Hamka dalam Dua Zaman Penjajahan

Hamka disebut “anak emas” pada masa pendudukan Jepang. Dia kemudian memimpin front perjuangan ketika Belanda melancarkan agresi militer.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Hamka dalam Dua Zaman PenjajahanHamka dalam Dua Zaman Penjajahan
cover caption
Hamka bersama Tengku Yafizham dan Syekh Abdullah Afifuddin menghadiri Konferensi Ulama di Singapura, 1943. (Repro Kenang-kenangan Hidup Jilid III).

HANYA perlu waktu seminggu buat Tengku Abdul Jalil untuk mengubah sikap dari kagum jadi antipati terhadap tentara Jepang. Sikap menentang itu timbul sejak 29 April 1942 saat Jepang memerintahkan seluruh rakyat Aceh melakukan seikerei, sikap badan membungkuk ke arah matahari terbit untuk menghormati kaisar Jepang. Kemarahan rakyat tak terbendung lagi. Tengku Jalil tak tinggal diam. Ulama tarekat itu menyerukan bahwa Jepang adalah Ya’juj dan Ma’juj (bangsa yang membuat kerusakan di bumi, red.).

“Agama kita telah runtuh karena perbuatan Majusi (kaum penyembah api, red.), yang memaksa kita bertuhan kepada rajanya. Jika kita musuhi kafir Belanda yang keturunan Kitab (Ahli Kitab Nasrani, red.), maka kafir Majusi ini lebih wajib kita musuhi lagi,” katanya. 

Tekad Tengku Abdul Jalil sudah bulat. Jepang harus dilawan. Bujukan dan perintah pihak Jepang untuk menyerahkan diri tak digubrisnya. Puncaknya pada 11 November 1942 saat tentara Jepang mengepung madrasahnya, dia dan seratus muridnya melawan. 98 muridnya tewas. Tengku Abdul Jalil berhasil lolos dari kepungan. Dalam pelarian, dia menyusun serangan balik. Namun, tentara Jepang berhasil menyergapnya dan menghabisi nyawa ulama muda berusia 40 tahunan itu bersama sepuluh pengikutnya. 

HANYA perlu waktu seminggu buat Tengku Abdul Jalil untuk mengubah sikap dari kagum jadi antipati terhadap tentara Jepang. Sikap menentang itu timbul sejak 29 April 1942 saat Jepang memerintahkan seluruh rakyat Aceh melakukan seikerei, sikap badan membungkuk ke arah matahari terbit untuk menghormati kaisar Jepang. Kemarahan rakyat tak terbendung lagi. Tengku Jalil tak tinggal diam. Ulama tarekat itu menyerukan bahwa Jepang adalah Ya’juj dan Ma’juj (bangsa yang membuat kerusakan di bumi, red.).

“Agama kita telah runtuh karena perbuatan Majusi (kaum penyembah api, red.), yang memaksa kita bertuhan kepada rajanya. Jika kita musuhi kafir Belanda yang keturunan Kitab (Ahli Kitab Nasrani, red.), maka kafir Majusi ini lebih wajib kita musuhi lagi,” katanya. 

Tekad Tengku Abdul Jalil sudah bulat. Jepang harus dilawan. Bujukan dan perintah pihak Jepang untuk menyerahkan diri tak digubrisnya. Puncaknya pada 11 November 1942 saat tentara Jepang mengepung madrasahnya, dia dan seratus muridnya melawan. 98 muridnya tewas. Tengku Abdul Jalil berhasil lolos dari kepungan. Dalam pelarian, dia menyusun serangan balik. Namun, tentara Jepang berhasil menyergapnya dan menghabisi nyawa ulama muda berusia 40 tahunan itu bersama sepuluh pengikutnya. 

Tyokan atau kepala pemerintahan Jepang di Sumatra Timur, Letnan Jenderal T. Nakasima, mengutus Hamka untuk menyelidiki pemberontakan tersebut. Hamka memang kenal dan pernah menemui Tengku Abdul Jalil di Lhokseumawe pada 1930. Dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid III, Hamka mengakui pernah bertukar pikiran tentang tarekat dan menuliskan tentang sikap Tengku Abdul Jalil terhadap Jepang. “Tengku adalah syahid! Dan kita harus mengaku bahwa iman kita tidak seteguh iman beliau,” kata Hamka. 

