Ini Roman Medan, Bung!

Harganya murah. Mutunya dianggap rendah. Namun pada zamannya, ia jadi primadona di pasaran buku sastra.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Ini Roman Medan, Bung!Ini Roman Medan, Bung!
cover caption
Novel roman picisan. (Koleksi Ibnu Wahyudi).

BAHKAN, kendati baru berusia 19 tahun, Dali Moetiara mahir memainkan kata-kata.

“Tjantik roepawan kau Wina,” goda Anwar.

“Djelita laksana remboelan.”

“Hm!” Wina tersipu.

“Bah! Tak berhenti-henti kau mentjoemboe, War, Mengkal poela hati awak mendengarnya. Nach, rasai!”

Djari-djari yang haloes lentik itoe mentjoebit paha anak moeda di sisinja itoe. Pemoeda ini meringis, tetapi senjoem djoea bermain di bibir. Mata bertemoe mata, hati bertemoe hati. Remadja itu dalam peloekan bahagia asmara.

Nukilan roman Rahsia Mantel Biroe karya Dali Moetiara itu dimuat majalah Loekisan Poedjangga No. 9/II, April 1940, yang diterbitkan penerbit Tjerdas di Medan.

BAHKAN, kendati baru berusia 19 tahun, Dali Moetiara mahir memainkan kata-kata.

“Tjantik roepawan kau Wina,” goda Anwar.

“Djelita laksana remboelan.”

“Hm!” Wina tersipu.

“Bah! Tak berhenti-henti kau mentjoemboe, War, Mengkal poela hati awak mendengarnya. Nach, rasai!”

Djari-djari yang haloes lentik itoe mentjoebit paha anak moeda di sisinja itoe. Pemoeda ini meringis, tetapi senjoem djoea bermain di bibir. Mata bertemoe mata, hati bertemoe hati. Remadja itu dalam peloekan bahagia asmara.

Nukilan roman Rahsia Mantel Biroe karya Dali Moetiara itu dimuat majalah Loekisan Poedjangga No. 9/II, April 1940, yang diterbitkan penerbit Tjerdas di Medan.

“Cerita roman picisan itu seperti sinetron kalau zaman sekarang,” ujar Ibnu Wahyudi, akrab disapa Mas Iben, dosen pengampu mata kuliah Sastra Populer di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. “Ia mengisi dimensi hiburan pada khalayak untuk memenuhi hasrat membaca.”

Istilah “roman picisan” dilekatkan pada novel populer yang menjamur di Sumatra, dengan pusatnya di Medan, pada 1930-an. Disebut picisan karena harganya murah; per eksemplar cuma dua picis atau 18 sen. Namun, ia juga mengandung makna merendahkan: murahan, tak bernilai sastra. Sementara pengarangnya disebut sebagai “pengarang kodian”. Istilah itu berasal dari wartawan Parada Harahap pada 1939 ketika berpolemik dengan Matu Mona alias Hasbullah Parinduri, pengarang roman yang juga memimpin majalah roman Gubahan Maya. Istilah lain adalah “roman Medan” atau “novel Medan”.

“Roman picisan” diangkat kembali pada 1950-an oleh R. Roolvink dalam tulisan “’Roman Pitjisan’ Bahasa Indonesia” yang dimuat Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1955) suntingan A. Teeuw. Menurut Roolvink, manfaat “roman picisan” adalah bacaan bagi masyarakat pinggiran. Kendati demikian, “kesusastraan dalam umumnya janganlah dihargai dari sudut beletri (sastra indah), tetapi dapat pula ditilik sebagai pengukur barang apa yang hidup dalam jiwa sesuatu bangsa dan pengukur watak masyarakatnya.”

Beragam genre novel roman picisan. (Koleksi Ibnu Wahyudi).

Ibukota Roman Picisan

Secara kasat mata, “roman picisan” bukanlah bacaan yang berat. Isinya setebal 60-100 halaman. Plotnya sederhana, umumnya dangkal, dan sebenarnya pendek namun dibikin panjang untuk mencapai permintaan jumlah halaman. Bahasa yang digunakan “Melayu rendah” atau Melayu pasaran, yang segar dan lebih mudah dicerna pembaca awam.

“Roman picisan” umumnya berukuran saku dan menjadi sisipan sebuah majalah. Poestaka Islam disebut-sebut sebagai penerbit pertama lewat majalah Doenia Pengalaman, terbit mulai Oktober 1938 dan dicetak Sjarikat Tapanoeli.

