PAGI itu, Presiden Sukarno kongko sambil minum kopi bersama orang-orang terdekatnya di Istana Merdeka. Berita tak sedap sampai ke telinga kepala negara. Ibrahim “Bram” Tambunan buka suara soal ekspor hasil bumi Indonesia yang diboikot masuk pasar Eropa. Sebagai jalan keluar, Bram usul membuka kantor dagang di Belanda yang mengusahakan impor berbagai hasil bumi dari Indonesia dan mengekspor aneka ragam barang industri ke Indonesia. Usulan ini dukung sepenuhnya oleh Bung Karno.
Bram Tambunan sudah memiliki perusahaan ekspor dan impor. Namanya NV Ipilo. Kantor pusatnya di Jalan Batutulis 48 Jakarta. Untuk keperluan kantor dagang di Belanda, ia menunjuk Ferry Sonneville, sahabatnya yang juga seorang juara dunia badminton. Mendengar nama tersebut, Bung Karno naik pitam. Bagaimana mungkin seorang atlet dipercayakan menjadi pedagang. Bram menyampaikan penolakan itu kepada Ferry.
Dunia dagang sebenarnya tak asing bagi Ferry. Ia lulusan Nederlandse Economische Hogeschool (NEH) di Rotterdam –sekarang Erasmus University Rotterdam– dan pernah menjabat wakil direktur Bank Indonesia. Tapi apa mau dikata. Ia kemudian merekomendasikan rekan sealumninya, Kwik Kian Gie, untuk mengisi posisi direktur kantor dagang itu.
Saat itu Kwik baru pulang dari Belanda setelah bekerja sebagai asisten atase budaya dan pers di kantor kedutaan Indonesia. Setelah setengah jam diwawancarai Bram, ia ditawari pekerjaan untuk menjalankan kantor dagang di Belanda.
PAGI itu, Presiden Sukarno kongko sambil minum kopi bersama orang-orang terdekatnya di Istana Merdeka. Berita tak sedap sampai ke telinga kepala negara. Ibrahim “Bram” Tambunan buka suara soal ekspor hasil bumi Indonesia yang diboikot masuk pasar Eropa. Sebagai jalan keluar, Bram usul membuka kantor dagang di Belanda yang mengusahakan impor berbagai hasil bumi dari Indonesia dan mengekspor aneka ragam barang industri ke Indonesia. Usulan ini dukung sepenuhnya oleh Bung Karno.
Bram Tambunan sudah memiliki perusahaan ekspor dan impor. Namanya NV Ipilo. Kantor pusatnya di Jalan Batutulis 48 Jakarta. Untuk keperluan kantor dagang di Belanda, ia menunjuk Ferry Sonneville, sahabatnya yang juga seorang juara dunia badminton. Mendengar nama tersebut, Bung Karno naik pitam. Bagaimana mungkin seorang atlet dipercayakan menjadi pedagang. Bram menyampaikan penolakan itu kepada Ferry.
Dunia dagang sebenarnya tak asing bagi Ferry. Ia lulusan Nederlandse Economische Hogeschool (NEH) di Rotterdam –sekarang Erasmus University Rotterdam– dan pernah menjabat wakil direktur Bank Indonesia. Tapi apa mau dikata. Ia kemudian merekomendasikan rekan sealumninya, Kwik Kian Gie, untuk mengisi posisi direktur kantor dagang itu.
Saat itu Kwik baru pulang dari Belanda setelah bekerja sebagai asisten atase budaya dan pers di kantor kedutaan Indonesia. Setelah setengah jam diwawancarai Bram, ia ditawari pekerjaan untuk menjalankan kantor dagang di Belanda.
“Saya bilang bersedia. Pertimbangannya oleh karena saya menganggap itu sebagai perintah supaya Indonesia bisa ekspor lagi,” kenang Kwik Kian Gie (87 tahun).
Dengan bekal 30 ribu gulden dari Bram, Kwik berangkat ke Belanda untuk membuka kantor dagang sekaligus menjadi direktur NV Ipilo Amsterdam.
