Semula Machu Picchu dianggap sebagai kota suku Inca yang hilang. Belakangan ada pendapat menyatakan sebagai tempat belajar atau tempat religius keluarga bangsawan dan kerajaan.
Machu Picchu di Peru. (Siti Maemunah/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
JAM delapan pagi, Edy sudah menanti di depan pintu masuk Machu Picchu. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan jins biru. Dia masih muda, taruhan usianya masih di bawah kepala tiga. Dia mengibarkan bendera warna hitam.
Oktober tahun lalu (2012), saya berkunjung ke Machu Picchu, reruntuhan dari sebuah kota kuno peninggalan kerajaan Inca di Peru. Dengan merogoh kocek 12 soles, saya naik bis dari stasiun terakhir Puente Ruinas, Aguas Calentes. Butuh waktu 20 menit untuk sampai ke lokasi setelah melewati jalanan terjal, mendaki, dan berkelok-kelok. Sabtu itu, seperti biasanya, pengunjung ramai berdatangan kendati harus membayar 128 soles atau sekitar Rp500 ribu untuk tiket masuk.
Edy, karyawan biro pemandu wisata Champi, akan jadi pemandu saya dan rombongan. Dia orang yang menyenangkan. Gayanya santai. Dia selalu membuka penjelasan dengan kalimat “teman-temanku”. Pengetahuannya tentang objek wisata ini tak perlu diragukan. Sebuah map berisi informasi dan gambar-gambar terkait Machu Picchu sudah dia siapkan.
JAM delapan pagi, Edy sudah menanti di depan pintu masuk Machu Picchu. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan jins biru. Dia masih muda, taruhan usianya masih di bawah kepala tiga. Dia mengibarkan bendera warna hitam.
Oktober tahun lalu (2012), saya berkunjung ke Machu Picchu, reruntuhan dari sebuah kota kuno peninggalan kerajaan Inca di Peru. Dengan merogoh kocek 12 soles, saya naik bis dari stasiun terakhir Puente Ruinas, Aguas Calientes. Butuh waktu 20 menit untuk sampai ke lokasi setelah melewati jalanan terjal, mendaki, dan berkelok-kelok. Sabtu itu, seperti biasanya, pengunjung ramai berdatangan kendati harus membayar 128 soles atau sekitar Rp500 ribu untuk tiket masuk.
Edy, karyawan biro pemandu wisata Champi, akan jadi pemandu saya dan rombongan. Dia orang yang menyenangkan. Gayanya santai. Dia selalu membuka penjelasan dengan kalimat “teman-temanku”. Pengetahuannya tentang objek wisata ini tak perlu diragukan. Sebuah map berisi informasi dan gambar-gambar terkait Machu Picchu sudah dia siapkan.
Untuk masuk Machu Picchu, yang dipilih Unesco sebagai situs warisan dunia pada 1983, banyak larangan yang harus dipatuhi. Tak boleh merokok, makan di taman, buang sampah, memanjat tebing, bikin rute baru, membawa barang lebih dari 20 kilogram, serta mengganggu tanaman dan satwa di sekitar. Dan larangan ini dipatuhi pengunjung. Tak satu pun sampah plastik maupun kertas terlihat. Belakangan, pengelola taman rada longgar dengan membiarkan pengunjung membawa air dan makanan kecil –yang memakannya secara sembunyi-sembunyi karena malu. Membawa makanan jadi pilihan karena mahalnya harga makanan di restoran dan kantin di dekat pintu masuk.
Biaya hidup di Machu Picchu lebih mahal dibandingkan Cuzco. Pemandu wisata macam Edy mengandalkan pendapatannya dari tip pengunjung. Edy dan keluarganya hidup dari denyut wisata kawasan ini. Ibunya memiliki sebuah kafe di pinggiran rel kereta api Aguas Calientes. Namanya Adela Cafe. “Saya sarankan kalian makan siang di kafe ibuku, lebih murah dan ada pisco source gratis bagi setiap pengunjung,” ujarnya, berpromosi. Pisco adalah minuman beralkohol khas Peru yang dibuat dari anggur, biasanya disajikan dengan jeruk nipis. Rasanya asam-pahit namun enak dan segar.
