Zulkifli Lubis sempat berkiprah dalam intelijen pada masa Orde Baru. Namun, dia kemudian kecewa dengan pemerintahan Soeharto yang dinilainya tidak demokratis.
Zulkifli Lubis dan istrinya, Siti Zaenab. (Dok. Keluarga Zulkifli Lubis/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
FURQAN Lubis ingat betul masa ketika screening yang dijalankan pemerintah Orde Baru menghentikan jalannya menjadi dosen. Dia tak tahu apa yang membuatnya tak lulus. Alih-alih memberi tahu, si petugas malah berpesan: “Kamu jangan mencontoh orang tuamu, ya.” Penasaran, Furqan menceritakan pengalaman itu kepada ayahnya. Zulkifli Lubis, ayahnya, menjawab singkat: “Itu kan orang yang tidak mengerti perjuangan.”
Zulkifli Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat. Pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah baginya. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. “Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri,” ujar Furqan, anak keenam Zulkifli Lubis.
FURQAN Lubis ingat betul masa ketika screening yang dijalankan pemerintah Orde Baru menghentikan jalannya menjadi dosen. Dia tak tahu apa yang membuatnya tak lulus. Alih-alih memberi tahu, si petugas malah berpesan: “Kamu jangan mencontoh orang tuamu, ya.” Penasaran, Furqan menceritakan pengalaman itu kepada ayahnya. Zulkifli Lubis, ayahnya, menjawab singkat: “Itu kan orang yang tidak mengerti perjuangan.”
Zulkifli Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat. Pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah baginya. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. “Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri,” ujar Furqan, anak keenam Zulkifli Lubis.
Pergantian kekuasaan membuat Lubis seolah jadi orang asing. Konstelasi politik yang baru terasa kabur baginya. Sejak paruh pertama 1960-an, dia mendekam di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Rezim Sukarno, yang menjebloskannya ke penjara, berada di ambang kehancuran. Sukarno sendiri menjadi tahanan rumah, dengan akses sangat terbatas. Lubis, yang dibebaskan dari tahanan pada 1966, pun tak beroleh izin dari militer untuk menjenguknya.
Setelah bebas, Lubis menjalani hari-harinya sebagai “gelandangan”. Tak punya rumah maupun pekerjaan. Kolonel CPM Soenario memberikan tempat tinggal di Jalan Gunung Gede, Sempur, Bogor –keluarga Lubis lalu pindah ke Jalan Semboja No. 22 dan tinggal hingga tahun 2000-an. Untuk menghidupi keluarga, Lubis mengerjakan apa saja. Sempat datang tawaran untuk masuk kembali ke dinas militer, tapi dia menolak. “Dia tidak sejalan dengan Nasution maupun Pak Harto,” ujar Furqan.
Bersama beberapa kolega, Lubis kemudian mendirikan lembaga riset bernama Reda yang berkantor di Melawai, Jakarta Selatan. “Karena itulah pengalaman saya,” ujarnya sebagaimana ditulis Tempo. Lubis mencoba membantu mengembangkan intelijen negara dengan menciptakan kerja intelijen di luar pemerintahan. Beberapa binaannya seperti Ali Murtopo membukakan jalan. Lubis pun menyambangi sejumlah negara untuk memperdalam ilmu intelijen.
Dalam suatu perjalanan, Lubis berkenalan dengan Mr. Leet, pengusaha Tionghoa muslim, yang mengajaknya berbisnis pasir. Singapura, katanya, lagi butuh banyak pasir untuk pembangunan. Lubis setuju. Mereka pun berkongsi mendirikan PT Riau Timas awal 1970-an. Meski berkantor di Jakarta, proyek PT Riau Timas berada di Tanjung Balai Karimun, Riau. “Itu perusahaan penambangan pasir,” ujar Furqan.
Berkat keuletannya, perusahaan itu tumbuh besar. Sepeninggal Lubis, anaknya Ramanta menakhodai perusahaan itu hingga kolaps sekitar tahun 2000.
Sayang Keluarga
Pernikahan Lubis dengan istrinya terjadi tanpa direncanakan. Tak lama setelah proklamasi, Lubis membantu mengatasi chaos di Solo dan Cirebon. Suasana revolusi diwarnai pemberangusan segala hal yang dianggap berbau feodal. Penangkapan dan pembunuhan kalangan bangsawan terjadi di mana-mana. R.A. Kardinah, adik R.A. Kartini, misalnya, sempat diarak dan akan dibunuh di Pekalongan oleh gerombolan Kutil. Lubis tak sependapat dengan mereka.
Di Solo, Lubis sampai dicurigai profeodalis lantaran membela keraton yang mau ditindak Barisan Banteng. Ketua Komisariat III Surakarta Suroso sampai memanggilnya. Di Cirebon, Lubis menyelamatkan keluarga Kesultanan Kanoman dari para perusuh.
Sebagai bentuk terima kasih, sultan Kanoman menawarkan Lubis untuk menikahi adiknya, Ratu Siti Zaenab. Meski belum punya rencana nikah, Lubis akhirnya menikahi Zaenab, yang usianya tiga tahun lebih muda, pada akhir 1946 di Linggarjati. “Pernikahan saya di Linggarjati saat pertemuan Linggarjati,” kenang Lubis.
Pernikahan Lubis dengan Siti Zaenab memberinya sepuluh putra. Seorang anaknya meninggal tak lama setelah lahir. Salah satu anaknya lahir saat Lubis berada dalam pelarian akibat kudeta yang gagal pada 1957. Karena menjadi buron, Lubis hanya membawa beberapa anaknya; yang lainnya dititipkan ke famili atau kenalan. “Saya termasuk orang yang pernah dititipkan waktu beliau dikejar-kejar,” ujar Furqan.
