Banyak orang rindu zaman Orde Baru. Apakah termasuk rindu yang satu ini: penataran P4, indoktrinasi Pancasila yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Berakhir setelah jatuhnya rezim Soeharto.
Presiden Soeharto menerima Tim Penasihat Presiden Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P7): Roeslan Abdulgani (Ketua, A), Sayuti Melik (B), dan KH Idham Cholid (C) di Bina Graha, Jakarta, 3 Juli 1986. (ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
SITUASI Jakarta menjelang Sidang Umum Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) tahun 1978 menegang. Sejumlah mahasiswa berencana menggelar aksi yang menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden. Di Senayan, pembahasan soal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diperkirakan kembali seru.
Pada akhir 1977, rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR tentang naskah rancangan Eka Prasetya Panca Karsa (P4), yang disodorkan Presiden Soeharto, macet. Rapat gagal mencapai mufakat. Sidang Umum MPR akan mengagendakan pembahasan itu lagi. Namun, sekali lagi, keinginan Soeharto untuk memberi payung hukum bagi pelaksanaan P4 tak semulus yang dia kira. Saat pembahasan dalam sidang Komisi B, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyampaikan keberatan. Mereka khawatir P4 akan menggantikan agama dan menjadi dasar penyebaran aliran kepercayaan.
SITUASI Jakarta menjelang Sidang Umum Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) tahun 1978 menegang. Sejumlah mahasiswa berencana menggelar aksi yang menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden. Di Senayan, pembahasan soal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diperkirakan kembali seru.
Pada akhir 1977, rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR tentang naskah rancangan Eka Prasetya Panca Karsa (P4), yang disodorkan Presiden Soeharto, macet. Rapat gagal mencapai mufakat. Sidang Umum MPR akan mengagendakan pembahasan itu lagi. Namun, sekali lagi, keinginan Soeharto untuk memberi payung hukum bagi pelaksanaan P4 tak semulus yang dia kira. Saat pembahasan dalam sidang Komisi B, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyampaikan keberatan. Mereka khawatir P4 akan menggantikan agama dan menjadi dasar penyebaran aliran kepercayaan.
“Memang kalau dilihat dari segi maksudnya untuk membimbing manusia agar berbudi luhur, nampaknya akan baik-baik saja. Namun kalau diteliti rumusan materi, jiwa, dan maknanya maka Pedoman yang akan di-TAP-kan ini jauh perbedaannya dengan Pancasila itu sendiri, sebagaimana tertera dalam UUD,” ujar juru bicara PPP, Karmani, dikutip majalah Panji Masyarakat, 1 April 1978.
Menurut Karmani, apabila P4 dijadikan TAP, kedudukan hukumnya setara dengan UUD 45, sehingga akan muncul peraturan yang mengikat perilaku warganya. “Maka setiap waktu dan setiap tempat, seseorang dapat dicap ‘tidak Pancasilais’ karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan P4. Dia bisa dijebloskan ke penjara,” ujar Karmani.
PPP menyatakan bisa menerima P4 hanya jika bukan dalam bentuk Tap MPR, dan sejauh hal tersebut sesuai dengan semangat UUD 1945. Golkar tak setuju dengan saran itu dan mengusulkan voting. Tahu akan kalah suara, PPP memutuskan walkout. Sidang Umum MPR tetap melakukan voting. Hasilnya, Rapat Paripurna memutuskan P4 mendapat payung hukum berupa Tap MPR No. II/MPR/1978. P4 juga masuk dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Terbentuknya Gagasan
Sejak berkuasa, Soeharto ingin setiap warga negara tanpa kecuali menerapkan nilai-nilai Pancasila dan menjadikannya sebagai pedoman dan pandangan hidup. Dia menyampaikan gagasannya dalam beberapa kesempatan. “Ajakan saya adalah agar kita bersama-sama memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam segala segi kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari,” kata Presiden Soeharto dalam pidato di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1975.
Guna mematangkan konsepnya, Soeharto membentuk tim 11 yang diketuai Sekretaris Kabinet Sudharmono. Tim ini bertugas menyempurnakan bahan-bahan GBHN, dengan Pancasila masuk di dalamnya, yang sudah dipersiapkan Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas), lembaga bentukan presiden untuk membantu menyusun kebijakan nasional.
“Wanhankamnas saat itu sering melakukan koordinasi dengan beberapa perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Darji Darmodihardjo dan saya adalah wakil dari Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Yang dibicarakan, kami sebut Riset Strategis 1975, di antaranya tentang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, GBHN, dan pembangunan nasional. Hasil rapat koordinasi ini kemudian dilaporkan Wanhankamnas kepada presiden,” ujar Mohammad Noor Syam, guru besar emeritus Universitas Negeri Malang, dulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, kepada Historia.
Pada 4 Maret 1976, Sekretaris Jenderal Wanhankamnas Rahmat Kartakusumah beserta wakilnya, Machmud Subarkah, menghadap Soeharto di kediamannya Jl. Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka melaporkan hasil pekerjaan mereka untuk “membuat rumusan Pancasila yang ilmiah, yang dibuat dalam bentuk GBHN,” tulis G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin dalam Jejak Langkah Pak Harto.
Akhirnya, ketika memberi sambutan dalam Musyawarah Kerja Kwartir Nasional Gerakan Pramuka di Istana Negara pada 12 April 1976, Soeharto mengemukakan gagasan untuk membuat P4 dan mendapat pengesahan dalam Sidang Umum MPR 1978. Keinginan Soeharto terwujud. Kendati diwarnai dengan pergolakan, Sidang Umum MPR menetapkan P4.
Pelembagaan
Setelah menjadi ketetapan MPR, Soeharto mengambil langkah-langkah strategis. Dia membentuk Panitia Penasehat Presiden mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7) dengan ketua Roeslan Abdulgani.
Roeslan memang orang yang tepat. Di masa Demokrasi Terpimpin era Sukarno, dia tokoh kunci dalam eksperimen yang mirip dengan P4. Seperti P4, Manipol-USDEK –akronim dari Manifestor Politik, Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia– wajib dipelajari pegawai negeri sipil, yang kemudian diperluas ke anak-anak sekolah hingga mahasiswa. “Kelima prinsip ini berjalan beriringan bersama Pancasila sebagai ideologi rezim (masa Sukarno),” tulis Michael Morfitt, program officer Ford Foundation di Jakarta, dalam “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order Government”, diterbitkan Asian Survey, Agustus 1981.
Di masa Orde Baru, tambah Morfitt, Soeharto mendekati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tak lama setelah P4 dilembagakan. Dia meminta masukan bagaimana Pancasila bisa dipahami dan diterima masyarakat desa. Presiden meminta diadakan, “sebuah proyek penelitian yang bertujuan menyelidiki penilaian dan aspirasi masyarakat desa saat ini dan cara-cara agar Pancasila bisa lebih efektif menyebar di antara penduduk.”
Untuk menarik kelompok Islam, Departemen Agama menerbitkan sebuah buku kecil berjudul P-4 dan Ajaran Islam pada 1978, yang melegitimasi masing-masing pilar Pancasila dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. “Buku ini juga digunakan sebagai panduan bagi pegawai negeri sipil di Departemen Agama dan didistribusikan ke dai, mubalig, dan penyuluh agama di seluruh Indonesia,” tulis Moch Nur Ichwan dalam “Secularism, Islam and Pancasila”, makalah yang disampaikan di Sophia University dan Nanzan University pada Februari 2011.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memberikan dukungan. Dalam Konferensi Kerja III pada Oktober 1978, MUI menyatakan akan berusaha menyebarluaskan dan merumuskan konsep penerapan P4, UUD 1945, dan GBHN agar mudah dipahami dan dihayati umat Islam.
Jalan P4 kian lapang. Sebagai pelaksana P4, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 10/1979 tentang pembentukan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P4 (BP-7). BP-7 akan merumuskan kebijakan dan program, menyusun materi dan tema, metode penataran, hingga pengawasan. Kantor pusatnya berada di bekas gedung Volksraad (Dewa Rakyat) di Jalan Pejambon 2 Jakarta Pusat. BP-7 juga dibentuk di tingkat provinsi hingga kabupaten.
Selain berisi soal Pancasila, “Kursus-kursus itu tidak terbatas pada mendengar ceramah-ceramah mengenai tingkatan pembangunan saja, tetapi juga pertukaran pengalaman mengenai proyek-proyek yang gagal dan yang berhasil,” ujar Roeslan Abdulgani kepada Casper Schuuring dalam Roeslan Abdulgani,Tokoh Segala Zaman.
“Ini bukan indoktrinasi seperti di Kremlin,” ujarnya dikutip Sukardjono dalam Dasa Warsa BP-7 Pusat.
Dari Penataran Hingga Lomba
Sebelum BP-7 terbentuk, pemerintah memulai penataran P4 untuk pegawai negeri sipil dan anggota ABRI. Pada 1 Oktober 1978, Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) menghelat Penataran Calon Penatar Tingkat Nasional di Istana Bogor. Dalam pidato pembukaan, sebagaimana dikutip Sukardjono, Presiden Soeharto menegaskan bahwa penataran P4 wajib bagi pegawai negeri.
Penataran pertama itu diikuti sekitar 100 orang. Soeprapto, yang kemudian jadi kepala BP-7 periode 1993–1997, salah satu pesertanya. “Penatarnya menteri-menteri. Setelah penataran selesai, para manggala ini kembali ke instansi dan melakukan penataran kembali di instansi masing-masing,” ujarnya.
Istana Bogor kemudian tetap menjadi tempat penataran tingkat nasional untuk manggala. Para manggala inilah yang akan menjadi penatar tingkat nasional. Manggala terbagi dalam dua status: manggala organik yang setiap hari berkantor di BP-7 dan manggala non-organik yang hanya bertugas menatar sewaktu-waktu jika diperlukan. Penataran kemudian juga ditujukan bagi pegawai negeri di semua golongan.
Pada 1983 pula pemerintah menegaskan “pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.” Sidang Umum MPR tahun 1983 setuju memasukkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi partai politik dan organisasi massa dalam GBHN. Sementara pelaksanaan P4 mulai diperluas. Perguruan tinggi menjadi sasaran. Diperkenalkan pula mata kuliah wajib Pancasila. “Dimulai pada tahun 83/84, pertama di UI, baru periode selanjutnya di 12 PTN,” tulis Sukardjono.
Penataran P4 juga diwajibkan kepada anak-anak sekolah menengah. Selain itu, ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisi materi P4 –bahkan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menyebut materi PMP pada dasarnya sama dengan materi penataran P4 untuk pegawai negeri. Belum lagi mata pelajaran sejarah dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Penataran P4 kemudian juga menyasar kalangan profesional hingga pengusaha; umumnya atas inisiatif mereka sendiri. Khusus untuk pengusaha, menurut Soeprapto, penataran ini atas permintaan Soeharto. Hasilnya, selama seminggu, sekitar 200 konglomerat berkumpul di Bali untuk mendapat penataran. “Mereka membiayai penataran ini sendiri. Pola penatarannya kami ambil pola khusus. Banyak di antara mereka yang masih totok, di antaranya ya Sofjan Wanandi,” ujar Soeprapto.
Selain penataran, BP-7 juga melakukan kegiatan nonformal bertema P4 seperti simulasi, lomba cerdas tangkas, lomba pidato, lomba diskusi, hingga pembentukan dan lomba Desa Pelopor P4.
Di Hadapan Pengkritik
Pada 27 Maret 1980, dalam pidato acara rapat pimpinan ABRI di Pekanbaru, Presiden Soeharto mengatakan ABRI berjanji melindungi Pancasila maupun UUD 1945 dari pihak-pihak yang berupaya menggantinya. Soeharto menekankan kembali dalam acara Hari Ulang Tahun Kopassandha (sekarang Kopassus) ke-28 di Markas Kopassandha, Cijantung, 16 April 1980.
