Horor dari Gunung Sahari

Rumah ini pernah dijadikan penjara tahanan politik 1965. Tempat penahanan, penyiksaan, dan pelecehan paling sadis.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Horor dari Gunung SahariHoror dari Gunung Sahari
cover caption
Rumah di Jl. Gunung Sahari III No. 2C, Jakarta, pernah dijadikan penjara tahanan politik 1965. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

SEBUAH rumah di Jalan Gunung Sahari III No. 2C, Jakarta, menyimpan kisah kekejaman yang tak terperikan. Efendi Saleh, pria berusia 74 tahun, menyambanginya suatu siang.

Rumah itu sudah berubah. Dulu ia rumah berukuran besar namun kini sudah terbagi tiga dengan masing-masing dibatasi pagar. Arsitekturnya juga setali tiga uang. Hanya rumah yang berada di pojok di dekat jalan keluar Jalan Gunung Sahari III yang masih menampilkan kesan masa lalu. Sebuah pagar jeruji berkawat menjadi penandanya. “Iya, bener ini,” ujar Efendi Saleh.

SEBUAH rumah di Jalan Gunung Sahari III No. 2C, Jakarta, menyimpan kisah kekejaman yang tak terperikan. Efendi Saleh, pria berusia 74 tahun, menyambanginya suatu siang.

Rumah itu sudah berubah. Dulu ia rumah berukuran besar namun kini sudah terbagi tiga dengan masing-masing dibatasi pagar. Arsitekturnya juga setali tiga uang. Hanya rumah yang berada di pojok di dekat jalan keluar Jalan Gunung Sahari III yang masih menampilkan kesan masa lalu. Sebuah pagar jeruji berkawat menjadi penandanya. “Iya, bener ini,” ujar Efendi Saleh.

Untuk memasukinya, dia harus masuk pintu masuk yang berada di Jalan Gunung Sahari II. Kawat berduri masih menghiasi pintu gerbang maupun tembok pembatas di loteng. Suasana muram menyeruak begitu masuk ke dalamnya. Lampu neon tak mampu menghilangkan kesuraman karena debu dan cat yang kusam.

Lantai dua sesak dengan deretan kamar. Ketika masuk salah satu kamar, sebuah poster bergambar Jenderal Soeharto berpakaian militer lengkap tertempel di pintu lemari. Soeharto berpose dengan latar panser dan rudal serta tulisan “Darma Putra” namun pipi kanannya tercoreng coretan bertuliskan “Penipu Rakjat”.

Rumah ini punya kaitan historis antara Efendi dan Soeharto. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Efendi jadi tahanan politik (tapol) di rumah itu karena aktivitasnya dalam Serikat Buruh Unilever, organisasi binaan SOBSI yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara Soeharto adalah orang yang memerintahkan penangkapan dan penahanan tanpa proses hukum terhadap jutaan orang –bahkan pembunuhan massal.

Poster Soeharto di jendela kamar bekas ruang tahanan. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Milik Orang Tionghoa

Tak banyak yang tahu rumah itu punya masa lalu kelam. Tawa-tangis, sakit-sehat, hidup-mati banyak orang pernah ditentukan di sana. Rumah ini pernah dijadikan tempat penahanan dan penyiksaan tahanan politik 1965. Di masanya, ia rumah paling mengerikan di Jakarta. “Inilah kamuflase dari militer,” ujar Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965.

Bedjo, kala itu berusia 22 tahun dan bekerja sebagai karyawan Sarinah Departemen Store, pagi itu hendak ikut membuka toko. Tiba-tiba dua petugas datang, menyeretnya ke mobil dan membawanya ke rumah di Gunung Sahari itu. Bedjo ditangkap karena ketika masih pelajar SMU, aktif dalam Ikatan Pelajar Pemuda Indonesia (IPPI) yang dituding militer punya kaitan dengan PKI.

Dalam buku sketsanya Dari Kalong sampai Pulau Buru, A. Gumelar Demokrasno yang juga pernah ditahan di sana mendeskripsikan, rumah itu kecil, berpilar empat, dan beratap limas seperti rumah adat Jawa. Halamannya luas, sementara pagarnya masih berpintu dua –satu gerbang, satu lagi pintu kecil. “Tentara mengambil rumah ini dari seorang Tionghoa yang menyewakan becak,” ujar Gumelar, perupa dari Bumi Tarung.

