Konferensi Mahasiswa Asia Afrika di Bandung, 30 Mei 1956. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENJELANG ulang tahun pertama Gerakan Pemuda Sosialis (GPS) pada September 1955, sekelompok anggota GPS Seksi Perguruan Tinggi berdiskusi. Mereka mengudar sifat, peran, dan ideologi pergerakan mahasiswa di Indonesia, yang menurut Maruli Silitonga dalam “Gerakan Mahasiswa Sosialis”, termuat di Bunga Rampai Sosialisme, “keorganisasiannya bersimpang siur.”
Saat itu ada dua jenis organisasi mahasiswa. Pertama, ekstra kampus, dengan Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) muncul sebagai yang terbesar. Kedua, organisasi intra universitas berupa senat atau dewan mahasiswa. Di lapangan, peran PPMI dan organisasi intra ternyata keluar jalur. PPMI bahkan masih sempat-sempatnya mengurus kesejahteraan mahasiswa. Sebaliknya, senat atau dewan mahasiswa tak puas hanya berkegiatan di dalam kampus dan ingin tampil ke luar.
MENJELANG ulang tahun pertama Gerakan Pemuda Sosialis (GPS) pada September 1955, sekelompok anggota GPS Seksi Perguruan Tinggi berdiskusi. Mereka mengudar sifat, peran, dan ideologi pergerakan mahasiswa di Indonesia, yang menurut Maruli Silitonga dalam “Gerakan Mahasiswa Sosialis”, termuat di Bunga Rampai Sosialisme, “keorganisasiannya bersimpang siur.”
Saat itu ada dua jenis organisasi mahasiswa. Pertama, ekstra kampus, dengan Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) muncul sebagai yang terbesar. Kedua, organisasi intra universitas berupa senat atau dewan mahasiswa. Di lapangan, peran PPMI dan organisasi intra ternyata keluar jalur. PPMI bahkan masih sempat-sempatnya mengurus kesejahteraan mahasiswa. Sebaliknya, senat atau dewan mahasiswa tak puas hanya berkegiatan di dalam kampus dan ingin tampil ke luar.
Seksi Perguruan Tinggi GPS menilai perlu ada reorientasi gerakan mahasiswa. Sayangnya, gerak mereka sendiri terhambat oleh struktur GPS. Maka, mereka memisahkan diri dari GPS dan membentuk organisasi sendiri bernama Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) pada 21 Oktober 1955. Mereka mengusung ideologi sosialisme kerakyatan. GSM dipimpin Hersubeno dan Sudjono Jali, yang kemudian digantikan Maruli Silitonga dan Hakim Simamora.
Dicaci dan Dipuji
“Waktu lahir, GMS dicemooh karena PSI kalah Pemilu. ‘Ah, saudara menumpang biduk karam,’ kata teman saya,” ujar Maruli Silitonga, sekjen GMS, kepada Pedoman, 29 April 1957, tanpa merinci identitas sang teman.
Emil Salim, kala itu mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, juga pernah berdebat dengan Maruli soal masuknya politik dalam kehidupan mahasiswa. “Maruli berpendapat, mahasiswa harus memainkan peran penting dalam politik. Saya, sebaliknya, merasa bahwa meskipun mahasiswa harus memiliki pengertian tentang politik, mereka tidak harus terlibat dalam politik partai,” ujar Emil Salim kepada The Kian Wie dalam Pelaku Berkisah.
PSI sendiri memuji kehadiran GPS. “Pada saat kita terkejut melihat hasil pemilihan umum yang mengecewakan itu, kaum sosialis mendapat alat perjuangan baru...,” tulis Suara Sosialis, November 1956.
Kiprah awal GMS cukup menonjol. Mereka ikut ikut dalam Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA) yang dihelat PPMI di Bandung pada 30 Mei–7 Juni 1956. Mereka mempengaruhi panitia agar tak mengundang perwakilan mahasiswa komunis di Indonesia. Untuk membendung pengaruh komunis di Asia-Afrika, mereka menjalin hubungan dengan mahasiswa sosialis asal Malaya, India, Nepal, dan Suriah.
Karena jumlah anggotanya hanya ratusan, GMS lalu berkonsentrasi merekrut kader. Mereka mengadakan Socialist Student Camp(SSC) di Jakarta pada Juli 1956. Mereka mengundang tokoh-tokoh penting PSI, termasuk Sjahrir, untuk berceramah seputar sosialisme, peran mahasiswa, dan kecendekiaan. Kader dan cabang GMS pun meningkat drastis awal 1957. Mereka memiliki 1.500 kader dan belasan cabang.
Membangun Orde Baru
Selesai dengan urusan konsolidasi internal, GMS mengigit lagi. Mereka terang mengkritik hasil Pemilu 1955. “Hasil pemilu tidak ada lagi harganya,” kata Maruli Silitonga kepada Pedoman,29 April 1957. Mereka bilang sudah saatnya mengubah tatanan pemerintah dan masyarakat. Tapi cita-cita mereka baru maujud pada 1966.
GMS ikut menjatuhkan Sukarno dan mendirikan Orde Baru. Beberapa kader mereka, seperti Rahman Tolleng, bahkan bergabung ke Golongan Karya dan menjadi anggota DPR pada 1971. Tapi peristiwa Malari 1974 jadi titik balik. Bulan madu GMS dan Orde Baru berakhir. GMS berlakon sebagai oposan lagi.*