Di Medan, Doenia Pengalaman tak sendirian. Menyusul kemudian terbit Loekisan Poedjangga, Tjendrawasih, Gubahan Maya, Mustika Alhambra, Doenia Pergerakan, dan Loekisan Doenia. Majalah serupa juga terbit di Padang, Bukittinggi, Bengkulu, bahkan Gorontalo dan Surakarta. Tapi Medan-lah pusatnya. Melekatlah julukan Medan sebagai “ibukota roman picisan”.

Selain roman sesaku, beberapa penerbit kadang menerbitkan roman seukuran buku. Toko Buku Syarkawi, misalnya, menerbitkan Patjar Merah Indonesia karangan Matu Mona yang mengisahkan petualangan tokoh pergerakan Tan Malaka. Sementara Tjerdas sukses dengan serial roman detektif Elang Emas karya Joesoef Sou’yb.

Karena laris manis, penerbitan “roman picisan” bertaburan. Orang menyebutnya sebagai “banjir roman”.

Kenapa Medan? Budaya literasi di kota Medan relatif sudah terbentuk dengan suburnya industri pers. Dalam disertasinya di Universitas Cornell berjudul “Print Power and Cencorship in Colonial, 1914-1942”, Nobuto Yamamoto menyebut peranan orang-orang Minang. Suratkabar berbahasa Melayu pertama di Medan adalah Pewarta Deli, terbit tahun 1910. Pemimpin redaksinya Dja Endar Moeda, wartawan berpengaruh kelahiran Padang. Penerbitnya Sjarikat Tapanoeli, asosiasi pedagang asal Tapanuli, yang juga dipimpin Dja Endar Moeda. Belakangan wartawan terkemuka lainnya seperti Soetan Parlindoengan, Mangaradja Ihoetan, Kanoen, dan Adi Negoro jadi penerusnya.

Tak bisa diabaikan pula peran Bank Nasional, didirikan tahun 1930 oleh Anwar St. Saidi, pengusaha Minang dari Bukittinggi. Bank ini menyokong pedagang pribumi di kawasan ini, dan yang terpenting mendanai organisasi keagamaan dan pendidikan serta bisnis penerbitan.

Selain itu, banyak orang Minang menggeluti roman. Kontributor Doenia Pengalaman, misalnya, kebanyakan orang Minang seperti Or Mandank, Hamka, Soeman Hs, dan Selasih. Berkat jaringan dagang orang Minang dan organisasi Muhammadiyah, Doenia Pengalaman terdistribusikan di kota-kota besar di Sumatra hingga Jawa dan Kalimantan.  

“Dengan latar belakang politik, agama, dan keuangan dari Minangkabau semacam itu, Medan muncul sebagai pusat penerbitan baru di Sumatra pada 1930-an,” tulis Yamamoto. Medan menggantikan posisi Padang yang persnya terus diawasi pemerintah kolonial.

Letak kota Medan yang jauh dari pusat penerbitan pemerintah, Balai Pustaka, juga punya andil. Dengan demikian, menurut Mas Iben, kesempatan menerbitkan karya dan menghindari represi politik menjadi lebih besar. “Karena jauh dari Balai Pustaka, mereka lebih berani. Kalau di sini (Jakarta) mungkin sudah ditangkap,” ujarnya.  

Balai Pustaka, yang mulai beroperasi pada 1917, adalah patron literasi yang menetapkan standar kesusastraan. Karya yang tak sesuai dengan kriteria Balai Pustaka diberi label “bacaan liar”

Matu Mona alias Hasbullah Parinduri dan Joesoef Sou’yb.

Memicu Debat

“Roman picisan” mengangkat tema-tema kontemporer yang terjadi di lingkungan perkotaan. Umumnya berbau percintaan dan kriminalitas. Tak heran jika kritik berdatangan.

Pada 1938, Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) yang dipimpin Siradjuddin Abbas menghelat konferensi di Limbangan, Suliki, untuk membicarakan roman. Perhatian ditujukan pada Angkatan Baru karya Hamka dan Ustaz A. Masjuk karya Martha, keduanya diterbitkan Roman Pergaulan. Akibatnya, Ustaz A. Masjuk yang sempat cetak ulang kali ketiga sebanyak 10.000 eksemplar disita polisi karena pengaduan Perti.

Hamka memberikan pembelaan. Dalam “Mengarang Roman”, dimuat Pedoman Masyarakat 4 (51), 1938, dia menyebut roman berpijak pada realitas dan hal-hal yang tampak, tidak melebihi dari kesanggupan manusia. Ia memuat tujuan: mengkritik suatu keadaan yang pincang di masyarakat. Misalnya bahaya adat, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami yang dikerjakan hanya lantaran nafsu, atau perbedaan derajat dan turunan.

