Pemandangan Aceh karya Dirk de Jong sekitar tahun 1784. (Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH berlayar 25 hari, kami mencapai Pulau al-Jawa. Itu pulau dari mana kemenyan Jawa mendapatkan namanya. Kami melihat pulau itu dari jarak yang jauhnya setengah hari berlayar. Pohonnya banyak. Itu termasuk kelapa, palem, cengkeh, gaharu, papaya, jeruk manis, dan kapur barus.
Begitu nukilan kesaksian Ibnu Battuta ketika berlabuh di Kerajaan Samudra Pasai di Aceh dalam bukunya, Rihla (Perjalanan). Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad Ibn Battuta, lahir di Tangier, Maroko pada 24 Februari 1304 masa Dinasti Marinid.
SETELAH berlayar 25 hari, kami mencapai Pulau al-Jawa. Itu pulau dari mana kemenyan Jawa mendapatkan namanya. Kami melihat pulau itu dari jarak yang jauhnya setengah hari berlayar. Pohonnya banyak. Itu termasuk kelapa, palem, cengkeh, gaharu, papaya, jeruk manis, dan kapur barus.
Begitu nukilan kesaksian Ibnu Battuta ketika berlabuh di Kerajaan Samudra Pasai di Aceh dalam bukunya, Rihla (Perjalanan). Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad Ibn Battuta, lahir di Tangier, Maroko pada 24 Februari 1304 masa Dinasti Marinid.
Dalam periwayatannya itu, Ibnu Battuta menyebut Pulau Sumatra dengan Pulau al-Jawa. Menurut Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14, itu hal yang umum digunakan pada zaman pertengahan. Misalnya, penjelajah Italia, Marco Polo menyebut Sumatra sebagai Jawa yang kecil.
Sebelum melalui Selat Malaka, Ibnu Battuta tinggal selama enam tahun di Delhi, India. Sultan Muhammad bin Tughlug yang memerintahkannya melakukan pelayaran hingga ke Tiongkok untuk membalas kunjungan delegasi dari Dinasti Yuan. Perintah ini yang membawanya ke Samudera Pasai pada akhir musim dingin tahun 1345–1346.
Dalam perjalanannya, kapal Ibnu Battuta berhenti sekali di sebuah tempat yang ia sebut Barah Nagar. Ini mungkin sebuah negara kecil bagi suku etnik Indo-Cina di sepanjang pantai sebelah barat Myanmar. Pemberhentian kedua di pelabuhan bernama Qaqula. Pelabuhan itu, menurut Dunn, mungkin terletak di suatu tempat di sepanjang Pantai Tenasserim, di sisi sebalah barat Semenanjung Malaka.
Jung itu kemudian berlayar ke arah selatan lalu menelusuri sepanjang Pantai Malaka dan memasuki mulut selat itu. Setelahnya, ia berlabuh di pelabuhan Kerajaan Samudera di Sumatra.
“Sebuah kota pergantian kapal yang terletak pada salah sebuah sungai yang mengalir ke bawah dari pegunungan liar di daerah pedalaman sebelah barat laut,” jelas Dunn.
Sumatra sebenarnya tidak asing bagi pelawat itu. Sejarawan Taufik Abdullah mengatakan, Ibnu Battuta telah mengenal Sumatra sejak masih berada di Calicut, India. Dalam kisahnya, ia bercerita bagaimana hilir mudiknya pedagang dari Sumatra ke kota dagang itu.
Ketika akhirnya berkunjung ke Samudera, Ibnu Battuta bercerita tentang Sultan al-Malik al-Zahir (II) yang ingin memperluas wilayah kekuasaan Islam. “Negaranya merupakan negara yang masuk Islam paling awal di wilayah itu sebagaimana para sejarawan telah sanggup menemukannya,” tulis Dunn.
Sang sultan, kata Ibnu Battuta, banyak melakukan perang demi keyakinan agama. Sultan juga dikisahkan selalu ingin berdiskusi tentang masalah keagamaan dengan para ulama. Sultan yang ditemui Ibnu Battuta kemungkinan merupakan keturunan ketiga dari penguasa muslim yang telah ada beberapa tahun sebelum tahun 1297.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Negaranya merupakan negara yang masuk Islam paling awal di wilayah itu sebagaimana para sejarawan telah sanggup menemukannya.</div>
Taufik menjelaskan, pada salah satu inskripsi batu nisan di kompleks pemakaman raja Samudera Pasai, dalam bahasa Arab dikatakan bahwa kubur ini kepunyaan tuan yang mulia Sultan Malik al-Zahir, cahaya dunia dan sinar agama Muhammad bin Malik al-Shalih yang wafat pada malam Ahad, dua belas bulan Zulhijjah 726.
