Horor Gang Buntu Teror Orde Baru

Berawal dari tempat usaha kain batik, lahan di Gang Buntu, Jakarta Selatan kemudian diambil alih tentara. Dijadikan tempat pemeriksaan, penyiksaan, dan penahanan paling mengerikan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Horor Gang Buntu Teror Orde BaruHoror Gang Buntu Teror Orde Baru
cover caption
Salah satu bangunan di bekas kompleks Penjara Gang Buntu. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

RAMAI kendaraan tak pernah henti melewati jalan ini. Angkutan kota hilir mudik mengangkut dan mengantarkan penumpang. Jalan Raya Kebayoran Lama di kawasan Jakarta Selatan selalu sibuk. 

Namun, di sebuah bangunan besar yang berada di sisi jalan, tak jauh dari Pasar Kebayoran Lama, kehidupan seolah berhenti. Temboknya tinggi, gompal di sana sini. Pintu gerbangnya jarang terbuka lebar. Beberapa pedagang kaki lima tinggal di rumah berpetak-petak itu namun terlihat bangunan itu tak terawat. 

Di masa lalu, pintu gerbang ini bukan satu-satunya jalan masuk. Tak jauh dari pintu gerbang itu, setelah berjalan beberapa langkah memasuki Gang Buntu, ada sebuah rumah salon dengan halaman luas. Di sana, dulu, terdapat pintu masuk menuju bangunan besar itu. Tembok tinggi kini menghalanginya.

RAMAI kendaraan tak pernah henti melewati jalan ini. Angkutan kota hilir mudik mengangkut dan mengantarkan penumpang. Jalan Raya Kebayoran Lama di kawasan Jakarta Selatan selalu sibuk. 

Namun, di sebuah bangunan besar yang berada di sisi jalan, tak jauh dari Pasar Kebayoran Lama, kehidupan seolah berhenti. Temboknya tinggi, gompal di sana sini. Pintu gerbangnya jarang terbuka lebar. Beberapa pedagang kaki lima tinggal di rumah berpetak-petak itu namun terlihat bangunan itu tak terawat. 

Di masa lalu, pintu gerbang ini bukan satu-satunya jalan masuk. Tak jauh dari pintu gerbang itu, setelah berjalan beberapa langkah memasuki Gang Buntu, ada sebuah rumah salon dengan halaman luas. Di sana, dulu, terdapat pintu masuk menuju bangunan besar itu. Tembok tinggi kini menghalanginya.

Gang Buntu hanyalah sebuah jalan setapak menuju hamparan tegalan. Pepohonan mendominasi lahan-lahan di sana, umumnya pohon sirih dan cempedak milik keturunan Haji Mahfud, tuan tanah setempat. Haji Mahfud memiliki lahan luas, yang membentang dari Kebun Mangga, Gang Kubur, hingga Jalan Seha –semuanya masih di kawasan Jakarta Selatan. Tanah-tanah itu kemudian diwariskan kepada anak-anaknya. 

Kompleks rumah kontrakan ini dulu merupakan pintu masuk ke Penjara Gang Buntu. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

M. Sakim, berusia 70 tahun, mendapatkan tanah warisan dari ayahnya, Haji Asad atau biasa dia sebut Kong Aji Asad. Sejak paruh kedua 1960-an, hingga kini, Sakim menjadi ketua RT setempat. Tak heran jika Sakim tahu betul sejarah kawasan ini. 

Jauh sebelum Sakim lahir, berdasarkan cerita orang tuanya, jalan sempit di Gang Buntu ini kerap dilalui lori yang mengangkut kain hingga bahan untuk memenuhi kebutuhan usaha batik Rama Cap. Pemiliknya seorang Tionghoa –Sakim biasa memanggilnya “Tuan T”. “Banyak orang daerah kulon yang kerja di sana,” ujarnya. 

Untuk membuka usaha batik itu, Tuan T menyewa lahan milik Haji Asad. Ketika pemilik tanah mulai menjual lahannya sepetak demi sepetak, Tuan T membeli seluas sekira empat ribu meter persegi. Namun, ketika akses jalan kian lebar dan tak buntu lagi, usaha batiknya malah tutup. Lahannya kemudian dipakai untuk pabrik semprong lampu. 

Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, militer mengambil alih sebagian lahan tersebut dan, dengan menambah bangunan baru, menjadikannya sebagai penjara paling mengerikan di Jakarta. “Waktu ada tahanan, kagak lama mereka bikin portal di dekat penjagaan. Mereka pegang kuncinya, bukan ketua RT,” ujar Sakim. 

Siapa Tuan T itu? Tak jelas. 

Dalam Memoar Pulau Buru, Hersri Setiawan menyebut lahan itu pernah menjadi studio film dan tempat nongkrong seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dia mengenang suatu hari Lekra cabang Jakarta akan punya gawai. Benny Tjhung mengajaknya untuk mencari sumbangan dana, terutama kepada yang dianggap berkocek tebal. Para pekerja film jadi sasaran. “Diajaknya aku ke studio film kawan-kawan itu di Kebayoran Lama, yang belakangan diduduki Angkatan Darat dan dipakai sebagai markas satgas intel pusat. Tujuan Benny mencari Tan Sing Hwat, Basuki Effendy, Bachtiar Siagian, Bambang Hermanto, Mien Brodjo, atau siapa saja yang ada di sana.” 

Sri Sulistyawati, mantan wartawati Ekonomi Nasional, yang pernah mendekam di penjara Gang Buntu menyebut lahan itu dipakai Basuki Effendy, seniman Lekra, untuk studio film Sangga Buana sejak 1962. “Saya pernah dua kali ke sana,” ujar Sulistyawati, berusia 73 tahun, kepada Historia

Sri Sulistyawati merasakan kekejaman di Penjara Gang Buntu selama enam bulan.

Penjara Gang Buntu

Setelah Peristiwa 1965, banyak anggota, kader, simpatisan, atau orang yang dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu. “Pada hakikatnya, Orde Soeharto ingin menciptakan suatu ‘pembenaran ideologis’, dengan mempersyaratkan rakyatnya untuk ‘bersih secara ideologis’, dengan implikasinya diterapkannya suatu bentuk-bentuk ‘sanksi-sanksi kolektif ’ –termasuk juga bagi tapol dan napol dan keluarganya, atau siapa saja yang diindikasikan untuk pantas dipidana politik menurut ukuran yang disepakati Orde Soeharto,” tulis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam Politik Pembebasan Tapol

Banyak yang mati mengenaskan. Banyak pula yang dibuang dan ditahan di rumah tahanan atau kamp-kamp. Yang kesohor adalah Pulau Buru. Sebelum berakhir di Pulau Buru, banyak tahanan politik mengalami kerasnya Penjara Gang Buntu atau dikenal dengan nama Satgas Kebayoran. “Gang Buntu itu tempat pemeriksaan dan penyiksaan sekaligus penahanan,” ujar Stanley Adi Prasetyo, mantan penyelidik Komnas HAM yang ikut menyelidiki kasus pelanggaran HAM 1965. 

Selain sebagai wartawati, Sri Sulistyawati pernah membantu mendirikan Gerwani cabang Jakarta, sementara suaminya ketua Pemuda Rakyat. Sulistyawati diciduk ketika sedang melakukan penelitian di Blitar selatan. Dia kemudian ditahan di Malang dan merasakan penyiksaan kejam hingga pernah mengalami pendarahan. Seminggu kemudian dia diangkut ke Jakarta. Dia dibawa tengah malam, dengan mata tertutup, dan akhirnya ditempatkan di Penjara Gang Buntu. “Tempatnya itu los gitu ya, kayak gudang, cuma disekat-sekat pakai kawat ayam,” ujarnya. 

Ketika menjalani interogasi, Sulistyawati dipaksa mengaku terlibat penyiletan di Lubang Buaya. Dia menolak. Dia tak berada di Jakarta ketika peristiwa itu terjadi lantaran mengikuti Safari Dwikora Dr. Soebandrio ke Sumatra. Lantaran menolak, siksaan demi siksaan pun menderanya. “Disetrum segala. Wah itu siksaan luar biasa,” kenangnya. 