“Sebab itu, pernah seorang ahli bahasa dan roman dari Balai Pustaka mengirim surat kepada kita, menyatakan di dalam cerita-cerita yang kita perbuat itu nyata sekali jiwa keislaman, tetapi halus maknanya,” tulis Hamka.

Perdebatan tak berhenti di sini. Dalam “Bandjir roman”, Pedoman Masyarakat 5 (49), 1939, A.S. Hamid menulis tumbuhnya bintang baru para penulis roman, umumnya “masih hijau” dan mendapat pendidikan Islam, yang dia sebut sebagai “pujangga surau”. Alih-alih menyodorkan kebudayaan surau ke tengah masyarakat, mereka malah mengisahkan kehidupan orang-orang yang bukan dari golongannya sehingga terasa hambar. Hamid tak menganjurkan penghapusan roman, “tetapi janganlah di dalam menuju roman kita lupa akan asas dan pendirian kita.”

Tamar Djaja, editor dan penulis Roman Pergaoelan yang terbit di Bukittinggi, membalasnya dalam tulisan “Memperkatakan Roman”, dimuat Pedoman Masyarakat 5 (51), 1939. Selain tak setuju sebutan “pujangga surau” dan “banjir roman”, dia menampik anggapan roman merusak moral. Menurutnya, roman punya faedah memperhalus bahasa dan membangkitkan minat baca. Isinya pun tak melulu percintaan.  

“Sekarang dikarang orang tentang pergerakan, sejarah, dan lain-lain sebagainya, di sampingnya ada terselip sebuah roman,” tulisnya. “Dicampurkan kejadian yang romantis itu sebagai pelemakkan saja, ibarat garam.” Karena kritikan-kritikan itu, pada 17 Desember 1939, para pengarang roman mengadakan Konferensi Roman di Medan yang dipimpin Adinegoro. Mereka menyepakati keberadaan roman tak semestinya dihalangi melainkan dibutuhkan untuk menambah minat baca dan mendewasakan masyarakat. Meski demikian, adanya “banjir roman” yang bersifat cabul dan asusila tak dipungkiri dan dianjurkan untuk dihentikan.  

Menurut William Bradley Horton, peneliti Waseda University, Tokyo, akibat perdebatan mengenai nilai roman, sejumlah majalah roman di Sumatra mengalami kesulitan. Umumnya karena kekurangan penulis, yang diperparah oleh penangkapan orang-orang macam Mohammad Saleh Oemar, penulis roman dan editor majalah Poernama (anak penerbitan Doenia Pengalaman), pada 1940 dan Matu Mona pada 1941.

“Hal ini rupanya menjadi salah satu alasan mengapa majalah Doenia Pengalaman yang diterbitkan Pustaka Islam pindah ke Solo pada pertengahan 1940, memperoleh staf editorial baru, dan membangun majalah baru dalam menarik pelanggan dan jaringan penulisnya,” tulis William Bradley Horton dalam “The Political Work of Abdoe’lxarim M.s. in Colonial and Japanese Occupied Indonesia (1930s-1940s)”, dimuat di Waseda Studies in Social Sciences, Vol. 12, No. 3, Maret 2012.

Namun, terlepas dari tantangan itu, penulis Medan terus menghasilkan roman populer hingga masa pendudukan Jepang. “Novel-novel serial ini menjadi populer, karena mereka berurusan dengan topik-topik seperti urusan politik, agama, dan cinta, yang dihindari Balai Pustaka, dan bukan fokus orang Tionghoa di Jawa,” tulis Yamamoto.

Novel roman picisan. (Koleksi Ibnu Wahyudi).

Berebut Legitimasi

Tak dipungkiri, roman Medan terinspirasi keberhasilan penerbitan Tionghoa yang sudah dimulai sejak 1870. Jika penerbitan Tionghoa fokus pada peranakan, roman Medan hadir untuk memenuhi kebutuhan pembacanya sendiri.

“Novel populer dari Medan ternyata bisa mendesak novel populer Tionghoa; mungkin karena bahasanya lebih baik dan permasalahan ceritanya lebih dekat dengan masyarakat Indonesia,” tulis Jakob Sumardjo, “Novel-novel Populer Indonesia”, dalam bunga rampai Seni Masyarakat Indonesia suntingan Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono.

