Hikayat Pare Ageung

Siapa tak kenal beras pandan wangi? Komoditas andalan Cianjur ini dikenal di seantero negeri. Namun bersama varietas padi asli Cianjur lainnya ia diambang punah.

OLEH:
Hendi Jo
.
Hikayat Pare AgeungHikayat Pare Ageung
cover caption
Petani di Gasol Pertanian Organik sedang memanen padi Cianjur. (Hendi Jo/Historia.ID).

SUDAH sepuluh tahun terakhir ini Dinda Saputra (45), seorang pengusaha material di Depok, dan keluarga rutin mengkonsumsi nasi dari beras Cianjur. Selain bersih dan wangi, rasa nasinya pulen. “Tapi ya harganya lumayan mahal dan langka juga. Saya sendiri dapat barang itu karena dikirimi langsung dari seorang petani organik di Cianjur,” ujar Dinda.

Pamor Cianjur sebagai kota beras berkualitas nomor satu memang sudah dikenal sejak lama. Menurut Ibrahim Naswari (73), petani di Cianjur, sejak 1950-an beras Cianjur sudah masuk ke dapur-dapur menteri dan orang berpunya di kota-kota besar. “Bahkan pada waktu zaman Pak Karno, Istana Cipanas menggunakan nasi dari beras Cianjur jenis Peuteuy sebagai hidangan utama buat para tamunya,” ujar Ibrahim.

Masyarakat Cianjur bangga dengan citra itu. Untuk menghormati padi-padi yang mengharumkan nama kotanya, mereka memiliki sebutan khusus: pare ageung, yang berarti padi agung. Tak jelas sejak kapan sebutan itu mulai populer. Namun, menurut Ibrahim, bisa jadi istilah itu muncul seiring merebaknya varietas padi unggul nasional seperti Ciherang, IR-64, Cisantana, Cigeulis, dan Cibogo pada 1970-an.

SUDAH sepuluh tahun terakhir ini Dinda Saputra (45), seorang pengusaha material di Depok, dan keluarga rutin mengkonsumsi nasi dari beras Cianjur. Selain bersih dan wangi, rasa nasinya pulen. “Tapi ya harganya lumayan mahal dan langka juga. Saya sendiri dapat barang itu karena dikirimi langsung dari seorang petani organik di Cianjur,” ujar Dinda.

Pamor Cianjur sebagai kota beras berkualitas nomor satu memang sudah dikenal sejak lama. Menurut Ibrahim Naswari (73), petani di Cianjur, sejak 1950-an beras Cianjur sudah masuk ke dapur-dapur menteri dan orang berpunya di kota-kota besar. “Bahkan pada waktu zaman Pak Karno, Istana Cipanas menggunakan nasi dari beras Cianjur jenis Peuteuy sebagai hidangan utama buat para tamunya,” ujar Ibrahim.

Masyarakat Cianjur bangga dengan citra itu. Untuk menghormati padi-padi yang mengharumkan nama kotanya, mereka memiliki sebutan khusus: pare ageung, yang berarti padi agung. Tak jelas sejak kapan sebutan itu mulai populer. Namun, menurut Ibrahim, bisa jadi istilah itu muncul seiring merebaknya varietas padi unggul nasional seperti Ciherang, IR-64, Cisantana, Cigeulis, dan Cibogo pada 1970-an.

Padi di Gasol Pertanian Organik. (Hendi Jo/Historia.ID).

Pengaruh Mataram

Berdasarkan kitab Wawacan Jampang Manggung, Djalaluddin Isa Putra mengatakan nasi sebagai makanan pokok sudah dikenal orang Cianjur sejak masa-masa akhir Kerajaan Jampang Manggung (407-1641) yang menguasai wilayah tersebut. “Hanya zaman itu beras yang dihasilkan adalah dari ngahuma (berladang), artinya sistem tanam padi di wilayah berbukit tanpa langsung dialiri air,” kata salah satu tokoh masyarakat Cianjur itu.  