Aguas Calientes. (Siti Maemunah/Historia.ID).
Keindahan Nan Mistis
Machu Picchu berada di atas lembah Urubamba di Peru dengan luas mencapai 32.500 hektar. Machu Picchu dalam bahasa quechua berarti gunung tua. Ada satu gunung lagi yang bernama Wayna Picchu, berarti gunung muda. Di bawah kedua gunung itulah terbentang bangunanbangunan kuno suku Inca.
Di Museum Inca disebutkan, kendati situs itu sudah ditemukan pada 1867, dunia luar tak mengetahuinya hingga sejarawan Amerika, Hiram Bingham, mengunjunginya pada 1911. Situs Machu Picchu selamat dari jarahan Spanyol, yang menjajah Peru sekitar abad ke-16, karena lokasinya berada di tengah hutan dan dikelilingi gunung-gunung.
Suku Inca adalah cikal bakal bangsa Peru. Dalam bahasa quechua, Inca berarti penguasa, biasanya digunakan untuk menyebut kelas penguasa atau keluarganya dalam sebuah kekaisaran. Kekaisaran Inca merupakan salah satu peradaban paling mengesankan yang pernah tumbuh di Amerika. Dimulai dari sebuah suku yang muncul sekitar tahun 1200, ia berkembang di kawasan Pegunungan Andes, menembus seluruh pegunungan Peru, hingga ke wilayah yang hari ini dikenal sebagai negara Ekuador, Bolivia, dan Chile.
Sejarah Inca dimulai lewat mitos kedatangan raja Inca pertama, Manco Capac, keturunan dewa matahari (inti) ke sebuah pulau di Danau Titicaca, yang terletak di perbatasan Peru dan Bolivia. Manco Capac membangun peradaban Inca di Cuzco, yang belakangan menjadi ibu kota kekaisaran Inca. Pachacutec, keturunan raja, membuat kekaisaran Inca meluas dan terkenal pada 1438.
Kota Cuzco, yang berada di ketinggian 3.400 mdpl, tumbuh menjadi kota pusat peradaban dengan reruntuhan istana yang dibangun untuk para penguasa Inca keenam dan delapan serta sisa-sisa kemegahan pemerintahan Pachacutec. Salah satu yang terkenal adalah Qoricancha atau kuil dewa matahari, kerap pula disebut Istana Emas. Kuil ini berada di tengah-tengah kota, dibangun sebagai penghormatan kepada dewa matahari. Konon, aslinya, dinding dan lantai bangunan terbuat dari emas; begitu pula patung-patung yang menghias halaman kuil. Emas-emas itu habis dijarah penjajah Spanyol yang menguasai Cuzco pada 1533.
Saat itu Francisco Pizarro, pemimpin pasukan Spanyol, menangkap dan menahan kaisar Inca terakhir yang masih muda, Atahualpa di Cajamarca. Berharap dibebaskan, sang kaisar mengumpulkan emas yang memenuhi ruangan. Tapi Pizarro tetap menebas kepalanya. Dia juga menghancurkan kuil dan di atasnya dibangun gereja dan biara Santo Domingo. Namun, pada akhir Maret 1650, gempa menghancurkan bangunan gereja. Sementara bangunan asli kuil tak goyah, yang menunjukkan bagaimana kearifan dan kecerdasan suku Inca dalam ilmu rancang bangun.
Tak hanya Qoricancha, kemegahan suku Inca juga bisa dilihat pada Ollantaytambo, sebuah kota yang menawarkan penginapan, makanan, dan kenyamanan bagi para bangsawan Inca. Sementara teras-teras pertanian di lembah dikelola para pengikut mereka. Ada juga Sacsayhuaman, sebuah benteng raksasa yang tersusun dari batuan hitam setinggi enam meteran.