Kepada Tyokan, Hamka melaporkan bahwa penyebab pemberontaan adalah “kesalahan-kesalahan Jepang, mandi bertelanjang, memaksa orang keirei, menempeleng orang. Sedang orang di Aceh adalah lebih panas darahnya daripada orang Deli!” 

Setelah menyelidiki pemberontakan itu, Hamka menderita tekanan batin karena melihat kekejaman Jepang. Dia ingin menjauh dari Jepang, namun tak bisa demi menyelamatkan Muhammadiyah. Ini terbukti, setelah kembali dari Aceh dia mengadakan konferensi Muhammadiyah Sumatra Timur yang dihadiri seluruh cabang. Hamka menjelaskan segala hubungannya dengan Jepang. Bahkan, konferensi memutuskan agar hubungan tersebut dilanjutkan.

Hamka, seperti halnya ulama dan tokoh-tokoh Islam di daerah lain, menjadi sasaran utama Jepang untuk diajak kerja sama. Menurut Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jepang memastikan dukungan dari kalangan pemimpin muslim jauh lebih mendesak ketimbang para pemimpin nasionalis. Keunggulan politik para pemimpin muslim dari sudut pandang Jepang sangatlah besar karena memiliki ratusan ribu, bahkan jutaan pengikut. Selain itu, pihak Jepang telah memilih para pemimpin muslim sebagai elemen Timur yang paling bisa diandalkan. 

“Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka diminta pertimbangan oleh Jepang dalam hal masalah pemerintahan dan keislaman,” tulis Fachry Ali dalam “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia,” Prisma, 2 Februari 1983. 

Tugas Hamka berikutnya adalah mengikuti pertemuan ulama Malaya dan Sumatra di Singapura pada 1943. Dia bersama dua ulama, Tengku Yafizham dari Kesultanan Serdang dan Syekh Abdullah Afifuddin dari Kesultanan Langkat. Jepang juga mengangkat Hamka sebagai ketua Persatuan Ulama Sumatra Timur –semacam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). 

Sekembali dari Singapura diadakan rapat akbar di sebuah lapangan di Medan. Pidato Hamka difilmkan yang nantinya akan ditonton orang di Sumatra dan Malaya. Dalam pidatonya selain “memuji-muji” Dai Nippon sebagai kemestian zaman, Hamka juga mengingatkan rakyat untuk bersatu dan menasihati para raja agar mendekati rakyat. 

“Maka sejak 20 Juni 1943 itu, Hamka San, tidak dapat surut kebelakang lagi,” demikian dimuat memoar Hamka. “Dia telah mempermainkan suatu permainan berbahaya. Dia telah ‘mencetak’ beribu-ribu kawan dan pengikut. Di samping itu beribu-ribu lawan dan musuh.” Hamka berdalih melakukan itu karena “hendak memperkecil bahaya yang menimpa Islam.”

Misalnya, dalam hal seikerei, Hamka dan para ulama bersiasat agar seikerei jangan seperti ruku dalam salat. Jepang setuju. Hamka juga berhasil menyelamatkan Muhammadiyah dari pembubaran. Kepala Gunseibu, Letnan Kolonel Makagawa, mengizinkan Muhammadiyah, Aisiyah, Pemuda, dan Nasyiah, menjalankan kegiatan seperti biasanya. 

Tentara Jepang yang membelot ke kubu Indonesia ditangkap Polisi Militer Belanda di Medan. (Arsip Nasional Belanda).

