Ianjo Tak Jauh dari Tangsi Militer Jepang

Jepang membangun ianjo sebagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan seksual tentaranya. Namun, perkosaan oleh tentara Jepang tetap terjadi di luar ianjo.

OLEH:
Eka Hindra
.
Ianjo Tak Jauh dari Tangsi Militer JepangIanjo Tak Jauh dari Tangsi Militer Jepang
cover caption
Ianfu di depan ianjo di Kupang, Tiomor. (Australian War Memorial).

OMOH sedang berada di depan rumah ketika dua tentara Jepang datang membawa sepucuk surat dan menyerahkannya ke orang tuanya. Sepeninggal si Jepang, tak satu pun yang berani menyentuh surat itu. Selain takut, kedua orang tuanya yang hidup dari bertani buta huruf. “Hanya katanya, saya akan dipekerjakan,” ujarnya. 

Sesuai pesan orang Jepang itu, keesokan harinya Omoh dan kedua orang tuanya datang ke kantor tentara Jepang di Jalan Simpang, Cimahi. Surat itu mereka bawa. Sesampai di sana, mereka baru tahu bahwa surat itu berisi pengumuman bahwa Omoh diterima bekerja sebagai babu di tempat itu. 

Pada 1942, Omoh masih berusia 14 tahun. Di sana dia bertemu dengan beberapa perempuan muda yang juga akan dipekerjakan sebagai babu. Selama enam hari, tak ada pekerjaan yang harus dia lakukan, kecuali taiso (senam). Karena heran, dia bertanya kepada juru masak, seorang perempuan bernama Awat. Jawabannya singkat: nanti juga akan tahu. “Saya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa pekerjaan saya.”

OMOH sedang berada di depan rumah ketika dua tentara Jepang datang membawa sepucuk surat dan menyerahkannya ke orang tuanya. Sepeninggal si Jepang, tak satu pun yang berani menyentuh surat itu. Selain takut, kedua orang tuanya yang hidup dari bertani buta huruf. “Hanya katanya, saya akan dipekerjakan,” ujarnya. 

Sesuai pesan orang Jepang itu, keesokan harinya Omoh dan kedua orang tuanya datang ke kantor tentara Jepang di Jalan Simpang, Cimahi. Surat itu mereka bawa. Sesampai di sana, mereka baru tahu bahwa surat itu berisi pengumuman bahwa Omoh diterima bekerja sebagai babu di tempat itu. 

Pada 1942, Omoh masih berusia 14 tahun. Di sana dia bertemu dengan beberapa perempuan muda yang juga akan dipekerjakan sebagai babu. Selama enam hari, tak ada pekerjaan yang harus dia lakukan, kecuali taiso (senam). Karena heran, dia bertanya kepada juru masak, seorang perempuan bernama Awat. Jawabannya singkat: nanti juga akan tahu. “Saya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa pekerjaan saya.” 

Suatu hari datang dokter Jepang bernama Tanaka untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Omoh kaget. Bagian tubuhnya yang paling sensitif diperiksa. Omoh sampai menjerit kesakitan karena mengeluarkan darah. Dia lalu demam. “Dokter Tanaka-lah orang Jepang pertama yang menggauli saya.”

Sejak itu, Omoh tahu bahwa dia dipaksa jadi pemuas nafsu Jepang dan bekerja di ianjo. Namanya pun berganti menjadi Midori. Setiap hari, dia dipaksa melayani kebutuhan seks tamu-tamu Jepang yang datang menjelang sore. Istirahat sebentar, dia lalu melayani lagi sampai malam. Sering kali jumlah tamu banyak sehingga dia kelelahan. Omoh tak bisa apa-apa. Menolak melayani berarti pukulan dan tendangan. Dan dia tak bisa melarikan diri karena Kenpeitai (polisi militer Jepang) yang kejam kerap mengontrol ianjo. Jarak ianjo dan asrama tentara berdekatan.

Rumah yang digunakkan sebagai tempat hiburan perwira Jepang di Labuan, Kalimantan. (Australian War Memorial).