Awal tahun 1600, sistem huma banjir (menanam padi di dataran rendah dengan dialiri air secara langsung) diperkenalkan para ahli pertanian Kesultanan Mataram. Mula-mula di Cirebon lalu menyebar ke wilayah-wilayah di pedalaman Jawa Barat.

Dalam Lalakon ti Cianjur (Cerita dari Cianjur) yang disunting Aan Merdeka Permana disebutkan, guna mengadopsi sistem baru itu, Prabu Laksajaya meminta bantuan kepada Kesultanan Cirebon untuk mengirim seorang ahli huma banjir ke Jampang Manggung. Cirebon menyanggupi dengan mengirimkan Raden Jayasasana, seorang ahli pertanian sekaligus seorang santri.

Saat Jayasasana tiba, Prabu Laksajaya sakit lumpuh dan akhirnya wafat. Karena tak memiliki putra, roda pemerintahan dijalankan Patih Hibar Palimping. Selanjutnya, Sang Patih menikahkan putri satu-satunya, Dewi Amitri, dengan Jayasasana dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada utusan Cirebon tersebut.

Begitu memegang tampuk kekuasaan, pada 1677 Jayasasana yang bergelar Dalem Aria Wiratanu memindahkan pusat pemerintahan ke Cikundul –cikal-bakal Kabupaten Cianjur. Di bawah pemerintahannya, Cikundul dibentuk menjadi wilayah agraris dengan mengandalkan sistem bertani gaya Mataram.

Pertanian kian maju saat pusat pemerintahan pindah lagi ke wilayah Pamoyanan (masuk dalam kota Cianjur sekarang) pada era Aria Wiratanu II (1691-1707). Padi-padi jenis Banggala, Beureum Seungit, Gobang Omyok, Hawara Batu, Cingkrik, Rogol, dan Hawara Jambu tumbuh subur dan menjadi komoditas kebanggaan setempat.

Kendati sempat “terganggu” proyek penanaman kopi Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) pada era Aria Wiratanu III (1707-1727), penanaman padi tetap dilakukan masyarakat setempat. Bukan hanya menanam, para petani aktif mencari bibit jenis padi-padi baru dari tempat lain seperti Karawang, Garut, Sumedang, dan Ciamis.

Memasuki abad ke-20, hampir setiap desa di Cianjur memiliki lahan sawah. Namun dari sekian banyak desa, hanya ada empat sentra penghasil beras Cianjur yang terus produktif. Yakni Jambudipa dan Bunikasih (masuk wilayah Kecamatan Warungkondang) serta Panumbangan dan Gasol (masuk wilayah Kecamatan Cugenang).

“Dengan kondisi seperti itu, bisa dikatakan Cianjur menjadi lumbung padi terbaik di Jawa Barat saat itu, bahkan mengalahkan Karawang,” ujar Ibrahim.  

Menurut Rochman Abdurachman (50), petani di Desa Gasol, ada beberapa jenis pare ageung yang dikembangkan para petani Cianjur. Sebut saja Banggala, Beureum Seungit, Gobang Omyok, Hawara Batu, Cingkrik, Rogol, dan Hawara Jambu. Semua varietas padi itu memiliki satu ciri: putih bersih (kecuali Beureum Seungit yang berwarna kemerahan) dan berasa pulen jika dimasak.  

“Yang membedakan hanya bentuknya. Misal, Peuteuy bulir-bulir berasnya lebih bulat sedangkan Gobang Omyok bulat agak memanjang,” ujar Rochman.

Ika Suryanawati, pendiri Gasol Pertanian Organik. (Hendi Jo/Historia.ID).

Kemunculan Pandan Wangi

Kejayaan pare ageung asli Cianjur berlangsung hingga awal 1970-an, saat seorang petani kawakan di Kecamatan Cibeber bernama Haji Nawawi mulai menanam varietas padi yang didapat dari seorang tengkulak gabah bernama Kosim. Beras dari varietas padi baru ini ternyata lebih diminati orang. Selain bentuknya lebih bulat dan besar, rasanya pulen dan berbau wangi laksana pandan. Orang lantas memberi nama Pandan Wangi.