Pendirian Perjuangan

Masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942, seperti umumnya bagi bangsa Indonesia, juga merupakan masa-masa sulit bagi Hamka. Sedari awal, dia menyadari bahaya fasisme Jepang. Korannya, Pedoman Masyarakat dibredel sejak awal Jepang menduduki Medan pada 13 Maret 1942. Dia mencoba mengurusnya kepada Jepang namun malah kena hardik. Dia menyaksikan kekejaman Jepang ketika ditugaskan menyelidiki pemberontakan di Aceh. Apalagi ketika dia berkunjung ke Jawa pada awal tahun 1944 karena disurati ayahnya yang sedang sakit. Perasaan anti-Jepang diperolehnya dari sang ayah yang kerap berkata, “akan dibikinnya bagaimanakah umat ini oleh Jepang? Belum ada kezaliman yang melebihi daripada itu.” 

Hamka berada di Jawa selama dua bulan. Setelah berkeliling Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Pekalongan, dan lain-lain, dia melihat dengan mata kepala sendiri kesengsaraan rakyat, yang menurutnya, “di Sumatra belum senyata itu kelihatan, meskipun telah ada.” 

Hamka mengadukan penderitaan rakyat, pemuda dijadikan romusha (pekerja paksa) dan gadis-gadis dijadikan ianfu (wanita penghibur), kepada Sukarno. Dan Sukarno mengatakan, “Pemimpin mesti berjiwa besar. Pemimpin tidak boleh melihat kerugian karena mencari keuntungan yang lebih besar. Untuk merubah nasibnya, bangsa kita mesti menempuh kesengsaraan terlebih dahulu. Remuk hancur mana yang tidak tahan. Tetapi sejarah menyaring dan meninggalkan mana yang kuat. Itulah yang akan tinggal, untuk melanjutkan cita-cita.”

Hamka mengaku, perkataan Sukarno tersebut, membuatnya mendapatkan “pendirian”. Dengan bekal itulah, dia kembali untuk melanjutkan perjuangan di Sumatra Timur. Perjuangan, seperti yang ditempuh Sukarno, yaitu bekerjasama dengan Jepang. Ini seakan mengkonfirmasi perkataannya kepada adiknya pada awal Jepang datang. “Kakanda adalah pro-Sukarno, pro-Hatta, dan pro-Cipto Mangunkusumo. Di zaman sulit beginilah kita mesti melihat kemana haluan pemimpin. Ketiga pemimpin itu telah menyatakan sikap mereka, bahwa mereka antipemerintahan diktator dan fasisme,” kata Hamka. 

Hamka dituduh pengecut atau "lari malam" baik oleh teman-temannya maupun oleh masyarakat kebanyakan.

Tjipto Mangoenkoesoemo teguh antifasis hingga akhir hayatnya. Sedangkan Sukarno-Hatta memilih bekerjasama dengan Jepang. Bila pemimpin tidak bekerjasama atau anti-Jepang, seperti kata Hamka, “hilang saja entah kemana perginya.” 

Antara 1943–1944, Hamka diangkat menjadi anggota Syu Sangi Kai Sumatra Timur dan pada 1945 bersama pemuka-pemuka Sumatra menjadi anggota Tjuo Sangi In Sumatra; dewan ini bertugas menjawab pertanyaan-pertanyaan Tyokan berkenaan dengan persiapan perang. Kalau di Jawa disebut Tjuo Sangi In, dewan yang menjawab pertanyaan Saiko Sikikan atau panglima tentara Jepang di Jawa. 

“Dalam perannya ini Hamka terkesan sebagai ‘anak emas’ Jepang, seperti banyak orang menyebutkannya seperti itu. Tapi Tyokan justru menuduh Hamka sebagai Nici Den (kepala suatu paham yang telah menyediakan dirinya untuk mati demi keyakinan),” tulis Fachry. 

Hamka harus berhadapan dengan masyarakat dan kawan-kawannya ketika Jepang menyerah pada Sekutu. Kritik, sumpah serapah, dan penghinaan massal menyebabkan Hamka angkat kaki dari Medan, kota yang penuh kenangan.

“Hamka dituduh pengecut atau ‘lari malam’ baik oleh teman-temannya maupun oleh masyarakat kebanyakan,” tulis Fachry. Sebab, pada 23 Agustus 1945, Hamka memutuskan pulang ke Sumatra Barat dengan memakai mobil milik Tyokan yang juga memberinya uang f.10.000 dan lima helai kain batik Solo. 

