Laszlo Szekely dan Madelon Lulofs berpose di depan hutan yang ditebangi untuk perkebunan di Deli Serdang, Sumatra Utara tahun 1927-1930. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
TAK lama setelah Batavia berdiri, beberapa pekerja Kongsi Dagang Belanda (VOC) menyusuri sungai untuk mencari kayu. Mereka mendapati kawasan di luar tembok Batavia (Ommelanden) masih diselimuti hutan lebat.
Kala itu, Batavia bergantung pada hasil hutan di Ommelanden untuk memenuhi kebutuhan makanan, bahan bakar, hingga bahan bangunan. Akibat bertambahnya penduduk, kebutuhan kayu meningkat. Hutan pun berkurang dengan cepat, lebih awal ketimbang tempat lain di Jawa.
“Sayangnya, kita tidak memiliki data kuantitatif tentang laju deforestasi di wilayah ini, tetapi jelas bahwa ekspansi ekonomi dan demografi dari Batavia ke pedalaman pada akhir abad ke-17 adalah faktor utama deforestasi,” tulis Bondan Kanumoyoso dalam “Beyond The City Wall: Socio-Economic Development in The Ommelanden Batavia, 1684–1740,” disertasi di Universitas Leiden, Belanda.
TAK lama setelah Batavia berdiri, beberapa pekerja Kongsi Dagang Belanda (VOC) menyusuri sungai untuk mencari kayu. Mereka mendapati kawasan di luar tembok Batavia (Ommelanden) masih diselimuti hutan lebat.
Kala itu, Batavia bergantung pada hasil hutan di Ommelanden untuk memenuhi kebutuhan makanan, bahan bakar, hingga bahan bangunan. Akibat bertambahnya penduduk, kebutuhan kayu meningkat. Hutan pun berkurang dengan cepat, lebih awal ketimbang tempat lain di Jawa.
“Sayangnya, kita tidak memiliki data kuantitatif tentang laju deforestasi di wilayah ini, tetapi jelas bahwa ekspansi ekonomi dan demografi dari Batavia ke pedalaman pada akhir abad ke-17 adalah faktor utama deforestasi,” tulis Bondan Kanumoyoso dalam “Beyond The City Wall: Socio-Economic Development in The Ommelanden Batavia, 1684–1740,” disertasi di Universitas Leiden, Belanda.
Pada 1683, Lembaga Pengelola Ommelanden, yang bertanggung jawab atas hutan dan lahan pertanian VOC, melaporkan bahwa Sungai Ciliwung sudah hampir tak dapat dilayari, bahkan berbahaya, dengan perahu besar karena penuh batang-batang pohon dan bambu. “Pembabatan hutan mencapai puncaknya pada dasawarsa 1670 dan 1680-an,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII.
Dampaknya langsung terasa. Pada abad ke-17, Batavia sudah dipusingkan oleh banjir musiman setiap tahun. Kanal-kanal yang dibangun mengalami pendangkalan, penuh dengan lumpur. VOC juga mencemaskan rusaknya hutan produksinya. Untuk menekan penebangan liar di Ommelanden, pada 24 Juni 1696 pemerintah VOC menerbitkan pengumuman yang melarang “perusakan hutan dan penebangan pohon di distrik Jaccatra”.
Namun, pembalakan liar terus terjadi. Sementara VOC kesulitan mengawasi semua hutannya karena keterbatasan sumber daya. “Selain itu ada petunjuk tentang hubungan saling menguntungkan antara pedagang kayu ilegal dan pejabat lokal yang korup,” tulis Bondan.
Untuk memenuhi kebutuhan kayu guna pembuatan kapal dan perdagangan, VOC melirik tempat lain. Mereka menjalin hubungan dengan penguasa lokal di Jawa. Jepara, yang kaya hutan jati dan menjadi pusat pembuatan kapal, memasok kayu ke Batavia sejak 1622. VOC punya loji di sana.
Sama seperti VOC di Batavia, Kerajaan Mataram juga bergantung pada hutan jati. Mereka mengandalkan orang-orang Kalang, kelompok penebang kayu andal yang merdeka. “Pada 1640 Sultan Agung meminta sejumlah orang Kalang untuk menetap di kompleks kerajaan dan bekerja untuknya,” tulis Nancy Lee Peluso dalam Rich Forests, Poor People.