Wilayah Ianjo

Di wilayah Indonesia, ianjo tersebar dari Aceh hingga Papua. Dapat dipastikan di mana ada tangsi militer Jepang di situ terdapat ianjo. Sebutannya berbeda-beda, tergantung lokasinya. Ada yang menyebut “asrama”, “rumah panjang”, atau “rumah bambu”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Koichi Kimura dan Eka Hindra tahun 1999–2012, terdapat beberapa model bangunan ianjo. Ada bangunan baru yang didirikan di dekat tangsi militer. Ada pula bangunan lama yang berdekatan dengan permukiman penduduk; bekas rumah tinggal orang Belanda, hotel di tengah kota, maupun tempat peristirahatan di pegunungan milik orang Belanda.

Selama pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah administratif pemerintahan militer: Tentara ke-25 Angkatan Darat untuk Sumatra, berpusat di Bukittinggi; Tentara ke-16 Angkatan Laut untuk Jawa dan Madura, berpusat di Jakarta; serta Armada Selatan II Angkatan Laut untuk Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku, berpusat di Makassar. David Jenkins dalam Soeharto di Bawah Militerisme Jepang menulis ketiga wilayah ini hanya melakukan sedikit kontak seolah-olah tiga wilayah berbeda. Wilayah berbeda, begitu pula kebijakannya. Tak heran jika kondisi ianjo di setiap wilayah tidaklah sama.

Namun, berdasarkan pengamatan Eka Hindra, kebijakan dalam menangani ianjo juga berbeda satu sama lain meski dalam wilayah pemerintahan yang sama. Misalnya ianjo Omoh yang berlokasi di Cimahi, tak membolehkan perempuan keluar untuk melayani tamu. Semua tamu harus datang untuk mendapat pelayanan. Sedangkan ianjo di Sukabumi yang ditempati Iting, para tamu boleh membawa keluar perempuan yang diinginkan, dan setelah melampiaskan hasratnya harus mengembalikan perempuan tersebut ke ianjo.

Di ianjo Mardiyem di Banjarmasin dan ianjo Lantrah di Balikpapan, tak satu pun perempuan boleh dibawa keluar untuk melayani satu orang, meski perwira tinggi sekalipun. Tak demikian di Sanga-sanga Dalam. Di sana perwira tinggi memiliki kekuasaan untuk memperoleh perempuan untuk diri sendiri yang ditempatkan terpisah dari ianjo sebelumnya. Ini terjadi pada Siti Neng Itjuh. Setelah tinggal selama dua tahun, dia diambil seorang perwira Jepang bernama Yoshitani khusus untuk melayaninya, hingga melahirkan seorang bayi laki-laki.

Selain perbedaan kebijakan, fasilitas yang terdapat di ianjo juga tidaklah sama, seperti ukuran kamar, fasilitas semacam toilet terbuka untuk mencuci kelamin bagi perempuan dan tamu, ruang periksa kesehatan serta mutu makanan dan pembagian jatah rokok merk Kooa.

Rumah bekas ianjo di Simpang.

Bangunan Ianjo

Bangunan ianjo biasanya berpagar kayu tinggi agar aktivitas di sekitar bangunan tak terlihat orang dari luar. Begitu masuk, tamu mesti mendatangi ruangan yang dijadikan loket. Mereka akan mendapatkan dua kondom dan karcis yang berlaku satu kali kunjungan selama satu jam.

Jam kunjungan dan harga karcis ditetapkan berdasarkan golongan: sipil dan militer (berpangkat rendah dan perwira). Tentara berpangkat rendah bisa berkunjung pada pukul 12.00–19.00 dengan harga karcis 2,5 yen/jam. Untuk sipil 3,5 yen/jam (17.00–24.00), sementara perwira 12,5 yen (24.00–06.00). Ada peraturan yang harus ditaati para tamu, yakni dilarang mabuk dan membuat keonaran. Jika melanggar, Kenpeitai tak segan-segan memukuli dan melemparkannya keluar dari ianjo.