“Putranya, Rusydi menyebut pengalaman ini sebagai ‘suatu kejatuhan yang sangat pedih dan menyakitkan bagi Hamka’,” tulis Azyumardi Azra dalam “Hamka: Rihlah Kehidupan dan Kelembagaan,” termuat di Historiografi Islam Kontemporer.

Di Padang Panjang, lanjut Azra, sembari aktif kembali memimpin madrasah Kulliyatul Muballighin, Hamka mencurahkan waktunya untuk menulis dan menghasilkan buku-buku: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-cita

Dalam konferensi kilat Muhammadiyah di Padang Panjang pada Mei 1946, Hamka terpilih sebagai ketua majelis pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat. Dia menggantikan Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi bupati Solok. Hamka memegang pimpinan Muhammadiyah sampai penyerahan kedaulatan pada 1949.

Buya Hamka di depan bekas rumahnya di Medan, 1980-an. (Koleksi Keluarga Buya Hamka).

Melawan Belanda

Berselang dua tahun setelah Jepang hengkang, Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari cengkeraman kolonialisme. Pada Juli 1947, tentara Belanda kembali masuk ke Pematang Siantar, ibukota Sumatra Timur. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan, Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan dan seluruh staf pemerintahannya, segera hijrah ke Bukittinggi. 

Di Bukittinggi, Hatta mengumpulkan segenap elemen masyarakat: partai-partai politik, pemerintahan sipil, militer, barisan perjuangan, ulama, ninik-mamak, dan lain-lain. Hamka terlambat datang dan duduk di belakang. Pertemuan memutuskan untuk membentuk Front Pertahanan Nasional (FPN). Hamka dipilih sebagai ketua sekretariat FPN. 

“Sebagai seorang pimpinan FPN ayah termasuk orang yang dicari Belanda untuk ditangkap,” kata Irfan Hamka, anak kelima Hamka, dalam Ayahku: Kisah Buya Hamka

Demi keselamatan, Hamka mengungsikan keluarganya dari Padang Panjang ke tanah kelahirannya, Maninjau. Setelah itu, dia sering bepergian menjalankan tugas FPN. Biasanya dia ditemani Ichsanuddin Ilyas, siswa Kulliyatul Muballighin, dan sesekali dengan Rusydi Hamka. “Pulang dari bepergian, ayah selalu membawa beras,” kata Irfan. 

“Ayah tak lelah berjalan kaki, masuk hutan keluar hutan mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau untuk memberikan semangat dan motivasi akan perlunya mempertahankan kemerdekaan,” kata Irfan. Akibat kelelahan, Hamka sempat jatuh sakit dan hampir lumpuh. Selama sebulan dia terbaring di tempat tidur. Walaupun belum sehat betul, dia kembali pergi dengan jalan kaki untuk memberikan penerangan dan semangat perjuangan membela kemerdekaan di seluruh nagari Minangkabau. 

Hamka juga ikut mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK), yaitu badan perjuangan rakyat yang bergerilya melawan Belanda di Sumatra Barat. Saat terjadi agresi Belanda, semua kota-kota di Sumatra Barat telah dikuasai oleh Belanda. 

“Dalam kedudukannya sebagai ketua BPNK, selama masa pendudukan Belanda itulah Hamka ikut bergerilya. Dia terus bergerilya, tak pernah tinggal di suatu tempat terus berjalan kaki masuk keluar hutan mendaki dan menuruni bukit-bukit dalam upaya mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda,” tulis Shobahussurur dalam Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

Hamka menjabat ketua sekretariat FPN dan BPNK sampai penyerahan kedaulatan yang disusul pembentukan pemerintahan Republik Indonesia untuk wilayah Sumatra Tengah. “Hamka memutuskan tidak terlibat dalam pemerintahan. Dia meninggalkan Minangkabau menuju Jakarta pada akhir 1949,” tulis Azra. 

Di Jakarta, Hamka melanjutkan kegiatannya menulis dan beraktivitas sosial, sebelum akhirnya terjun ke ranah politik.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d6b5af5d03f4c82ee7308c