Kwik Kian Gie kelak dikenal sebagai ekonom terkemuka dan pernah menjabat Menteri Koordinator Ekonomi dan Kepala Bappenas. Sementara Bram Tambunan, yang dulu dikenal sebagai “pengusaha istana”, tak lagi dikenal. Jejaknya pun samar. Namanya ikut tenggelam bersama keruntuhan Sukarno.
Keluarga Pedagang
Pada masanya Bram Tambunan dikenal sebagai pengusaha sukses. Bahkan masuk dalam lingkaran orang dekat istana. Bakat dagangnya diwariskan dari ayahnya, Haji Mochamad Jasin Tambunan.
Dicatat harian Merdeka, 19 Mei 1956, Jasin dilahirkan di Tambunan Balige (Tapanuli) tahun 1893. Sewaktu kecil ia beragama Kristen. Ia memulai langkah penghidupannya dengan bekerja sebagai pembantu pada seorang pedagang Sibolga, Haji Mohd. Thaib. Karena kepribadiannya yang baik, ia dijadikan anak angkat. Pada waktu itulah ia memeluk Islam.
Di usia 20 tahun, berbekal pengalaman kerja dengan ayah angkatnya, Jasin merantau ke Jakarta. Ia tinggal dan memulai usaha batik di Kampung Malaka. Tak lama kemudian istrinya meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan. Jasin menikah lagi dengan Sariha, gadis Jakarta, yang memberinya 16 anak –tiga anak meninggal dunia.
Sebagai pedagang, Jasin dikenal di tempat-tempat pembuatan batik di Karet, Palmerah, dan Kebayoran. Ia kerap memborong batik dan mengirimkannya ke seberang dan Malaya. Perlahan usahanya maju pesat. Ia bahkan menguasai produksi batik Jakarta dengan memiliki pelanggan hampir di semua kota di Indonesia. Ketika dunia ditimpa malaise, usahanya malah meningkat.
Kesuksesan itu tak membuat Jasin lengah. Menurut Merdeka, Jasin punya cara mengelola kekayaannya: 30 persen ditanamkan untuk pembangunan rumah, 30 persen disimpan di bank, 30 persen diperdagangkan, dan 10 persen untuk amal. “Itulah sebabnya beliau dapat mendirikan beberapa gedung di Jalan Tosari, Jalan Hadji Agus Salim, dan Jalan Kimia. Itulah juga sebabnya beliau dapat mendirikan beberapa masjid dan madrasah di Tambunan, di tempat kelahirannya, dan di Porsea di daerah Kristen.”
Kedermawanan Jasin sudah jadi rahasia umum. Dengan mengutip terbitan lokal Sinar Deli, suratkabar De Indische Courant 20 Februari 1939 menyebut nama Jasin dalam ulasan mengenai perkembangan Islam dan dakwah di Tanah Batak.
Disebutkan, di Tambunan, sebuah kota kecil, terdapat masjid dan sekolah umum yang juga memberikan pelajaran agama. Sekolah ini terbuka untuk orang Kristen. “Pendidikan ini gratis. Para guru digaji oleh Haji Mohd. Jasin glr. Soetan Saidi, seorang saudagar dari daerah tersebut yang menetap di Batavia.”
Masjid dan sekolah itu masih berdiri hingga kini di bawah pengelolaan Yayasan Panti Asuhan Mohd. Yasin Tambunan. Dikutip Waspada 6 Juni 2020, Masjid Al-Munawar didirikan Jasin tahun 1943. Di dekatnya kemudian dibangun sekolah nonformal semi pesantren untuk anak-anak yatim, piatu, fakir miskin dan terlantar. Lokasinya berada di Desa Lumban Pea, Kecamatan Balige, Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada masa pendudukan Jepang yang terbilang sulit pun, bisnis Jasin masih bertahan. Dalam otobiografinya Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, Sitor Situmorang menyebut Jasin punya toko kain di bilangan Senen. Jasin tergabung dalam kelompok pengusaha bumiputra bersama Johan Johor dan Rahman Tamin yang ingin menghidupkan kesadaran nasionalisme ekonomi melalui kegiatan dagang mereka.
