Kebisuan akhirnya pecah. Sejumlah mantan ianfu Indonesia buka suara. Menceritakan pengalaman pedihnya selama dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.
Ianfu di Kupang, Timor. (K.B. Davis/cas.awm.gov.au).
Aa
Aa
Aa
Aa
Tukiyem (82 tahun), Karanganyar, Jawa Tengah
Ayahnya meninggal dunia ketika Tukiyem masih kecil. Ibunya menggarap sawah yang tak begitu luas dan berdagang di pasar untuk menghidupi anak-anaknya. Suatu hari, saat Tukiyem berusia 15 tahun, datang lima tentara Jepang ke rumahnya. Mereka menawarkan Tukiyem kerja buat Jepang. Ibunya setuju karena di desa-desa lain banyak anak perempuan diminta bekerja sebagai romusha.
Ternyata Tukiyem dimasukkan ke asrama Jepang di Solo. Di sana dia bekerja membersihkan asrama, mencuci, dan memasak. Dua bulan bekerja di sana, Tukiyem mulai diganggu seorang tentara Jepang. Beberapa temannya mengalami hal serupa.
Tukiyem (82 tahun), Karanganyar, Jawa Tengah
Ayahnya meninggal dunia ketika Tukiyem masih kecil. Ibunya menggarap sawah yang tak begitu luas dan berdagang di pasar untuk menghidupi anak-anaknya. Suatu hari, saat Tukiyem berusia 15 tahun, datang lima tentara Jepang ke rumahnya. Mereka menawarkan Tukiyem kerja buat Jepang. Ibunya setuju karena di desa-desa lain banyak anak perempuan diminta bekerja sebagai romusha.
Ternyata Tukiyem dimasukkan ke asrama Jepang di Solo. Di sana dia bekerja membersihkan asrama, mencuci, dan memasak. Dua bulan bekerja di sana, Tukiyem mulai diganggu seorang tentara Jepang. Beberapa temannya mengalami hal serupa.
Suatu hari, Tukiyem yang sedang beristirahat di kamar tidurnya disergap lima tentara Jepang. Mereka mengancam akan membunuh, bahkan membungkam mulutnya, jika berteriak. Mereka bergantian memperkosanya. Usai kejadian mengenaskan itu, Tukiyem hanya dapat menangis. Sejak itu, dia diperkosa kelima tentara Jepang di waktu berbeda.
Setelah tiga bulan, menjelang kekalahan Jepang, Tukiyem dan kawan-kawannya dibebaskan. Dia pulang ke desanya.
Dali (82 tahun), Gowa, Sulawesi Selatan
Ketika berusia 15 tahun, ayahnya meninggal dunia. Untuk membantu perekonomian keluarga, Dali merantau ke kota Makassar dan bekerja di sebuah warung kopi sebagai pelayan. Seorang Jepang bernama Tanaji, yang kerap datang ke warung kopi, menyukai kecantikan Dali. Pemilik warung yang takut menyerahkan Dali dengan dalih akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di rumah Tanaji, tak jauh dari warung kopi.
Dali tak pernah menerima gaji. Dia justru diperkosa dan jadi budak seks Tanaji. Dia disekap di sebuah rumah di daerah Kokolojia selama 18 bulan. Pada waktu Dali hamil besar, Jepang kalah perang dan Tanaji pergi begitu saja. Lalu lahirlah anak dari hasil perkosaan yang diberi nama Ontong.
Dali memilih tak pulang ke rumah orang tuanya karena malu memiliki anak di luar perkawinan. Dali dan anaknya hidup dalam kesulitan ekonomi. Dali harus bekerja keras sebagai kuli angkut barang di pasar untuk bertahan hidup. Akibat mengangkuti barang-barang berat di atas kepalanya, syaraf pendengarannya rusak, pendengarannya terganggu.
Rumini (87 tahun), Tulungagung, Jawa Timur
Beberapa bulan setelah Jepang datang, Lurah Subangun mengumpulkan warga desa. Pak lurah mendapat perintah dari Jepang untuk mengumpulkan anak-anak perempuan yang belum menikah untuk belajar bahasa dan tarian Jepang di Kecamatan Boyolangu, sekitar satu jam perjalanan. Ada sekitar 17 anak perempuan terpilih, termasuk Rumini.
Di Asrama Boyolangu, sebuah bangunan besar tinggalan Belanda, ada sekitar 80 anak perempuan berusia 10–12 tahun. Rumini gembira bakal punya banyak teman. Di sana mereka belajar senam taiso dan menjahit.
Setelah 15 hari, suatu malam datang guru senam taiso. Rumini ingat usai belajar senam si Jepang bilang akan menjemputnya sebelum tidur. Rumini tak mengerti maksudnya. Dia ikut ke kamarnya. Si Jepang memperkosanya. Setelah itu dia diberi obat berbentuk pil kecil berwarna biru yang diminumnya. Perkosaan ini berlangsung berkali-kali. Peristiwa menyakitkan ini juga dialami perempuan lain di sana. Semua tak berdaya. Setelah dua bulan di sana, mereka diberitahukan boleh pulang.
Emah Kastimah (87 tahun), Cimahi, Jawa Barat
Emah berusia 17 tahun ketika seorang tentara Jepang merayunya, menjanjikan pekerjaan, dan akhirnya membawa paksa dan memasukannya ke sebuah ianjo di Jalan Simpang Cimahi, Bandung. Di ianjo telah ada sekira delapan perempuan yang juga ditipu akan diberi pekerjaan.
Jumat jam sebelas Emah diperiksa kesehatan oleh dokter Tanaka. Setelah diperiksa, berdatangan tentara Jepang ke ianjo. Kalau suka, bawa.
Masing-masing membawa karcis sebesar domino berwarna kecoklatan. Sering kali Emah dipaksa melayani sampai sepuluh tentara dalam sehari. Dia pernah tak sadarkan diri. Setelah beberapa bulan, Emah dipindahkan ke ianjo di Jalan Kalidam. Setiap kali selesai melayani, Emah diberi obat cair warnanya kemerah-merahan untuk mencuci kemaluannya.
Ianjo ditutup setelah Jepang kalah. Emah pulang ke rumah. Dia sempat menikah, tapi suaminya meninggal tanpa meninggalkan keturunan. Sejak mengetahui Emah bekas ianfu, dia dijauhi keluarga mendiang suaminya. Dengan membawa beban pahit masa lalu, dia hidup dari belas kasihan orang sekitarnya.