Salah satu dari ratusan novel populer karya Fredy S. (M. Awaludin Yusuf/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
AYUNING Tias anak seorang juragan tembakau kaya dari Jenggawah, sebuah desa kecil di selatan Jember. Parasnya nan rupawan kesohor hingga kampung sebelah. Dari sekian banyak kumbang, Marlan berhasil mengisap madu sang kembang.
Menjelang lulus sekolah, Ayu pun hamil. Namun Marlan justru mencampakkannya setelah mengeruk kekayaan orang tua Ayu. Dengan bantuan seorang dukun beranak, Ayu menggugurkan kandungannya. Trauma ini membuat Ayu mengambil jarak dengan laki-laki. Hingga suatu hari ia termakan rayuan Yudi Margono, pemuda tampan bermobil dan tinggal di rumah gedongan.
AYUNING Tias anak seorang juragan tembakau kaya dari Jenggawah, sebuah desa kecil di selatan Jember. Parasnya nan rupawan kesohor hingga kampung sebelah. Dari sekian banyak kumbang, Marlan berhasil mengisap madu sang kembang.
Menjelang lulus sekolah, Ayu pun hamil. Namun Marlan justru mencampakkannya setelah mengeruk kekayaan orang tua Ayu. Dengan bantuan seorang dukun beranak, Ayu menggugurkan kandungannya. Trauma ini membuat Ayu mengambil jarak dengan laki-laki. Hingga suatu hari ia termakan rayuan Yudi Margono, pemuda tampan bermobil dan tinggal di rumah gedongan.
Suatu waktu, ...tak tahulah apa yang terjadi di dalam kamar hotel itu selanjutnya...di laut ombak-ombak besar saling menggulung ke tepian pantai. Bukit tepian pantai yang berlumut halus basah dijilati percikan air laut. Angin laut yang bertiup kencang menggoyang-goyangkan pohon nyiur. Barangkali seperti goyangnya tubuh Ayuning Tias di dalam kamar hotel itu. Atau terjangan ombak di tebing pantai itu seperti terjangan Yudi. Atau desah napas keduanya bagai suara gemuruhnya ombak. Atau, aaah, kejadian di dalam kamar hotel itu tidak ada yang tahu.
Begitulah cara Fredy S menyuguhkan adegan ranjang dalam novel Seribu Wajah Cinta. Ia cekatan membuat perumpamaan. Metafor-metafor serupa ini tersebar di hampir semua novel karangannya. Ia cerdas menggiring pembaca ke alam khayal. Tidak seperti stensilan Enny Arrow yang sangat vulgar.
“Nama Fredy S adalah ikon roman percintaan. Sastrawan Indonesia itu, Bung,” ujar Muhidin M. Dahlan, pegiat radiobuku.com, yang sudah membaca karya-karya Fredy S. “Karya-karyanya menjadi penanda sastra 1980-an.”
Ironisnya, nama Fredy S kerap disandingkan dengan Enny Arrow, penulis stensilan porno. Menurut Ibnu Wahyudi, pengajar sastra populer di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, novel-novel Fredy S berada di wilayah abu-abu; antara cerita cinta biasa dan cerita yang agak mengarah porno.
“Tapi esek-esek ala Fredy tidak vulgar. Kalau vulgar, terbuka, mungkin orang malah jadi tidak suka. Yang perlu diintip-intip itu yang menyebabkan orang suka. Dan Fredy mampu mengulik ini,” kata Mas Iben, begitu ia disapa. “Memang ada yang mengecam sastra populer serupa ini mendegradasi moral. Tapi itu kan tergantung pembaca. Seorang pembaca yang baik itu membaca dari yang paling populer sampai yang paling serius.”
Karya-karya semacam itu kerap disebut roman picisan. Sebutan merendahkan ini, dari segi sastra maupun moral, lahir di Medan pada 1930-an. Yang memperkenalkan wartawan Parada Harahap ketika berpolemik dengan Matu Mona pada 1939. Ia menyerang roman-roman terbitan Medan itu sebagai “roman picisan” dan pengarangnya disebut “pengarang kodian”.
Dokumentasi Zaman
Sejak wartawan Lie Kim Hok menerbitkan novel berbahasa Melayu berjudul Sobat Anak-anak pada 1884, penulisan novel populer berkembang pesat. Pada masa Balai Pustaka, ia tumbuh di beberapa kota besar.
“Roman picisan mulanya tumpah ruah di Indonesia pada 1930-an hingga 1950-an berupa buku kecil dalam banyak jumlah dan dalam berbagai corak diterbitkan di daerah Sumatra Timur,” tulis Roelof Roolvink dalam karangannya “De Indonesiase Dubbeltjersroman” yang kemudian dimuat dalam Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru karya A. Teeuw, terbit tahun 1955. Berkat Roolvink, istilah roman picisan mengemuka kembali.