Sketsa rumah penjara Kalong karya A. Gumelar Demokrasno.

Tak jelas siapa nama pemiliknya. Yang pasti, sebagaimana ditulis Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto dalam Neraka Rezim Soeharto: Misteri Tempat Penyikasaan Orde Baru, rumah itu pernah menjadi kantor Perhimpunan Pengemudi Becak Tionghoa.

Rumah itu juga pernah dijadikan sekolah malam Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi Tionghoa. “Karena Baperki dianggap anggota, ormas PKI juga, (bangunannya) digunakan untuk penahanan,” ujar Bedjo.

Ketika Bedjo masuk tahanan, bekas ruang kelas masih kentara. Di belakangnya terdapat pekarangan dengan pohon mangga, kamar mandi, dan bilik tempat tinggal tukang kebun. Ruang bilik anyaman bambu itu lalu dijadikan tempat tahanan sebagian perempuan pasca-G30S lantaran membludaknya tapol yang ada.

Ruang tengah bekas penjara tapol di lantai dua telah berganti fungsi menjadi gudang. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Kisah Kekejaman

Setelah melakukan penangkapan-penangkapan, militer memasukkan para tapol ke sejumlah kamp penahanan sebelum membuang mereka ke Pulau Buru. Salah satunya rumah di Jalan Gunung Sahari III ini, yang kemudian dikenal dengan nama Rumah Kalong. Nama ini diambil dari nama Operasi Kalong yang dijalankan unit dalam Operasi Khusus (Opsus) di bawah pimpinan Mayor Suroso. Kalong menjadi tempat transit bagi para tapol yang dianggap berbahaya. “Sebetulnya semua orang-orang besar itu melalui (penahanan di Rumah) Kalong,” ujar Bedjo. Di antara nama-nama itu, seingat Bedjo, adalah Jenderal Sudrajat dan Soemarsono.

Tapol besar menempati sel tahanan khusus yang terletak di antara ruang penyiksaan dan sel tahanan biasa. “Itu bekas WC, tertutup rapet, gelap, dan diisi kadang-kadang dua-tiga orang,” ujar Bedjo.

Di Kalong terdapat beberapa ruangan yang dijadikan sel (ruang tahanan). Jendelanya hanya berupa teralis besi kecil. Beberapa eks penghuni Kalong tak tahu berapa jumlah ruangannya karena tak dizinkan keluar sel. Namun, menurut Margiyono dan Kurniawan, Kalong memiliki lima ruangan. Kamar utama, berukuran 4x4 meter, merupakan tempat kumpul tentara sekaligus tempat interogasi. Lalu, tiga kamar tahanan berukuran 3x3 meter. Dan, kamar tahanan bagi orang-orang penting, ukurannya lebih kecil ketimbang kamar tahanan lainnya. “Kelima ruangan itu diberi tanda A, B, C, D, dan E,” tulis Margiyono dan Kurniawan. Selain itu, tim Kalong juga membuat “geladak kapal” kayu berukuran 4x20 meter yang juga digunakan untuk menampung para tapol.

Tak ada yang tahu pasti berapa jumlah tapol di sana. Setidaknya setiap sel di sana diisi 25-30 tapol, lelaki maupun perempuan. Mereka terpaksa tidur berhimpitan. Saking penuhnya, tulis Margiyono dan Kurniawan, “sebagian tahanan perempuan ditempatkan di bilik belakang rumah yang bedinding anyaman bambu.”

Kondisi tahanan yang buruk, juga jatah makanan yang tak layak, harus diterima para tapol. Namun itu tak seberapa menakutkan jika dibandingkan penyiksaan-penyiksaan yang menimpa mereka. “Sadis kalau di sana,” ujar Stanley Adi Prasetya, anggota Komnas HAM.

“Di kamp konsentrasi Kalong itu menurut saya yang paling sadis,” ujar Bedjo.

Sketsa interogsi karya A. Gumelar Demokrasno. Suasana penyiksaan yang dialami seorang tahanan dengan cara disetrum.

Penyiksaan dan Pelecehan

Ketika tiba pada malam hari, dengan mata tertutup, Efendi Saleh menerima siksaan begitu menjalani interogasi. Selain disetrum, dia kerap mendapat pukulan, tendangan, cambukan dengan ekor ikan pari, hingga dibenamkan berkali-kali ke dalam air, “sampai pingsan, siuman lagi.” Dampak dari setruman itu, Efendi sempat berak darah dan lumpuh total.

