Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
PRESIDEN Joko Widodo tampaknya serius dengan rencana memindahkan ibukota negara. Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah melakukan kajian teknis. Kepada media, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Brodjonegoro bilang hasil kajian ditargetkan selesai tahun 2018.
Akhirnya, dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 29 April 2019, Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibukota ke luar pulau Jawa.
Sejak Indonesia merdeka, wacana memindahkan ibukota negara mencuat. Ketika pemerintah terpaksa pindah ke Yogyakarta, persoalan terkait kota mana yang akan menjadi ibukota negara sudah dibahas.
PRESIDEN Joko Widodo tampaknya serius dengan rencana memindahkan ibukota negara. Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah melakukan kajian teknis. Kepada media, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Brodjonegoro bilang hasil kajian ditargetkan selesai tahun 2018.
Akhirnya, dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 29 April 2019, Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibukota ke luar pulau Jawa.
Sejak Indonesia merdeka, wacana memindahkan ibukota negara mencuat. Ketika pemerintah terpaksa pindah ke Yogyakarta, persoalan terkait kota mana yang akan menjadi ibukota negara sudah dibahas.
Jakarta, yang dikuasai Belanda, belum diresmikan sebagai ibukota negara. Namun, sekalangan tokoh pemerintahan tak setuju jika Jakarta jadi ibukota. Mereka menginginkan sebuah kota baru yang mencerminkan “jiwa” kemerdekaan. Yogyakarta diperhitungkan untuk dibangun sesuai kebutuhan-kebutuhan sebagai ibukota baru.
“Tapi dalam banyak hal usaha tersebut ternyata menghadapi menghadapi kesulitan, terutama tentang bangunan-bangunan dan perumahan-perumahan dalam kota yang hampir seluruhnya mempunyai corak ‘arsitektur Jawa asli’, hingga kalau ia dirombak akan merugikan sejarah kebudayaan,” tulis majalah Merdeka edisi Oktober 1957.
Panitya Agung
Rupanya, persoalan ibukota dianggap cukup penting. Karenanya, menurut majalah Pantjawarna, April 1954, pada 1947 pemerintah membentuk Panitya Agung Ibukota Negara di mana Presiden Sukarno masuk di dalamnya. Panitya ini bertugas menyelidiki dan merencanakan penempatan ibukota negara.
Panitya Agung bekerja dengan syarat ketat. “Hawa udara; letaknya dipandang dari sudut kemiliteran; hubungannya dengan lain-lain daerah di dalam dan luar negeri melalui udara, lautan, dan daratan; kemakmuran daerah-daerah di kanan-kirinya; suasana (jiwa) pada daerah-daerah sekelilingnya; sejarahnya,” tulis Merdeka.
Sebagai langkah awal, Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta dijajaki. Namun tak ada satu pun yang dirasa memenuhi kriteria. Alasan umumnya sama: kota-kota itu sudah terbentuk sejak sebelum kemerdekaan. Karenanya, suasana kolonial sangat terasa.
Panitya Agung kemudian mengalihkan perhatian pada daerah-daerah yang masih bersifat “bahan sama sekali”. Daerah yang direkomendasikan terletak di antara kabupaten Temanggung dan Magelang, yang masih berupa pegunungan dan sebagian hutan.
Rekomendasi itu kabarnya sudah diserahkan ke pemerintah untuk ditindaklanjuti. Namun, hingga revolusi usai dan pemerintahan kembali ke Jakarta, tak ada kejelasan terkait rencana pembangunan ibukota negara yang baru.
Kendati demikian, Panitya Agung tidak serta-merta bubar. “Sampai sekarang baru ada skets untuk memilih satu di antara 4 kota, yakni Jakarta, Bandung, Magelang, dan Malang,” tulis Pantjawarna.
Kendati terus bekerja, mengumpulkan bahan-bahan, dan melakukan kajian, Panitya Agung ragu menentukan pilihan. Sementara daerah-darah yang dicalonkan sudah mengemukakan keistimewaan dan kelayakannya masing-masing.
Sayangnya, tak ada informasi lain mengenai Panitya Agung. Tampaknya ia menjadi konsen Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga –kini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Setidaknya menilik komentar Purbodiningrat, gurubesar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan mantan kepala Jawatan Planologi Kementerian Pekerjaan Umum, kepada Pikiran Rakjat edisi 23 September 1957.
“Soal memilih tempat untuk ibukota Republik Indonesia sebenarnya sudah sejak dulu menjadi persoalan jawatan tersebut,” ujar Purbodiningrat.
