Horor Bangkit dari Kubur

Sejak film horor pertama Indonesia, produksi film horor mengalami pasang surut. Kini film horor kembali marak dan sejatinya tak pernah mati.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Horor Bangkit dari KuburHoror Bangkit dari Kubur
cover caption
The Teng Chun saat membuat film Noesa Penida tahun 1941. (Wikimedia Commons).

RADEN Darmadji ditemani dua orang kepercayaannya berpetualang ke Pulau Mustika. Putri kesayangannya, Rumiati turut serta. Tak jauh dari pulau itu, sepuluh tahun lalu sebuah kapal yang ditumpangi saudaranya karam. Darmadji ingin mencari jejak saudaranya.

Namun Pulau Mustika menyimpan sebuah cerita legenda. Di pulau tersebut, 2.000 tahun lalu terkubur jasad Maha Daru yang tewas setelah kalah bertempur melawan Dewi Gumba. Sebelum mengembuskan napas terakhir, Maha Daru bersumpah suatu waktu akan bangkit dan membalas dendam.

RADEN Darmadji ditemani dua orang kepercayaannya berpetualang ke Pulau Mustika. Putri kesayangannya, Rumiati turut serta. Tak jauh dari pulau itu, sepuluh tahun lalu sebuah kapal yang ditumpangi saudaranya karam. Darmadji ingin mencari jejak saudaranya.

Namun Pulau Mustika menyimpan sebuah cerita legenda. Di pulau tersebut, 2.000 tahun lalu terkubur jasad Maha Daru yang tewas setelah kalah bertempur melawan Dewi Gumba. Sebelum mengembuskan napas terakhir, Maha Daru bersumpah suatu waktu akan bangkit dan membalas dendam.

Saat rombongan menyelidiki sebuah gua, hujan turun lebat. Tiba-tiba petir menyambar kuburan Maha Daru hingga terbelah. Maha Daru muncul dalam bentuk tengkorak hidup. Setelah berhasil keluar dari gua, Darmadji dan rombongan dikejar orang-orang liar karena dianggap merusak kesucian gua yang mereka keramatkan.

Rumiati, anak perempuan Raden Darmadji, selamat dari kejaran berkat pertolongan Maha Daru. Tapi di balik itu, Maha Daru punya maksud jahat. Ia hendak menjalankan misi balas dendamnya dengan membunuh orang yang dianggapnya sebagai reinkarnasi Dewi Gumba, yaitu Rumiati. Untunglah, Rumiati akhirnya selamat. Seorang pemuda yang hidup di hutan menolongnya dan kemudian jadi kekasihnya. Happy ending.

Digarap tahun 1941 dengan sutradara Tan Tjoei Hock, film ini melibatkan beberapa pemain tenar seperti Tan Tjeng Bok, Moh. Mochtar, dan Bissu. Sejumlah seniman tonil (sandiwara) kenamaan, terutama dari grup Dardanella, juga terlibat seperti Andjar Asmara, Ratna Asmara, Astaman, Inoe Perbatasari, dan Suska.

Majalah Pertjatoeran Doenia Film terbitan 1 Desember 1941 dalam resensinya mencatat, Tengkorak Hidoep adalah sebuah film yang menggabungkan cerita modern dengan bumbu fantasi, dan boleh jadi inilah kali pertama film Indonesia mengangkat formula semacam itu. Tak heran jika film ini laris manis di pasaran.

“Trik kamera dan dilibatkannya bintang-bintang sandiwara kenamaan saat itu menjadi daya pikat tersendiri bagi Tengkorak Hidoep,” kata Nurruddin Asyhadie, seorang penulis naskah drama dan skenario yang juga salah seorang pendiri majalah film Indonesia, F.

Namun Pertjatoeran Doenia Fim juga menyoroti penampilan artis pendatang baru Misnahati sebagai pertaruhan serta pembuktian apakah film ini bisa diterima pasar. Dan pembuktian itu akhirnya terjawab: film ini laris manis di pasaran.

Film Tengkorak Hidoep.

Awas Ada Siluman

Tan Tjoei Hock, kelahiran Batavia 15 April 1908, bisa dibilang pendatang baru. Ia juga tak punya latar belakang perfilman. Mulanya ia karyawan biasa yang bekerja di sebuah kantor dagang. Namun ia punya perhatian pada dunia pentas. Hampir saban malam ia membantu pementasan-pementasan di Prinsen Park (sekarang Lokasari). Perkenalannya dengan film dimulai dari pertemuannya dengan The Teng Chun, putra tertua pengusaha kaya kelahiran Batavia, The Kim Ie.

