Sukarno bersama Asmara Hadi (kanan) dan istrinya, Ratna Djuami, anak angkat Sukarno. Asmara Hadi menghidupkan kembali Partindo pada 5 Agustus 1958. (narakata.com).
Aa
Aa
Aa
Aa
RAPAT umum PNI di Yogyakarta bubar pada tengah malam. Sukarno dan Gatot Mangkoepradja bermalam di rumah Mr. Soejoedi, pengacara dan ketua PNI Yogyakarta. Jam lima pagi, 29 Desember 1929, polisi menggedor rumah dan menangkap Sukarno dan Gatot. Keduanya kemudian dibawa dan dimasukkan ke penjara Banceuy di Bandung.
Penguasa kolonial melakukan penangkapan besar-besaran kepada anggota dan pimpinan PNI. Razia dilakukan pada 24 Desember 1929 di 37 tempat: 27 tempat di Jawa, 8 tempat di Sumatra, 1 tempat di Sulawesi dan Kalimantan. Jumlah penggeledahan 780: 400 di Jawa, 50 di Sumatra, 28 di Sulawesi, dan beberapa di Kalimantan. Setidaknya 180 pemimpin PNI ditahan, sebagian besar kemudian dilepaskan.
Setelah Sukarno ditahan, pimpinan PNI dipegang Mr. Sartono dan Anwari. Pada 4 Januari 1930, Pengurus Besar PNI mengeluarkan maklumat yang menyatakan PNI menghentikan kegiatan untuk sementara waktu.
RAPAT umum PNI di Yogyakarta bubar pada tengah malam. Sukarno dan Gatot Mangkoepradja bermalam di rumah Mr. Soejoedi, pengacara dan ketua PNI Yogyakarta. Jam lima pagi, 29 Desember 1929, polisi menggedor rumah dan menangkap Sukarno dan Gatot. Keduanya kemudian dibawa dan dimasukkan ke penjara Banceuy di Bandung.
Penguasa kolonial melakukan penangkapan besar-besaran kepada anggota dan pimpinan PNI. Razia dilakukan pada 24 Desember 1929 di 37 tempat: 27 tempat di Jawa, 8 tempat di Sumatra, 1 tempat di Sulawesi dan Kalimantan. Jumlah penggeledahan 780: 400 di Jawa, 50 di Sumatra, 28 di Sulawesi, dan beberapa di Kalimantan. Setidaknya 180 pemimpin PNI ditahan, sebagian besar kemudian dilepaskan.
Setelah Sukarno ditahan, pimpinan PNI dipegang Mr. Sartono dan Anwari. Pada 4 Januari 1930, Pengurus Besar PNI mengeluarkan maklumat yang menyatakan PNI menghentikan kegiatan untuk sementara waktu.
Pengadilan Landraad Bandung menjatuhkan vonis empat tahun kepada Sukarno dan dua tahun kepada Gatot Mangkoepradja. Putusan pengadilan terhadap Sukarno sekaligus membunuh PNI karena Pasal 169 Kitab Hukum Pidana Hindia Belanda mengancam siapa saja yang menjadi anggota perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan.
“Dalam pemahaman Sartono sebagai seorang ahli hukum, bunyi vonis tersebut sama saja dengan keputusan bahwa PNI adalah perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan,” tulis Daradjadi dalam biografi Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia.
Oleh karena itu, pada 9 Januari 1931, Sartono mengeluarkan instruksi agar semua cabang PNI membekukan seluruh kegiatan partai.
Sartono mengundang para pengurus PNI dari berbagai cabang untuk menghadiri kongres luar biasa pada 25 April 1931. Sartono menawarkan dua opsi: PNI maju terus dengan segala risikonya atau membubarkan diri dan membentuk partai baru dengan asas dan tujuan sama dengan PNI. Opsi kedua mendapat suara terbanyak. Sartono memutuskan membubarkan PNI. Kongres juga menetapkan pembagian aset partai: semua aset berwujud uang diserahkan kepada Taman Siswa; aset cabang Bandung diserahkan kepada koperasi Karoekoenan; kursi-kursi di Gang Kenari dan poliklinik diserahkan kepada Perguruan Rakyat.
Pada 29 April 1931, empat hari setelah PNI dibubarkan, didirikan Partai Indonesia (Partindo). Mohammad Hatta yang tidak setuju pembubaran PNI dengan kelompoknya mendirikan PNI Baru atau PNI Pendidikan. Sekeluarnya dari penjara Sukamiskin pada 31 Desember 1931, Sukarno berusaha mempersatukan Partindo dan PNI Baru, tetapi gagal. Dia pun memilih bergabung dengan Partindo pada 28 Juli 1932.