Para ianfu biasanya ditempatkan secara hierarkis menurut kelas, ras, dan kebangsaan. Mereka yang berkulit putih dari Manado, keturunan Cina, dan keturunan Belanda melayani opsir yang berpangkat tinggi. Sedangkan yang berkulit cokelat, berasal dari Jawa, ditempatkan di ianjo untuk para tentara berpangkat rendah. 

Setelah mendapat karcis dan kondom, di ruangan tunggu, tamu menunggu giliran masuk ke kamar yang sudah mereka pesan. Di ruangan itu terdapat papan tulis berisi nomor kamar dan nama Jepang setiap kamar. Di beberapa ianjo, seperti di Cimahi, bahkan dilengkapi foto sehingga memudahkan tamu memilih perempuan yang diinginkannya. Mengganti nama Jepang diberlakukan di setiap ianjo. Siti Neng Itjuh menjadi Ruriko, Omoh menjadi Midori, Lantrah menjadi Toyoko, dan Mardiyem menjadi Momoye.

Meski militer Jepang sudah membangun ianjo sebagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan seksual personelnya, banyak kasus perkosaan terjadi di luar ianjo, di tangsi-tangsi, pabrik, dan jalan-jalan.

Selain itu, ianjo dilengkapi dapur dan kamar mandi. Makanan disediakan koki yang bertugas memasak setiap hari. Sedangkan kebersihan dilakukan jongos yang bertugas membantu manajer ianjo menjalankan aktivitas di sana.

Operasional ianjo berada di bawah tanggung jawab seorang manajer, biasanya berasal dari kalangan militer Jepang atau sipil berkebangsaan Tionghoa. Manajer bertugas memastikan kegiatan berjalan lancar. Sering kali mereka menggunakan tangan besi. Cikada, misalnya, manajer di ianjo Mardiyem di Banjarmasin, tak segan memukul ianfu, sekalipun kesalahan bukan dilakukan oleh mereka. 

Di setiap pintu keluar ianjo, empat personel Heitai (tentara Jepang) atau Heiho (tentara pembantu militer Jepang, orang Indonesia) berjaga secara bergantian sepanjang hari. Malam harinya Kenpeitai atau Kenpeiho (Heiho yang bekerja di bawah Kenpeitai) bergantian mengontrol keamanan di sekitar bangunan, dan juga memastikan ketertiban para tamu yang menginap.

Fasilitas Kesehatan

Ianfu tak diperkenankan keluar secara bebas, kecuali ada pengawal yang mengantar –biasanya Heitai, Heiho, atau jongos yang bekerja di sana. Mereka layaknya properti. Sebagai properti, pihak militer menjaga kesehatan mereka agar personel militer terhindar dari penyakit menular seksual. Sekali dalam seminggu dokter Jepang datang untuk memeriksa kesehatan. Jika diketahui ada yang terkena penyakit kelamin, mereka akan mengobatinya sampai sembuh.

Ianjo juga menyediakan ruang periksa kesehatan, meski ada juga yang tak memilikinya seperti beberapa lokasi ianjo di Sukabumi dan Sulawesi Selatan.

Di beberapa ianjo, seperti di Cimahi, ada bangunan lain tak jauh dari ianjo yang berfungsi sebagai rumah peristirahatan bagi ianfu yang sedang berada dalam perawatan kesehatan dan mengalami menstruasi. Sedangkan di Sanga-sanga Dalam, rumah peristirahatan berada jauh dari lokasi ianjo.

Kaputjes (kondom) produksi pabrik Okamoto, berdiri sejak 1934, dengan merek Dotsugeki Ichiban (serangan sang juara). (Eka Hindra).

Kamar

Di setiap kamar biasanya tersedia toilet. Tak semua ianjo memiliki fasilitas ini seperti ianjo di Banjarmasin, Balikpapan, dan Cimahi. Di dalam setiap kamar juga tersedia beberapa botol berisi cairan berwarna kemerahan sebagai antiseptik kuman untuk vagina. Ini untuk mencegah penyakit kelamin sesudah berhubungan seks dengan tamu. Sedangkan untuk tamu disediakan ember berisi air, gayung, dan handuk kecil berwarna putih juga untuk membersihkan kelaminnya.

