Ikhtiar Terhenti di Konstituante

Jalan panjang menuju negara Islam. Terganjal jumlah kursi. Keburu dibubarkan saat hampir mufakat.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Ikhtiar Terhenti di KonstituanteIkhtiar Terhenti di Konstituante
cover caption
Presiden Sukarno membuka sidang Konstituante. (Wikimedia Commons).

MASYUMI menggantungkan harapan tinggi untuk bisa menjadikan syariat Islam rujukan hukum tertinggi di Indonesia. Perjuangannya sudah dimulai sejak sidang-sidang awal Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945. 

Kegagalan meloloskan syariat Islam melalui Piagam Jakarta tak membuat surut usaha mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam. Masyumi disiapkan jadi perahu politik umat Islam untuk ikut ajang pemilihan umum dan pemilihan anggota Konstituante 1955. Menggalang aspirasi umat Islam untuk membentuk negara yang bersendikan syariat. 

Pada Pemilu yang dihelat 29 September 1955, Masyumi meraih 20,9 persen suara dari 37 juta lebih suara pemilih, satu peringkat di bawah PNI. Baik Masyumi maupun PNI masing-masing menguasai 57 kursi di dalam parlemen. Namun, kekuatan di dalam parlemen belum mencukupi untuk mewujudkan mimpi negara Islam.

MASYUMI menggantungkan harapan tinggi untuk bisa menjadikan syariat Islam rujukan hukum tertinggi di Indonesia. Perjuangannya sudah dimulai sejak sidang-sidang awal Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945. 

Kegagalan meloloskan syariat Islam melalui Piagam Jakarta tak membuat surut usaha mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam. Masyumi disiapkan jadi perahu politik umat Islam untuk ikut ajang pemilihan umum dan pemilihan anggota Konstituante 1955. Menggalang aspirasi umat Islam untuk membentuk negara yang bersendikan syariat. 

Pada Pemilu yang dihelat 29 September 1955, Masyumi meraih 20,9 persen suara dari 37 juta lebih suara pemilih, satu peringkat di bawah PNI. Baik Masyumi maupun PNI masing-masing menguasai 57 kursi di dalam parlemen. Namun, kekuatan di dalam parlemen belum mencukupi untuk mewujudkan mimpi negara Islam. 

Pertarungan kedua buat Masyumi adalah pemilihan Konstituante yang digelar pada 15 Desember 1955. Kedudukan Konstituante menjadi penting karena pada lembaga itulah gagasan negara Islam akan dipertarungkan. Majelis tersebut bertugas menyusun Undang-Undang Dasar baru untuk menggantikan UUDS 1950. 

Dengan jumlah partisipasi pemilih yang sama dengan pemilu parlemen, Masyumi berhasil meraih 112 kursi dalam Konstituante. Disalip oleh PNI yang menguasai 119 kursi. Masyumi tekor 100 ribu suara dibanding pemilihan anggota parlemen. Anggota Konstituante mulai bekerja sejak pelantikan pada 10 November 1955. 

Adnan Buyung Nasution. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Adnan Buyung Nasution dalam bukunya, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956–1959 membagi 514 anggota Konstituante dari 33 partai itu ke dalam tiga blok ideologi: Pancasila, Islam, dan Sosio-Ekonomi. Total ada 230 kursi di kelompok pengusung Islam, Pancasila 274 kursi, dan kelompok Sosio-Ekonomi 10 kursi. Total gabungan jumlah kursi partai pendukung Islam di Konstituante, termasuk Masyumi, pun tak mampu mencapai 2/3 jumlah keseluruhan. 

Jumlah minimal ini jadi ganjalan buat Masyumi untuk mewujudkan tujuannya. “Kalau dilihat jumlah wakil-wakil Islam itu dan dibandingkan dengan syarat sahnya putusan sidang Konstituante yaitu 2/3 dari jumlah seluruhnya, terbayang susah dan sulitnya, meletakkan dasar Negara Republik Indonesia menjadi sebuah ‘Negara yang berdasarkan Islam’,” tulis Loetain Abbas dalam tulisannya berjudul “Mentjiptakan Negara Islam”, Hikmah, 26 November 1956. 

Sebelum pemilihan Konstituante dimulai, Masyumi sudah memperkirakan perimbangan kekuatan politik yang ada. Z.A. Achmad, ketua fraksi Masyumi di Konstituante, mengatakan bahwa Masyumi harus menetapkan tujuan minimal dan maksimal dalam perjuangan mereka. “Tuntutan yang maksimal ialah suatu ‘negara’ yang formil dan ideologis menurut ajaran Islam,” tulisnya dalam Hikmah edisi lebaran, Mei 1955. 

Jika yang maksimal tak tercapai, maka paling tidak Masyumi bisa mewarnai semua peraturan dan kelembagaan yang ada dengan ideologi Islam. “Dasar negara kita mempunyai pokok-pokok pendirian yang baik, yang bukan saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetapi juga dapat dijadikan pangkalan untuk melanjutkan perjuangan,” tulis Achmad. 

Sebagai Ketua Masyumi, Mohammad Natsir berada di garis terdepan dalam memperjuangkan ide pemberlakuan syariat Islam. Natsir memandang Islam adalah totalitas yang harus dijalankan baik dalam kehidupan pribadi maupun bernegara. Menurut Adnan Buyung, Indonesia bukan negara sekuler tetapi mengakui prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. “Oleh karena itu, menurut Natsir dasar negara kita harus Islam. Hubungan agama dengan negara tidak bisa dipisahkan,” ujar Adnan. 