“Aku bergabung dengan Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua. Dunia pergerakan hidup lagi. Sebagai pemimpin partai aku memperoleh penghasilan 70 rupiah sebulan,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Menurut Soenario dalam Banteng Segi Tiga, di bawah pimpinan Sukarno, Partindo berkembang pesat bahkan melampaui PNI lama. Cabang-cabangnya bertambah sampai pelosok-pelosok Indonesia. Anggotanya mencapai 20.000, dua kali lipat anggota PNI.
Partindo di bawah Sukarno membuat penguasa kolonial Belanda menjadi ketakutan. Di bawah rezim Gubernur Jenderal Jhr. Mr. De Jonge yang konservatif, rapat-rapat Partindo dibubarkan dengan sewenang-wenang. Pemberontakan di kapal Zeven Provincien pada 4–10 Februari 1933 memukul Partindo karena pers putih melancarkan tuduhan Partindo yang mendalanginya.
Tepat delapan bulan dari hari pembebasannya, Sukarno kembali ditangkap penguasa kolonial di rumah Mohammad Husni Thamrin di Sawah Besar Jakarta, pada 31 Juli 1933. Pemimpin Partindo lain yang ditangkap yaitu Njonoprawoto, Mr. Budiarto, Mr. Amir Sjarifuddin, Jusuf Jahja, dan lain-lain. Beberapa hari setelah Sukarno ditangkap, pemerintah kolonial mengeluarkan larangan berapat (vergaderverbond), berkumpul dan bertemu (bijkeenkomst ontmoeting) kepada Partindo.
“Anehnya, Partindo secara resmi tak dinyatakan sebagai partai terlarang terkecuali untuk pegawai negeri,” kata Soenario.
Sukarno diasingkan ke Ende, Flores, kemudian ke Bengkulu, di mana dia tinggal sampai akhir kekuasaan Belanda pada 1942.
Menurut Soenario, Sukarno membuat keputusan yang mengecewakan karena saat di Sukamiskin, dia mengirim surat pengunduran diri dari pergerakan politik dan berhenti sebagai anggota Partindo. Soenario menduga “Bung Karno bertindak demikian semata-mata untuk menyelamatkan pergerakan nasional.”
Tekanan penguasa kolonial akhirnya memaksa Partindo membubarkan diri pada 18 November 1936. Karena gerakan nonkooperasi ditindas penguasa, maka sebagai pengganti Partindo didirikan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) pada 24 Mei 1937 dengan haluan kooperasi dengan pemerintah Belanda. “Bagi Gerindo kooperasi hanyalah siasat belaka yang dapat diubah-ubah, sedangkan prinsip perjuangan tetap dipertahankan,” kata Soenario.
Pimpinan dan anggota Gerindo berasal dari anggota PNI/Partindo antara lain Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Sartono, Sarmidi Mangunsarkoro, Njonoprawoto, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, dan lain-lain. Asas dan tujuan Gerindo secara praktis sama dengan PNI dan Partindo hanya rumusannya dibuat berbeda: bukan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi melainkan demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Pembentukan Gerindo juga sebagai respons bahaya fasisme Jepang sehingga menempuh kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Gerindo berakhir ketika Jepang datang.
Setelah Indonesia merdeka, PNI dihidupkan lagi. Dalam perjalanannya terutama pada masa Orde Lama, PNI menghadapi pergolakan internal yang berujung pada lahirnya partai baru: Partindo.
Partindo Hidup Lagi
Sejak Maret 1956, Asmara Hadi, pemimpin muda PNI dari Bandung, menulis serangkaian artikel di koran Suluh Indonesia, mendesak pimpinan PNI menilai kembali kedudukan partai dan melakukan introspeksi. Dia mengingatkan adanya bahaya karena PNI merasa berpuas diri dengan kekuasaan yang baru saja diperolehnya: jutaan anggota, fraksi besar di parlemen, dan pengaruh yang besar dalam pemerintahan.
Gerakan pembaruan partai disebut zelfcorrectie (mawas diri) yang dipimpin oleh Sarmidi Mangunsarkoro, wakil ketua satu PNI, yang kalah oleh Soewirjo dalam pemilihan ketua umum partai. Dalam rapat-rapat partai, dia mendesak: tendang keluar orang yang menyalahgunakan partai untuk kepentingan pribadi; orang yang secara ideologis tidak kuat tidak dijadikan pimpinan partai; partai melakukan indoktrinasi ideologi secara sistematis dan hukum orang yang menyelewengkan ideologi; keuangan partai tidak didasarkan kepada iuran dari pengusaha yang menerima bantuan PNI, tetapi dari iuran anggota dan perusahaan yang dijalankan oleh partai sendiri; dan pimpinan PNI harus menjalin hubungan dengan massa sehingga partai dapat mengerahkan kekuatan massa bilamana diperlukan.
