4 Januari 1962. (gahetna.nl).

MINGGU, 7 Januari 1962, hari beranjak gelap ketika iring-iringan rombongan Presiden Sukarno meninggalkan kediaman Gubernur Sulawesi Selatan A.A. Rivai menuju ke Gedung Olahraga Mattoangin, Makassar. Jarum jam baru menunjuk ke angka delapan saat konvoi mobil presiden melintasi Jalan Cendrawasih. Tiba-tiba satu mobil di belakang mobil presiden meledak. Blar! Rombongan panik menyelamatkan diri. 

Mendapat serangan tak terduga, pengawal kepresidenan berhamburan, bergegas melindungi mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. Sempat terjadi baku tembak dan baru berakhir ketika gerombolan pelempar granat melarikan diri. “Setelah sejenak terjadi baku tembak, keadaan cepat dapat diatasi,” tulis Herry Gendut Janarto dalam Matiur M. Panggabean: Bunga Pansur dari Balige

Mobil presiden yang jadi target utama dalam serangan tersebut selamat. Presiden Sukarno luput dari maut.

MINGGU, 7 Januari 1962, hari beranjak gelap ketika iring-iringan rombongan Presiden Sukarno meninggalkan kediaman Gubernur Sulawesi Selatan A.A. Rivai menuju ke Gedung Olahraga Mattoangin, Makassar. Jarum jam baru menunjuk ke angka delapan saat konvoi mobil presiden melintasi Jalan Cendrawasih. Tiba-tiba satu mobil di belakang mobil presiden meledak. Blar! Rombongan panik menyelamatkan diri. 

Mendapat serangan tak terduga, pengawal kepresidenan berhamburan, bergegas melindungi mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. Sempat terjadi baku tembak dan baru berakhir ketika gerombolan pelempar granat melarikan diri. “Setelah sejenak terjadi baku tembak, keadaan cepat dapat diatasi,” tulis Herry Gendut Janarto dalam Matiur M. Panggabean: Bunga Pansur dari Balige

Mobil presiden yang jadi target utama dalam serangan tersebut selamat. Presiden Sukarno luput dari maut. 

Rombongan yang terdiri dari beberapa duta besar, pejabat pemerintah, serta wartawan dalam dan luar negeri memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju GOR Mattoangin. Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Mangil Martowidjojo segera memperketat pengamanan di sekitar GOR Mattoangin menyusul insiden pelemparan granat. “Saya segera memerintahkan kepada anak buah yang bertugas di dalam gedung tempat Bung Karno akan memberikan wejangan supaya tetap waspada,” kata Mangil dalam memoarnya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945–1967

Walaupun nyaris tewas, Presiden Sukarno tetap menyampaikan pidato seolah tak terjadi apa-apa. Kedatangannya ke Makassar kali itu untuk mengampanyekan perjuangan pembebasan Irian Barat (kini Papua) yang masih di bawah kekuasaan Belanda. Sesuai dengan kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi.

Bekas pecahan granat di mobil yang ditumpangi oleh Presiden Sukarno. (Duta Masjarakat, 13 Januari 1962).

Investigasi

Keesokan harinya, Senin, 8 Januari 1962, Pangdam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf memberikan keterangan pers. “Tujuan usaha pembunuhan itu ialah mematahkan perjuangan rakyat yang telah menggelora di seluruh tanah air, khususnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara dalam rangka menghapuskan imperialisme/kolonialisme dari Irian Barat. Di sini terbukti kebengisan dan immoralitas kaum imperialis untuk tetap menegakkan penjajahan mereka di Irian Barat,” ujar M. Jusuf seperti dikutip Harian Rakjat, 9 Januari 1962. 

Akibat dari peristiwa tersebut, sebanyak 31 orang luka-luka, 14 di antaranya anak-anak, tiga orang tewas di tempat kejadian dan dua korban tewas di rumah sakit. Para korban peristiwa itu adalah tentara dan warga sipil yang pada saat kejadian sedang menyambut presiden di kiri-kanan Jalan Cendrawasih. Seluruh korban dirawat di Rumah Sakit Pelamonia, Makassar. Salah satu korban tewas adalah bocah berumur 14 tahun bernama Sony, anak Abdul Madjid Pali, wartawan Pedoman Rakjat di Makassar. 

Untuk menangkap pelaku penggranatan, Presiden Sukarno mengutus Kepala Staf Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) Kolonel Basuki Rahmat menyelidiki peristiwa percobaan pembunuhan itu. Ia bersama Kolonel M. Jusuf dan Letkol Moh. Sabur melakukan rekonstruksi di Jalan Cendrawasih pada 9 Januari 1962. 

Dari hasil investigasi ditemukan bukti pecahan granat. “Bagian-bagian granat yang dilemparkan itu sudah diketemukan; ternyata granat itu bikinan luar negeri yang modelnya memang khusus untuk membunuh manusia sebanyak mungkin, yakni model M-1 Adepter Projection. Bukti-bukti tentang peristiwa itu sekarang sudah ada di tangan kita,” ucap M. Jusuf seperti dikutip Harian Rakjat, 12 Januari 1962. 

Tersangka penggranatan di Jalan Cendrawasih bernama Paperzak, namun dalam sumber lain tersangka tercatat bernama Latupeirissa. (gahetna.nl).

Pada 10 Januari 1962, Kolonel Basuki Rahmat kembali ke Jakarta, dan membawa hasil investigasi ke Presiden Sukarno. Tanggal 15 Januari 1962 sore hari, Kolonel M. Jusuf menyusul datang ke Jakarta, melaporkan hasil penyelidikan lanjutan Peristiwa Cendrawasih kepada Presiden Sukarno. M. Jusuf melaporkan ada dua orang warga Indo yang ditangkap. 

