Inggris Dipecundangi Budak Sukabumi

Tentara bersama laskar dan masyarakat Sukabumi menyerang konvoi pasukan Inggris di Bojongkokosan. Pasukan pemenang Perang Dunia II itu kewalahan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Inggris Dipecundangi Budak SukabumiInggris Dipecundangi Budak Sukabumi
cover caption
Truk logistik pasukan Inggris terjatuh ke sungai akibat penyergapan pasukan Indonesia di jalur selatan Jakarta-Bandung. (Imperial War Museum).

PEREMPUAN itu diam. Badannya tak lengkap, hanya sebatas pinggang; tangan hanya satu; dan tinggal sendiri di tempat sepi tanpa ada yang peduli. Tapi dia tak mengeluh. Sorot matanya yang kosong menatap langit dan garis wajahnya yang mengguratkan karakter keras melukiskan tekad kuat dan ketulusannya dalam berjuang. Dia seakan menggambarkan kerasnya nasib yang harus dijalanani banyak rakyat yang ikut bertaruh nyawa demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah negeri yang ikut diperjuangkannya tegak berdiri, nasib mereka tak kebagian peduli.

Meski hanya patung, perempuan tadi sudah lama teronggok di halaman belakang Kompleks Museum Palagan Bojongkokosan, Sukabumi. Patung itu rubuh pada 2010. “Katanya pegel,” ujar Wawan Suwandi, sukarelawan museum yang juga anak salah seorang veteran Pertempuran Bojongkokosan, kepada Historia. “Bayangin aja, 20 tahun belum ada renovasi, ya pegel,” kelakarnya menerangkan minimnya perhatian, terutama dari pemerintah daerah.

PEREMPUAN itu diam. Badannya tak lengkap, hanya sebatas pinggang; tangan hanya satu; dan tinggal sendiri di tempat sepi tanpa ada yang peduli. Tapi dia tak mengeluh. Sorot matanya yang kosong menatap langit dan garis wajahnya yang mengguratkan karakter keras melukiskan tekad kuat dan ketulusannya dalam berjuang. Dia seakan menggambarkan kerasnya nasib yang harus dijalanani banyak rakyat yang ikut bertaruh nyawa demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah negeri yang ikut diperjuangkannya tegak berdiri, nasib mereka tak kebagian peduli.

Meski hanya patung, perempuan tadi sudah lama teronggok di halaman belakang Kompleks Museum Palagan Bojongkokosan, Sukabumi. Patung itu rubuh pada 2010. “Katanya pegel,” ujar Wawan Suwandi, sukarelawan museum yang juga anak salah seorang veteran Pertempuran Bojongkokosan, kepada Historia. “Bayangin aja, 20 tahun belum ada renovasi, ya pegel,” kelakarnya menerangkan minimnya perhatian, terutama dari pemerintah daerah.  

Wawan menjelaskan, sejak berdiri pada 1980, monumen untuk memperingati perjuangan Bojongkokosan hampir tak pernah mendapat perhatian. Berbagai dinas yang silih berganti memegang pengurusan maupun pemerintah Kabupaten Sukabumi hampir tak pernah mengucurkan dana. Patung perempuan, satu dari beberapa patung yang ada di monumen, akhirnya rubuh.  

Perhatian baru datang tatkala ada tuntutan dari warga. “Tiga tahun dibiarin, kan ngamuk warga Sukabumi,” ujar Wawan. Pada 2013, renovasi pun berjalan. “Itu juga karena ada Pangdam Siliwangi ke sini,” sambungnya.  

Tak adanya kepedulian membuat upacara peringatan Pertempuran Bojongkokosan datang dari warga masyarakat. Meski tanggal pertempuran (9 Desember) sudah resmi dijadikan Hari Juang Siliwangi sejak tahun 2004, upacara untuk memperingati pertempuran tak pernah ada sampai lama.  

“Sampai tahun 2000 berapa itu saya memperingatinya sendiri dengan modal kantong sendiri. Tahun berikutnya, saya ajak teman-teman. Akhirnya tahun 2013 datanglah panglima,” jelas Wawan. Bersamaan dengan kedatangan Panglima Siliwangi itu akhirnya Pertempuran Bojongkokosan resmi diperingati. “Itu ada perdanya.”  

Saat itu pula Panglima Siliwangi menjanjikan pemberian rumah kepada ayah Wawan selaku vetaran pertempuran tersebut yang masih hidup. Namun, “Sampai hari ini realisasinya belum ada. Nggak tau ada kendala apa,” ujarnya. Usahanya bolak-balik ke Bandung untuk menanyakan janji itu belum jua berbuah hasil. Menurut kabar yang dia terima, terakhir bupati Sukabumi yang mengambil alih dan akan menyerahkan dana. Namun, itu pun masih sebatas janji. “Saya jadi nggak enak, yang saya kasihan sih bapak.”

