Halo-Halo Bandung, Sebuah Syair Cinta Anonim

Versi lain dari penciptaan lagu Halo-Halo Bandung. Liriknya merupakan syair cinta yang dibuat seorang pemudi pejuang tidak dikenal kepada tunangannya.

OLEH:
Muhammad Yuanda Zara
.
Halo-Halo Bandung, Sebuah Syair Cinta AnonimHalo-Halo Bandung, Sebuah Syair Cinta Anonim
cover caption
Kondisi Bandung akibat pengeboman pesawat Belanda. (IPPHOS/Perpusnas RI).

LAGU “Halo-Halo Bandung” merupakan salah satu lagu perjuangan paling terkenal di Indonesia, tapi juga yang paling kontroversial karena penciptanya tidak diketahui. Ada yang menyebut komposer Ismail Marzuki, seorang pemuda pejuang Ciparay, dan L. Tobing, anggota Divisi Siliwangi. 

Saya berargumen bahwa lirik dalam lagu tersebut merupakan syair cinta yang dibuat seorang pemudi pejuang tidak dikenal kepada tunangannya. Pendapat ini berdasarkan berita yang diterbitkan Antara, 10 Agustus 1946. Judulnya, “Tentang anggauta2 LASJWI jang goegoer dimedan pertempoeran Djawa Barat: Asmara kalah dengan semangat berdjuang”.

Di sana diceritakan konteks bagaimana syair itu digubah. Pada Juli 1946, Belanda mengebom Majalengka. Sejumlah pejuang wanita menjadi korban, termasuk dari Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) Yogyakarta, PPI Garut, dan PMI Tasikmalaya. Para pemudi yang selamat mengungsi ke ibu kota Republik, Yogyakarta.

LAGU “Halo-Halo Bandung” merupakan salah satu lagu perjuangan paling terkenal di Indonesia, tapi juga yang paling kontroversial karena penciptanya tidak diketahui. Ada yang menyebut komposer Ismail Marzuki, seorang pemuda pejuang Ciparay, dan L. Tobing, anggota Divisi Siliwangi. 

Saya berargumen bahwa lirik dalam lagu tersebut merupakan syair cinta yang dibuat seorang pemudi pejuang tidak dikenal kepada tunangannya. Pendapat ini berdasarkan berita yang diterbitkan Antara, 10 Agustus 1946. Judulnya, “Tentang anggauta2 LASJWI jang goegoer dimedan pertempoeran Djawa Barat: Asmara kalah dengan semangat berdjuang”.

Di sana diceritakan konteks bagaimana syair itu digubah. Pada Juli 1946, Belanda mengebom Majalengka. Sejumlah pejuang wanita menjadi korban, termasuk dari Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) Yogyakarta, PPI Garut, dan PMI Tasikmalaya. Para pemudi yang selamat mengungsi ke ibu kota Republik, Yogyakarta. 

Wartawan Antara di Yogyakarta mewawancarai salah satu pemudi. Digambarkan bahwa kala itu, di asrama pejuang putri di Majalengka, terdapat sebuah dapur umum, di mana beberapa anggota Lasjwi dan PPI tengah memasak. Sejumlah tembakan dilepaskan oleh “mata-mata moesoeh”, disusul oleh kedatangan pesawat pengebom Belanda yang terbang rendah dan menjatuhkan bom di sekitar asrama itu. Sejumlah pemudi gugur. Usai pengeboman datanglah tembakan mitraliur, menyebabkan beberapa pemudi terluka. Mereka yang selamat lalu menuju ke Ciparay dan membuka dapur umum di sana. Lagi-lagi mereka dihujani mortir oleh Belanda. Mereka pun menyingkir lagi, kali ini ke Majalaya. 

Di tengah-tengah pengeboman di Ciparay itulah syair yang lalu menjadi lirik “Halo-Halo Bandung” lahir. Wartawan Antara menulis bahwa salah seorang anggota Lasjwi, yang namanya tidak diketahui, “beberapa saat sebeloemnja goegoer menggoebah sjair setjara kilat oentoek toenangannja ditengah2 dentoeman mortir”. Pemudi ini akhirnya meninggal karena serangan Belanda itu. Syair gubahannya ditemukan di saku bajunya. 

Bunyi lengkap syair yang ia tulis adalah: mortir telah berdentoem/tandanja moelai…/kami akan berangkat kemedan perang/seandainya beta goegoer dimedan pertempoeran/selimoetilah badankoe ini dengan Sang Merah Poetih!/hallo, hallo, Bandoeng/iboe kota Priangan/ telah lama beta tidak bertemoe dengan kau/walaupoen telah mendjadi laoetan api/marilah boeng/reboet kembali.