Sulistyawati ingat, salah seorang tahanan asal Semarang yang berusia 80 tahun sampai pingsan karena mendapat siksaan berat. “Mungkin meninggal, saya nggak tahu, karena terus hilang, nggak ada di situ lagi,” ujarnya. 

Ruangan yang dahulunya berfungsi sebagai gudang kini digunakan untuk sasana latihan wushu. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Kompleks Penjara Gang Buntu terdiri dari dua lapis. Bila masuk dari Gang Buntu, lapis pertama adalah bangunan untuk pos pemeriksa, ruang interogasi, dan kantor –kini semuanya sudah menjadi rumah. 

Lapis kedua, bangunan panjang yang dijadikan tempat penahanan dan penyiksaan tapol –sebagian kini jadi tempat latihan wushu. Di dekatnya, ada sebuah sel bawah tanah yang biasa disebut “kapal selam”. Sel inilah yang paling mengerikan. Ukurannya hanya 1,5 x 2 meter dan tinggi 3 meter. Tak ada ventilasi. Bentuk penyiksaan jauh lebih kejam. Para tahanan kerap digantung terbalik, kaki di atas, diteteskan cairan kimia, dipaksa berlutut di lantai penuh biji kacang hijau, menempelkan telinga ke mulut bedug yang ditabuh, hingga jemarinya dijepit bolpoin lalu ditekan keras-keras. Para perwira sesekali ikut menyiksa para tahanan. 

“Tidak jarang para jenderal mengeksekusi tahanan Gang Buntu. Mereka mengantongi licence to kill,” ujar Sulistyawati. 

Selama enam bulan di sana, dia mengalami penyiksaan tak terperikan. Bentuk penyiksaan di Penjara Gang Buntu beragam dan terkenal sadis. Penyiksaan berlangsung tiap hari dan tak mengenal waktu. “Selama dua minggu pemeriksaan itu, nggak tidur, nggak makan,” ujarnya. “Luar biasa kejam. Itu iblis, iblis.” 

Sebagai perempuan, Sulistyawati bilang tak pernah mengalami pelecehan seksual. Namun, nasib mengenaskan dialami Heru Santoso. Sebagaimana dikisahkan Hersri Setiawan, Heru ditangkap bersama istrinya. Di Gang Buntu, Heru dipanggil dan dipaksa menandatangani. Dan Heru tak bisa berbuat apa-apa. 

“Mau menolak? Apa modalnya? Apa lagi juga dikatakan istrinya sudah hamil, dan segera mau kawin dengan pemeriksanya, yang pernah jadi pemeriksa Heru juga,” ujar Sudadi, anggota barisan pemerintah harian Jakarta Raya dari fraksi PKI, yang pernah mendekam di Kodim Jakarta Pusat –dikenal dengan nama Air Mancur, karena letaknya dekat dengan bundaran air mancur Jalan Thamrin– dan Penjara Gang Buntu. 

“Padahal istrinya dulu sama-sama aktivis CGMI, primadona mahasiswa Surabaya, ya karena kegiatannya, ya karena kecantikannya. Kok ya mau.” 

Sebuah taman dengan kolam di bekas kompleks Penjara Gang Buntu. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Heru Santoso nyaris putus asa. Keputusasaan yang sama dialami banyak tahanan. Termasuk yang dipaksa menyiksa sesama tahanan, dan hal ini kerap terjadi. “Kalau mereka menginterogasi dan menyiksa,” kenang Sri, “bisa lebih sadis dari tentara.” 

Penjara Gang Buntu merupakan penjara transit. Para tahanan yang “menginap” di sana tak pernah lama. Kalau tak tewas, mereka biasanya dipindahkan ke tempat lain. Interogator dan regu jaga di Gang Buntu juga bisa berasal dari tempat lain. Menurut Sulistyawati, regu yang menjaga Penjara Gang Buntu tak selalu sama. “Jadi ada dua. Tim lapangan yang menyiksa, tidak mengerti jalan pemeriksaan atau interogasi, jadi main hantem kromo aja. Nah tim kedua, yang terorganisasi, yang bikin pertanyaan kepada tahanan,” ujarnya. Mayor Jayadi, kepala kamp, masuk dalam tim kedua. Dia juga mengawasi makanan dan kesehatan para tahanan. 