Tak jelas pula sampai kapan Panitya Agung bekerja. Yang pasti, wacana pindah ibukota tak pernah sepi dibicarakan. Ia juga bergaung di tengah pembangunan Palangkaraya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, yang dikerjakan Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Mengakhiri Debat
Pada 28 Agustus 1961 terbit Penetapan Presiden (Penpres) No. 2/1961. Penpres ini menjadi dasar terbentuknya Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Tapi Penpres tak mengakhiri wacana pindah ibukota. Ia tak bicara mengenai fungsi dan kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara tapi lebih pada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah Jakarta dalam membangun kota itu agar “memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.”
Sukarno lalu mengambil sikap. Dalam pidato peringatan ulang tahun ke-435 Jakarta pada 22 Juni 1962, dia mengatakan, sejak bertahun-tahun, kalangan pucuk pemerintahan mempersoalkan di mana kedudukan ibukota negara. Hal yang sama dilontarkan dutabesar-dutabesar negara lain. Sukarno juga menyebut usulan-usulan yang masuk: Magelang, Malang, hingga Kalimantan.
“Kami pertimbang-timbangkan ini, dan saya sendiri persoonlijk mengambil pendirian: barangkali Jakarta yang paling tepat untuk jadi ibukota Republik Indonesia. Dan ini nanti akan saya usulkan kepada rakyat Indonesia, ‘resmi’,” ujar Sukarno.
Apa sebab Jakarta? Sukarno menyebut sejak “pulang” dari Yogyakarta, segala hal berjalan baik di Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Selain itu Jakarta punya aspek historis yang penting: mula pergerakan 1908, Sumpah Pemuda, hingga proklamasi kemerdekaan.
“Kita,” ujar Sukarno, “sudah cari, cari, cari tempat, tetapi akhirnya pemilihan kita jalan kepada Jakarta.”
Namun, hingga setahun berlalu, Jakarta sebagai ibukota negara belum juga diresmikan. Djuanda, selaku pejabat presiden karena Sukarno menghadiri Konferensi Maphilindo di Manila, juga tak memberi sinyal positif ketika berpidato pada peringatan ulang tahun ke-436 Jakarta tanggal 22 Juni 1963.
Djuanda mengingatkan bahwa, sekalipun UUD 1945 tak memuat ketentuan mengenai ibukota negara, ibukota negara merupakan suatu bagian dari wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Dan hal itu diatur dalam pasal 18 UUD 1945, yang menyebutkan: pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya, ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
“Jelaskan bahwa menurut ketentuan konstitusional itu kedudukan ibukota negara kita harus diatur dengan undang-undang,” ujar Djuanda.
Dalam putusannya, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Jakarta mendesak pemerintah pusat segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menetapkan Jakarta sebagai ibukota negara.
“Putusan DPR-GR Jakarta Raya tersebut telah disampaikan pula kepada presiden dan pembesar tinggi negara lainnya,” tulis Sinar Harapan edisi 24 Juni 1963.
Desakan DPR-GR berlalu begitu saja. Maka, dalam pidato peresmian Patung Pahlawan atau lebih dikenal dengan Tugu Tani pada 22 Juni 1964 sebagai rangkaian acara peringatan ulang tahun ke-437 Jakarta, Gubernur Soemarno Sosroatmodjo mengatakan harapannya agar pemerintah menetapkan Jakarta sebagai ibukota negara.
Presiden Sukarno menanggapinya dalam pidato peringatan ulang tahun ke-437 Jakarta tanggal 22 Juni 1964. Sekali lagi, Sukarno mengulang usulan-usulan pemindahan ibukota: Bandung, Malang, Palangkaraya, Magelang, hingga Bogor. Sukarno mengatakan lebih setuju ibukota Republik Indonesia tetap di Jakarta. Alasannya, Jakarta nyatanya sangat efisien, namanya termashur di mana-mana, dan semangat rakyat Jakarta yang revolusioner, berkobar-kobar, menyala-nyala, dari proklamasi, Trikora hingga Dwikora.
“Nah, sekarang saya berkata sebagai presiden Republik Indonesia, saya tetapkan Jakarta sebagai ibukota Republik. Dan keputusan saya ini bentuk dalam bentuk undang-undang...,” ujarnya.
Akhirnya, dengan persetujuan DPR-GR, pada 31 Agustus 1964 Presiden Sukarno mensahkan UU No. 10/1964 yang menyatakan Jakarta tetap sebagai ibukota negara. UU ini berlaku surut sampai 22 Juni 1964, dengan kata lain menguatkan pengumuman presiden sebelumnya. Bagian penjelasan menyebut, dengan UU ini diharapkan keraguan yang pernah timbul terkait keinginan memindahkan ibukota negara ke tempat lain bisa dihilangkan.