Desakan pembaruan partai semakin menguat ketika PNI kalah dalam pemilihan DPRD. Asmara Hadi kembali menulis serangkaian artikel pada Agustus 1957, yang menandaskan bahwa PNI harus mawas diri dalam mencari penyebab kekalahan dalam pemilihan anggota DPRD. Kelompok yang menamakan diri Badan Pelaksana Koreksi dan Konsolidasi Partai menerbitkan pamflet berjudul Pulihkan Marhaenisme. Pamflet ini mengecam pimpinan partai karena tidak berbuat sesuatu yang nyata untuk pembaruan partai.
Soewirjo yang awalnya seolah-olah tidak mau ambil pusing dengan tuntutan pembaruan, berubah menjadi menentang. Dia menyatakan, pembaruan memang kebutuhan, tetapi setiap orang memiliki kelemahan, dan zelfcorrectie tidak boleh dipergunakan untuk memecah belah pimpinan partai.
Menurut J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946–1965, perpecahan antara unsur pembaruan dan DPP bergerak ke tingkat tertentu sehingga pemimpin pembaruan seperti Winarno Danuatmodjo dan Winoto Danuasmoro kini secara terbuka membicarakan kemungkinan mendirikan partai sempalan. Sejak Mei 1958, keduanya mengadakan pertemuan dengan para pemimpin PNI yang pro-pembaruan. DPP melawannya dengan memerintahkan cabang-cabang daerah memecat anggotanya yang turut kegiatan ini atau mengkritik partai secara terbuka.
“Setelah lebih dari sebulan beredarnya desas-desus bahwa suatu partai baru akan didirikan, akhirnya Partindo diumumkan pada 5 Agustus 1958,” tulis Rocamora.
Winarno mengumumkan bahwa partai baru ini merupakan kelanjutan Partindo sebelum perang dan berdasarkan “Marhaenisme yang didasarkan pada Marxisme yang diterapkan untuk kondisi Indonesia”. Garis besar haluan partai menyebutkan bahwa meningkatnya dominasi “unsur-unsur borjuis dan liberal” telah menyebabkan pengkhianatan terhadap cita-cita revolusioner Marhaenis. Tugas Partindo adalah mengembalikan Marhaenis kepada tujuan semula.
Seminggu setelah Partindo diumumkan, pimpinannya terbentuk: Winarno Danuatmodjo (ketua), Dr. Buntaran Martoatmodjo (wakil ketua satu), Asmara Hadi (wakil ketua dua), wakil ketua tiga (akan diumumkan), Winoto Danuasmoro (wakil ketua empat), Mr. Muwalladi (sekretaris jenderal), dan anggota: Sugoro, Soedarsono, Mr. Boedhyarto Martoatmodjo, Jatim Muntjar, dan Mr. Santoso.
Setelah lebih dari sebulan beredarnya desas-desus bahwa suatu partai baru akan didirikan, akhirnya Partindo diumumkan pada 5 Agustus 1958.
Menurut Rocamora, reaksi PNI terhadap pembentukan Partindo bersifat menyerang sekaligus mendamaikan. Soewirjo menyatakan bahwa para anggota PNI punya hak untuk meninggalkan PNI, tetapi dia menyesalkan ketidakpuasan mereka harus diwujudkan dengan pembentukan partai. Di daerah, para pemimpin PNI setempat mengambil sikap yang menyerang. Dalam pernyataan kepada pers dan rapat-rapat umum, mereka menyerang para pemimpin Partindo sebagai “kaum oportunis, orang-orang yang meninggalkan PNI hanya karena tuntutannya untuk mendapatkan uang dan kedudukan tinggi tidak terpenuhi”.
Dalam hal ideologi, menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959, Partindo seperti PNI mengklaim Marhaenisme sebagai ideologi resmi. Para pemimpin Partindo berpendapat bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Namun, pemimpin PNI menyangkal tuduhan Partindo bahwa mereka menolak Marxisme sekaligus membantah bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai kondisi Indonesia.
“Pada akhir Agustus 1958, Sukarno memberikan anggukan ke Partindo: Marhaenisme, kata penciptanya, adalah Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Para pemimpin PNI mendapat tamparan keras dari orang yang dalam partai dipandang sebagai panduan spiritual mereka,” tulis Lev.