Upaya Jasin dan kawan-kawan terbilang melawan arus zaman. Sebab, iklim perdagangan saat itu, kata Sitor, di bawah dominasi serba asing. Sembari mengembangkan bisnisnya, Jasin menjalin relasi dengan pemimpin nasionalis terkemuka. Ia bersahabat dengan Sukarno, yang kemudian menjadi presiden. “Persahabatan itu diteruskan oleh putranya, Bram Tambunan,” kata Kwik.
Seturut perkembangan zaman, Jasin mendirikan NV atau firma dagang Hadji Mohd. Jasin Tambunan & Sons. Kantornya berada di Jalan Tiang Bendera dan Jalan Roa Malaka Selatan –belakangan hanya alamat terakhir yang dipakai. Dari situlah Jasin Tambunan dikenal sebagai “orang kaya dari Kota”.
Firma dagang Jasin bergerak di bidang ekspor dan impor, terutama tekstil. Beberapa iklan barang impor yang dijual firma ini dipasang di koran-koran periode 1950-an. Salah satu yang meraih sukses besar adalah Mambo Print, pakaian berbahan katun dengan corak warna-warninya yang khas. Menurut Merdeka, impor tekstil Mambo Print adalah salah satu puncak “hasil otaknya” alias kejelian Jasin terakhir, “yang dalam tempo pendek disukai dan dipakai di seluruh Indonesia.”
Pada 12 Mei 1956, bertepatan hari lebaran, Jasin Tambunan wafat dalam usia 63 tahun. Perkabungan dihelat di kediamannya di Jalan Sawah Besar 47 Jakarta. Ia dimakamkan di pekuburan Karet Bivak. Kepergiannya menyisakan duka bagi adiknya, Kamarudin Tambunan, serta istri dan anak-anaknya.
Jasin meninggalkan seorang istri dan 13 anak. Ke-13 anaknya adalah Ibrahim, Djamaludin, Abdurrachman, Chairuddin, Azhar, Aminah, Mohamad Jamin, Johan, Thamrin, Hasan, Mohamad Achir, Julia, dan Chadidjah.
“Anak-anaknya yang sudah dewasa, enam orang semuanya dalam kalangan dagang, dan perdagangannya pada waktu yang akhir praktis sudah dijalankan oleh anak-anaknya, di antaranya saudara Bram Tambunan dan Djamaludin Tambunan,” catat Merdeka.
Sepeninggal Jasin, Bram Tambunan dipercaya untuk mengelola bisnis keluarga Tambunan.
“Brams Product”
Bram lahir dengan nama lengkap Ibrahim Tambunan pada 5 April 1926. Kehidupan dan jejak bisnisnya tidak terekam. Kwik Kian Gie menyebut sewaktu muda Bram menggandrungi elektronika dan andil dalam menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan kode morse.
“Bram ini punya hobi elektronika. Sehingga Bram mengetahui persis ketika Bung Karno diculik dan dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan. Ketika diproklamasikan, dia mengumumkan ke PBB yang waktu itu masih berkantor di Lake Success,” kata Kwik.
Bram menikah di usia 26 tahun. Koran Java Bode, 8 Maret 1952 memuat undangan pernikahan Bram Tambunan dengan Khow Giok Eng, perempuan Tionghoa dengan nama kecil Deetje. Resepsi pernikahan digelar pada hari Minggu, 9 Maret 1952 di Hotel des Indes Jakarta.
Sebagai penerus bisnis keluarga, Bram berusaha mempertahankan roda usaha firma Hadji Mohd. Jasin Tambunan & Sons. Juga kesuksesan Mambo Print yang sudah dirintis ayahnya. Untuk itu, Bram punya cara jitu. Ia menggabungkan promosi produk dengan kegiatan sosial.