Beberapa hari setelah peristiwa, Kodam Hasanuddin berhasil menangkap seluruh pelaku yang terlibat pelemparan granat. Mereka adalah Ida Bagus Suja Tanaja (41 tahun), Jan Pieter Korompis (36 tahun), Welly Trouwerbach (30 tahun), Lukas Hukom (43 tahun), Son Beslar (34 tahun), Alex Alfonsusratu (46 tahun), Josep Latupeirissa (31 tahun), dan Marcus Octavianus Latupeirissa (35 tahun). 

Komplotan itu menamakan dirinya Resimen Pertempuran Koordinator Angkatan Darat Revolusioner (RPKAD Rev). Organisasi bawah tanah yang dipimpin oleh Ida Bagus Suja Tanaja itu menentang pemerintah dan bermaksud meneruskan perjuangan Republik Persatuan Indonesia (RPI). RPI adalah negara federasi bentukan beberapa organisasi seperti PRRI, Permesta, dan DI/TII, yang diproklamasikan di Bonjol, Sumatra Barat pada 8 Februari 1960. 

RPI bertujuan memisahkan diri dari Republik Indonesia dan membentuk negara tandingan berbentuk federal. RPI menolak adanya unsur komunis di Indonesia. Dalam mewujudkan misinya, RPI berusaha untuk memperoleh bantuan senjata dari luar negeri. Sukarno yang dianggap mulai condong ke komunisme, dianggap sebagai musuh yang merintangi tujuan pendirian RPI. Sukarno harus dihabisi. Harian Rakjat yang terbit pada hari-hari pertama usai kejadian menengarai ada peran Belanda di balik upaya pembunuhan itu.

J. Leimena memberi selamat kepada Sukarno setibanya di Jakarta setelah percobaan pembunuhan di Makassar. (Duta Masjarakat, 13 Januari 1962).

Plot Pembunuhan

Pada 22 November 1962, tersangka kasus Cendrawasih dimejahijaukan. Dari catatan pengadilan terungkap kalau Ida Bagus Suja Tanaja cum suis menyusun rencana pembunuhan sejak awal Januari 1962. Saat mengetahui Presiden Sukarno akan berpidato di GOR Mattoangin, 7 Januari malam, dia menyiapkan aksi pelemparan granat begitu mobil presiden melintasi Jalan Cendrawasih. 

Rencana telah dibuat. Beberapa hari sebelum hari H, Ida Bagus mengumpulkan beberapa anak buahnya di rumahnya. Dia menjelaskan skenario pembunuhan itu kepada Alex Alfonsusratu, Son Beslar, dan Josep Latupeirissa. Granat diserahkan kepada Alex Alfonsusratu. Sementara Josep Latupeirissa ditugaskan melakukan survei ke Jalan Cendrawasih. 

Alex Alfonsusratu kemudian memberikan bungkusan granat itu kepada Jan Pieter Korompis di kediamannya di Jalan Sungai Saddang, Makassar. Alex menceritakan semua rencana Ida Bagus kepada Jan Pieters Korompis, dan memintanya mencari seseorang untuk melemparkan granat itu. Kemudian, Jan Pieters menemui Welly Trouwerbach, seorang Indo-Makassar. Jan memintanya jadi eksekutor dengan imbalan Rp10.000. Welly Trouwerbach yang tak punya kerjaan tetap itu langsung setuju. 

Ketika hari H tiba, komplotan mengatur siasat. Sejam menjelang jam J eksekusi, Welly Trouwerbach, Jan Pieters, dan Lukas Hukom bergegas menuju Jalan Cendrawasih. Mereka membawa granat yang siap dilemparkan ke iring-iringan kendaraan Presiden Sukarno yang akan lewat. Josep Latupeirissa, Marcus Octavianus Latupeirissa, dan beberapa anggota RPKAD Rev lain sudah sejak sore mengawasi keadaan sekitar. 

Mendekati pukul 08:00 malam, deru suara mobil sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Eksekutor bersiap. Mengambil ancang-ancang melemparkan granat. Tak lama kemudian, iring-iringan yang ditunggu akhirnya tiba. Welly Trouwerbach yang sedari tadi menunggu langsung melemparkan granat. Welly kurang perhitungan. Granat meleset jatuh ke mobil lain. Aksi yang kurang persiapan itu membuyarkan rencana pembunuhan. Komplotan kocar-kacir setelah pasukan pengawal presiden menyerang balik mereka. 

Pascapenangkapan, serangkaian pemeriksaan dilakukan terhadap pelaku. Jaksa Agung Mr. Gunawan mengatakan usaha percobaan pembunuhan terhadap presiden bisa dijatuhi hukuman mati. “Usaha atau percobaan pembunuhan terhadap diri kepala negara kita itu adalah merupakan kejahatan terbesar yang pelaku-pelaku atau pelaksana-pelaksananya diancam dengan hukuman mati sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku,” ujar Mr. Gunawan seperti dikutip Antara, 10 Januari 1962.

Pada sidang tersebut, hakim Mahkamah Angkatan Darat Dalam Keadaan Perang untuk Indonesia Timur menjatuhkan vonis mati, sesuai tuntutan jaksa, terhadap Ida Bagus Suja Tanaja. Majelis hakim menjatuhkan hukuman berat itu karena Tanaja terbukti otak dari rencana pembunuhan Presiden Sukarno. Sementara tersangka lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
652906cb2a56a86f13a0f627