Lahir di Surabaya pada 18 Juni 1902, The Teng Chun –kelak ganti nama jadi Tahjar Idris– bukanlah orang baru di dunia perfilman. Sempat belajar ekonomi di Amerika Serikat tapi putus di tengah jalan gara-gara terpikat film. Setelah debutnya dalam Boenga Roos dari Tjikembang (1931), film bersuara pertama Indonesia, The Teng Chun membuat sejumlah film berdasarkan legenda Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tay, Pat Bie To (Delapan Wanita Tjantik), Pat Kiam Hiap (Delapan Djago Pedang), dan Ouw Phe Tjoa (Doea Siloeman Oelar Poeti en Item) yang bergenre horor. Kegandrungan The Teng Chun pada film siluman tak terbendung setelah pada 1940 mendirikan Java Industrial Film (JIF), perusahaan film terbesar dan termodern kala itu.

Suatu hari, pada 1939, The Teng Chun melihat aktivitas Tan Tjoei Hock di Prinsen Park dan menawarinya jadi sutradara film. Meski tak punya pengalaman, Tan Tjoei Hock menerimanya. Toh The Teng Chun pun tak segan memberinya bimbingan.

Kerja sama Tan Tjoei Hock dan The Teng Chun terjalin dalam Alang-Alang, film ala Tarzan –tren kala itu dengan bintang Johnny Weismuller– yang mengorbitkan Moh. Mochtar dan Hadidjah, ibu dari Idris Sardi. JIF kemudian mempercayakannya untuk menggarap semua produksi film bergenre aksi, termasuk Tengkorak Hidoep. Sejak itu Tan Tjoei Hock jadi sutradara produktif dan memiliki Studio Hajam Woeroek. Pada akhir hidupnya, ia lebih dikenal sebagai wartawan dan menggunakan nama Tanu Trh.

Salah satu adegan dalam film Tengkorak Hidoep.

Tengkorak Hidoep (1941) bisa dianggap sebagai karya masterpiece Tan Tjoei Hock. Selain menjadi box office, film ini dianggap sebagai peletak dasar film horor. Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900–1950 menahbiskan Tengkorak Hidoep sebagai film horor pertama Indonesia. Laporan utama majalah film F edisi Februari–Maret 2006 juga setali tiga uang.

Namun, penahbisan itu bukan tanpa perdebatan. Film Indonesia pertama, Loetoeng Kasaroeng (1926), juga bisa dibilang bergenre horor. Film bisu ini mengangkat legenda rakyat Jawa Barat. Berkisah tentang Purbasari yang kerap mendapat hinaan karena memiliki kekasih seekor lutung. Sementara kakaknya, Purbararang, berpasangan dengan lelaki tampan bernama Indrajaya. Lutung itu ternyata seorang pangeran tampan.

Film ini barangkali tak masuk hitungan sebagai yang pertama karena dibikin orang asing: sutradara L. Heuveldorp dan juru kamera G. Krugers. Namun, film horor bikinan “anak negeri” juga sudah bejibun sebelum Tengkorak Hidoep. Dalam “Return of the Kyai: Representations of Horor, Commerce, and Censorship in Suharto Indonesian Film and Television”, Katinka van Heeren menyebut genre horor telah diproduksi sejak 1930-an. Doea Siloeman Oelar Poeti en Item (1934) karya The Teng Cun dianggap sebagai film horor pertama.

Dalam Doea Siloeman, The Teng Chun mengangkat dan mengadaptasi cerita legenda Bai Zhu Zhuan, seekor ular putih yang ingin menjadi manusia dengan bertapa selama seribu tahun. Keinginannya terwujud. Ia berubah menjadi gadis cantik bernama Bai Zhu Zhuan. Ketika hidup berbaur dengan manusia, ia bertemu dengan Xiao Qing, seorang gadis cantik jelmaan siluman ular hijau (dalam film, hitam) yang kemudian jadi pengawalnya. Dalam poster film terdapat tulisan “100% Bitjara Melajoe” untuk menarik penonton dari semua kalangan. Film ini terbilang sukses karena The Teng Chun kemudian membuat sekuelnya, Anaknja Siloeman Oeler Poeti.

J.B. Kristanto punya pandangan lain. Dalam Katalog Film Indonesia, ia menyodorkan film Lisa (1971) sebagai yang pertama. Lisa berkisah tentang ibu tiri (Rahayu Effendi) yang ingin membunuh putri suaminya yang sudah meninggal demi mendapatkan harta. Lisa (diperankan Lenny Marlina), sang putri itu, diselamatkan dokter baik hati. Sang ibu kemudian diteror bayangan Lisa hingga ketakutan begitu hebat. Bahkan, saat Lisa kembali ke rumah, saking takutnya sang ibu tiri terjun ke jurang.

