Ibu Sud bersama Presiden Sukarno di Istana Negara tahun 1962. (Dok. Carmanita).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA paruh kedua tahun 1970, Ali Sadikin dibikin repot. Kota yang dipimpinnya sering dilanda banjir. Gubernur DKI Jakarta itu pun dongkol. Acapkali dia mendapati warganya suka buang sampah sembarangan. Untuk mengatasi itu, Ali Sadikin mendatangi Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak.
“Tante, jij bikin lagu tentang sampah dong,” ujar bang Ali kepada Ibu Sud. Ibu Sud menyanggupi.
“Jadi dibikin sama mbahku (nenek), lagu berjudul ‘Sampah Lagi, Sampah Lagi’. Lagu itu dipakai jadi iklan layanan masyarakat yang waktu itu cukup populer. Liriknya berisi nasihat, terutama kepada anak-anak supaya jangan membuang sampah sembarangan,” tutur Carmanita (63), cucu Ibu Sud kepada Historia.
Nama Ibu Sud tentu sudah tak asing lagi dalam jagat seni Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga kini, senandung yang dia ciptakan turut membesarkan anakanak Indonesia. Karyanya terus dipakai di Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Dasar. Musikalitas lagu-lagunya dianggap punya komposisi terbaik untuk mengedukasi anakanak.
PADA paruh kedua tahun 1970, Ali Sadikin dibikin repot. Kota yang dipimpinnya sering dilanda banjir. Gubernur DKI Jakarta itu pun dongkol. Acapkali dia mendapati warganya suka buang sampah sembarangan. Untuk mengatasi itu, Ali Sadikin mendatangi Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak.
“Tante, jij bikin lagu tentang sampah dong,” ujar bang Ali kepada Ibu Sud. Ibu Sud menyanggupi.
“Jadi dibikin sama mbahku (nenek), lagu berjudul ‘Sampah Lagi, Sampah Lagi’. Lagu itu dipakai jadi iklan layanan masyarakat yang waktu itu cukup populer. Liriknya berisi nasihat, terutama kepada anak-anak supaya jangan membuang sampah sembarangan,” tutur Carmanita (63), cucu Ibu Sud kepada Historia.
Nama Ibu Sud tentu sudah tak asing lagi dalam jagat seni Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga kini, senandung yang dia ciptakan turut membesarkan anakanak Indonesia. Karyanya terus dipakai di Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Dasar. Musikalitas lagu-lagunya dianggap punya komposisi terbaik untuk mengedukasi anakanak.
Pendidik Berjiwa Seni
Saridjah Niung adalah nama asli Ibu Sud. Ayahnya Muhammad Niung berasal dari Bugis yang menetap di Batavia (Jakarta) sebagai pengusaha kapal. Jalan hidup Muhammad Niung berubah tatkala berkenalan dengan Mr. J.F. Kramer, seorang Indo-Belanda yang menjabat wakil ketua Hooge Rechstof (Kejaksaan Tinggi) Batavia. Dia diangkat sebagai pengawal pribadi.
Pada 1903, ketika Kramer pensiun dan pindah ke Sukabumi, keluarga Niung ikut diboyong. Di kota berhawa sejuk itulah Saridjah, si bungsu dari 13 bersaudara, lahir pada 26 Maret 1908. Saridjah pun diangkat sebagai anak oleh Kramer.
Kramer berperan besar dalam menumbuhkan bakat dan minat Saridjah kecil terhadap seni. Meski bukan seniman, dia punya keahlian di bidang seni musik dan melukis. Di bawah asuhannya, Saridjah kecil kerap diperdengarkan musik-musik klasik. Saat menginjak usia lima tahun, Saridjah telah terampil memainkan biola.
Saridjah menempuh pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS), setara sekolah dasar, di Sukabumi dan Kweekschool (sekolah menengah keguruan) di Bandung. Perhatiannya pada anak-anak bermula tatkala mengajar di berbagai HIS di Batavia pada 1925–1941.
