Persidangan BPUPKI kedua pada 10 Juli-14 Juli 1945. (ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
KONSTITUSI punya andil dalam mencuatnya wacana pemindahan ibukota. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak mencantumkan secara definitif kedudukan ibukota negara. Pasal 2 ayat 2, yang mencantumkan kata “ibukota”, hanya menyebut: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Klausul itu bukan tanpa perdebatan, bahkan harus diputuskan melalui pemungutan suara.
Dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 15 Juli 1945, yang diketuai Radjiman Wedyodiningrat, soal ibukota negara dibicarakan. Rapat membahas rancangan UUD yang disusun Panitia Perancang Hukum Dasar atau dikenal sebagai Panitia Kecil yang diketuai Supomo dan sudah dibagikan kepada anggota BPUPKI.
Di antara beberapa hal yang dikritisi, Muhammad Yamin yang bukan anggota Panitia Kecil –diusulkan dan diupayakan Sukarno tapi gagal– menginginkan agar UUD menyebutkan ibukota Republik Indonesia yang pertama.
KONSTITUSI punya andil dalam mencuatnya wacana pemindahan ibukota. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak mencantumkan secara definitif kedudukan ibukota negara. Pasal 2 ayat 2, yang mencantumkan kata “ibukota”, hanya menyebut: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Klausul itu bukan tanpa perdebatan, bahkan harus diputuskan melalui pemungutan suara.
Dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 15 Juli 1945, yang diketuai Radjiman Wedyodiningrat, soal ibukota negara dibicarakan. Rapat membahas rancangan UUD yang disusun Panitia Perancang Hukum Dasar atau dikenal sebagai Panitia Kecil yang diketuai Supomo dan sudah dibagikan kepada anggota BPUPKI.
Di antara beberapa hal yang dikritisi, Muhammad Yamin yang bukan anggota Panitia Kecil –diusulkan dan diupayakan Sukarno tapi gagal– menginginkan agar UUD menyebutkan ibukota Republik Indonesia yang pertama.
“Tentang pemindahan ibukota dilangsungkan dengan keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan berjalan sesudah perdamaian,” ujar Yamin. “Hal ini penting, tidaklah saja bagi bumi Indonesia dan dunia internasional, tetapi pula menurut teladan beberapa Undang-Undang Dasar di negeri lain.”
Supomo menganggapnya tak perlu. Namun, Yamin bersikukuh bahwa soal ibukota adalah prinsipil.
Maka, Radjiman memutuskan pemungutan suara dengan meminta anggota yang setuju usul Yamin agar berdiri. Hasilnya, hampir suara bulat tak setuju soal kedudukan ibukota dimasukkan dalam hukum dasar
Pasal-pasal UUD 1945 memang bersifat luwes tapi karena itulah muncul multiinterpretasi. Dalam soal ibukota, selain tak menyebut kedudukan ibukota, tak ada pasal maupun ayat yang mengaturnya.
Pembicaraan dalam Konstituante
Tak dicantumkannya kedudukan ibukota membuka peluang bagi pemindahan ibukota negara. Bahkan, pada 1947, pemerintah membentuk Panitya Agung Ibukota Negara untuk mengkaji lokasi ibukota, yang terus bekerja setidaknya hingga pertengahan 1950-an.
Saat itu Jakarta dikuasai pasukan Belanda, yang memaksa pemerintah pindah ke Yogyakarta. Karena situasi genting pula Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga yang berfungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat sekaligus Dewan Perwakilan Rakyat, mesti berpindah-pindah sidang: Solo, Malang, dan Yogyakarta.
Problem kedudukan ibukota dalam Konstitusi sebenarnya terselesaikan dengan pemberlakuan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, perubahan dari Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang berlaku singkat (1949-1950). Sama seperti Konstitusi RIS, kendati tanpa kata “ibukota”, UUDS 1950 menyebut: “Pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.”
Selain menyebutkan Jakarta secara definitif, UUDS 1950 memberi kewenangan kepada pemerintah untuk memindahkan ibukota. Dengan demikian, kerja Panitya Agung memiliki pijakan yang kuat.
Soal kedudukan ibukota negara, kendati tak diperdebatkan, dibicarakan dalam sidang Konstituante. Lembaga ini, yang dibentuk sebagai hasil pemilihan umum 1955, memang bertugas menyusun UUD.
