Sama-sama pernah aktif di dunia pendidikan, kepanduan, dan kemiliteran. Tidak seperti Soedirman, bekas muridnya yang jadi panglima TNI, sosoknya nyaris tak dikenal.
RUMAH di Jalan Pangadegan Jakarta Selatan ini tampak biasa-biasa saja. Bangunannya sudah tua. Namun, ada kemewahan yang sulit dinikmati di rumah-rumah di Jakarta. Pekarangannya luas, dengan pepohonan dan rumput hijau. Udara segar tersebar dengan baik bagi penghuninya.
Di rumah itu, Poppy Julianti tinggal bersama anaknya, Miranti Soetjipto-Hirschmann, yang dikenal sebagai seorang wartawan. Dulu tentu rumah itu lebih ramai. Tidak hanya semua anaknya tinggal di sana, tapi juga ayah dan ibunya, Soewardjo Tirtosoepono dan Markamah, yang tinggal di salah satu pavilion rumah itu.
Kenangan tentang Soewardjo, yang tutup usia tahun 1992, masih hidup dalam memori Poppy dan Miranti. Bertahun-tahun mereka membuatkan kronik riwayat hidup Soewardjo. Tak lupa mereka menyimpan dan merawat semua kenangan dari Soewardjo: catatan tangan, surat penghargaan, kartu-kartu.
Tidak semua orang mengenal sosok Soewardjo Tirtosoepono. Tapi jika menyebut salah satu muridnya, semua orang pasti tahu: Soedirman.
Soewardjo pernah menjadi guru Soedirman remaja di Cilacap. Sebelum jadi guru, Soewardjo pernah menimba ilmu di Akademi Militer Breda di Belanda. Bekal pengetahuan militer itulah yang mendekatkannya dengan Soedirman.
“Soedirman tampak tertarik dengan militer dan strategi perang,” ujar Miranti.
Sama seperti Soewardjo, Soedirman pernah jadi guru dan ikut kepanduan, sebelum akhirnya berkarier di militer. Soedirman kemudian kita kenal sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) pertama. Sementara Soewardjo?
RUMAH di Jalan Pangadegan Jakarta Selatan ini tampak biasa-biasa saja. Bangunannya sudah tua. Namun, ada kemewahan yang sulit dinikmati di rumah-rumah di Jakarta. Pekarangannya luas, dengan pepohonan dan rumput hijau. Udara segar tersebar dengan baik bagi penghuninya.
Di rumah itu, Poppy Julianti tinggal bersama anaknya, Miranti Soetjipto-Hirschmann, yang dikenal sebagai seorang wartawan. Dulu tentu rumah itu lebih ramai. Tidak hanya semua anaknya tinggal di sana, tapi juga ayah dan ibunya, Soewardjo Tirtosoepono dan Markamah, yang tinggal di salah satu pavilion rumah itu.
Kenangan tentang Soewardjo, yang tutup usia tahun 1992, masih hidup dalam memori Poppy dan Miranti. Bertahun-tahun mereka membuatkan kronik riwayat hidup Soewardjo. Tak lupa mereka menyimpan dan merawat semua kenangan dari Soewardjo: catatan tangan, surat penghargaan, kartu-kartu.
Tidak semua orang mengenal sosok Soewardjo Tirtosoepono. Tapi jika menyebut salah satu muridnya, semua orang pasti tahu: Soedirman.
Soewardjo pernah menjadi guru Soedirman remaja di Cilacap. Sebelum jadi guru, Soewardjo pernah menimba ilmu di Akademi Militer Breda di Belanda. Bekal pengetahuan militer itulah yang mendekatkannya dengan Soedirman.
“Soedirman tampak tertarik dengan militer dan strategi perang,” ujar Miranti.
Sama seperti Soewardjo, Soedirman pernah jadi guru dan ikut kepanduan, sebelum akhirnya berkarier di militer. Soedirman kemudian kita kenal sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) pertama. Sementara Soewardjo?
Didepak dari Breda
Jika hidup lurus-lurus saja, Soewardjo barangkali jadi perwira Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) atau angkatan perang kolonial Hindia Belanda seperti Oerip Soemohardjo, Didi Kartasasmita, A.H. Nasution dan A.E. Kawilarang. Dia juga bisa berhubungan dengan Soedirman dalam posisi yang berbeda. Tapi sejarah tidak mengenal pengandaian.
Jalan hidup Soewardjo dimulai di Banyumas, Jawa Tengah. Di sanalah dia dilahirkan pada 5 Juni 1905 dengan nama lengkap Raden Soewardjo Tirtosoepeno. Dia adalah anak dari keluarga yang tergolong berkecukupan di zamannya. Ayahnya, Mas Tirtosoepono, adalah pegawai pegadaian di Kroya, Jawa Tengah. Karena telah bekerja selama 40 tahun dan menjadi pegawai pegadaian tertua, lansir koran De Expres 7 November 1922, Mas Tirtosoepono dianugerahi penghargaan Bintang Perak Kesetiaan.
Soewardjo menikmati pendidikan dengan baik. Dia menamatkan pendidikan di Europe Lager School (ELS), sekolah dasar tujuh tahun untuk anak Eropa, di Banyumas tahun 1919. Kemudian merampungkan kelas tiganya di Gymnasium Willem III atau dikenal sebagai HBS KW III, tahun 1922. Sekolah menengahnya itu berada di Salemba, yang kini berada dalam areal Perpustakaan Nasional Salemba.
Ketika bersekolah di Gymnasium Willem III, Soewardjo tinggal bersama kakaknya yang bekerja di pegadaian Salemba. Setelahnya dia tinggal di asrama pelajar. Pelajar yang berasrama di sana biasanya bersekolah kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Kwitang dan hukum di Rechtsschool Gambir.
Setelah lulus dari Gymnasium Willem III, Soewardjo ingin berkarier di kemiliteran. Pilihan tersebut tidaklah mengherankan. Dia punya famili yang juga berkarier di militer. Letnan infanteri kelas satu Raden Soemarno, disebut Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL 1900-1950, sebagai paman Soewardjo.
Soemarno bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) sejak 1910 sebagai peserta pelatihan calon perwira di Sekolah Militer Jatinegara, setahun sebelum Oerip Soemohardjo. Soemarno tetap berada di TNI setelah Indonesia merdeka dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Sementara Oerip Soemohardjo dikenal sebagai kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama.
Menjadi perwira KNIL juga berarti jaminan hidup mapan. Didi Kartasasmita, yang jadi perwira KNIL tahun 1930-an, dalam biografinya menyebut gaji awalnya sekitar 105 gulden. Jumlah itu sudah sangat besar bagi orang yang masih muda. Harga emas per gram kala itu saja masih 2 gulden. Gaji Didi terus merangkak naik. Dia bahkan punya pemasukan hingga 400 gulden. Gaji besar tentu menarik golongan priyayi muda seperti Soewardjo.
Maka, Soewardjo berangkat ke Negeri Belanda dan masuk sekolah kadet di Alkmaar, dari tahun 1922 hingga 1924. Menurut Harry Poeze dkk dalam Di Negeri Penjajah, sekolah kadet Alkmaar adalah sekolah persiapan untuk masuk akademi militer. Sekolah kadet itu bubar pada 1924, jadi Soewardjo tergolong siswa angkatan terakhir.
Menurut Poppy Julianti, dalam arsip keluarga, ayahnya adalah lulus terbaik, “sebagai nomor empat dan dianjurkan meneruskan ke KMA.”
KMA atau Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Belanda, adalah sekolah untuk perwira. Sekolah ini biasanya diikuti oleh anak-anak dari golongan priyayi bergelar raden. Setelah lulus mereka akan jadi orang terpandang di ketentaraan.
“Ia telah lulus dalam pelajaran KMA (Koninklijke Militaire Academie) - bagian Infanteri di Breda Nederland tahun 1927,” sebut sebuah surat yang ditujukan kepada Menteri Sosial RI, Jakarta 24 Januari 1987. Namun Soewardjo tak pernah disumpah sebagai letnan dua KNIL. Poppy menyebut ayahnya enggan bersumpah kepada Ratu Belanda.
Ada soal lain kenapa Soewardjo gagal menjadi perwira. Koran-koran Belanda waktu itu memberitakan Soewardjo, yang baru saja diangkat sebagai perwira, dikeluarkan karena berhubungan dengan organisasi komunis.
Sentimen antikomunis di wilayah kerajaan Belanda menguat setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa dan Sumatra Barat pada November 1926 dan Januari 1927. Pemerintah kolonial melakukan pengawasan dan bersikap keras kepada kaum pergerakan nasional, termasuk mereka yang belajar di Negeri Belanda dan tergabung dalam Indische Vereeniging alias Perhimpunan Indonesia (PI).
Soewardjo, sebut Harry Poeze dkk, menjadi anggota PI tak lama sesudah tiba di Negeri Belanda. Jadi, ketika Soewardjo belajar di sekolah kadet Alkmaar. Ketika keadaan menjadi gawat, Soewardjo mengikuti saran seorang pengurus agar melepaskan keanggotaan PI demi menyelamatkan masa depannya untuk berkarier di militer. Namun Soewardjo enggan memutuskan hubungan dengan para anggota PI. Dia bahkan mengungkapkan simpatinya terhadap perjuangan kemerdekaan.
Menurut koran-koran masa itu, kamar Soewardjo kemudian digeledah dan ditemukan dokumen-dokumen yang menunjukkan dia adalah anggota PI. Soewardjo ditahan selama 24 hari dengan penjagaan ketat. Dia sempat dipanggil menghadap Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda J.M.J.H. Lambooy. Dalam pertemuan itu Soewardjo tetap pada pendiriannya mengenai gagasan kemerdekaan Indonesia.
Soewardjo pun ditendang dari ketentaraan.
Jejak Kepanduan
Setelah gagal menjadi letnan dua KNIL, keterlibatan Soewardjo dalam PI kian menjadi-jadi. Dia menjadi wakil PI dalam urusan di luar Belanda selama Hatta dkk berada dalam tahanan pada akhir 1927. Dia sempat kuliah di Universitas Leiden, meski hanya sebagai mahasiswa pendengar dan tanpa memperoleh gelar. Pada 1929, Soewardjo pulang ke tanah air.
“Beliau bekerja sebagai awak kapal yang mengadakan perjalanan ke Batavia. Dia tidak usah bayar, tetapi dibayar. Tetapi betul-betul awak kapal yang just clean the ship. Bukan sebagai pelaut,” ujar Miranti.
Tiba di Indonesia, Soewardjo menyaksikan kota Batavia yang sudah berubah. Asrama tempatnya dulu tinggal ketika bersekolah di Gymnasium III telah menjadi markas kaum pergerakan nasional. Gedung asrama itu menjadi tempat Kongres Pemuda II yang menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda.
Soewardjo masih belum memutuskan langkah berikutnya. Dalam pikirannya dia harus mencari cara untuk menjelaskan kepada orangtuanya mengenai kegagalannya jadi tentara. Tak disangka, ayahnya tak kecewa. Bahkan bangga atas pilihan anaknya untuk melibatkan diri di dunia pergerakan meski jauh dari kemapanan.
Di Batavia, Soewardjo kuliah di Recht Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum yang belum lama dibuka di Gambir –kini, menjadi areal kantor Kementerian Pertahanan. Kemudian dia menjadi guru SMA di Perguruan Rakjat di Gedung Nasional Jalan Kenari. Soewardjo juga menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan sempat berkunjung ke rumah Sukarno di Jalan Pungkur Bandung atas anjuran Mr Sartono.
Soewardjo tak lama bergiat di PNI. Menyusul penahanan Sukarno, PNI dibubarkan pada 1931. Sebagai gantinya lahir Partai Indonesia (Partindo) dengan ketua Mr. Sartono. Soewardjo masuk di dalamnya. Di Partindo, Soewardjo menjabat sebagai ketua departemen organisasi dan kursus pemimpin atau sebutan waktu itu “badan pengurus perguruan pemimpin”.
Dalam pertemuan pertama Partindo, dilansir koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 10 Juli 1931, Soewardjo ikut berbicara mengenai organisasi partai. Dia juga menjadi salah satu pembicara dalam rapat umum Partindo cabang Bandung seperti dilansir De Koerier 8 September 1931. Pembicara lain dalam rapat umum itu antara lain Sukarno, Sartono, Soewirjo, Gatot Mangkupraja.
Soewardjo juga kerap memberikan kuliah dalam rapat-rapat tertutup untuk anggota-anggota Partindo. Misal, dalam rapat di resort Mr Cornelis, Kemayoran, dilansir Bintang Timoer 2 November 1931, dengan pembicara Soewardjo, Amir Sjarifuddin, Antapermana Pantauw, dan D. Moeda.
Selain partai politik, Soewardjo terlibat dalam gerakan kepanduan atau yang saat ini dikenal dengan Pramuka. Bahkan Soewardjo dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah kepanduan Indonesia.
Gerakan kepanduan dipelopori oleh Robert Baden Powell di London, Inggris, pada 1907, yang dengan cepat menjalar ke Eropa hingga Asia. Di Indonesia, benih kepanduan ditanam orang-orang Belanda. Keanggotaannya mula-mula hanya orang Eropa kemudian terbuka bagi anak-anak bumiputera, terutama dari lapisan atas.
Kepanduan bumiputera muncul pada 1916 atas inisiatif S.P. Mangkunagoro VII di Solo dengan nama Javaanse Padvinders Organisatie. Kemudian disusul lahirnya organisasi-organisasi kepanduan lainnya. Salah satunya Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO), tempat Soewardjo menyumbangkan pikiran dan tenaganya.
Pentingnya persatuan mendorong penyatuan organisasi kepanduan. Pada 1929, seperti dicatat Buku Peringatan Pantja WarsaPandu Rakjat Indonesia, berdiri semacam badan federatif dengan nama Persatuan Antar Pandu Indonesia (PAPI). Tujuannya mempererat persaudaraan dan memudahkan kerjasama di antara anggota PAPI.
Terbentuknya PAPI menjadi fase pertama menuju penyatuan. Fase berikutnya ditandai dengan lahirnya Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
KBI didirikan pada 13 September 1930, hasil peleburan INPO, Pandoe Kebangsaan (dari Jong Java), dan Pandoe Pemoeda Soematera. Menurut anggaran dasarnya, KBI memiliki tujuan, “turut mendidik putra dan putri agar supaya di kemudian hari mereka dapat menjadi anggota pergaulan hidup yang berguna dan cakap, dan akan menjadi pembela Tanah Air yang sejati.”
Soewardjo, disebut Poppy Julianti, mendirikan KBI bersama Moewardi dan Bahder Djohan. Soewardjo mewakili INPO, Moewardi (Pandoe Kebangsaan), dan Bahder (Pandoe Pemoeda Soematera). Selain ikut andil dalam terbentuknya KBI, Soewardjo terpilih menjadi ketua Pengurus Besar KBI.
Tak lama setelah terbentuk, KBI mengadakan jambore di Ambarwinangun, Yogyakarta. Kegiatan yang dikenal sebagai Jambore Nasional KBI I ini dikunjungi oleh 30 cabang yang tersebar di Jawa, Bali, Madura, dan Sumatra. Jambore ini juga menjadi ajang pertemuan atau kongres pemimpin KBI. Pada pertemuan inilah Soewardjo ditetapkan sebagai ketua Pengurus Besar KBI.
Jambore Nasional II dan pertemuan pemimpin KBI kedua diadakan tahun 1932. Namun, sebelum pelaksanaan jambore, Soewardjo sudah pulang ke kampung halamannya. Posisinya sebagai ketua digantikan Soeratno Sastroamidjojo.
Di Cilacap, Soewardjo menikahi Markamah binti Enung Masdria, seorang guru kelahiran Bandung 23 September 1908. Seperti Soewardjo, Markamah aktif dalam pergerakan nasional. Beberapa anak mereka lahir di Cilacap.
Mengajar Soedirman
Di Cilacap, Soewardjo diajak Raden Soemojo Koesoemo untuk ikut mendirikan perguruan Parama Wiworotomo pada 1931. Sekolah ini bertujuan memberikan kesempatan kepada kaum bumiputera untuk menikmati pendidikan.
Sekolah ini, menurut Poppy Julianti, “oleh pemerintah Hindia Belanda dikategorikan sebagai wilde school (sekolah liar),” ujar Poppy. Sekolah liar merujuk pada sekolah-sekolah yang tidak mendapat subsidi pemerintah kolonial.
Soewardjo ikut mengajar bersama tokoh-tokoh terkemuka Cilacap lainnya seperti Raden Moh. Kholil dan Nona Kasmah (adik kandung Kasman Singodimuljo). Salah satu murid Wiworotomo yang menonjol adalah Soedirman.
Soedirman, sejak lahir, diurus dan tinggal di rumah paman sekaligus ayah angkatnya, Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang. Ketika berusia delapan bulan, dia diboyong pindah ke Cilacap setelah Tjokrosoenarjo pensiun. Soedirman mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setara sekolah dasar. Setelah lulus melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, lalu setahun kemudian pindah ke Parama Wiworotomo.
Sebelum menerima Soedirman, para guru dan pimpinan Wiworotomo mengadakan rapat. Mereka memutuskan untuk menerima Soedirman. Masalah uang sekolah Soedirman tak menjadi masalah. Soewardjo mengulurkan tangan.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62db0212fd653d3b62cb51c7_Intersection%209.jpg" alt="img"></div><figcaption>Jendral Soedirman adalah salah satu murid Soewardjo di perguruan Parama Wiworotomo Cilacap. (NIGIS [Netherlands Indies Government Information Service] via nationalarchief)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62db0219dcf6316cc8c92aa9_Intersection%2010.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/guru-pak-dirman/PODCAST_YASMIN-MIRANTI.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Miranti Soetjipto-Hirschmann</b><br>Cucu Soewardjo Tirtosoepono. (Fernando Randy/Historia.ID).</span></div></div></div>
“Eyang memutuskan untuk menyisihkan sebagian penghasilannya agar Soedirman bisa tetap sekolah,” ujar Miranti berdasarkan cerita keluarga besarnya. Soedirman jadi akrab dengan keluarga Soewardjo.
Rumah Soewardjo kerap disambangi Soedirman yang tertarik pada kemiliteran dan strategi perang. Soardjo pun tak sungkan mengajari anggar dan berkuda, dua pelajaran yang didapatkannya di Breda.
Soewardjo juga jadi tempat bertanya Soedirman yang tertarik politik dan militer era Perang Dunia I. Misalnya, bagaimana seorang panglima harus bersikap ketika keadaan tidak menguntungkan dalam sebuah perang dan menghadapi kekalahan. Dari Soewardjo pula, yang bergiat dalam Partindo, Soedirman mendapatkan gemblengan rasa kebangsaan.
Dalam kenangan Soewardjo, Soedirman tampil sebagai murid yang menonjol di sekolah. Soedirman membiasakan diri untuk mempelajari dahulu materi pelajaran sebelum para gurunya mengajarkannya di kelas. Soedirman juga tergolong bagus dalam kepanduan.
“Dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari ia termasuk golongan “top” (teratas) dalam kelas,” ingat Soewardjo, seperti terekam dalam koleksi arsip keluarga.
Setelah lulus dari Wiwirotomo, Soedirman sempat setahun belajar di sebuah Kweekschool (sekolah guru) milik Muhammadiyah di Solo. Setelah itu dia menjadi guru HIS Muhammadiyah, Cilacap.
Baik Soewardjo maupun Soedirman kemudian menceburkan diri di dunia kemiliteran.
Kesempatan Kedua
Perang sudah di depan mata. Menghadapi kemungkian serangan pasukan Jepang, pemerintah kolonial mulai memberikan perhatian pada aspek pertahanan. Untuk mengatasi kekurangan personel, selain membentuk milisi, pemerintah merekrut tenaga-tenaga bumiputera sebagai tentara. Mereka juga mengadakan kursus tentang pencegahan serangan udara dan menarik beberapa orang berpengaruh untuk bergabung dengan Luchtbeschermingsdienst (LBD) alias Dinas Perlindungan Bahaya Udara.
Soewardjo melihat kesempatan kedua untuk mewujudkan cita-citanya sebagai tentara. Bekal pengalaman di KMA Breda diperhitungkan. Apalagi Belanda mengalami kekurangan perwira menyusul penutupan KMA Breda akibat pendudukan Jerman atas Belanda, dan penghentian pengiriman perwira tetap dari Belanda. Belanda memang mendirikan KMA di Bandung tapi masih butuh waktu untuk menghasilkan perwira-perwira andal.
Soewardjo bergabung dengan LBD di Cilacap. Begitu pula Soedirman, bekas muridnya.
Tidak banyak informasi mengenai aktivitas Soewardjo di LBD. Salah satunya, berita dari De Locomotief 2 Juni 1938 tentang demonstrasi udara LBD Cilacap yang mendapatkan animo besar dari masyarakat. Dalam acara itu Soewardjo hadir dan koran tersebut menyebutnya sebagai kepala sektor IV. Menariknya, jabatan yang sama kemudian diduduki Soedirman.
Masih di tahun yang sama, Soewardjo bertugas di Jawa Barat. Koran De Koerier 16 Agustus 1938 memberitakan bahwa Soewardjo ditugaskan untuk sementara waktu sebagai pengawas juru bayar kelas 2 Wapen der Genie (Cabang Zeni) dan ditempatkan di Cimahi. Wapen der Genie adalah kesatuan militer yang bertanggung jawab untuk semua pekerjaan zeni di Hindia Belanda. Sekitar tahun 1905, markas besar sementara zeni dipindahkan ke Cimahi.
Karier Soewardjo tampaknya benderang. Dia bahkan sempat diusulkan menjadi inspektur LBD tapi terganjal masa lalunya.
Menurut Yannick Lengkeek dalam “Staged Glory: The Impact of Fascism on ‘Cooperative’ Nationalist Circles in Late Colonial Indonesia, 1935-1942”, dimuat di Jurnal Fascism 7 (2018:124), personel terkemuka di LBD memuji dukungan organisasi kepanduan, warga sipil, dan pers Indonesia. Namun, di sisi lain, pemerintah menolak memberikan akses kepada orang-orang Indonesia untuk menduduki posisi teratas. Hal ini terjadi pada Soewardjo.
Pada 1938, catat Lengkeek, direktur Binnenlandsch Bestuur (Badan Administrasi Urusan Dalam Negeri) menghubungi gubernur Jawa Tengah untuk menanyakan calon yang telah direkomendasikan kepadanya. Gubernur Jawa Tengah menyarankan agar tak menunjuk Soewardjo sebagai kepala inspektur LBD. Dalam kata-kata gubernur, “masa lalu yang tidak stabil dan karakternya yang tampaknya goyah” membuat Soewardjo menjadi kandidat yang tidak cocok untuk tugas ini. Namun, penilaian pertama dan terutama didasarkan pada keterlibatannya sebelumnya dengan partai-partai nasionalis berhaluan kiri.
Pertahanan Hindia Belanda yang rapuh ternyata dengan mudah dibobol balatentara Jepang. Hindia Belanda pun menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang di Subang. Menurut Poppy, saat Jepang menyerbu Indonesia, Soewardjo bersama Suryadi Suryadarma membobol kluis (lemari besi) Departemen van Oorlog (DVO) atau Departemen Peperangan di Bandung.
“Mereka mengangkut peta-peta lapangan-lapangan minyak milik perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia,” catat Poppy Julianti. Suryadarma juga lulusan KMA Breda dan kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pertama.
Militer pendudukan Jepang suka memanfaatkan golongan yang di zaman kolonial terpinggirkan. Baik Soewardjo maupun Suryadarma diangkat sebagai polisi.
“Setelah Indonesia dikuasai Jepang ia menjadi anggota kepolisian bersama Bapak Suryadi Suryadarma agar lebih leluasa mengadakan gerakan bawah tanah,” catat Poppy Julianti.
Soewardjo menyandang pangkat ittoo keibuho (pembantu inspektur polisi kelas 1) untuk Priangan syu atau karesidenan Priangan. Menurut M. Oudang dalam Perkembangan Kepolisian di Indonesia (1952), ittoo keibuho tercatat sebagai pegawai menengah tingkat 2 dengan gaji R.70 - R.270.
Kedudukannya sebagai polisi membuat Soewardjo dekat dengan kelompok nasionalis. Dia kerap memberikan bantuan kepada rekan sebangsanya yang mendapat kesulitan. Misalnya, menyediakan sebuah kamar di Gedung Bumiputera untuk Abdul Haris Nasution, mantan perwira KNIL yang melarikan diri dari kesatuannya dan hidup di Bandung. Nasution kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Darat terlama dalam sejarah Indonesia.
Semasa jadi polisi, Soewardjo pernah melatih polisi dari beberapa daerah di Indonesia dalam hal penggunaan senjata ringan dan berat di Bandung. Polisi-polisi itu lalu menjadi Polisi Istimewa –yang di antaranya menjadi anggota Brigade Mobil (Brimob).
Setelah Indonesia merdeka, Poppy Julianti menyebut Soewardjo masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung. Namun, setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berdiri, dia justru menghilang. Soewardjo ditangkap tentara Inggris dan diserahkan kepada sekutunya, Belanda.
“Eyang beberapa kali berada di Belanda. Keberadaan Eyang di sana diminta Sekutu untuk menerangkan kepada pihak Belanda bagaimana Indonesia saat itu,” ujar Miranti. Kala itu Parlemen Belanda mencari tahu apa kemauan rakyat Indonesia, meski pemerintahnya berusaha menguasai Indonesia.
Bagaimana Soewardjo ditangkap masih kabur. Sebuah sumber menyebut, selama jadi polisi masa Jepang, Soewardjo kerap membantu tahanan Belanda. Dia juga terlibat dalam Perundingan Hooge-Veluwe di Belanda. Tak ada informasi detail mengenai hal itu.
Ada sebuah laporan interogasi Nefis atau Dinas Intelijen Belanda yang menyebut nama Soewardjo dalam kaitan kekejaman tentara Jepang di Bandung. Soewardjo melaporkan bahwa pada Maret 1942, 40 tentara Australia ditawan, dipukuli sampai tak sadarkan diri, dimasukkan keranjang dan dibawa truk keliling lapangan udara, lalu di ditembak mati di sebuah parit di Yogyakarta.
Soewardjo menyaksikan hal yang sama saat berada di Bandung. Jepang mengambil 30-40 orang kulit putih, mengikat tangan mereka ke belakang, menyatukannya dengan tali panjang ke bagian belakang truk. “Orang-orang itu diseret truk sehingga dia tak bisa memastikan apakah semua orang itu terbunuh atau tidak.”
Karena Soewardjo adalah nama umum, belum jelas apakah laporan tersebut merujuk pada Soewardjo Tirtosoepono. Begitu juga mengenai keterlibatannya dalam Perundingan Hooge-Veluwe pada 14-24 April 1946.
Perundingan Hooge-Veluwe dilakukan menyusul kegagalan perundingan pendahuluan di Jakarta antara NICA (Belanda) dan Indonesia setengah tahun sebelumnya. Inggris jadi penengah dengan mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr. Dalam perundingan, Belanda menyampaikan keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bawahan dalam persemakmuran Belanda. Indonesia menolak dan menuntut pengakuan kedaulatan penuh.
Miranti menyebut, Soewardjo dikembalikan ke pihak Republik pada 1948. Sekembalinya ke Tanah Air, dia dicurigai sebagai orang yang bekerjasama dengan Belanda. Meski begitu, sebuah surat pernyataan yang dibuat Mr Soenario Sastrowardoyo, rekan seperjuangannya selama di Perhimpunan Indonesia, kepanduan, hingga PNI, menerangkan bahwa Soewardjo tak pernah bekerjasama dengan Belanda.
Setelah perang berakhir, Soewardjo menata kembali hidupnya. Dia sempat jadi pengusaha di Bandung dan berhubungan dengan para pandai besi di Ciwidey. Tak lama dia kembali terjun ke dunia pendidikan. Dia tercatat sebagai salah satu pendiri Sekolah Luar Biasa (SLB). Tak heran jika pada 1977, menurut arsip keluarga, dia mendapat tanda penghargaan dari Presiden Soeharto sebagai perintis Pembinaan Pendidikan Sekolah Luar Biasa.
Keterlibatan Soewardjo dimulai pada 1951. Dia bergabung dengan perkumpulan yang mengelola Rumah Buta Bandung.
Usaha perbaikan nasib penyandang tunanetra dirintis oleh seorang dokter mata berkebangsaan Belanda, dr. C.H.A Westhoff. Pada April 1901, Westhoff bersama beberapa orang lainnya mendirikan Vereeniging tot Verbetering van het lot der Blinden in Ned. Oost-Indie (Perkumpulan untuk Perbaikan Nasib Penyandang Tunanetra di Hindia Belanda). Melalui kegiatan penggalangan dana, perkumpulan ini membuka Bandoengsche Blinden Institute (Rumah Buta Bandung) pada September 1901 –kini menjadi Sekolah Luar Biasa Negeri A (SLBN A) Bandung. Tujuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan dan rehabilitasi kepada para tunanetra.
Perkumpulan mengalami masa-masa sulit pada masa pendudukan Jepang. Setelah perang berakhir, perkumpulan aktif kembali. Dicatat Penjuluh Sosial terbitan tahun 1969, pada 1951 pengurus perkumpulan diketuai oleh A.J. Harmsen, sementara Soewardjo tercatat sebagai anggotanya. Susunan kepengurusan berubah ketika beberapa anggota perkumpulan berhenti atau meninggalkan Bandung. Soewardjo menduduki jabatan wakil ketua.
Sebagai pengurus, Soewardjo berupaya mengembangkan Rumah Buta Bandung –yang kini dikelola Departemen Sosial. Kepada Kedaulatan Rakjat 4 Juli 1951, Soewardjo menyebut bahwa Rumah Buta Bandung boleh dikatakan salah satu rumah buta yang besar di dunia dengan tingkat pelajaran yang diberikan lebih tinggi dibandingkan rumah-rumah buta di Asia.