Meski ada peraturan harus menggunakan kondom, sering kali tamu tak mau memakainya dengan alasan kurang nikmat. Perempuanlah yang menanggung dampak buruk seperti terkena penyakit kelamin atau hamil. Apabila kedapatan hamil, janin harus diaborsi paksa tanpa pembiusan. Ini dimaksudkan agar si perempuan jera dan tak hamil lagi. Sedangkan si tamu tak terkena sanksi. Ini membuktikan bahwa peraturan hanya dibuat untuk kepentingan personel militer.

Kalaupun dipakai, kondom berkualitas rendah sehingga sangat menyakitkan, bahkan tak jarang mengakibatkan luka-luka di vagina. Kalangan perwira biasanya membawa kondom sendiri dengan kualitas yang lebih baik dan minyak pelumas (lubrikan).

Perempuan juga mengalami kekerasan seksual yang keji. Mereka dipaksa melakukan hubungan seksual hingga kelelahan. Jika tak memuaskan, si tamu akan menampar pipi, memukuli tubuh, atau memerintahkan berbagai gaya hubungan seksual. Tak hanya berhenti sampai di situ. Bahkan Iting pernah dipaksa ikut memegangi kaki teman satu kamarnya supaya tentara Jepang bisa memperkosanya. Ingatan ini membekas di benak Iting dan menimbulkan penyesalan sampai dia meninggal dunia tahun 2010.

Ampul suntikan. (Eka Hindra).

Sistem yang Gagal

Meski militer Jepang sudah membangun ianjo sebagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan seksual personelnya, banyak kasus perkosaan terjadi di luar ianjo, di tangsi-tangsi, pabrik, dan jalan-jalan. Seperti yang terjadi dengan Rumini dari Jawa Timur, yang diperkosa berulang kali ketika dia dan kawan seusianya dari desanya dimobilisasi militer Jepang di Tulungagung untuk bekerja paksa di pabrik pembuatan baju. Malam hari satu per satu mereka diperkosa di kamar tidur seorang tentara Jepang yang bertugas sebagai penanggung jawab pabrik. 

Pemerkosaan sistematis juga terjadi di rumah dinas perwira. Dali dari Sulawesi Selatan, yang bekerja sebagai babu di rumah dinas seorang perwira Jepang bernama Tanaji, diperkosa hingga melahirkan seorang bayi laki-laki. Pengalaman nyaris serupa dialami Sri Sukanti, anak seorang wedana di Purwodadi, yang diambil perwira Jepang bernama Ogawa ketika berusia 9 tahun. Sri Sukanti disekap selama empat hari dan dijadikan budak seks oleh Ogawa. Rahimnya rusak, sehingga hingga kini dia tak bisa memiliki anak. Tukiyem dari Karanganyar menjadi romusha di sebuah asrama militer Jepang di Solo, bekerja membersihkan asrama dan memasak di dapur. Selama tiga bulan, dia diperkosa beramai-ramai oleh lima tentara Jepang yang tinggal di sana.

Dapat dikatakan sistem ianjo yang diselenggarakan militer Jepang gagal karena lemahnya pengawasan dan penertiban terhadap personel yang seharusnya datang ke ianjo, bukan melepaskan hasrat di luar ianjo. Sistem ini juga membawa penderitaan berat bagi para mantan ianfu selama bertahun-tahun, hingga satu per satu meninggal dunia dalam “kebisuan”. 

Midori alias Omoh pulang ke rumah di daerah Cibabat, Bandung, tanpa dibekali uang sama sekali ketika Jepang kalah perang. Penderitaan yang dia tanggung bertambah. Kedua orang tuanya yang kurus kering karena menjadi romusha meninggal dunia. Di kampungnya, masyarakat mencaci maki dan menghinanya sebagai “bekas Jepang” atau “nyai Jepang”. “Sampai detik ini masih terasa,” ujarnya. Omoh meninggal dunia pada 1998.*

Majalah Historia No. 3 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64abad9c143c5092fa3e236f