Mendapat respons yang bagus dari pasar, pada 1973, dua petani asal Warungkondang bernama Dimyati dan Haji Djalal, yang tak lain sahabat Haji Nawawi, mencoba menanamnya di desa mereka di Jambudipa dan Bunikasih. Hasilnya, “Di kedua desa itu, Pandan Wangi justru tumbuh lebih subur dan bagus dibanding saat ditanam di Cibeber,” ujar Haji Mansyur (74), salah satu putra dari Haji Djalal.

Sejak itulah, Warungkondang dikenal sebagai sentra Pandan Wangi. Pamornya melebihi Panumbangan dan Gasol yang sebelumnya dikenal sebagai pusat beras putih khas Cianjur. “Dari situlah, Omyok, Hawara Batu, Peuteuy, dan varietas padi lokal lainnya perlahan mulai kurang diminati para petani Cianjur karena kalah bersaing dengan Pandan Wangi di pasaran,” ujar Ibrahim.

Selain Kecamatan Cibeber dan Warungkondang, Pandan Wangi juga tumbuh subur dan produktif di lima kecamatan lainnya: Cianjur, Cugenang, Cilaku, Gekbrong, dan Campaka. Di luar tujuh kecamatan itu, Pandan Wangi gagal memberikan hasil terbaik. Hal itulah yang membuat harga Pandan Wangi melonjak. Karena permintaan tinggi sementara persediaan terbatas, beberapa penjual bermain curang.  

“Mereka mencurangi konsumen dengan mencap karung yang isinya beras oplosan dengan merek Pandan Wangi asli Cianjur,” ujar Haji Pepen (62), seorang petani dari Bunikasih, Warungkondang.  

Permainan pasar itu membuat harga beras Pandan Wangi jadi tak menentu, bahkan seringkali merugikan petani. Dampak lainnya, luas areal penanaman padi di tujuh kecamatan terus menurun. Bahkan, pada tahun 2000-an tinggal 150 hektare saja.  

Persoalan menjadi rumit setelah terbit Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Para petani diwajibkan menggunakan benih bersertifikat atau yang diproduksi perusahaan benih.

Di sejumlah daerah, para petani dan pemulia tanaman mengalami intimidasi. Seperti dialami Karsinah, petani Indramayu, dan Kunoto, petani pemulia tanaman dari Kediri. Pada September 2012, bersama sejumlah organisasi nonpemerintah, mereka mengajukan permohonan judicial review UU No. 12/1992 ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian permohonan mereka dikabulkan.

Para petani Cianjur memilih mengikuti aturan. Setelah sekira empat tahun pengujian lapangan, di bawah pengawasan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) Dinas Pertanian, terbit Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 163/Kpts/LB.240/3/2004 tentang Pelepasan Varietas Pandan Wangi.  

“Dengan adanya pelepasan varietas tersebut, kami memperoleh varietas yang murni … dan mutunya terjamin,” ujar Ibrahim Naswari, yang menjadi salah satu saksi pemerintah, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, 4 Februari 2013.

Selain itu, petani memperoleh bimbingan dan pembinaan dari Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB), bekerja sama dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cianjur di mana Ibrahim jadi ketuanya.  

“Bentuk pembinaan yang dilakukan oleh LPPM IPB ini mulai dari pengadaan benih Pandan Wangi bersertifikat, teknologi penanaman pascapanen, sampai sertifikasi beras dan pengepakan. Langkah ini membuahkan hasil yang sangat berarti. Kemurnian padi beras Pandan Wangi dapat dipertahankan dengan nilai jual yang memadai,” ujar Ibrahim.  

Keberhasilan memperoleh sertifikat belum sepenuhnya melegakan petani.