Saat mengajar di HIS Kartini, Saridjah menikah dengan Raden Bintang Sudibyo, pria ningrat asal Semarang. Dari pernikahan itu dia dikarunia tiga putri: Sri Sufinati, Winarni, dan Krisnani. Setelah diperistri Bintang Sudibyo, Saridjah menyandang gelar baru: Ibu Sud.
Dunia Anak-anak
Sambil mengajar, Ibu Sud mulai menggubah dan mencipta lagu yang berkisah tentang keadaan negerinya. Hal ini dilatari kesukaran murid-muridnya memaknai lagu anak-anak berbahasa Belanda seperti “Zakdoek Leggen” dan “Kruip Door”, yang wajib diajarkan di HIS.
“Hati saya berontak karena lagu-lagu Belanda. Alangkah akan baiknya jika anak-anak kita bernyanyi tentang keindahan tanah air sendiri dengan bahasa kita sendiri,” ujar Ibu Sud kepada Titiek W.S dalam Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi suntingan Lasmidjah Hardi.
Lagu pertamanya diciptakan tahun 1927. Sayangnya, judul lagu itu luput dari ingatan. Pada 1928, lagu gubahan Ibu Sud untuk kali pertama mengudara di siaran anak Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO), radio yang didirikan kaum nasionalis seperti Ismail Marzuki. Beberapa lagunya yang cukup populer adalah: “Lagu Gembira”, “Waktu Sekolah Usai”, dan “Adik Mulai Berjalan”. Ibu Sud pun didaulat sebagai orang pertama yang mencipta lagu anak-anak dalam bahasa Indonesia. Di masa itu, Ibu Sud juga ikut mengalunkan biola mengiringi W.R. Soepratman mengumandangkan lagu “Indonesia Raya” pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Setiap lagu anak yang diciptakan Ibu Sud diinisiasi oleh kejadian atau sesuatu yang dilihatnya. Beberapa lagu terkenang dari masa kecil maupun pengalamannya sendiri. Pemerintah kolonial mendukung lagu ciptaannya diperdengarkan secara luas.
“Di dalam syairnya tak tersirat adanya unsur politik dan yang tampak hanya memunculkan keindahan alam, dunia binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain kejadian sekelilingnya,” tulis S. Sumardi dalam biografi Sarijah Bintang Sudibyo (Ibu Sud): Karya dan Pengabdiannya.
Misalnya lagu “Burung Ketilang” (1936) terinspirasi tatkala Ibu Sud melihat seekor burung ketilang melompat dari dahan yang satu ke dahan yang lain pada pohon cempaka di kebunnya. Polisi dan delman yang kerap ditemui di kota kelahirannya, Sukabumi, menggugah Ibu Sud membuat lagu “Naik Delman” dan “Bung Polisi Pengatur Lalulintas” (1936). Sementara lagu “Hujan” (1938) tercipta manakala atap rumah sewaan Ibu Sud bocor akibat terpaan hujan deras.
“Mbahku (nenek) kan orang Bugis. Makanya ada lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’,” ujar Carmanita yang kini lebih dikenal sebagai desainer batik.
Sedih. Pedih. Itulah kehidupan saya yang menyangkut perkawinan. Saya menyibukkan diri pada pekerjaan mencipta lagu.
Lagu “Kereta Api Ku” (1934), lanjut Carmanita, terinsipirasi ketika Ibu Sud membawa anaknya berlibur ke kota Bandung. “Mbahku kalau ke Bandung selalu mikir mau bawa anaknya jalan-jalan ke mana. Ada taman kereta api di Jalan Merdeka, di situlah dia bikin lagu Naik kereta api tut... tut... tut...”
Menurut Carmanita, Ibu Sud tak sembarangan membuat lagu. Setiap lagunya disesuaikan dengan kondisi psikologis dan usia anak. Dalam mengarang sebuah lagu, Ibu Sud juga selalu punya kebiasaan unik. “Kalau mengarang lagu Ibu Sud selalu pakai siulan, bukan pakai alat musik,” ujar Carmanita.