“Pentingnya orang-orang Kalang sebagai penebang dan pekerja kayu kerajaan terlihat ketika Kerajaan Mataram pecah pada 1755; 6.000 keluarga Kalang dibagi antara dua penguasa baru,” lanjut Nancy.
Setelah Mataram pecah, VOC mulai menguasai dan memonopoli hutan jati serta tenaga kerja di wilayah-wilayah yang sebelumnya di bawah kendali Mataram. Namun, VOC bangkrut karena korupsi, meninggalkan hutan yang rusak parah.
Tanam Paksa
Meski sejumlah ilmuwan sudah menyuarakan ancaman bahaya dari deforestasi, pemerintah kolonial Belanda mengabaikannya. Bahkan, hutan kian terancam sejak penerapan Sistem Tanam Paksa pada 1830. Hutan dibuka. Lahan perkebunan diperluas. Pembangunan infrastruktur membutuhkan kayu dalam jumlah besar. Penebangan hutan kian tak terkendali. Inilah masa suram bagi hutan di Jawa.
Menyadari Sistem Tanam Paksa merusak hutan, pada 1846 Direktur Perkebunan menyurati Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Dia meminta bantuan tenaga ahli untuk mengelola hutan di wilayah-wilayah keresidenan. Tiga tahun kemudian, sejumlah ahli kehutanan yang dipimpin J. Mollier, rimbawan Jerman, tiba. Mereka merancang sistem pengelolaan hutan di Jawa.
Butuh waktu lama bagi pemerintah kolonial untuk menyadari pentingnya rekomendasi tim itu. Sampai tahun 1865, selain menghidupkan kembali Jawatan Kehutanan, pemerintah mengeluarkan UU Kehutanan Jawa Madura. UU ini mengatur pembagian kawasan hutan, pengelolaan hutan, hingga larangan dan hukuman. UU ini juga mengakui fungsi hutan bagi iklim, perlindungan daerah aliran sungai, dan kesejahteraan sosial.
“Konsep Undang-Undang Kehutanan tahun 1865 itu dengan sabar dikoreksi setiap saat, dan baru diresmikan tahun 1927,” kata Hasanu Simon, guru besar Ilmu Perencanaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, dalam pidato pelepasan purnatugas pada September 2010.
Perlindungan hutan nonjati atau biasa disebut junglewood, yang areanya lebih luas ketimbang hutan jati, juga diatur. Itu termaktub dalam UU Kehutanan tahun 1874. Sepuluh tahun kemudian sebuah ordonansi mengatur kriteria pendirian suaka alam bagi hutan nonjati, yang kemudian dianggap sebagai langkah konservasi pertama.
“Minat terhadap hutan jati jelas menerbitkan rasa takut bahwa jati akan habis di masa mendatang. Di beberapa daerah nonjati, junglewood juga agak rusak, dan inilah alasan untuk mencoba dan melestarikan apa yang tersisa,” tulis Peter Boomgaard dalam “Oriental Nature, its Friends and it Enemies”, termuat di Environment and History 5.
Untuk upaya peremajaan hutan (reboisasi), diterapkan sistem tumpang sari. Juga diterapkan houtvestrij, pengelompokkan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, dari tahap menanam, memelihara, hingga memanen pohon. Sejumlah cagar alam dan kawasan konservasi didirikan.
Namun, pengelolaan hutan juga menampilkan dua wajah yang kontradiktif. “Di satu sisi, peraturan kehutanan membatasi atau bahkan menutup dan menghapuskan hak-hak tradisi penduduk lokal atas hutan. Di sisi lain, peraturan membuka peluang bagi pengusaha partikelir terlibat dalam eksploitasi hutan. Masuknya kapitalis swasta itu mempercepat degradasi hutan,” tulis Warto dalam Desa Hutan dalam Perubahan.