Ada perbedaan antara syair ini dengan syair yang kemudian menjadi lagu “Halo-Halo Bandung”. Pertama, ada tambahan berupa “mortir telah berdentoem” hingga “selimoetilah badankoe ini dengan Sang Merah Poetih!”. Kedua, “bertemoe” menjadi “berjumpa”. Ketiga, “walaupoen telah” menjadi “sekarang sudah”. Keempat, “marilah boeng” menjadi “mari boeng”. 

Kendaraan hancur akibat terkena bom dari pasukan Belanda di Bandung. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Jadi, kapan lagu ini sebenarnya diciptakan? Remy Sylado menyebut lagu itu diciptakan oleh L. Tobing dan dinyanyikannya (untuk pertama kali?) pada 19 Desember 1948. Pendapat Remy itu gugur bila melihat laporan Antara di atas. Salah satu pemuda Bandung, Pestaraja Marpaung, berkata bahwa lagu ini diciptakan pemuda di Ciparay. Lokasi penciptanya klop dengan laporan Antara di atas, yakni Ciparay. 

Namun, dia tidak menyebut kapan tepatnya syair lagu itu digubah. Apakah sesudah atau sebelum serangan Belanda di Ciparay pada Juli 1946? Kalau sebelumnya, berarti memang para pemuda penciptanya. Kalau sesudahnya, maka pencipta lagu itu adalah sang pemudi, yang mempersembahkan lagu itu untuk tunangannya (kata “marilah boeng” mungkin ditujukan kepada tunangannya). 

Dilihat dari konteksnya, syair itu bisa jadi memang ditulis saat serangan mortir terjadi. Syair itu serupa sajak cinta, ataupun pesan terakhir, dari orang yang merasa tidak mungkin selamat dari serangan musuh. Apalagi seorang wanita yang sudah bertunangan, dan membayangkan bahwa pernikahan dengan pujaan hatinya tidak akan pernah terjadi sehingga ia mencurahkan perasaannya lewat syair. 

Tapi, mengingat sang pemudi berada di Ciparay, mungkinkah sebelumnya ia pernah mendengar syair itu, apalagi ada kata-kata yang berasal dari luar Jawa dan Sunda, seperti “kau” dan “beta”? Kala itu adalah hal lazim bila pemuda pejuang bertemu dan bercengkerama dengan pemudi pejuang dalam kamp gerilya. Bisa jadi ia mendengar sebagian lirik dari para pemuda pejuang yang ia temui?

Patut dicatat bahwa wartawan Antara, yang mewawancarai teman seperjuangan si pemudi, tidak menyebut-nyebut bahwa syair ini sudah ada sebelumnya. Artinya, narasumber sang wartawan, yakni teman si pemudi yang gugur, juga mengakui bahwa sang pemudi itulah pencipta syair tersebut. Perlu diingat pula bahwa berita Antara di atas menyiratkan bahwa ada saksi mata yang melihat syair itu digubah dan ditulis oleh sang pemudi di kertas. Pendeknya, di kalangan pemudi pejuang, syair itu sama sekali tidak dikenal sebelum teman mereka itu gugur. 

Secara keseluruhan, perkiraan saya: syairnya diciptakan sang pemudi anonim, lalu diaransemen dan diberi melodi oleh para pemuda pejuang Ciparay, dinyanyikan secara publik oleh L. Tobing dan Pak Kasur, dan diberi notasi serta dipopulerkan oleh Ismail Marzuki.

Pada akhirnya, memang pencipta “Halo-Halo Bandung” tidak dikenal. Dalam dua arti. Pertama, kalau versi Antara benar, maka penciptanya memang seorang pemudi pejuang, yang namanya kita tidak akan pernah tahu, dan yang tidak akan pernah tahu bahwa syair gubahannya dikenang selama puluhan tahun. Kedua, mempertimbangkan beberapa pendapat yang meyakini penciptanya adalah no name, maka penciptanya memang tidak diketahui. Yang jelas, kredit harus diberikan kepada seorang pemudi tak dikenal yang gugur saat pengeboman Ciparay, karena dialah yang pertama kali membuat syair “Halo-Halo Bandung” dicatat, dicetak, dan diabadikan hingga kini.*

Penulis adalah dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan PhD di Universiteit van Amsterdam.

Majalah Historia No. 32 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65014f7f39925dae7e6e6ce4