Dalam Kompas, 27 Agustus 1980, Ibu Sud menjelaskan proses kreatifnya dalam berkarya. Menurutnya, membuat lagu anak harus hati-hati serta perlu mempertimbangkan beberapa segi. Di samping pemilihan kalimat, tinggi-rendahnya intonasi, juga panjang-pendeknya bait dan cara penyajian.
“Meskipun semuanya memenuhi syarat, namun begitu disajikan ternyata nadanya datar dan rendah, untuk menyanyikannya saja sudah segan dan lesu. Atau terlalu tinggi dan melengking hingga memaksa urat leher anak keluar karena tegang. Demikian pula mengenai syairnya, hendaknya sederhana, mudah dimengerti dan jangan terlalu panjang sesuai dengan daya tangkap anak. Harus pula mampu menembus sanubari segala usia dari anak sampai orang dewasa,” kata Ibu Sud.
Tak seperti lagu-lagunya, rumah tangga Ibu Sud tak berjalan harmonis. Prahara melanda tatkala suaminya menikah lagi dengan perempuan lain pada 1942. Poligami jadi hal lumrah bagi seorang pria keturunan bangsawan. Hidup di tengah permaduan, Ibu Sud memilih untuk mendermakan diri untuk anak-anak.
“Sedih. Pedih. Itulah kehidupan saya yang menyangkut perkawinan. Saya menyibukkan diri pada pekerjaan mencipta lagu,” ujar Ibu Sud kepada Titiek W.S.
Lagu Rakyat
Pada masa pendudukan Jepang, Ibu Sud tergabung ke dalam Keimin Bunka Shidosho, lembaga kebudayaan bentukan Jepang untuk kepentingan propaganda. Di sana Ibu Sud bersua dengan Cornel Simandjuntak, Kusbini, dan Usmar Ismail yang kemudian dikenal sebagai seniman kenamaan Indonesia. Bersama Kusbini, dia mengorganisir sebuah paduan suara anak-anak bernama Taman Anak-anak.
Di masa Jepang, Ibu Sud lebih leluasa menuangkan kreativitasnya. Selain mencipta lagu, dia mempelopori terbentuknya opera anak dan sandiwara radio. Jadi, Ibu Sud juga mendongeng. Hal ini dimungkinkan karena Ibu Sud mengasuh Siaran Taman Anak-anak di Hoso Kanri Kyoko (Pusat Jawatan Radio) yang dipimpin Mr. Utoyo Ramelan.
“Ibu Sud adalah kepala bagian siaran (anak-anak). Ibu Sud tidak saja mengajarkan lagu-lagu Indonesia ciptaannya tetapi juga lagu Jepang. Siaran Taman Kanak-kanak itu diikuti anak-anak pada tingkat TK dan SD kelas 1 dan 2,” tulis Kamajaya dalam Sejarah Bagimu Neg’ri: Lagu Nasional.
Beberapa karya Ibu Sud masa pendudukan Jepang menggambarkan suasana zaman. Lagu “Menanam Jagung”, misalnya, tercipta karena kelangkaan beras karena dikirim ke medan perang untuk kebutuhan angkatan perang Jepang. Sementara lagu “Lihatlah Matahari di Waktu Pagi” berkenaan dengan kebiasaan orang Jepang yang senantiasa menghormati matahari (seikerei).
Usai Indonesia merdeka, Ibu Sud tak henti berkarya. Salah satunya yang tersohor adalah lagu kebangsaan “Berkibarlah Benderaku” yang menyiratkan peristiwa heroik. Di masa revolusi, Direktur RRI Jusuf Ronodipuro dipaksa tentara Belanda menurunkan bendera Merah Putih di kantornya. Meski di bawah todongan bayonet, Jusuf menolak. Ibu Sud menerjemahkan keberanian Jusuf itu dengan lirik yang gagah: Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyat mu membela!
“Ketika itu Ibu Sud menyediakan rumahnya untuk markas para seniman yang ikut berjuang memanggul senjata. Dari mereka yang berjuang itulah Ibu Sud mendapat berita adanya usaha mempertahankan RRI Jakarta,” tuis Sumardi.