Kebijakan pemerintah kolonial masih tertuju di Jawa. Ketika kegiatan hutan oleh Inggris di Malaya, Sarawak, dan Kalimantan Utara kian meluas, pemerintah tersadar. Mereka mendirikan pos Jawatan Kehutanan di luar Jawa pada 1908. Namun, upaya konsesi penebangan gagal. Pada 1928, pemerintah berupaya memperluas penerapan UU Kehutanan ke seluruh Hindia Belanda. Volksraad (Dewan Rakyat) menentang setiap upaya memperluas industri penebangan ke pulau-pulau luar. Rencana itu pun kandas.
“Namun, dalam praktiknya, beberapa konsesi diberikan pada 1920, terutama di Kalimantan, dan disewakan kepada perusahaan Jepang dan Amerika,” tulis Benjamin Singer dalam “Indonesian Forest-Related Policies A Multisectoral Overview of Public Policies in Indonesia’s Forest since 1965”, tesis di Institut d’Etudes Politiques and CIRAD, Prancis.
Demi Perang
Ketika menduduki Indonesia, Jepang menemukan seluruh peta hutan, kilang-kilang penggergajian, dan prasarana lain sudah hancur dibumihanguskan Belanda. Jepang berupaya memanfaatkan apa yang tersisa untuk kepentingan perang.
Ordonansi tinggalan Belanda tetap berlaku. Jepang menggunakan pegawai Jawatan Kehutanan (Dient van het Boschwezen), yang diganti namanya jadi Ringyo Tyuoo Zimusyo. Badan ini kemudian dimasukkan ke dalam Departemen Ekonomi (Sangyobu), Departemen Perkapalan (Zoosenkyoku), hingga akhirnya Departemen Produksi Kebutuhan Perang (Gunzyuseizanbu). Jepang juga memobilisasi rakyat untuk membuka hutan untuk lahan pertanian hingga memasok kayu dan arang untuk kebutuhan bahan bakar dan industri.
Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol, proyek reklamasi terbesar dijalankan di tanah partikelir di Pusaka Negara, Subang. Pemerintah militer Jepang mengundang petani tak bertanah dari wilayah pesisir Jawa Tengah dan kabupaten lainnya untuk datang dan membabat hutan. Hasil paling drastis: terbentuknya sebuah desa baru seluas 1.500 hektar yang dinamakan Yamada (sekarang desa Jatireja).
“Ribuan pohon ditebang, tidak hanya untuk persawahan, tetapi juga untuk eksploitasi kayu, sehingga mengganggu sistem ekologi dan sering menyebabkan banjir di wilayah yang berdekatan,” tulis Aiko.
Sekalipun Jepang hanya berkuasa tiga tahun, tingkat kerusakan hutan begitu parah. Sementara upaya reboisasi nyaris tak ada. “Intensitas produksi kayu selama periode ini, terutama di Jawa, mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal… juga di Kalimantan Timur di mana kayu diproduksi untuk upaya Angkatan Laut Jepang,” tulis Benjamin.
Demi perang, hutan hancur. Kesadaran akan pentingnya hutan disuarakan Serikat Boeroeh Kehoetanan seluruh Jawa dan Madura. Dalam kongresnya di Selecta, Malang pada 27 September 1946, Presiden Sukarno pun menyuarakan pentingnya hutan. Dia mencontohkan bahaya banjir di Tiongkok dan Mesopotamia akibat penebangan hutan.
“350 tahun kita tak bernegara. Kita ingin hidup bernegara. Kita berjuang menumpahkan darah untuk hidup. Hidup minta makan, makan minta padi, padi minta hutan. Tidak ada hutan, tidak ada sumber, tidak ada air,” kata Sukarno dikutip Merdeka, 1 Oktober 1946. “Maka pertahankan hutan, jangan menebang hutan. Menebang hutan berarti menebang bangsa sendiri. Mempertahankan hutan berarti mempertahankan hidup.”
Kegagalan demi Kegagalan
Kemerdekaan ternyata tak membebaskan hutan dari penjarahan. Menurut Robert Cribb dalam The Politics of Environmental Protectionin Indonesia, blokade Belanda selama revolusi membuat kaum Republiken di Jawa kekurangan bahan bakar sehingga terjadi penebangan hutan secara luas. Penebangan kayu untuk lahan pertanian juga menjadi ancaman.