Pada 5 Juni 1956, firma H. Moh. Jasin Tambunan & Sons menggelar “Mambo Night” di Hotel Dharma Nirmala. Sebuah acara pameran produk Mambo terbaru, kontes busana dan tari –menariknya, Pramoedya Ananta Toer yang kelak dikenal sebagai sastrawan Indonesia terkemuka menempati juara kedua dalam lomba tari Mambo kategori pria. Semua keuntungan dari acara disumbangkan ke Yayasan Kesejahteraan Penderita Kusta dan Yayasan Pendidikan Sumbangsih.
“Mambo Night” berlangsung meriah. Di antara 500 orang yang hadir, tersua Ibu Negara Fatmawati Sukarno. Menurut Nieuwsgier 7 Juni 1956, Fatmawati turut serta mengisi acara dengan menyanyikan lagu-lagu favoritnya.
Tak cukup sekali. Pada 20 September 1956, peragaan busana bertajuk “Mambo Fashion Night” digelar. Menurut Java Bode, 11 September 1956, hasil keuntungan disumbangkan untuk pembangunan Gedung Wanita dan Yayasan Pemeliharaan Anak-Anak Cacat. Dalam kesempatan itu, Bram menggandeng perancang busana kondang Joyce Mouthaan. Produk terbaru inilah yang kemudian diberi merek “Brams Product”.
“Adukan warna gilang-gemilang serta penuh rasa seni. Brams Product yang selalu bergerak menuruti gelora zaman. Persediaan kecil sekali. Banjirilah dari sekarang,” demikian iklan yang dimuat Nieuwsgier, 12 November 1956.
Lalu, pada 5 Juni 1957, bersama Gelanggang Dagang Wanita, firma H. Moh. Jasin Tambunan & Sons mengadakan Modeshow Sayonara Night. Acara diisi pertunjukan musik, tarian, dan lawak oleh “Trio Los Gilos” Bing Slamet, Cepot, dan Udel. Dana yang terkumpul didonasikan untuk pendirian Gedung Wartawan di Jakarta.
Walhasil, Mambo Print makin dikenal orang. Pada masa itu, pakaian ini menoreh citra sebagai busana dengan desain modern.
Selain tekstil, firma H. Moh. Jasin Tambunan & Sons merambah lini usaha lainnya. Firma ini merupakan agen tunggal Matchless asal Inggris, sepeda motor jenis sport yang digandrungi saat itu, khususnya penyuka balapan. Matchless dijual melalui dealer di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, dan Banjarmasin. Untuk layanan purnajual, firma membuka showroom Matchless House di Jalan Sawah Besar 63 Jakarta. Lengkap dengan bengkel yang menerima jasa servis, reparasi, dan suku cadang.
Firma H. Moh. Jasin Tambunan & Sons juga menjadi agen tunggal Bridgestone, ban produksi Jepang, untuk Indonesia. Dari sinilah Bram Tambunan mendapat julukan mentereng: “Raja Ban” dari Indonesia.
Perlahan Bram Tambunan mulai melepaskan diri dari bayang-bayang ayahnya.
Jatuh Bangun di Belanda
Selain mengelola bisnis keluarga, Bram tak melupakan perusahaan yang dirintisnya, yakni NV Ipilo dan Sinar Pagi. Kedua perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor komoditas. Namun, meski belakangan lebih sering disebut-sebut, tak ada catatan mengenai PT Sinar Pagi. Kecuali bahwa Bram Tambunan adalah pemilik/direktur dan pemegang saham PT Sinar Pagi.
Dalam kepemilikan Ipilo, Bram berbagi saham dengan Rubianto, pengusaha asal Gorontalo. Menurut Kwik, Rubianto merupakan partner Bram dalam berbagai bisnis di Indonesia. Nama Ipilo sendiri adalah usulan Rubianto, terinspirasi dari suatu desa yang terletak di Gorontalo.
“Maka namanya menjadi NV Handelsonderneming Ipilo,” ujar Kwik.
Ipilo berkembang pesat setelah Bram mendapat persetujuan Sukarno untuk membuka kantor dagang di Belanda. “Dalam waktu singkat kami sudah mengimpor berbagai macam hasil bumi dari Indonesia seperti teh, kopi, karet, gaplek, kumis kucing, temulawak, dan bahkan kulit kina, yang dilarang diekspor, tetapi Bram diberi izin khusus,” kata Kwik.