Begitu pula ketika Lubis melibatkan diri dalam PRRI. Zaenab tetap mendukung dan memahami pilihan politiknya, bahkan ikut menanggung beban. Zaenab ikut keluar-masuk hutan. PRRI gagal, Lubis menyerah dan menjalani karantina politik di Cipayung. Di sana dia bertetangga dengan Ahmad Husen, rekannya di PRRI. Salah seorang anaknya, Merinka, lahir semasa Lubis di Cipayung.
Setelah sekira dua tahun, Lubis tinggal bersama keluarganya di Cipayung namun kembali harus berpisah karena masuk penjara. Ketika Lubis ditahan di RTM Budi Utomo, istrinya kerap mengajak anak-anak menengoknya. “Saya kan waktu ayah di penjara juga suka dibawa sama ibu nengok,” ujar Furqan. Sejumlah temannya juga kerap menengok, antara lain Kemal Idris dan Ventje Sumual.
Selepas dari penjara, Lubis baru bisa mencurahkan perhatian penuh pada anak-anaknya. Di mata anak-anaknya, Lubis adalah ayah yang bijaksana, penyayang, dan penuh perhatian. Dia menyempatkan waktu menanyakan dan membantu pekerjaan rumah anak-anaknya.
Lubis juga selalu mencontohkan kedisiplinan dan kemandirian. Tak ada yang tidur sebelum jam sepuluh. Lubis akan memastikan anak-anaknya belajar. Dia memberi tanggung jawab untuk mengurusi rumah. Setiap anak memiliki tugas masing-masing. “Waktu di Yogya, ayah pun sudah hidup mandiri,” ujar Lubis kepada anak-anaknya sebagaimana ditirukan Furqan.
Itulah kenapa Lubis tak mau membantu anaknya mendapatkan pekerjaan. Terlebih di instansi pemerintah, sipil maupun militer. “You nggak akan kuat. Nggak kuat mental you makan duit korupsi.” Lubis tahu benar bahaya korupsi. Pada pertengahan 1950-an, dia getol memerangi korupsi. Meski punya perusahaan, Lubis juga tak mau memasukkan anak-anaknya. “Tidak ada model relasi. Mereka harus bisa berdiri sendiri,” ujar Lubis.
Sekalipun keras, Lubis pantang menggunakan kekerasan. Bila mendapati anaknya berkelahi, Lubis hanya menasihati. “Kalau kita berantem,” kata Lubis sebagaimana ditirukan Furqan, “jangan lawan yang kecil dari kamu. Lawanlah yang lebih besar dari kamu! Seperti ayah. Ayah lawan Sukarno kalau tidak benar.”
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Dan satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat.
Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.
Dalam kesehariannya, Lubis kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Ia memang menyukai anak-anak. Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan. “Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan eyang kakungnya,” ujar Furqan. “Ayah lebih telaten ketimbang ibu.”
Memendam Kecewa
Di rumahnya di Jalan Semboja, sesekali sejumlah sejawatnya semasa perjuangan bertamu seperti Kemal Idris, Ventje Sumual, Ali Sadikin, dan Ali Murtopo. Wartawan senior Mochtar Lubis, yang getol menyuarakan pemberantasan korupsi, juga kerap datang. Jika tak ada tamu, Lubis akan mengisi waktu dengan membaca dan menonton sepakbola di televisi.
Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Pemerintahan Orde Baru, baginya, tak demokratis. Lubis mencontohkan, pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak. Bagi Lubis, orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois. Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan. “Kalau masih bisa memberontak, saya akan memberontak,” ujarnya.
Berbeda dari teman-temannya generasi ‘45, yang mengungkapkan kekecewaannya dengan membentuk kelompok macam Petisi 50, Lubis berjalan seorang diri. Dia sengaja menjauhi hiruk-pikuk seperti itu. Baginya, membela kebenaran adalah tanggung jawab personal, dan tak perlu menunggu teman untuk melakukannya.
Setiap hari, Lubis bangun paling lambat pukul empat –pun ketika masih aktif di dunia militer dengan segudang kesibukan menemani. Setelah tahajud, dia melanjutkannya dengan zikir hingga subuh. Bangun pagi merupakan didikan orang tuanya. “Siapa yang bangun pagi, emas sudah ada di mulutnya,” ujarnya menirukan pesan orang tua.
Lubis juga tak lupa menjaga kesehatannya. Setiap pagi dia biasa olah pernapasan sebelum berangkat kerja. Fisiknya tetap bugar. Nyaris tak pernah sakit parah. Sebuah tongkat selalu menemaninya, bukan sebagai alat bantu untuk berdiri, namun meneruskan kebiasaan lama sejak masih aktif di militer. Makanya, banyak orang kaget ketika dia harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina dan akhirnya berpulang pada 23 Juni 1993. “Sakitnya tak diketahui. Ayah juga tak punya riwayat sakit yang parah,” ujar Furqan.*
Atas permintaan Wakil Presiden Try Sutrisno, jenazah Zulkifli Lubis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor. “Keluarga sih inginnya dimakamkan biasa aja,” ujar Furqan.
Menurut Furqan, semasa hidupnya, ayahnya tak pernah mengurus tunjangan veteran, apalagi berpikir untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan jika kelak meninggal dunia. Lubis selalu menekankan keikhlasan meski hasil perjuangannya tak selalu menyenangkan. “Hal-hal seperti itu yang beliau ajarkan kepada kami,” ujar Furqan.*