Presiden Sukarno mengambil sumpah anggota Konstituante. (Wikimedia Commons).

Secara umum gabungan partai-partai Islam yang berhimpun dalam blok Islam mengajukan argumen yang sama. Mereka menolak Pancasila sebagai dasar negara karena bersifat sekuler. Bahkan Isa Anshary menolak Pancasila karena “pengertian dan tafsirnya kacau dan gelap, sumbernya keruh,” kata dia dalam pidatonya di Konstituante. 

Dalam sebuah artikelnya di Hikmah, 9 Juni 1956, Isa Anshary lebih gamblang menulis bahwa Indonesia harus berbentuk negara Islam. “Hukum dan ajaran Islam (Qur’an dan Hadits) harus berjalan dan terlaksana dalam negara Republik Indonesia. Negara Islam, bukan negara Panca Sila. Hukum Islam, bukan Hukum Panca Sila. Ideologi Islam, bukan Ideologi Panca Sila.” 

Blok Pancasila pun punya argumen yang sama kuatnya untuk menolak Islam sebagai ideologi negara. Menurut Ir. Sakirman dari fraksi PKI, sebagaimana dikutip dari makalah Daniel Hutagalung “Islam dan Pancasila di Sidang Konstituante”, menyampaikan penolakannya terhadap Islam sebagai dasar negara. “Islam hanya merupakan salah satu dari banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia,” ujarnya. 

Sementara itu, Soewirjo dari fraksi PNI menyampaikan keberatannya pada asas Islam karena dinilai belum pernah terbukti mampu menyatukan seluruh golongan masyarakat Indonesia. “Kami tidak menyatakan bahwa Dasar Negara Sosial-Ekonomi dan Dasar Negara Islam itu tidak baik. Dasar Islam saja dan dasar Sosial-Ekonomi saja belum terbukti dapat mempersatukan seluruh kekuatan perjuangan Bangsa Indonesia. Yang sudah terbukti dapat mempersatukan adalah dasar Panca Sila itu,” kata Soewirjo dalam pidatonya di depan anggota Konstituante. 

Dua tahun lebih masa persidangan telah menghasilkan kompromi dalam hal Undang-Undang Dasar. Namun, perdebatan kembali sengit apabila menyoal apa yang akan dijadikan dasar negara: Islam atau Pancasila. Menurut Adnan Buyung walaupun akhirnya blok Sosial-Ekonomi bergabung dengan blok Pancasila, kata mufakat tetap tak bisa tercapai karena jumlah suara masih kurang dari 2/3. 

Gedung Konstituante di Bandung. (Wikimedia Commons).

Pada 22 April 1959, Presiden Sukarno menyampaikan gagasan kembali ke UUD 1945 di depan Konstituante. Sukarno mengatakan hendaknya anggota Konstituante meninggalkan cara berpikir “text book” dan kembali ke jalan revolusi. Menurut Daniel S. Lev, pemberlakuan kembali UUD 1945 membuat Indonesia menjadi negara kesatuan yang permanen. “Sekaligus mengakhiri dualisme pemikiran, termasuk soal apakah revolusi akan berhenti atau jalan terus,” tulis Daniel dalam bukunya The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959. Gagasan tersebut mendapatkan dukungan penuh dari tentara, juga dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), partai politik yang dibentuk A.H. Nasution semasa jedanya dari jabatan di kemiliteran pasca peristiwa 17 Oktober 1952.

Blok Islam, terutama Masyumi, menerima usul Sukarno dengan syarat pemberlakuan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang mencatumkan pemberlakuan syariat Islam bagi para pemeluknya. Namun, lagi-lagi ada penolakan dari blok Pancasila. Anwar Harjono, juru bicara Masyumi mengatakan pintu dialog tetap terbuka kendati dua kubu bersikeras memegang prinsipnya. 

“Toh ketua umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dan ketua umum PNI, Soewirjo –sebagai dua fraksi terbesar– terus mengadakan pendekatan, sehingga hampir sampai pada kesempatan yang bersifat kompromi,” tulis Anwar dalam Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman- Islam

Panasnya perdebatan di dalam sidang Konstituante merembet hingga keluar. Persidangan selalu diwarnai demonstrasi massa yang menginginkan kembali ke UUD 1945. Padahal, kompromi dua kubu yang berseteru masih dalam proses negosiasi. “Sebetulnya,” kata Adnan Buyung, “kalau saja Bung Karno mau bersabar sedikit dan tak buru-buru membubarkan Konstituante, kompromi akan tercapai di kalangan anggota Konstituante.” 

Akhirnya, Konstituante dinyatakan bubar oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUD 1945 dinyatakan berlaku menggantikan UUDS 1950. Pancasila dinyatakan sebagai dasar negara. Konstituante berakhir diiringi kekecewaan di pihak Masyumi dan pendukung negara Islam. “Tapi itu sudah kenyataan sejarah, pada akhirnya kami harus menerima itu,” ujar M. Natsir seperti dikutip oleh Adnan Buyung bertahun kemudian.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65c30755bbc80582a0fc61ad