Patung perempuan pejuang Pertempuran Bojongkokosan. (M.F. Mukthi/Historia.ID).

Penanda

Berdiri di lahan seluas hampir tiga hektar, Kompleks Museum dan Monumen Palagan Bojongkokosan didirikan oleh Yayasan Pejuang 45 yang membeli lahannya dari warga pada 1980. Yayasan lalu membangun tugu untuk memperingati perjuangan Tentara Keamanan Rakyat Divisi Siliwangi dan warga Sukabumi dalam mencegat konvoi pasukan Inggris yang melintas pada pengujung 1945. Pada 1992, yayasan mendirikan museum di lahan tersebut.  

Sempat dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2010 kompleks museum diambil alih Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda & Olahraga. “Pemda itu nggak punya apa-apa di sini,” jelas Wawan.  

Di tempat itulah Pertempuran Bojongkokosan hampir 70 tahun silam dimulai. “Bapak dulu di sini, di tebing bagian ini; kan ada dua tebingnya di kanan dan kiri jalan,” ujar Wawan menjelaskan posisi ayahnya ketika ikut menyergap konvoi pasukan Sekutu (Allied Forces Netherlands East Indies/AFNEI). Penyergapan konvoi logistik pasukan Inggris itu dari Jakarta menuju Bandung bermula dari ketidakamanan Jakarta.

Kompleks Museum dan Monumen Palagan Bojongkokosan. (M.F. Mukthi/Historia.ID).

Penyergapan

Provokasi Belanda, yang datang kembali ke Jakarta usai Perang Dunia II dengan cara membonceng Inggris selaku penjaga perdamaian di Asia Tenggara, mengubah situasi kota menjadi panas. Didukung bekas serdadu KNIL yang telah dibebaskan dari kamp-kamp Jepang, pasukan Belanda gencar menangkap, menyiksa, dan membunuh penduduk yang mereka curigai.  

Sambil terus berusaha melenyapkan kekuatan bersenjata Republik, “Belanda terus memprovokasi Inggris bahwa pasukan TKR merupakan pasukan liar, ekstremis,” ujar A.E. Kawilarang, yang kala itu merupakan perwira staf Komandemen I, dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih.

Akibatnya, tembak-menembak kerap terjadi. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Inggris mau tak mau harus menyelesaikan permasalahan itu karena selain merusak reputasinya, kontak senjata Belanda-Indonesia ikut mengganggu kelancaran tugasnya. Konvoi-konvoi mereka dari Jakarta ke Bandung via jalur utara kerap menjadi sasaran amarah tentara maupun laskar Indonesia.  

Meski ada kesepakatan dengan pemerintah Indonesia bahwa konvoi-konvoi Inggris mendapat pengawalan tentara Indonesia, mereka tetap jauh dari aman. Pada 21 November 1945, pasukan Resimen V Cikampek di bawah Letkol Moeffreni Moe’min menyergap kereta logistik Inggris. Sisa enam pasukan Gurkha yang hidup menjadi tawanan resimen tersebut.  

Inggris lalu megalihkan jalur pengiriman logistiknya ke Bandung dari jalur utara ke jalur selatan (Bogor-Sukabumi) meski mereka punya pengalaman buruk di jalur terakhir. “Di Bogor, di Sukabumi, atau di daerah lain yang sering dijadikan jalur lalu lintas oleh Sekutu, terjadi pengadangan-pengadangan terhadap konvoi mereka,” ujar Panglima Komandemen I Didi Kartasasmita dalam otobiografinya, Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan.  

Namun, adanya perintah Didi kepada seluruh jajarannya di Komandemen I (Jawa Barat) untuk membantu misi Sekutu membuat Inggris tetap menggunakan jalur Bogor-Sukabumi. Bahkan, mereka sering bergerak diamdiam tanpa berkoordinasi dengan pihak Indonesia. Akibatnya, Komandan Resimen III (Sukabumi) Letkol Edi Sukardi kesal. Tindakan Inggris dianggapnya melecehkan wibawa TKR dan melanggar kesepakatan yang telah dibuat dengan pemerintah Indonesia. Edi lalu mengumpulkan keempat komandan batalyonnya, para pemimpin laskar, dan mengajak pejabat setempat untuk merencanakan penyergapan konvoi Inggris.  

Edi menetapkan Desa Bojongkokosan sebagai titik dimulainya serangan. Desa itu paling baik untuk menyergap karena jalannya berkelok dan kiri-kanannya didindingi bukit. Taktik hit and run dipilih Edi untuk menyiasati keterbatasan senjata yang dimiliki Indonesia.  