Kwik menambahkan, untuk menguasai pasaran kopi, Ipilo bermitra dengan perusahaan dagang Belanda, NV Lindeteves. Kedua perusahaan ini bahkan menjadi duopoli. Tapi untuk impor kayu jati dan kina, Ipilo rugi besar karena ulah kartel Belanda. Hal yang sama terjadi pada produk kina.
Selain di Belanda, Bram memiliki kantor dagang di Hongkong dan Tokyo. “Bram itu kan keliling Belanda, Hongkong, Tokyo, dan Singapura juga,” ujar Kwik. “Kalau dia kebetulan di Belanda, kita membicarakan masalah perdagangan di Belanda saja.”
Meski demikian, ada kalanya relasi atasan-bawahan ini berlanjut di luar urusan pekerjaan. Kwik kerap diminta untuk mencarikan penyuplai perangkat intelijen, hobi yang digandrungi Bram. Kata Kwik, dengan jemawa Bram pernah menawarkan alat penyadap kepada sahabatnya, Adam Malik. Namun ditanggapi datar saja seraya berucap, “memangnya Bram lebih hebat dari pemerintah?” Pemerintah jelas punya peralatan intelijen yang jauh lebih canggih.
Adam Malik kala itu menjabat Menteri Perdagangan. Bergaul akrab dengan pejabat tinggi negara lumrah bagi pengusaha sekelas Bram Tambunan. Selain Adam Malik, Bram juga dekat dengan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam, dan bahkan Presiden Sukarno.
Bram tentu mafhum betapa penting bersekutu dengan penguasa agar roda bisnisnya terus berputar. Main aman ala Bram ini juga dilakoni oleh para pengusaha lainnya. “Bung karno secara finansial disumbang oleh pengusaha kaya, pribumi semua. Mereka kaya betul karena berusaha. Salah satunya ialah Bram Tambunan,” kata Kwik.
Bram dan Sukarno
Suatu hari, di sebuah kamar Hotel Bristol di Wina, Austria, terjadi pertemuan empat mata antara Presiden Sukarno dan Robert F. Kennedy, jaksa agung sekaligus adik kandung Presiden AS John F. Kennedy. Pembicaraan berlangsung hangat. Tanpa sungkan Robert Kennedy menaruh dua kakinya di atas meja dengan rileks.
Bram Tambunan hadir di sana. Ia ditugaskan menjadi butler (pelayan) yang menyuguhkan teh, kopi, dan kudapan. “Bram tentu nguping. Dia mendengar tentang strategi yang direncanakan oleh Robert Kennedy untuk mengembalikan Irian Barat,” ujar Kwik, berdasarkan penuturan Bram.
Kapan persisnya peristiwa itu terjadi, Kwik enggan memastikan. Namun ia sama sekali tidak meragukan keakraban Bram dengan Bung Karno. Bram pun siap membuka keran pundi-pundinya guna meraih kepercayaan Sukarno.
Selain loyal, Bram dikenal royal. Ia kerap hadir dalam acara lelang terbuka yang digelar kalangan Istana. Semisal malam amal di Istana Bogor yang digelar Panitia Konferensi Wartawan Asia Afrika (KWAA) di Istana Bogor, 29 Desember 1962. Hartini, istri ketiga Sukarno yang menjadi ketua panitia kehormatan KWAA, melelang gelang emasnya. Lelang hampir saja dimenangkan kelompok pengusaha Sumatra Utara yang dipimpin Gubernur Kolonel Ulung Sitepu dengan memasang banderol Rp 20 juta.
“Tawaran tinggi ini segera disusul dengan 21 juta (rupiah) oleh Bram Tambunan sehingga gelang Ibu Hartini jatuh menjadi milik sdr. Bram Tambunan,” tulis Harian Merdeka, 31 Desember 1962.