Salah satu penerbit terkemuka di Medan adalah Penjiaran Ilmoe. Selain menerbitkan buku-buku pergerakan dan pemikiran dari sejumlah intelektual, ia bikin lini penerbitan bernama Roman Pergaoelan. Berukuran buku saku, bacaan ini digemari pembaca karena plotnya sederhana serta bahasanya segar dan mudah dipahami. Harganya pun murah, sekira 8 sen dan karenanya dijuluki roman picisan.
Beberapa karya yang bagus secara mutu lahir. Tapi tak sedikit pula yang menimbulkan kritik dan kecaman. Pada 1930-an, dalam konferensinya di Limbangan Suliki, Minangkabau, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) mengutuk seri Roman Pergaoelan, termasuk novel Angkatan Baru karya Hamka. Ironisnya, roman karya Hamka di kemudian hari dianggap sebagai sastra bermutu.
Sempat mandek pada masa pendudukan Jepang, roman populer bergeliat lagi pada 1950-an. Benih masa keemasan terjadi pada 1970-an yang diinisiasi cerita bersambung (cerbung) di koran Kompas, yang diikuti majalah-majalah wanita dan remaja. Jakob Soemardjo dalam Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik menyebut pada masa inilah novel populer mencapai kemajuan besar dari segi teknik penulisan.
Muncullah nama-nama seperti Marga T dengan Sirkuit Kemelut dan Badai Pasti Berlalu atau Ashadi Siregar dengan Cintaku di Kampus Biru. “Saya mengalami betul. Tiap pagi baca Kompas. Bukan beritanya, tapi baca kelanjutan cerbung Marga T dan Ashadi Siregar. Dan itu kami tunggu setia tiap hari. Bayangkan, pembaca sampai pada posisi terjebak betul. Terperangkap dalam imajinasi pengarang,” ujar Mas Iben.
Fredy S adalah bagian dari eskalasi seni sastra yang memang tidak berpretensi untuk melahirkan karya sastra dalam arti sastra “serius”.
Sejak 1980-an, produksi novel populer merangkak naik namun di sisi lain mutunya dianggap menurun. Banyak novel terbit sekadar memenuhi kebutuhan pasar dan kepentingan komersial. Bahkan penerbit, yang sebelumnya membeli putus, berani membayar uang muka agar para pengarang giat berkarya. Akibatnya, banyak pengarang bikin cerita sekadar memenuhi tenggat waktu tanpa memikirkan kompleksitas cerita yang dibangun.
“Edy D. Iskandar yang juga cukup populer pada waktu itu, begitu diijon, perlahan hilang. Padahal ceritanya juga unik,” ujar Mas Iben. “Karya pesanan belum tentu jelek. Tergantung senimannya. Tapi bagaimana pun, seorang seniman yang bagus sekali pun, bisa terjebak pada kerajinan tangan. Sekadar jadi. Tak ada lagi istimewanya. Jadinya malah seperti kerja tukang.”
Hal yang sama juga terjadi pada Fredy S. Dua karyanya menarik perhatian orang dan difilmkan. Selebihnya karya-karyanya cenderung menggunakan tema dan pola yang sama. Temanya tak jauh dari urusan cinta. Karakter tokoh-tokohnya kurang kuat dan kompleks, cenderung hitam-putih.
Kendati demikian, Mas Iben menduga Fredy S adalah bagian dari eskalasi seni sastra yang memang tidak berpretensi untuk melahirkan karya sastra dalam arti sastra “serius”. “Fredy S betul-betul segmented. Saya kira orientasinya melihat apa sih yang disukai pembaca, apa sih yang tidak memusingkan tapi menyenangkan,” ujarnya. “Ia dislot pengarang yang bermain di seputar kemampuan mendokumentasi situasi zaman.”
Menurut Mas Iben, karya sastra mampu menempati satu ruang dalam memori pembaca. Ada kala nama pengarangnya saja, tokoh dalam karangannya, atau pengarang berikut lakonnya. “Jika orang lebih mengingat Ali Topan ketimbang Teguh Esha, Lupus ketimbang Hilman, lain halnya dengan Fredy S. Orang selalu mengidentifikasinya dengan urusan skandal seks,” ujar Mas Iben. “Menurut saya, Fredy tidak ingin menampilkan satu sosok yang perlu diingat orang. Barangkali ia tidak memikirkan apakah karyanya akan diingat orang atau tidak. Pokoknya menulis.”