“Film Lisa sangat mungkin dipengaruhi Exorcist yang beredar pada tahun yang sama. Ditempatkan sebagai yang pertama dalam Katalog Film Indonesia karena memang kerap disebut-sebut demikian oleh insan perfilman, saya tak memilih. Kalau menilik dari tahun-tahun sebelumnya, mungkin sebutan pertama bisa dipahami. Tidak ada film-film Indonesia sebelumnya yang menggunakan unsur menakuti penonton,” kata Kristanto.

Bagaimana melihat perbedaan ini? Soalnya sederhana, jika Tengkorak Hidoep atau Lisa dianggap sebagai film horor pertama Indonesia, ini berarti mengabaikan perkembangan film horor sebelumnya. Apa tolak ukurnya sebuah film dianggap yang pertama?

Poster film Lisa dan Siloeman Oelar.

Hantu vs Psikologis

Menurut Nurruddin Asyhadie, adanya perbedaan penentuan film horor pertama Indonesia itu tampaknya terjadi karena adanya perbedaan definisi horor. Tengkorak Hidoep menampilkan sebuah horror of the demonic, makhluk-makhluk ganjil yang bangkit dari kubur atau pulang kembali untuk membalas dendam. Film demonic horror mampu menarik penonton karena adanya hasrat akan misteri dan sisi masokisme atau pelepasan akan potensi mengerikan dari manusia yang direpresi oleh kebudayaan.‎

Sementara Lisa merupakan sebuah horror of the personality. Film jenis ini, terutama yang diproduksi tahun 1970-an, berkiblat pada Rosemary Baby (1968) garapan Roman Polansky, film horor berbujet minim yang mampu meraih sukses di pasaran. Namun, di Indonesia, film-film ini kurang mendapat sambutan masyarakat karena dianggap “cerita serius”. Itulah yang membuat para produser jarang memproduksi film jenis ini dengan alasan sulit dicerna penonton.

“Dalam perkembangan film horor Indonesia, horor bersubgenre demonic terbukti lebih diminati di pasaran daripada horor psikologi,” ujar Nurruddin.

Film-film horor bersubgenre demonic horror meramaikan bioskop-bioskop di Indonesia, dari Beranak Dalam Kubur hingga Si Manis Jembatan Ancol. Karenanya, Nurruddin keukeuh bahwa Tengkorak Hidoep menjadi pelopor film horor bersubgenre demonic horror di Indonesia. Blank spot pada era 1940-an hingga 70-an dalam perjalanan film horor Indonesia membuat kontribusi Tengkorak Hidoep jadi tak terlalu kentara.

Dalam perkembangan film horor Indonesia, horor bersubgenre demonic terbukti lebih diminati di pasaran daripada horor psikologi.

Memang tak tegas benar. Kalau penekanannya pada efek ketakutan, baik karena hantu maupun efek psikologis, Doea Siloeman bisa jadi juga punya potensi yang sama. Kita tentu tak bisa menyamaratakan efek ketakutan penonton kala itu dengan sekarang. Meski belum ada titik temu toh tak bisa dipungkiri film horor kini lagi jadi raja.

Dalam sejarah, produksi film horor mengalami pasang surut. Ia mengalami booming pada 1980-an dengan produksi mencapai sekira 69 judul film. Penonton pun merespons dengan baik. Film horor juga mengalami peningkatan kualitas; setidaknya Ratu Pantai Selatan (1980) mendapatkan Piala LPKJ pada ajang Festival Film Indonesia 1981 untuk kategori spesial efek.

Namun kejenuhan menghampiri pada 1990-an. Produksinya menurun jadi 33 judul film. Di saat inilah film horor mulai dibumbui keelokan tubuh para pemainnya, tren yang juga dipakai film horor saat ini. Bahkan bintang porno asal negeri asing ikut meramaikannya seperti Sakuragi asal Jepang, Vicky Vette asal Norwegia, hingga Sasha Grey asal Amerika. Sama-sama bikin deg-degan; baik karena kemunculan para hantu maupun... ah.

“Kembalinya film horor ke seks atau pornografi ini bisa menjadi aba-aba bagi perfilman Indonesia. Mereka harus bersiap bagi kematian kembali perfilman Indonesia. Karena film-film jenis inilah yang menandai sekarat atau matinya perfilman Indonesia di masa lalu,” ujar Nuruddin.

Atau bisa dibilang kematian film Indonesia adalah bangkitnya film horor.*

Majalah Historia No. 2 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64326aa7637d390104d42aeb