Di Gang Buntu, Sulistyawati sempat dijadikan koki. Menurutnya, makanan di Gang Buntu terbilang mewah dan berlimpah. Komandan kamp yang memintanya langsung agar masakan untuk para tahanan politik layak dan bergizi. Setiap hari, dia bersama seorang tapol perempuan memasak. “Makanya masakannya masakan seperti rendang, daging, ikan; pokoknya yang bergizi lah,” kenangnya. 

Betapapun, dia bersikeras minta dipindahkan ke penjara perempuan. Dia akhirnya dipindahkan ke Kamp Bukit Duri. “Tiap hari mendengar jeritan, nggak kuat saya,” ujarnya. 

Gudang peralatan latihan wushu merupakan salah satu bagian dari bekas Penjara Gang Buntu. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Kasus Lain

Selain tahanan politik 1965, Penjara Gang Buntu juga digunakan untuk menahan orang-orang yang dicap terlibat Peristiwa Malari, pembajakan pesawat Garuda Woyla, pengeboman BCA, Peristiwa Tanjung Priok, dan Talangsari. Fauzi Isman dan Nurhidayat (kasus Talangsari, Lampung, 1989), Eko Djatmiko (Malari), dan Eko Maryadi adalah beberapa nama yang sempat mencicipi kejamnya Penjara Gang Buntu. 

Menurut Nurhidayat, di Gang Buntu tak ada persahabatan di antara sesama tahanan politik. Penyebabnya tak diketahui pasti. Kemungkinan akibat isolasi yang mereka terima dan ketakutan akan kejamnya siksaan. Nurhidayat sendiri tak terlalu parah mendapatkan siksaan di Gang Buntu. “Namun, selama enam bulan kakinya dirantai dan selama itu pula dia tak berganti baju,” tulis Margiyono dan Kurniawan TY dalam Neraka Rezim Suharto: Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru.

Para tahanan kasus pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla mendapat siksaan teramat kejam. Setelah ditelanjangi dan digantung di “kapal selam”, mereka dikuliti. Ada juga yang kepalanya ditetesi cairan kimia hingga bolong. Atau seperti dialami Ahmad Sobari, pentolan Negara Islam Indonesia (NII), yang telinganya dimasukkan bolpoin lalu bolpoin itu dipukul keras-keras oleh tentara. 

Sirine masih tetap menempel di dinding walau tak berfungsi lagi. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Penjagaan di kompleks Penjara Gang Buntu sangat ketat. Selain tentara piket, biasanya berjumlah lima personel di tiap pos, intel-intel berkeliaran di sekitar lokasi. “Kan mata-matanya banyak,” ujar Sakim. 

Horor Penjara Gang Buntu tak hanya menghantui para tahanan. Masyarakat sekitar atau orang luar yang dianggap mencurigakan sering kena getahnya. Kewaspadaan para penjaga sangat tinggi. Pokoknya, ujar Sakim, kecurigaan sudah ada dari jarak 50 meter dari pintu masuk. “Kalau cengar-cengir, ketawa-ketiwi, atau ngomong, pasti dipanggil,” ujar Sakim. “Saya aja absen berapa kali.” 

Usia Penjara Gang Buntu hampir setua Orde Baru yang mendirikannya. Tak jelas kapan pastinya “neraka” itu berhenti beroperasi. “Perasaan saya sih sebelum tahun 2000,” ujar Sakim. 

Kini, bangunan bekas penjara itu masih berdiri angkuh, tak tersentuh oleh geliat pembangunan kota. Ia seangkuh para pelanggar HAM masa lalu yang tak pernah menjalani tuntutan hukum, mengabaikan nasib mantan penghuninya yang berharap mendapatkan keadilan. Penjara Gang Buntu menjadi saksi kesadisan, kebrutalan, dan kekejaman sebuah rezim teror.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64d468d756ae3c9d2ba303f8