“Makam Malik a-Zahir ini terdapat di sebelah makam ayahnya, Malikul Saleh, sang pendiri dinasti Samudera Pasai,” kata Taufik.
Itu ditegaskan oleh sumber tertulis lain, seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu. Pun sesuai dengan kesaksian pelawat Italia, Marco Polo yang datang pada 1293, masa ketika kesultanan itu baru dilahirkan.
“Ini menunjukkan secara pasti tentang telah berdirinya sebuah pusat kekuasaan Islam di akhir abad ke-13. Jadi ini seusia dengan Kerajaan Majapahit di Jawa bagian timur waktu itu,” jelas Taufik.
Ibnu Battuta mencatat hanya tinggal dua pekan di Samudera. Namun, menurut Dunn, mungkin lebih lama lagi. Pasalnya, ia tak juga berangkat ke Tiongkok sampai kira-kira April 1346 ketika musim barat daya dimulai dan kapal-kapal yang bertujuan ke Kanton biasanya meninggalkan selat.
Ketika akan berlayar pergi dari Samudera, Ibnu Battuta bercerita kalau Sultan Malik al-Zahir memberikan kehormatan kepadanya dengan melengkapi persediaan makanan pada sebuah jung. Sang sultan malahan juga mengirim seorang pejabat istananya untuk memberikan pelayanan yang baik pada acara-acara makan di kapal.
Menurut Ibnu Battuta perjalanan dari Sumatra ke pantai di Tiongkok Selatan ditempuh lebih sedikit dari empat bulan. Itu walaupun waktu berlayar yang normal adalah sekira 40 hari.
Dalam perjalanannya pulang dari Tiongkok ke India, Ibnu Battuta rupanya mampir sekali lagi di Samudera untuk mengganti kapal. Ia kembali mengunjungi istana Sultan Malik al-Zahir selama beberapa minggu. Ketika itu sultan baru saja pulang berperang dan membawa banyak tawanan perang.
Bukan Pelawat Arab Pertama
Ibnu Battuta hampir seluruh hidupnya berkelana di dalam batas yang disebut Dar al-Islam. Ungkapan ini berarti negeri-negeri yang penduduknya mayoritas muslim atau paling tidak raja-raja dan para pangeran yang memerintah mayoritas muslim dan memberlakukan syariat atau hukum fikih Islam.
Ibnu Battuta merupakan pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu. Mulai dari Maghribi di Afrika, Tangier di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelacong Barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok.
Dari sisi politis, Samudera adalah pos luar paling akhir dari Dar al-Islam. Menurut Dunn, sekalipun kota lainnya di sebelah selatan sepanjang pantai Sumatra telah mengembangkan permukiman komersial, tak ada negara muslim merdeka yang diketahui eksistensinya di sebelah timur Samudera sebelum pertengahan abad ke-14.
Di luar itu, Taufik menjelaskan, Ibnu Battuta bukanlah orang Arab pertama yang memberitakan Nusantara. Ketika ia berkunjung, pengetahuan para ahli geografi dan pelayar Arab tentang wilayah kepulauan Nusantara telah cukup memadai.
Umpamanya, Pulau Zabag sebagai daerah kekuasaan Maharaja. Ia sudah sejak abad ke-7 muncul dalam tradisi penulisan para geograf Arab. Mereka menyebut Zabag untuk Pulau Sumatra. Meski sudah dikenal para geograf Arab, hanya Ibnu Battuta yang menceritakan hasil kunjungannya sendiri. Sebelumnya hanya berdasarkan cerita para pedagang. Para geograf kemudian mengulasnya berdasarkan kitab yang telah ditulis sebelumnya.
“Barulah pada akhir abad ke-16 pelayar Arab menghasilkan dua tulisan pendek tentang Samudra Hindia,” kata Taufik.
Kendati begitu, Dunn berkomentar, kisah perjalanan Ibnu Battuta ke Tiongkok diceritakan singkat dan skeptis. Petualangannya dari Maladewa ke Benggala, Sumatra, Tiongkok, dan kembali ke Maladewa hanya mencakup enam persen dari Rihla.
Namun paling tidak, Rihla tetaplah berdiri sendiri sebagai catatan perjalanan muslim tentang Asia Timur. Ibnu Battuta menjelajah kurang lebih selama 29 tahun dengan mencapai 120.700 km. Ia pun dijuluki penjelajah terbesar sepanjang masa.*