Bram termasuk kelompok pengusaha swasta yang dikenal sebagai “taipan Istana” loyalis Sukarno. Pengusaha lainnya antara lain Agus Musin Dasaad, Hasjim Ning, T.D. Pardede, Abdulrachman Aslam, dan Teuku Markam. Berisikan mereka, sebut Ganis Harsono yang waktu itu menjabat deputi Menteri Luar Negeri dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno, Bung Karno membangun tim ekonomi tidak resmi, yang memberikan nasihat kepadanya dan melaksanakan politiknya.
Untuk nama-nama tertentu, Bung Karno punya perlakuan khusus dengan memberikan fasilitas dan proteksi ekspor-impor komoditas. Teuku Markam dengan PT Karkam untuk karet, Abdulrachman Aslam untuk kapas, dan Bram Tambunan untuk ban mobil.
Sejak paruh kedua 1950, firma H. Moh. Jasin Tambunan & Sons yang dijalankan Bram Tambunan menjadi importir ban dari Jepang. Karena pengalaman itulah Bram mendapat kepercayaan dari Sukarno untuk memenuhi kebutuhan ban di dalam negeri yang meningkat. Untuk tugas ini Bram diserahi tugas untuk menjalankan PT Usaha Perkembangan Banteng yang berkantor di Jalan Roa Malaka Selatan 23-25 Jakarta, dekat dengan kantor dagangnya.
Mulanya pemerintah membuka tender. Tapi Sukarno memilih menyerahkannya kepada Bram ketimbang perusahaan negara. Terpilihnya Bram bikin kesal Soekamto Sajidiman, presiden direktur P.N. Tulus Bhakti, perusahaan negara di bidang ekspor-impor dan industri.
Dalam otobiografinya Wibawa Ibu, Soekamto menyebut, sebagai pemegang lisensi importir tunggal Bridgestone, Bram berhak menentukan syarat-syarat penjualan ban tersebut di Indonesia. Padahal pihaknya dapat memperoleh harga yang jauh lebih menguntungkan. Soekamto pun mengadu kepada Menteri Perdagangan Adam Malik.
Adam Malik meneruskan persoalan itu kepada Sukarno. Namun, Bung Karno bersikukuh agar impor ban diserahkan kepada Bram Tambunan. Tiada lama, Adam Malik mendapat panggilan menemui Sukarno di Tokyo. Ia diperintahkan untuk memberhentikan Soekamto sebagai presiden direktur Tulus Bakti.
Impor ban dalam skala besar tentu perlu modal besar pula. Bram tidak kesulitan dana karena mendapat fasilitas deferred payment chusus (DPC), pinjaman dari luar negeri berjangka setahun yang digunakan untuk impor barang. Tak ada aturan jelas siapa yang berhak menerima DPC. Semua tergantung yang mengatur: Jusuf Muda Dalam dan Sukarno. Sebagai imbalan, kata Soegih Arto dalam otobiografi Sanul Daca, orang yang memperoleh DPC harus menyumbang untuk “Dana Revolusi”.
Dengan fasilitas tersebut, Bram bisa mengimpor ban sesuai permintaan pemerintah. Pada 29 Oktober 1964, atas Instruksi Presiden, Bram mengimpor 50.000 ban Bridgestone. Jumlah tersebut meningkat menjadi 350.000 ban seturut Instruksi Presiden 12 Desember 1964. Ban impor kemudian dijual di dalam negeri dengan izin pungutan keuntungan 20% dari landed cost atau semua biaya yang menyertai atas proses pembelian suatu barang sampai tiba di gudang pembeli. Pungutan tersebut, menurut Soegih Arto, merupakan sumbangan untuk “Dana Revolusi” yang menjadi sumber pembiayaan proyek mercusuar Sukarno.
Tak heran jika Bram Tambunan disebut-sebut andil dalam merampungkan proyek pembangunan kompleks olahraga di Senayan (kini Gelanggang Olahraga Bung Karno) dan Gedung Conefo (kini kompleks MPR/DPR). Bram seperti disebut dalam Madjalah Sunda, No. 63, 1967, juga berada di balik pembiayaan proyek Planetarium Jakarta.