Ide itu mendapat dukungan dari semua kalangan. “Semuanya ikut berperang, termasuk ibu-ibu yang bawa alu. Apapun dijadikan senjata,” ujar Wawan. Persenjataan mereka dapatkan selain dari warisan Jepang, juga dari pabrik senjata Braat yang ada di Sukabumi. Dari pabrik itu mereka mendapatkan bom molotov, granat, dan ranjau.

Empat batalyon Resimen III lalu menjaga masing-masing koridor yang, totalnya mencapai 81 km, menjadi wilayah tugas mereka. Sembari terus bersiaga, mereka yang di tikungan “Talang Luhur” (sekira 200 meter dari museum kini) menaruh pohon-pohon untuk barikade guna menghambat laju konvoi.  

Konvoi truk pasukan Inggris dari Brigade India ke-36 di Bogor. (Imperial War Museum).

Pada Minggu, 9 Desember 1945, konvoi yang ditunggu-tunggu tiba di Bojongkokosan. Jauh di luar dugaan para Republiken, “konvoi itu terdiri dari 150 truk dengan pengawal dari Batalyon 5/9 Jats dan tank,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!  

Konvoi kemudian berhenti di tikungan “Talang Luhur” akibat barikade-barikade. “Pada saat itulah komandan kompi pihak Republik Indonesia memberi isyarat tembakan dua kali sebagai tanda komando pertempuran dimulai. Maka pecahlah pertempuran sengit antara pasukan Sekutu dengan pasukan dan masyarakat Bojongkokosan,” tulis A.B. Lapian dalam Terminologi Sejarah, 1945-1950 & 1950–1959.  

“Ketika tank Sherman di depan sedang membersihkan barikade, konvoi yang sedang berhenti diserang oleh pasukan-pasukan TKR yang berada di bukit-bukit kiri-kanan jalan,” tulis Saleh.  

Seluruh pejuang mulai dari Cicurug sampai Bojongkokosan serentak menyerang konvoi sepanjang 12-an km itu. “Jadi konvoi yang seperti ular itu diputus-putus,” jelas Wawan.  

Pasukan Inggris kewalahan. “Pimpinan pasukan Jats sudah terluka berat pada awal serangan. Satu kendaraan terbakar, sejumlah lainnya rusak berat dan sejumlah pengemudi tertelungkup di atas kemudi, entah mati atau karena terkena luka tembak,” tulis Saleh.

Sementara konvoi Inggris mati-matian bertahan, para pejuang Indonesia lupa perintah panglima Edi mengenai taktik hit and run. “Taktik itu tidak berjalan. Selama kurang lebih satu jam ini konvoi terus digempur. Akhirnya kita kehabisan senjata,” ujar Wawan. Mereka lalu mundur.  

Dengan bantuan udara dari pesawat-pesawat RAF yang datang tak lama kemudian, pasukan Inggris akhirnya mulai menyerang balik. Setelah berhasil membersihkan jalan, mereka lalu merayap menuju Sukabumi sambil terus bertahan. Apabila ada sebuah kendaraan dalam konvoi berhenti akibat pengemudinya tertembak, seorang prajurit dari mobil di belakangnya buru-buru meloncat untuk mengambil alih kemudi. Dalam keadaan pincang, konvoi memasuki Kota Sukabumi hampir tengah malam. Sementara pasukan pelindung mereka di belakang masih harus berjibaku hingga menjelang subuh.

Di Sukabumi, mereka terus menghadapi serangan dari pihak Republik. Upaya nekat mereka melanjutkan perjalanan ke Bandung selalu gagal. “Di Batalyon II, Batalyon III, dan Batalyon IV yang ada di Cianjur itu taktik (hit and run)-nya berjalan. Selama beberapa hari konvoi ini tidak bisa keluar dari Sukabumi,” ujar Wawan.  

Pada 11 Desember 1945, Batalyon 3/3 Gurkha Rifles tiba di Sukabumi bukan hanya untuk membantu tapi juga berunding. Sambil membawa kain putih mereka berhasil mendapat jalan dari Letkol Edi, Bupati Harun, dan Walikota Mr. Samsudin dalam perundingan itu. Konvoi pun melanjutkan perjalanan dan tiba di Bandung keesokan harinya.  

Pertempuran itu menyisakan korban dari kedua belah pihak. Tak ada angka pasti berapa jumlah korban yang ada. Ke-28 nama korban Indonesia yang tercatat kemudian mengisi prasasti relief yang –diresmikan Kolonel Gatot Nurmantyo, kemudian menjabat panglima TNI, pada 9 Desember 2006– ada di belakang kompleks museum.*

Pertempuran Bojongkokosan.

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
663f29fda594f017767c8ea4
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID