Presiden Soeharto dan Ibu Tien menunaikan ibadah haji pada 1991.
Aa
Aa
Aa
Aa
SEORANG siswa kelas tiga sekolah dasar, Tyar Fitriyanyah Ahyar, pada 20 Oktober 1984 menulis surat untuk Presiden Soeharto. “Kata guru saya juga papa saya, orang muslim harus pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kok Pak Presiden belum menunaikan haji?” tulisnya dalam surat yang dimuat dalam Anak Indonesia dan Pak Harto, sebuah buku kumpulan surat anak-anak Indonesia untuk Presiden Soeharto yang disunting G. Dwipayana dan S. Sinansari.
Soeharto bukan tak ingin. Sepulang umroh pada 1978, dia mengatakan ingin segera berhaji. “Tapi, saya pikir waktu itu keadaan negara kita masih perlu pemikiran dan tenaga untuk melaksanakan pembangunan, maka terpaksa saya tunda,” ujar Soeharto seperti dikutip Berita Buana, 28 Juni 1991.
SEORANG siswa kelas tiga sekolah dasar, Tyar Fitriyanyah Ahyar, pada 20 Oktober 1984 menulis surat untuk Presiden Soeharto. “Kata guru saya juga papa saya, orang muslim harus pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kok Pak Presiden belum menunaikan haji?” tulisnya dalam surat yang dimuat dalam Anak Indonesia dan Pak Harto, sebuah buku kumpulan surat anak-anak Indonesia untuk Presiden Soeharto yang disunting G. Dwipayana dan S. Sinansari.
Soeharto bukan tak ingin. Sepulang umroh pada 1978, dia mengatakan ingin segera berhaji. “Tapi, saya pikir waktu itu keadaan negara kita masih perlu pemikiran dan tenaga untuk melaksanakan pembangunan, maka terpaksa saya tunda,” ujar Soeharto seperti dikutip Berita Buana, 28 Juni 1991.
Tujuh tahun setelah Tyar menulis surat, Soeharto dan istrinya, Ibu Tien, putra-putrinya, menantu, serta dokter pribadi, pengawal, fotografer pribadi, dan pembimbing haji KH Qosim Nurzeha berangkat ke Tanah Suci.
“Presiden Soeharto ke Tanah Suci semata-mata ingin mewujudkan niatnya sebagai hamba Allah untuk beribadah dan jangan dikait-kaitkan dengan masalah lain, termasuk politik,’’ ujar Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Merdeka, 5 Juni 1991.
Setiba di Jeddah pada 17 Juni 1991, Gubernur Makkah, Pangeran Majid bin Abdul Azis, yang mewakili Raja Fahd, menyambut Soeharto dan rombongan. Kerajaan Arab Saudi menyediakan penginapan di Royal Guest House untuk Soeharto dan rombongan selama melakukan rangkaian ibadah haji. Juga perkemahan khusus di Arafah.
Kegiatan Soeharto diawali dengan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad Saw., Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Setelah itu, dia menjalankan rangkaian haji pada umumnya. Dia mendapat pengawalan dari tentara Kerajaan Arab Saudi, sebagai fasilitas yang disediakan kerajaan bagi kepala negara selama menunaikan ibadah haji.
Pada 22 Juni 1991, Soeharto mendapat surat dari Raja Fahd yang memberikan pilihan nama yakni Mohammad atau Ahmad bagi Soeharto dan Siti Fatimah atau Siti Maryam bagi istrinya. Sepulang dari Tanah Suci pada 26 Juni 1991, Soeharto lebih suka menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto, sementara istrinya Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto.
Banyak yang menengarai aktivitas keagamaan Soeharto memiliki dimensi politis. Menurut Robert Hefner, sampai paruh pertama 1990-an, Soeharto selalu dipandang sebagai muslim Jawa yang sekuler (abangan) ketimbang muslim yang saleh. Namun, tulis Hefner dalam Politik Multikultural, “Dalam tahun-tahun belakangan kemudian Soeharto mulai menampilkan diri sebagai seorang muslim yang saleh dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari komunitas Islam.”
Tanda-tanda Soeharto menoleh Islam sudah terlihat. Dari pemberian restu pemakaian jilbab, berdirinya bank-bank syariah, hingga berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Namun, terlepas dari alasan politis, perjalanan haji itu adalah serangkaian ibadah pemenuhan kewajiban muslim menjalankan rukun Islam kelima.*