Kendati demikian, penguasaan pasar roman Medan amat terbatas sehingga tak bisa bersaing dengan penerbitan Tionghoa yang sudah mapan. Menurut Yamamoto, bahkan dalam hal bahasa, bahasa Melayu-Tionghoa juga dominan di perkotaan. “Dalam hal ini, setiap upaya untuk mengembangkan pangsa pasar yang lebih besar di luar Sumatra untuk roman Medan pada umumnya tak membuahkan hasil,” tulis Yamamoto.

Sementara berebut pasar dengan penerbitan Tionghoa, para penulis Medan bersaing untuk mendapatkan legitimasi budaya melawan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, sebuah kelompok yang didirikan tahun 1933 oleh intelektual-intelektual asal Sumatra untuk mendukung kebudayaan nasional dan modern.

Para penulis Medan menentang upaya standarisasi bahasa Melayu atau Melayu “tinggi”, yang diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah dan didukung Balai Pustaka. Dalam Kongres Bahasa pertama di Surakarta pada Juli 1938, yang dihelat Pujangga Baru, mereka menyampaikan perlunya bahasa Indonesia dikembalikan ke masyarakat sebagai penggunanya. Hal yang sama mereka tekankan dalam Konferensi Roman di Medan pada Desember 1939.  

Para penulis Medan juga mempertanyakan legitimasi Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebagai wakil sastra Indonesia. “Sebaliknya, kelompok Medan menganggap diri mereka lebih otentik karena mereka memiliki khalayak besar, yang mewakili sebagian besar pasar untuk sastra populer di Sumatra,” tulis Yamamoto.

Baik orang Minang, Tionghoa, maupun Jawa (atau intelektual berorientasi Jawa) memiliki versi bahasa Melayu dan wilayah pengaruh masing-masing. Persaingan itu terhenti karena pendudukan Jepang.

“Setelah kemerdekaan, para intelektual berorientasi Jawa melanjutkan usaha untuk menciptakan bahasa dan sastra nasional; tapi pada saat itu, orang Minangkabau dan peranakan menjadi pemain ‘minoritas’ dan pengaruhnya di bidang sastra menurun dengan cepat,” tulis Yamamoto.  

Pusat yang Lain

Meredup di zaman pendudukan Jepang dan revolusi, “roman picisan” kembali menggeliat pada awal 1950-an. Marije Plomp, peneliti kesusastraan Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, menyebut, sekira separuh dari semua terbitan di Indonesia dicetak di Medan. Sebagian besar bergenre roman picisan.

“Sementara hampir tak ada pasar untuk sastra Indonesia modern yang ‘serius’ di Medan, fiksi populer yang menampilkan perampokan, pembunuhan, penyelundupan, cinta dan seks terjual dengan sangat baik, terutama di kalangan kaum muda,” tulis Plomp dalam “Pusat Roman Picisan dan Pusat-pusat yang lain; Kehidupan Budaya di Medan 1950-1958”, termuat pada kumpulan tulisan Ahli Waris Budaya Dunia suntingan Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem.

Kritik kembali dialamatkan pada genre populer ini, terutama di halaman-halaman budaya suratkabar dan majalah yang diterbitkan di Jakarta. Pada saat yang sama, para penulis Medan mengkritik apa yang mereka sebut sebagai sikap “arogan” rekan mereka di Jakarta.  

Namun, zaman telah berubah. Menurut Ahmad Samin Siregar dalam “Bahasa Indonesia di Kotamadya Medan dan Sekitarnya: Suatu Tinjauan Kesejarahan Historis” termuat di Mutiara Budi yang disusun Noriah Mohamed dan Darwis Harahap, pada 1950-an sejumlah penerbit Medan gagal bangkit. Penerbit Saifoel menerbitkan roman-roman karya Soepomo dan Narmin Suti tapi segera berhenti. Begitu juga penerbit Moestika Alhambra dan Tjerdas.

Penerbit Gapura juga giat menerbitkan buku roman tapi tak bertahan lama. Menurut Tamar Djaja dalam “Roman Pitjisan”, dimuat majalah Buku Kita No 5 tahun I, Mei 1955, berdasarkan penuturan pengusahanya, Andjar Asmara, bahasa yang dipakai kurang menarik perhatian dan minat pembaca. Buku pun menumpuk dan lambat laku. “Sebaliknya, karangan Matu Mona dengan gaya dan langgam bahasa yang lama itu, sangat laris dibeli orang, bahkan terpaksa dicetak ulang,” tulis Tamar Djaja.  

“Roman picisan” memang tak lantas mati. Namun, ia tak lagi menjadi yang istimewa sebagai buah sastra dari Sumatra Utara.*

Majalah Historia No. 37 Tahun IV 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
675a6a81d3de21f9f57c2c15