Dengan mengambil contoh kerusakan hutan di Jawa Barat yang mencapai rata-rata 20 persen, Pandji Ra’jat edisi 30 Maret 1948, menulis butuh waktu 30–40 tahun untuk memulihkannya. Selama periode ini beberapa cagar alam di Jawa, seperti Dungus Iwul dekat Jasinga dan Rawa Danau di Banten, hampir menghilang.
Pada 1950, para ahli kehutanan mengevaluasi keadaan hutan di Jawa. Mereka prihatin atas kerusakan hutan yang parah akibat perang. Karena itu Jawatan Kehutanan menyiapkan reboisasi. “Rata-rata penanaman di Indonesia antara tahun 1950 sampai tahun 1959 mencapai 45.000 ha, dibanding dengan penanaman pada tahun 1938 yang mencapai 24.600 ha,” tulis Lisman Sumardjani dalam Konflik Sosial Kehutanan.
Namun, menurut Nancy, sejumlah peristiwa politik berdampak pada hutan. Untuk menemukan persembunyian DI/TII, TNI tak ragu membersihkan wilayah hutan yang luas. Pada saat bersamaan, militer kerap terlibat dalam perdagangan jati ilegal. Ketegangan dan konflik berbasis hutan juga kerap pecah ketika Barisan Tani Indonesia dan Sarekat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia, dua organisasi sayap PKI, melancarkan aksi sepihak. Sibuk mengurusi politik, hutan pun terabaikan.
Di masa Orde Baru, begitu dibentuk pada 1967 Direktorat Jenderal Kehutanan menghelat rapat kerja pertama di Kaliurang, Yogyakarta. Pertemuan itu mendorong lahirnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. UU ini membuka pintu bagi pengusahaan hutan-hutan produksi di luar Jawa kepada para pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), termasuk perusahaan asing. Ekspor kayu meningkat. Pada 1978, misalnya, Indonesia memasok 44% dari ekspor kayu dunia. Kerusakan hutan pun berlangsung cepat.
“Hanya dalam kurun waktu 25 tahun, 64 juta hektar hutan alam produksi di luar Jawa mengalami kehancuran,” ujar Hasanu.
Ketika potensi hutan menurun, para pengusaha mengkonversi hutan yang rusak itu menjadi kebun kelapa sawit. Sebagaimana pelaksanaan HPH, usaha kebun sawit mengancam kelestarian hutan dan masyarakat di sekitarnya. Pembalakan liar ikut memperparahnya. Kampanye penghijauan oleh pemerintah hanyalah pepesan kosong. Dana reboisasi yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan hutan di Jawa malah dialokasikan untuk proyek-proyek lain.
Munculnya UU No. 41 Tahun 1999 di era Reformasi tak mencegah deforestasi. Data Departemen Kehutanan menunjukkan laju deforestasi pada periode 1985–1998 tidak kurang dari 1,6–1,8 juta hektare per tahun. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), pada 2000 laju deforestasi meningkat menjadi 2 juta hektare per tahun. Pada periode selanjutnya tahun 2000–2009 laju deforestasi menjadi 1,5 juta hektare per tahun.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim deforestasi semakin menurun. Pada periode 2013–2014, deforestasi turun menjadi 0,4 juta hektar per tahun dari 0,73 juta hektar per tahun pada periode sebelumnya. Deforestasi naik lagi menjadi 1,09 juta hektare per tahun (2014–2015), lalu turun menjadi 0,63 juta hektare per tahun (2015–2016), dan turun kembali menjadi 0,48 juta hektare per tahun (2016–2017).
Data FWI menyebutkan bahwa laju deforestasi memang menurun, tapi angkanya dari 1,5 juta hektare per tahun menjadi 1,13 juta hektare pada periode 2009–2013. FWI meyakini penurunan laju deforestasi tersebut terjadi bukan karena timbulnya kesadaran para perusak hutan, tetapi karena akses hutan yang semakin sulit dan semakin berkurangnya hutan-hutan yang dapat dieksploitasi.*