Saat itu Rumah Buta Bandung mengasuh 501 orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa, yang sebagian kecil orang Tionghoa dan Belanda, diberi didikan dan pelajaran berbagai kerajinan tangan. Sedangkan anak-anak disekolahkan di sekolah rendah dengan semua pelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Sekolah ini, kata Soewardjo, telah mendapatkan status dan pengakuan dari Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK).
Untuk pembiayaan, jika pada masa Belanda perkumpulan mendapat subsidi 10 persen dari pemerintah, saat ini sebesar 90 persen. Sisanya diperoleh dari ikhtiar sendiri atau derma. Selain itu, setiap bulan menerima sumbangan Rp 20-25.000 dari Jawatan Sosial yang dipakai untuk kebutuhan internal, sedangkan untuk gaji guru dan pengurusnya diperoleh dari Kementerian PPK.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, pemerintah mendirikan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) Negeri di Bandung pada 1952. Karena pengalamannya, Soewardjo bekerja sebagai pegawai pemerintah. Buku Djawatan Pendidikan Umum, Dep. P. P. dan K. Triwarsa, 15 Maret 1957-15 Maret 1960 (1960) menyebut Soewardjo menjabat Inspeksi SGPLB dalam lingkungan Pusat Urusan Pendidikan Guru. Tugasnya mengurus dan mengawasi penyelenggaraan sekolah guru untuk mencukupi kebutuhan dinas Pendidikan Luar Biasa. Dalam buku yang sama Soewardjo kemudian tercatat sebagai kepala Usaha Pendidikan Luar Biasa (UPLB).
Pada 1961, Soewardjo ditunjuk oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia. Perubahan itu dmulai dari Sekolah Rendah (SR). Untuk tugas itu, tulis Kedaulatan Rakjat 4 September 1961, Soewardjo keliling daerah untuk mengumpulkan bahan-bahan. Pokok pemikirannya bagaimana anak-anak yang “tidak mampu otaknya” atau orangtuanya tak mampu membiayainya mendapatkan pendidikan khusus agar tak terlantar. Untuk itu di SR harus ada kelas khusus yang dinamakan “kelas masyarakat” yang memberikan ketrampilan peternakan, pertanian, perikanan, perindustrian rakyat, dan sebagainya. Guru tidak hanya bertugas memberikan pelajaran tapi juga memberikan pertunjuk kepada murid mengenai lapangan pekerjaan.
Catatan arsip keluarga juga menyebut bahwa Soewardjo terlibat dalam pendirian Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada Juli 1960. Hingga pensiun pada 1963, Soewardjo tercatat sebagai pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soewardjo menikmati masa senjanya bersama anak dan cucunya di sebuah rumah di Jalan Pangadegan Jakarta Selatan. Sesekali dia berkumpul bersama kawan-kawan seperjuangannya dulu.
Pada masa-masa inilah Miranti dekat dengan Soewardjo, kakeknya. Miranti melihat kebersahajaan kakeknya. Dia pernah diajak kakeknya berkunjung ke rumah seorang sahabat, Mr Soenario Sastrowardoyo, dan mendengarkan dua orangtua itu mengenang masa hebat di era pergerakan nasional.
Miranti juga ingat betapa kritis kakeknya. Suatu kali sang kakek geram ketika membaca buku pelajaran sejarahnya yang katanya tak sesuai kenyataan sebagaimana disaksikan dan dirasakan olehnya. Kala itu Miranti tak paham mengapa kakeknya geram. Soewardjo sendiri tak punya cara untuk menjelaskan betapa rumitnya sejarah Indonesia kepada cucunya.
Suatu sore, Miranti didatangi kawannya yang merupakan taruna TNI. Melihatnya, Soewardjo yang makin menua dan jarang bicara seperti meledak dengan berkata dengan nada heran: “kadet.” Setelah kawan Miranti pulang, Soewardjo terus bertanya tentang taruna tersebut; seakan mengingat masa mudanya.
Di usia senjanya, Soewardjo tidak banyak bercerita tentang keterlibatannya dalam pergerakan nasional. Kendati demikian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 5/VI/1987/PK, Soewardjo Tirtosoepono diakui sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia.
Di pengujung hidupnya, Soewardjo harus kehilangan istrinya. Markamah meninggal dunia pada 30 Juni 1984. Delapan tahun kemudian Soewardjo menyusul. Soewardjo Tirtosoepono dimakamkan di tengah-tengah makam keluarga di sebuah bukit yang damai di Majenang, Cilacap.*