Yang tak kalah menakjubkan adalah Moray, sebuah kompleks bangunan teras yang besar, bertingkat, dan melingkar-lingkar. Teras terbawahnya sedalam sekitar 30 meter. Antara teras teratas dan terbawah memiliki perbedaan suhu 15 derajat celcius. Bangunan ini juga dilengkapi sistem irigasi yang canggih. Moray bagaikan sebuah rumah kaca (green house) terbuka masa kini. Kompleks bangunan ini mampu merekayasa iklim mikro. Bangunan ini sengaja dibuat untuk mempelajari efek kondisi iklim yang berbeda pada tanaman. Moray mungkin sebuah stasiun uji coba pertanian.
Banyak sejarawan dan ilmuwan percaya, suku Inca melakukan banyak uji coba untuk menentukan jenis biji-bijian, kacang-kacangan, kentang, dan –yang terpenting– jagung terbaik yang bisa menyesuaikan diri terhadap suhu dan ketinggian, termasuk suhu membeku seperti di puncak pegunungan Andes. Tak heran jika suku Inca mampu menyediakan makanan bagi 12 juta penduduknya kala itu.
Masih ada enam hingga delapan bangunan bersejarah lainnnya yang bisa Anda kunjungi di sekitar Cuzco dan tentu saja, yang paling terkenal, Macchu Picchu. Machu Picchu begitu mengagumkan. Menjelajahinya seolah kita sedang menelusuri pinggiran sungai, hutan lebat nan liar, tebing-tebing hijau, lalu melintasi kabut yang datang dan pergi dengan cepat, dan tiba-tiba di depan kita terbentang sebuah kota, sebuah peradaban. Indah dan mistis.
Teras-teras kokoh berjajar dari dasar kota hingga puncaknya, tempat bangunan-bangunan berbaris rapi. Menurut Museum Inca, ada lebih 700 teras di kota ini, dengan lebar minimal dua meter. “Teras-teras ini memiliki dua fungsi. Untuk sektor pertanian, terasnya lebih lebar untuk bertanam. Sementara untuk sektor urban, teras berfungsi menopang bangunan-bangunan –selain fungsi utamanya sebagai jaringan drainase dan kanal sepanjang hampir satu kilometer,” ujar Edy.
Qorichanca. (Sita Maemunah/Historia.ID).
Sebuah Universitas
Tapi sebenarnya bangunan yang kita lihat di Machu Picchu belum apa-apa, ujar Kenneth Wright, insinyur dari Wright Water Engineers Denver AS. Sebab, sekitar 60 persen konstruksi kota ini berada di bawah tanah, khususnya fondasi dan batuan untuk membuat sistem drainase. “Tak hanya sistem pengairannya yang baik, tekniknya juga ajaib,” ujar Wright.
Inilah kehebatan suku Inca, membangun kota pada kemiringan ekstrem, rawan gempa, dan punya curah hujan tinggi. Sebagian besar bangunan dibuat dari batu granit, tanah liat, dan kayu.
Curah hujan kawasan ini memang cukup tinggi. Terbukti, pada Januari 2010, hujan lebat menyebabkan banjir yang menenggelamkan jalan, termasuk jalur kereta api menuju Machu Picchu. Lebih dari 4.000 penduduk lokal dan turis terjebak, dan harus diselamatkan dengan pesawat udara. Machu Picchu ditutup, sebelum dibuka kembali tiga bulan kemudian.
“Semula Machu Picchu dianggap sebagai kota yang hilang suku Inca. Belakangan ada temuan lain menyatakan Machu Picchu semacam tempat belajar, universitas, bagi keluarga bangsawan mempelajari banyak hal, khususnya astronomi,” ujar Edy.
Jhon Verano, peneliti dan antropolog dari Universitas Tulane, New Orleans, Amerika Serikat, meyakini bahwa Machu Picchu adalah tempat retret atau religius bagi keluarga kerajaan dari abad ke-15 di masa Dinasti Pachacuti.
Namun masih ada teori lain yang menyebut Machu Picchu sebagai tempat administrasi. Guillermo Cock, arkeolog yang tinggal di Lima, tak melihat perbedaan itu sebagai pertentangan. Sebab, tidak seperti banyak budaya hari ini, suku Inca tak membedakan antara gereja dan negara, sehingga gagasan bahwa sebuah situs bisa melayani tujuan ganda bisa diterima. Menurutnya, dua ide tersebut terintegrasi. “Di mana saja kaisar hidup adalah suci, karena ia suci,” ujarnya.