Suasana penimbangan padi yang baru dipanen di Desa Gasol. (Hendi Jo/Historia.ID).

Diambang Maut

Pandan Wangi adalah varietas padi khas Cianjur, yang ditanam di dataran sedang dengan ketinggian 700 mdpl. Jenis padi varietas Javanica ini menghendaki persyaratan iklim, ketinggian tempat, dan jenis tanah yang bersifat lokal. Jika ditanam di daerah lain, hasilnya kurang baik, bahkan konon rasa dan aromannya berbeda.

Kendati permintaan dan harganya tinggi, para petani di Cianjur mengeluhkan masa tanamnya yang lama; dalam setahun hanya bisa dua kali. Pandan Wangi juga tak tahan terhadap hama wereng coklat (Nilaparvata Lugens). “Hanya dapat capeknya aja,” ujar Pepen sambil tertawa.

Beberapa petani beralih ke varietas lain yang bisa tiga kali panen dalam setahun. Lahan yang ditanami Pandan Wangi pun merosot drastis.  

Untuk mengatasi kelemahan Pandan Wangi, beberapa cara dilakukan. Salah satunya dengan mengawinkan Pandan Wangi dengan Rojolele, varietas padi lokal daerah Klaten, yang menghasilkan Super Toy HL-2. Jenis baru yang mulai dibudidayakan pada 2006 ini digadang-gadang bisa menghasilkan padi sekualitas Pandan Wangi dengan waktu panen tiga kali dalam setahun. Namun nyatanya, begitu dipanen, Super Toy HL-2 justru kopong (tak berisi) dan dinyatakan gagal panen.

Karena persilangan gagal, upaya lain ditempuh dengan perbaikan varietas Pandan Wangi melalui pemuliaan mutasi radiasi dengan menggunakan sinar gamma. Yang melakukan kali pertama adalah Moch Ismachin, profesor dari Penelitian dan Pengembangan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) pada 2001. Hasilnya dilepas pada Juni 2010 melalui SK Menteri Pertanian No. 2366/Kpts/ SR.120/6/2010 dengan nama Pandan Putri.  

Varietas baru ini memiliki penampilan dan rasa nasi yang tak berbeda dari Pandan Wangi. Sisi baiknya, ia bisa dipanen 3-4 kali setahun. Namun karena produk transgenik, Pandan Putri pun masih memiliki kelemahan. “Selain rawan terhadap hama wereng batang coklat, bulir padi Pandan Putri juga sulit dirontokkan,” tulis Arswendo Wirawan dalam Beras Hasil Radiasi Gamma.

Menurut Roman, alumni IPB, secara teori memang semua jenis padi bisa disilangkan atau dikembangkan. Tapi dalam kenyataannya, faktor alam seperti cuaca dan kualitas air perlu diperhitungkan pula. “Seperti Pandan Wangi akan mencapai kualitas puncak ketika ditanam di tempat yang cuacanya sejuk dan airnya bersih dari polusi,” ujar Roman.  

Selain faktor alam, cara penggarapan juga menentukan bagus dan tidaknya kualitas padi. Roman berpendapat, cara penggarapan lama yang serba natural jauh lebih arif dibanding cara penggarapan baru yang mengandalkan pupuk kimia. “Efeknya pasti menjadikan kualitas tanah dari waktu ke waktu semakin rusak,” ujarnya.  

Ibrahim Naswari mengamini. Menurutnya, sejak petani beralih ke pupuk kimia, tanah sawah lambat laun menjadi kurang baik kesuburannya. Selain itu, kehancuran ekosistem binatang-binatang sawah (yang membantu kesuburan tanah) pun tak terelakkan.  

Sayangnya, sebagian besar petani Cianjur hari ini tak lagi mengindahkan faktor-faktor tersebut. Seolah menafikan kualitas, mereka cenderung ingin hasil melimpah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jadilah pare ageung diambang maut.*

Majalah Historia No. 37 Tahun IV 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67580fed616e7912fb61a16e