Selain di ruang interogasi atau tempat tentara, penyiksaan juga dilakukan di sebuah ruangan yang disebut Kamar Penyiksaan, yang terletak di samping garasi dan tangga kecil menuju ruang tengah.

Setruman merupakan siksaan favorit di Kalong. Tak hanya diberikan kepada tapol lelaki tetapi juga tapol perempuan. Para tapol biasanya langsung teriak begitu arus listrik menyengat tubuh. Begitu selesai, mereka kembali duduk menghadapi interogator. “Rusuk kayak ditendang-tendang. Kalau ditendang kan sekali-dua kali, ini nggak,” kenang Bedjo.

Tapol perempuan mengalami penderitaan yang lebih pedih lagi. Bukan hanya disiksa, mereka juga dilecehkan. Kusnah, mantan anggota Serikat Buruh Unilever, misalnya, harus berhadapan dengan para interogator yang bugil. Dia langsung diperintah memijat.

“Itu bukan main penghinaannya. Saya lebih baik dipukul atau disiksa daripada disuruh melakukan itu,” ujar Kusnah, dikutip Margiyono dan Kurniawan.

Sketsa ruang interogasi karya A. Gumelar Demokrasno. Tahanan pria dan wanita mendapatkan jatah siksaan yang sama.

Menurut Stanley, dari laporan-laporan yang diterima Komnas HAM, pelecehan seksual terhadap tapol perempuan merupakan hal yang umum di Kalong. Selain interogator bugil yang kemudian mengucapkan, “Anda mau ditelanjangi atau telanjang sendiri”, pemerkosaan kerap terjadi. Bukan hanya itu. Para interogator, yang sudah enggan bersetubuh, kerap menyuruh pasangan suami-istri tapol di Kalong bersetubuh di hadapan mereka. “Kalau nggak bisa ereksi, itu suaminya dipukul pakai ekor ikan pari,” ujarnya.

Pemerkosaan tapol perempuan kerap membuat banyak suami tak tahan. Mereka akhirnya memilih mengkhianati teman-temannya dengan memberikan informasi kepada tentara. Ada juga yang memilih bunuh diri. “Saya melihat sendiri orang yang gantung diri karena tidak kuat siksaan dan mungkin karena frustrasi,” kenang Bedjo.

Yang mengenaskan lagi, banyak bekas tapol yang justru jadi interogator. Mereka tak kalah sadis ketimbang tentara. Tim Operasi Kalong rupanya sengaja menggunakan para tapol untuk membongkar jaringan PKI. “Kalau mau membasmi PKI sampai ke akar, yang paling tahu organisasi PKI ya orang PKI sendiri. Jadi diperalat untuk nangkap orang PKI juga,” ujar Efendi. Akibat lainnya, terjadi saling curiga di antara sesama tapol.

Sketsa ruang tahanan karya A. Gumelar Demokrasno. Kondisi tahanan penjara Kalong yang sangat memprihatinkan.

Kantor Pemasok

Pemilik rumah ini, yang juga ditahan, tak jelas rimbanya setelah pembebasan para tapol pada 1979. Rumah itu sendiri kemudian beralih kepemilikan. Menurut Erna, penghuni rumah itu, Operasi Kalong kemungkinan menjualnya kepada orang.

Itu sebabnya rumah itu kini terbagi menjadi tiga. Rumah yang kini masih menyisakan model lama, kemungkinan dijual kepada orang bernama Yolanda pada 1979. Olehnnya, rumah itu dijadikan rumah sekaligus kantor. “Dulu kan kantor supplier bahan-bahan kimia,” ujar Erna.

Di kantor itulah ibunda Erna, Rohani, bekerja sebagai penunggu rumah-kantor itu sejak 1979 hingga kini. “Disuruh nempatin begitu aja,” ujar Erna.

Pada 1996, Erna menetap di rumah itu lantaran ibunya sakit. Ketika kantor pemasok bahan kimia itu tutup pada 2004, Erna, ibu, dan keluarganya menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal dan warung makan. Yolanda, yang tinggal di Tanah Abang, masih kerap datang. “Tapi semenjak dua tahunan lalu, dia udah nggak pernah (ke sini),” ujar Erna.

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6464814ac59a099bc4ce8f35