Pidato Soeharto memicu reaksi keras. Pada 5 Mei 1980, muncullah Petisi 50, yang diketuai Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta. Isinya antara lain menyatakan prihatin dengan pidato Soeharto yang “keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik”.
Sontak pemerintah berang dan melawannya dengan memberlakukan cekal hingga larangan berusaha. Apa yang ditakutkan PPP dalam Sidang Umum MPR tahun 1978 terbukti.
“P4 itu sendiri bukan penghayatan, melainkan proyek,” ujar Damardjati Supadjar, guru besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Dalam analisisnya, yang dibuat dua tahun setelah pelaksanaan P4, Michael Morfitt menyebut penataran P4 bukan saja mahal tapi juga mengganggu roda pemerintahan. Penataran pertama melibatkan pejabat senior. “Pada satu titik, pada tahun lalu, tampak seolah-olah hampir semua urusan pemerintahan di Jakarta terhenti. Karena P4, figur-figur kunci absen dari kantor dan tak bisa membuat keputusan yang diperlukan.”
Selain itu, Morfitt juga menyoroti sifat wajib penataran P4. Jika melewatkan satu sesi saja, seorang pegawai negeri harus mengulang seluruh penataran dari awal. Peserta yang terlambat kena hukuman. Di akhir penataran, peserta mendapat sertifikat. “Sertifikat ini tercatat dalam dokumen pribadi pegawai negeri sipil dan dirasa penting sebagai pertimbangan untuk promosi.”
Soeprapto, mantan kepala BP-7, menampik adanya sanksi. “Sebenarnya hanya kewajiban moral, namun ada saja instansi yang overacting,” ujarnya. Dia mencontohkan, jika ada peserta penataran P4 tingkat pusat yang tak masuk peringkat 17 besar, biasanya dia akan mengalami penundaan kenaikan pangkat.
Lulusan terbaiknya juga bukan tanpa noda. Roeslan Abdulgani pernah mendapatkan laporan dari Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo soal penangkapan tiga hakim, yang ternyata lulusan sepuluh siswa terbaik. Dia melaporkannya kepada presiden, “menandaskan bahwa dalam kursus-kursus Pancasila tidak saja aspek intelektual (pengertian) yang penting tetapi juga hati masing-masing yang mengamalkannya. Rupanya, di antara para siswa itu terdapat orang-orang yang merasa lebih kudus dari nabi,” ujar Roeslan.
Menurut Roeslan, banyak orang ikut penataran P4 semata untuk mendapat sertifikat, termasuk dari orang-orang Tionghoa. Padahal sertifikat itu bukanlah ijazah. Dia juga menyoroti penataran untuk mahasiswa, yang sudah mengikutinya sejak sekolah dasar. “Hal ini berarti bahwa seorang mahasiswa untuk tiga kali mengikuti kursus Pancasila. Ini yang saya namakan keadaan yang jenuh.”
Di kalangan kampus, para dosen dan mahasiswa tentu jengah dengan penataran P4. Menurut mereka, pembedaan seharusnya dibuat antara Pancasila dan P4. Menurut sejarawan Onghokham, dikutip Human Right Watch (HRW) dalam Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers, kurikulum Pancasila, terutama penataran P4, menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan “loyalitas politik ketimbang keahlian” dalam dunia akademik.
Setelah bertahan 20 tahun, penataran P4 akhirnya berakhir menyusul jatuhnya rezim Soeharto. Dalam Sidang Istimewa November 1998, MPR mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P4. Pertimbangannya, materi muatan dan pelaksanaan P4 tak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Presiden B.J. Habibie, pengganti Soeharto, kemudian membubarkan BP-7. Namun, Habibie juga mengeluarkan Keppres No. 85/1999 tentang Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara (BPKB) yang, seperti BP-7, akan mengkaji, membudayakan, dan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. BPKB memang kemudian tak pernah aktif.
Euforia reformasi ternyata berlangsung sesaat. Beberapa tahun belakangan muncul wacana untuk kembali mempromosikan dan menyosialisasikan Pancasila, termasuk mengaktifkan BPKB. Dan kini ada BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).*