Menurut Kwik Kian Gie, banyak pengusaha mendapat persetujuan begitu saja bila meminta monopoli. “Dana yang terkumpul berkat monopoli itu tidak dimasukkan ke dalam perhitungan anggaran belanja negara dan tergolong dana non-budgeter,” katanya.
Pelarian
Gerakan 30 September (G30S) 1965 menggoyahkan kekuasaan Sukarno. Para pengusaha istana terkena imbasnya. Atas nama pemulihan keamanan, Angkatan Darat melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menahan Aslam dan Markam. Bram Tambunan lolos dari penangkapan dengan kabur ke luar negeri.
Kabar yang beredar menyebut Bram melarikan diri ke Belanda. Tapi ada juga yang bilang ke Hongkong. “Sekarang ia bertualang di Jepang, Singapura, Bangkok, dan Hongkong,” tulis majalah Selecta 27 Mei 1968.
Selecta dan sejumlah media kala itu getol memberitakan kebobrokan Markam, Aslam, dan Bram Tambunan. Ketiganya, tulis Selecta, punya keleluasaan malang melintang di Istana manapun, termasuk di tempat-tempat pribadi presiden.
Bram disebut sering berurusan dengan Hartini. Ia kerap mendapat pesanan “oleh-oleh” dari Hartini saban kali bepergian ke luar negeri. Disebut pula Hartini paling senang dibelikan permata atau perhiasan lainnya. Bram mau repot-repot membelikan oleh-oleh karena ingin membalas budi kebaikan Bung Karno. Sebab, tulis Selecta, “Bram Tambunan salah seorang pedagang yang menjadi kaya raya karena kebaikan Sukarno.”
Nama Bram juga muncul dalam persidangan pengadilan subversi Jusuf Muda Dalam. Jusuf didakwa bertanggung jawab atas kerugian uang negara lewat pemberian DPC sebesar US$270 juta bagi sejumlah importir.
Dalam persidangan, Jusuf mengatakan memberikan DPC sebesar US$10 juta kepada Bram Tambunan. Ketika hakim menanyakan, atas dasar apa pemberian itu, “karena sahabat baik,” jawab Jusuf, dikutip Angkatan Bersendjata, 1 September 1966. Jusuf juga membenarkan bahwa dirinya sering menerima uang pemberian Bram sejak perkenalan mereka pada 1959.
Presiden Sukarno juga disebut sebagai penerima komisi impor ban Bridgestone oleh Bram Tambunan. Menurut laporan Team Pemeriksa Pusat (Teperpu) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), jumlah komisi yang diterima sebesar US$ 2.063.129,15. Uang tersebut disetorkan dalam rekening Bung Karno di salah satu bank di Tokyo.
Sulit untuk memverifikasi informasi-informasi yang beredar kala itu karena keterbatasan sumber.
Saat berkunjung ke Jakarta, Ken Yoshimura, perwakilan Bridgestone Jepang, menyatakan tidak tahu-menahu mengenai “petualangan” Bram di bidang ekonomi. Yoshimura juga membantah kabar miring bawah lapisan ban Bridgestone tidak kuat sehingga kualitas ban tersebut diragukan. Dalam Kompas 12 Juli 1966, Ken menyampaikan sertifikat resmi dari persatuan pabrik ban Tokyo yang menjelaskan lapisan Bridgestone telah menggunakan serat nilon, rayon, dan baja yang menggantikan serat kapas.
Selama pelariannya, harta dan rekening PT Sinar Pagi milik Bram di Indonesia dibekukan. Dilansir Berita Yudha, 26 April 1966, perintah itu berasal dari Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Papelrada) Djaya merangkap panglima Kodam Brigjen Amir Machmud. Hal yang sama dialami PT Karkam milik Markam dan PT Aslam milik Aslam.
Setelah itu, ketiga perusahaan swasta itu dikuasai oleh militer dan dilebur menjadi PT Pilot Proyek Berdikari atau disingkat PT PP Berdikari yang dipimpin Brigjen Suhardiman. Oleh Soeharto, melalui Keputusan Presiden tahun 1967, modal kekayaan ketiga perusahaan itu dipinjamkan untuk dijadikan modal kerja PT PP Berdikari. Kemudian melalui Keputusan Presiden tahun 1974 dianggap sebagai penyertaan modal pemerintah dalam PT PP Berdikari –saat ini jadi Persero dan berada di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ID Food.