Dalam acara pemandangan umum tentang soal-soal yang patut dimasukkan dalam UUD tanggal 5 Juni 1957, A. Sjafiuddin dari Fraksi Penyaluran, satu dari delapan fraksi pendukung Islam, mengusulkan agar UUD menempatkan satu pasal tersendiri mengenai kedudukan ibukota dan tempat kedudukan pemerintah pusat. Fraksi Penyaluran menginginkan bukan lagi Jakarta tapi Bandung, tempat bersidang Konstituante dan perhelatan Konferensi Asia-Afrika.
“Saya beranggapan Saudara Ketua, bahwa pemindahan ibukota dari Jakarta merupakan satu technische oplossing [solusi teknis] dari birokrasi dan untuk memisahkan kota dagang dengan kota pemerintahan dan kota politik. Mudah-mudahan hal ini dapat kita perbincangkan lebih mendalam pada waktunya,” kata Sjafiuddin.
Soal ibukota negara masuk dalam materi mengenai Lagu Kebangsaan, Lambang, Meterai, dan Ibukota Negara. Untuk merumuskannya, semua fraksi duduk bersama. Pasal mengenai ibukota terdiri dari dua ayat. Pertama, pemerintah Republik Indonesia berkedudukan di ibukota negara. Kedua, kedudukan ibukota negara diatur dengan undang-undang.
Ketika diajukan dalam sidang tanggal 9 September 1958, rumusan itu diterima secara aklamasi. Dengan demikian, rancangan UUD Konstituante tak menyebutkan secara definitif kedudukan ibukota negara tapi mengaturnya, lebih jelas ketimbang UUD 1945.
Konstituante sendiri tak merampungkan pekerjaannya karena keburu dibubarkan Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak itu pula UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi.
Perlukah Ditetapkan?
Pemberlakuan kembali UUD 1945 membuat kedudukan ibukota negara kembali kabur. Alih-alih surut, wacana memindahkan ibukota negara kian kencang.
Setelah berlarut-larut, dalam peringatan ulang tahun Jakarta ke-437 pada 22 Juni 1964, Presiden Sukarno “mengumumkan” Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia. Dia juga berjanji akan menetapkannya dalam bentuk undang-undang.
Henk Ngantung, wakil gubernur Jakarta yang jadi ketua Panitia MPRS Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, punya pemikiran lain. Dalam musyawarah gabungan antara pimpinan-anggota Badan Pembantu Pimpinan MPRS dan pimpinan Panitia MPRS Dati I seluruh Indonesia, dia mengusulkan agar ketentuan mengenai ibukota negara dibahas dan ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dia mengulanginya lagi dalam musyawarah gabungan tanggal 29 Juni 1964.
“Jadi perlu MPRS sesuai dengan fungsinya mengeluarkan suatu ketetapan yang mengatur status Jakarta sebagai ibukota RI. Diharapkan agar usul ini menjadi bahan dalam Sidang Pleno III bulan Desember yang akan datang,” ujar Henk Ngantung.
Usulan Henk Ngantung tak mendapat sambutan. Tak ada Ketetapan MPRS yang terbit.
Presiden Sukarno akhirnya memenuhi janjinya. Pada 31 Agustus 1964, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, terbit UU No. 10/1964 yang “menyatakan” Jakarta tetap sebagai ibukota negara. UU ini berlaku surut sampai 22 Juni 1964, atau menguatkan “pengumuman” presiden sebelumnya.
Kenapa menyatakan, bukan menetapkan? Dalam bagian penjelasan disebutkan: sejak dan dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 Jakarta telah menjadi ibukota negara sehingga tak perlu ditetapkan kembali.
Dalam UUD 1945, presiden, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, memang punya kuasa membuat undang-undang. Tapi apakah soal ibukota negara, yang bagi orang macam Muhammad Yamin atau Henk Ngantung dianggap prinsipil, menjadi kewenangan presiden?
UU No. 10/1964 sendiri bukan tak meninggalkan persoalan. Sama seperti sebelumnya, Sidang Umum MPRS III tahun 1965 diadakan di Bandung, padahal UUD 1945 mensyaratkan di ibukota negara (Jakarta). Namun soal ini dipatahkan dengan argumen MPRS bersifat sementara.
Sejak diberlakukan UU No. 10/1964, kendati kemudian dicabut, Jakarta berfungsi sebagai kedudukan ibukota negara. Penegasan ini tersurat dalam UU No. 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika ibukota negara pindah, UU ini harus dicabut. Jika ibukota negara pindah, sesuai UUD 1945, tempat bersidang MPR harus ikut pindah. Badan Pemeriksa Keuangan, sesuai pasal 23G UUD 1945 (amandemen ketiga), juga harus pindah. Begitu pula kedudukan lembaga-lembaga negara yang dalam klausul undang-undang masing-masing menetapkan kedudukan di ibukota negara.*