Demikianlah Ibu Sud kian tenar sebagai komponis, terutama lagu anak-anak. Lagu-lagunya juga diminati masyarakat umum sebagai lagu rakyat. “Banyak lagu yang muncul kemudian di zaman kemerdekaan, tak dapat menyamai mutu lagu-lagu Ibu Sud tersebut,” tulis Almanak Seni 1957.
Terang Bulan
Kehidupan sebagai pelaku seni membawa Ibu Sud masuk dalam lingkungan RI-1: Bung Karno. Namun, kali ini bukan sebagai pencipta lagu anak, melainkan melalui batik. Pada 1960-an, Ibu Sud beralih menggeluti seni membatik. Ibu Sud mulai menekuni usaha batik setelah suaminya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Singapura pada September 1954.
“Kehidupan komponis sangat gersang. Masyarakat belum dapat menilai seni musik seperti sekarang,” kata Ibu Sud.
Pengetahuan membatik diperolehnya dari Go Tik Swan, sarjana sastra lulusan Universitas Indonesia yang lebih dikenal dengan nama KRT Hardjonagoro. Berkat Go Tik Swan, Ibu Sud terampil merancang batiknya untuk berbagai hajatan: pernikahan, tujuh bulanan kehamilan, hingga melayat.
“Ibu-ibu dari tingkat pejabat dan nyonya menteri kebanyakan membeli produk Ibu Sud sekaligus mempromosikannya,” tulis Sumardi.
Menurut Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen: Sisi Lain Putra Fajar yang tak Terungkap, salah satu konsep Sukarno tentang batik khas Indonesia adalah motif terang bulan, yang menggabungkan motif batik keraton dan pesisir. Motif batik ini dirintis dan diwujudkan oleh Ibu Sud.
Arti Warna dan Sri Sadono adalah dua usaha batik Ibu Sud yang mendapat perhatian Sukarno. Bung Karno bahkan menempatkan Sri Sadono di ruang pameran Hotel Indonesia untuk diperkenalkan kepada turis asing. Sedangkan Arti Warna berlokasi dekat Istana Negara. Secara pribadi terjalin pula keakraban antara Bung Karno dan Ibu Sud. Tak jarang Sukarno memanggil Ibu Sud dengan sebutan “Kongde” alias bokong gede, merujuk pinggul Ibu Sud yang besar.
Keakraban Bung Karno dengan Ibu Sud disaksikan oleh Carmanita. “Bung Karno kalau sama mbahku suka ngobrol. Kadang-kadang Bung Karno manggil mbahku itu Jah... Jah... (Saridjah),” ujarnya. “Ibu Sud juga salah satu pendandan istri Sukarno. Bung Karno selalu pesan batik dari Ibu Sud buat Ibu Hartini. Dia juga yang mengajari Ibu Dewi (Ratna Sari Dewi) pakai kain (batik).”
Sampai akhir hayatnya, Ibu Sud dikenal sebagai seniwati multitalenta: pelopor pengarang lagu anak-anak, pelopor pencipta sandiwara anak dan opera, dan pelopor batik kreasi baru.
Namun, anak-anak tetap menjadi panggilan hidup Ibu Sud. Dia tetap menambatkan kecintaan dan perhatiannya pada dunia anak-anak. “Sampai hari tuanya dia tetap kreatif mencipta lagu kanak-kanak seperti lagu ‘Bunga Tanjung’, ‘Himne Kemerdekaan’, dan ‘Operette Sumi’,” tulis Sumardi.
Ibu Sud mengisi masa senjanya dengan mengajari murid-murid SD Pangudi Rahayu Cijantung bernyanyi. Hampir setiap pekan Ibu Sud berkunjung ke sekolah itu, menghabiskan waktu bersama-sama: mengikuti upacara bendera dan berlatih lagu.
“Anak-anak adalah dunia saya. Semua anak-anak adalah anak saya,” kata Ibu Sud, dikutip Kompas, 22 Oktober 1992.
Ibu Sud wafat pada 26 Mei 1993 dalam usia 85 tahun; meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya: sekira 200 lagu ciptaannya. Karya-karyanya menjadi kiblat yang benar di tengah lagu anak yang mengalami degradasi pada hari ini.*