Nilai Sebuah Karya
Di masa lalu, bahkan hingga sekarang, novel populer seringkali tak masuk kategori sastra. Namun “sastra” dan “bukan sastra” juga bukan soal yang selesai. Ia masih diperdebatkan. Dalam Perdebatan Sastra Kontekstual, Ariel Heryanto menyebut penggolongan itu mengandung sebuah ideologi di dalamnya. Soalnya, yang memiliki kekuasaan untuk menentukannya adalah para kritikus sastra, yang kebetulan kelas menengah.
Di masa kolonial, Balai Pustaka (sebelumnya disebut Komisi Bacaan Rakyat) menentukan mana yang sastra serius dan mana yang populer atau liar. Suatu bacaan disebut liar karena dekat dengan kemesuman dan merusak moral, mengusik agama dan adat, serta mengganggu ketenangan dan ketertiban. Dan asumsi ini, dalam beberapa hal, terawat dengan baik di masa sesudahnya, termasuk di masa Orde Baru. Novel populer mengusik kemapanan kanon-kanon sastra, sementara di sisi lain “sastra serius” terpencil dari pembacanya.
Sulit menarik garis tegas dikotomi sastra dan bukan sastra. Hal itu diakui HB Jassin, yang dijuluki Paus Sastra Indonesia, dalam “Catatan Kebudayaan” di majalah Horison, Juni 1985. Kendati demikian, Jassin melihat ada kelebihan novel pop.
“Dibandingkan dengan karya sastra yang serius, karya pop lebih jelas menggambarkan latar masyarakat dan sejarah, sehingga kadang-kadang lebih memuaskan bagi pembaca daripada karya sastra kontemporer yang makin kehilangan dimensi-dimensi tersebut,” tulis Jassin.
Novel Fredy S itu karya sastra. Semua karya imajinatif, apapun tujuannya adalah karya sastra. Baik yang tertulis maupun dilisankan.
Novel-novel Fredy S berada dalam arus perdebatan semacam ini. “Keberadaan karya-karya Fredy S adalah realitas sastra yang tidak mungkin kita tolak,” ujar Redyanto Noor, dosen ilmu sastra Universitas Diponegoro Semarang.
Redy, demikian ia biasa disapa, pernah melakukan penelitian mengenai novel populer, termasuk karya Fredy S, pada 1990-an. Menurutnya, sebagai objek materi kajian sastra, novel Fredy S mempunyai kedudukan dan potensi yang sama dengan genre atau bentuk sastra apapun. Namun Redy menolak dikotomi dalam sastra.
“Saya tidak pernah membicarakan novel-novel Fredy S dari segi estetika kesastraannya maupun substansi ceritanya. Saya lebih mementingkan eksistensi dan fungsi sosial-kulturalnya,” ujarnya. “Bagi saya, ukuran sastra semacam itu tidak terletak pada ketakmampuannya memenuhi tuntutan kritik, tetapi pada manfaat apa yang dapat diberikannya pada masyarakat pembaca.”
Jika digemari masyarakat pembaca karena dianggap memberikan hiburan, lanjut Redy, sesungguhnya ia memiliki peran penting membangun apresiasi dan tradisi membaca sastra. Seiring perkembangan wawasan, pengetahuan, dan intensitas pembacaan pada diri seseorang, dengan sendirinya orang tersebut cepat atau lambat akan bergerak mencari tantangan baru dalam membaca sastra.
“Orang kadang lupa bahwa kegemaran membaca karya sastra semacam itu bukan perwujudan kemerosotan cita rasa, tetapi hanya kebelumdewasaan cita rasa. Ini menjelaskan betapa pentingnya kedudukan dan fungsi sosial-kultural sastra semacam itu sebagai peletak dasar membangun apresiasi dan tradisi membaca sastra.”
Pernyataan lebih tegas dilontarkan Mas Iben. Ia tak sependapat bahwa novel Fredy S bukan karya sastra. Ia tak mau terjebak pada pengertian bahwa sastra itu adiluhung, filosofis, penuh dengan perenungan. “Novel Fredy S itu karya sastra. Semua karya imajinatif, apapun tujuannya adalah karya sastra. Baik yang tertulis maupun dilisankan,” ujarnya.
Menurut Mas Iben, kelebihan sastra populer terletak pada kemampuan dan kejujuran penulisnya mendokumentasi dinamika dan situasi zaman. “Ia meminjam apa yang terjadi dalam masyarakat, mengolahnya menjadi karya seni dan mengembalikan lagi kepada masyarakat. Mesum kan bagian alami manusia. Secara alami orang juga suka dengan hal-hal yang agak eksotis dan sedikit buka-bukaan,” ujarnya.
Diakui atau tidak, Fredy S telah menjadi penanda zaman.*