Namun, lanjut Lev, Sukarno sendiri tidak pernah mengakui memiliki hubungan dengan partai baru ini, dan dia meyakinkan Soewirjo, ketua umum PNI, bahwa dia tetap independen. “Namun demikian, Partindo tidak akan muncul tanpa dorongan Sukarno,” tulis Lev.
Pimpinan Partindo mengklaim memiliki 11.000 anggota. Cabang-cabang Partindo didirikan di beberapa daerah di Jawa dan Sumatra. Namun, partai baru ini tidak memperoleh dukungan luas kecuali di beberapa daerah asal pemimpinnya, seperti Sumatra Selatan, Jawa Timur, Yogyakarta-Solo, Bengkulu, Jawa Barat, dan Banten.
“Alasan orang bergabung ada yang karena mereka percaya Partindo merupakan gerakan baru dan bersih, tidak ada jalan untuk maju di partai sebelumnya, atau mereka yakin Partindo terkait erat dengan Sukarno yang menjanjikan masa depan,” tulis Lev.
Anehnya, menurut Rocamora, jumlah pemimpin PNI yang masuk Partindo sedikit sekali. Banyak anggota PNI yang aktif dalam gerakan pembaruan ternyata tetap sabar. Seperti Notosoetardjo, redaktur surat kabar Pemuda di Jakarta, tidak masuk Partindo meski ditendang dari PNI.
Hampir sama dengan pimpinan nasional, lanjut Rocamora, pimpinan Partindo daerah juga beragam: para mantan pemimpin partai-partai nasionalis kecil, politikus nonpartai, dan beberapa mantan pemimpin SOBSI, seperti K. Werdojo dan F. Suharto Rebo yang menjadi ketua organisasi Partindo nasional.
“Parpol ini juga menjadi tempat sementara orang keturunan Tionghoa yang ingin tampil di organisasi politik, tetapi PKI ketika itu masih enggan menerima mereka secara terbuka masuk menjadi anggota partai,” tulis Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok.
Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa para pemimpin PKI lokal mengizinkan kader dan simpatisannya mendaftarkan diri sebagai anggota Partindo. “Laporan unit-unit lokal PNI tentang Partindo kepada DPP penuh dengan cerita tentang para pemimpin PKI lokal sebagai pemimpin-pemimpin yang paling efektif dalam Partindo,” tulis Rocamora.
Setelah G30S 1965
Menurut A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum, Partindo termasuk sepuluh partai yang diakui sah; mempunyai seorang wakil dalam DPR GR. Posisi sulit ketika peristiwa G30S, Partindo tidak mengeluarkan pernyataan sikap hingga menimbulkan berbagai kesulitan. Beberapa cabangnya memisahkan atau mengundurkan diri. Sementara itu, menurut Hersri, sejak peristiwa G30S Partindo dituduh sebagai parpol “kolone ke-5” PKI. Harian Bintang Timur yang dianggap corong Partindo, “demi keamanan dan ketertiban” segera dilarang terbit.
Kemal Asmara Hadi, anak keempat Asmara Hadi, menuturkan kantor Partindo sekaligus markas Front Marhaenis dan rumah ayahnya di Lengkong Tengah, Bandung pun tak luput dari serangan demonstran anti-Sukarno pada awal 1966. Mereka merusak bangunan dan menghancurkan barang-barang yang ada di dalamnya. “Buku-buku semua dikeluarin, dibakar di halaman. Sebagian barang dijarah, termasuk lukisan yang terbuat dari kulit kambing pemberian Bung Karno juga dicuri,” kenang Kemal lirih kepada Historia di rumahnya di Cimahi.
Kemal ada dalam peristiwa tersebut. Lelaki kelahiran 1947 itu masih ingat siapa yang turut menyerbu kesana. “Salah satunya Cosmas Batubara,” kata Kemal. Berdasarkan keterangan dari otobiografi Cosmas Batubara, tokoh gerakan mahasiswa angkatan 1966 itu memang pernah berada di Bandung untuk “Mengingatkan kepada KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, red) Bandung agar tidak terpancing dengan aksi-aksi kelompok lain yang menginginkan terjadinya huru-hara.”
Bandung memang memanas. Dipicu oleh aksi perobekan poster Sukarno oleh aktivis KAMI Bandung, Soegeng Sarjadi. Kejadian itu memicu bentrokan antara kelompok anti-Sukarno dengan pro-Sukarno. Bukan hanya di Bandung, di kota-kota lain, Partindo pun mengalami nasib serupa. Di akhir episode huru-hara politik itu, para pemimpin Partindo ditangkap dan dipenjarakan; di sana-sini penguasa setempat melarang kegiatan Partindo. Secara berangsur-angsur, Partindo menghilang dari gelanggang politik Indonesia.*