Tapi Edy lebih suka teori Jhon Verano. Menurutnya, hingga saat ini “the lost city of Inca” tetaplah sebuah legenda. Dia percaya pengetahuan tentang Inca akan terus tumbuh; banyak hal yang tak diketahui akan terungkap. Seperti temuan jalur baru yang dulu biasa dipakai suku Inca. “Baru separuh dibersihkan. Tempat itu semula tak terlihat dan orang berpikir itu hanya dinding sebuah gunung. Mungkin jalan itu menghubungkan kota Inca satu dengan lainnya,” ujar Edy, menunjuk ke arah dinding sebuah gunung di utara Machu Picchu.
Kenapa suku Inca membangun situs di kawasan dengan ketinggian 2.430 mdpl? Tak terbayangkan berapa banyak pekerja dan material yang dibutuhkan. Itulah pertanyaan yang diajukan Edy untuk menjajal pengetahuan saya dan anggota rombongan. Jawabannya: air.
“Suku Inca membutuhkan waktu 50 tahun dan 3.000 pekerja untuk membangun Machu Picchu,” ujar Edy. “Mereka menemukan sumber air di atas dan menggunakannya untuk pertanian dan kegiatan lainnya. Ada dua alasan lainya; ketinggian membuat suku Inca merasa dekat dengan penciptanya dan lebih mudah melihat musuh dari ketinggian.”
Yang tak kalah mengagumkan, suku Inca memiliki pengetahuan dalam ilmu perbintangan. Di sini ada Intiwatana, sebuah bangunan khusus untuk observasi astronomi. Dari sini, penghuni kota mengamati posisi matahari dan bumi, membaca tanda kapan musim berganti dan kapan musim tanam atau ritual harus dilakukan.
“Coba siapa yang punya kompas, mari kita cocokkan arah mata angin dengan batu mata angin ini,” ujar Edy sambil berjongkok di sebuah batu berbentuk trapesium memanjang. Salah satu anggota rombongan menjulurkan ponsel yang memiliki fitur kompas. Jarum kompas bergerak sebentar dan langsung menunjuk sejajar dan searah ujung-ujung batu.
Beberapa bangunan lainnya juga berkaitan dengan pengetahuan astronomi mereka. Misalnya, pintu matahari (sun gate), kuil matahari (temple of the sun), dan tiga jendela (the three windows) tempat cahaya matahari masuk, yang menandai pergantian musim.
Suasana malam di kota Cuzco. (Siti Maemunah/Historia.ID).
Tiga Pertanyaan
Tak terasa, kami sudah berjalan sekitar 2,5 jam menelusuri lorong-lorong Machu Picchu. Edy hampir merampungkan tugasnya sebagai pemandu. “Sebelum kita akhiri saya ingin menanyakan tiga hal pada kalian,” ujar Edy sambil berdiri di depan rombongan. “Pertama, bagaimana cara menyebutkan nama Cuzco dengan benar?”
“Baca Kosko, tanpa huruf z. Ayo ucapkan Kosko,” ujarnya kencang. Kami ramai-ramai menirukannya.
Pertanyaan kedua, apa nama tiga binatang suci suku Inca. “Elang, Puma, dan Ular,” ujar salah satu anggota rombongan diikuti gumaman yang lain. Terakhir, dia menanyakan apa arti tiga sudut kanan bawah dalam simbol suku Inca. Kami menjawab hampir serempak: “Tidak boleh bohong, tidak boleh mencuri, dan tak boleh malas.”
Edy menyudahi perjalanan ini dengan perasaan gembira yang menyenangkan. Kami bertepuk tangan dan menyampaikan berkali-kali, “muchas gracias Edy”. Terima kasih banyak, Edy.
Esoknya kami harus kembali ke Cuzco dan terbang menuju Lima, ibu kota Peru. Namun, kembali ke Lima membuat saya bagai berjalan mundur; pindah dari kemegahan dan kecerdasan warisan peradaban suku Inca ke potret buram kekinian Peru, sebuah negara yang kini bergantung pada industri keruk dan lebih dikenal karena konflik dan kerusakan lingkungannya.*