Tak jelas kenapa Sinar Pagi dan apa yang dilakukannya sehingga diambil-alih pemerintah. Sementara, setidaknya hingga 1969, firma H. Moh. Jasin Tambunan & Sons masih tercatat dalam buku-buku direktori perdagangan. Begitu pula dengan PT Usaha Perkembangan Banteng, kendati nasib karyawannya terkatung-katung dan belum digaji.
Ipilo ditutup tahun 1970. Menurut Kwik Kian Gie, Ipilo gulung tikar seiring makin tertibnya eksportir Indonesia dan ketatnya regulasi ekspor-impor. “Jadi perdagangan Indonesia sudah dipercaya kembali. Saya kembali ke Indonesia untuk menetap sampai hari ini,” kenang Kwik.
Ke Karet, Ke Karet
Sementara Markam akhirnya menghirup udara bebas dan kembali berbisnis, Bram Tambunan masih menghilang di luar negeri.
Pada akhir November 1975, Presiden Soeharto memerintahkan Kopkamtib dan Teperpu untuk memeriksa lagi perkara Bram Tambunan. Pada Bram dialamatkan tuduhan melakukan manipulasi dalam rangka impor ban-ban kendaraan bermotor dan karena itu, tulis Memori Masa Bhakti Volume 7, “kekayaan pribadinya dikuasai oleh pemerintah.”
Pada 1977, Bram dikabarkan telah kembali ke Indonesia. Berita itu datang dari Markam yang sudah mendirikan PT Marjaya dan mendekat ke Golkar. “Sekarang Aslam juga sudah bebas, dan Bram sudah berada di dalam negeri,” kata Markam dikutip Sinar Harapan, 13 April 1977.
Tapi Markam menanggap sinis kedua rekannya karena tak punya nyali lagi untuk bangkit seperti dirinya. “Wah, Aslam dan Bram terlampau penakut. Buat apa takut-takut. Kita kan orang dagang, bukan orang politik,” ujar Markam, “Lihat, Bram saja tidak berani tinggal di Jakarta. Kan susah.”
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62a98bbe029d87dba7278bb5_Intersection-9.jpg" alt="img"></div><figcaption>Makam Ibrahim “Bram” Tambunan di TPU Karet Bivak. (Fernando Randy/Historia.ID).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62a98bc79a8a9842fc607c35_Intersection-10.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="url_mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Ahmad Zae Juli.</b><br>Perawat makam keluarga Tambunan. (Fernando Randy/Historia.ID).</span></div></div></div>
Sebatas itulah kabar mengenai Bram Tambunan. Menurut Kwik Kian Gie, Bram Tambunan tak pernah menjalani penahanan atau hukuman pidana. “Sama sekali tidak pernah ditahan, tidak pernah diadili. Sama sekali tidak pernah,” kata Kwik.
Jejak Bram Tambunan tetap menguap. Sejauh penelusuran, aset-asetnya telah berganti kepemilikan. Tak ada lagi kediaman keluarga besar Jasin Tambunan di Jalan Sawah Besar 47, yang kini masuk kawasan Pasar Sawah Besar. Kantor pusat firma Mohd. Jasin Tambunan & Sons di Jalan Roa Malaka Selatan 12-14 bersalin rupa menjadi Bank Bumi Arta Indonesia. Sementara di Jalan Gajah Mada 176 Jakarta, yang dulu menjadi kantor PT Ipilo dan PT Sinar Pagi, sekarang menjadi gedung PT Sumber Mesin Raya, pemasok peralatan konstruksi.
Yang tersisa hanyalah batu nisan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Di batu nisan itu tergores: Bram Tambunan wafat 25 Desember 1996. Makamnya berdekatan dengan makam ayahnya dan saudara-saudarinya yang lain.
Cerita kejayaan sang taipan berjuluk “Raja Ban” kawan Bung Karno itu pun tinggal kenangan.*