Istanbul Kecil di Kota Berlin

Potret kehidupan migran Turki di Kreuzberg dan Neukölln. Kedua tempat itu mendapat julukan Istanbul Kecil.

OLEH:
Prima Nurahmi Mulyasari
.
Istanbul Kecil di Kota BerlinIstanbul Kecil di Kota Berlin
cover caption
Salah satu lorong di Neukölln.

SIAPA tak kenal Mesut Özil? Pesepakbola lincah ini, yang menjadi punggawa klub Arsenal sekaligus tulang punggung timnas “Der Panzer” Jerman, merupakan pemain berdarah Turki. Ya, Jerman seolah menjadi tanah air yang lain bagi banyak orang Turki. 

Saat ini sekira tiga juta orang Turki tersebar di seluruh penjuru Jerman. Di Berlin, sebagian besar migran Turki tinggal di Kreuzberg dan Neukölln. Jika Berlin sebagai pusat hiburan terkenal dipenuhi museum, kafe, klub malam, hingga kasino, Kreuzberg dan Neukölln menyuguhkan nuansa berbeda: rasa Turki di tengah-tengah Kota Berlin. Tak ayal kedua tempat itu mendapat julukan Kleine Istanbul atau Istanbul Kecil.

Kreuzberg dan Neukölln merupakan dua dari 12 distrik yang terdapat di Berlin dengan konsentrasi jumlah imigran Turki terbanyak. Menurut Statistisches Landsamt Berlin, jumlah migran Turki di Kreuzberg tahun 2005 sebanyak 40.539 jiwa, sedangkan di Neukölln sebanyak 46.979 jiwa. Selain imigran Turki, dua distrik ini juga dihuni pendatang dari Bosnia, Arab, Jepang, Hongkong, Vietnam, serta Thailand. Para migran ini umumnya bergerak di bidang gastronomi (penyediaan makanan). Mereka mudah dikenali karena menampilkan identitas mereka melalui tulisan-tulisan hingga bendera yang dipasang di depan toko maupun restoran.

SIAPA tak kenal Mesut Özil? Pesepakbola lincah ini, yang menjadi punggawa klub Arsenal sekaligus tulang punggung timnas “Der Panzer” Jerman, merupakan pemain berdarah Turki. Ya, Jerman seolah menjadi tanah air yang lain bagi banyak orang Turki. 

Saat ini sekira tiga juta orang Turki tersebar di seluruh penjuru Jerman. Di Berlin, sebagian besar migran Turki tinggal di Kreuzberg dan Neukölln. Jika Berlin sebagai pusat hiburan terkenal dipenuhi museum, kafe, klub malam, hingga kasino, Kreuzberg dan Neukölln menyuguhkan nuansa berbeda: rasa Turki di tengah-tengah Kota Berlin. Tak ayal kedua tempat itu mendapat julukan Kleine Istanbul atau Istanbul Kecil.

Kreuzberg dan Neukölln merupakan dua dari 12 distrik yang terdapat di Berlin dengan konsentrasi jumlah imigran Turki terbanyak. Menurut Statistisches Landsamt Berlin, jumlah migran Turki di Kreuzberg tahun 2005 sebanyak 40.539 jiwa, sedangkan di Neukölln sebanyak 46.979 jiwa. Selain imigran Turki, dua distrik ini juga dihuni pendatang dari Bosnia, Arab, Jepang, Hongkong, Vietnam, serta Thailand. Para migran ini umumnya bergerak di bidang gastronomi (penyediaan makanan). Mereka mudah dikenali karena menampilkan identitas mereka melalui tulisan-tulisan hingga bendera yang dipasang di depan toko maupun restoran.

Dari pusat kota Berlin, sangat mudah menjangkau Kreuzberg dan Neukölln yang terletak di bagian barat. Beragam moda transportasi umum, terutama metrobus dan kereta api bawah tanah (U-Bahn), serta kereta api cepat (S-Bahn) yang datang setiap lima menit sekali, siap mengantarkan Anda. Saya memutuskan berkunjung ke sana. Alih-alih naik transportasi umum, saya menggunakan fasilitas pedestrian untuk menjelajahi wilayah ini.

Museum Kreuzberg.

Kreuzberg

Distrik Kreuzberg adalah kota yang ramah bagi pejalan kaki. Sepanjang perjalanan saya menghirup suasana Turki. Banyak jalan menggunakan nama tempat di Turki seperti Dardanellaweg dan Bosporusstrass. Ada juga plakat nama pengacara ataupun ahli jiwa keturunan Turki. Sebuah salon pengantin Turki bernama Bursa Carsisi menyediakan busana serta pernak-pernik pernikahan khas tradisional Turki. 

Di kanan-kiri jalan berdiri sekolah-sekolah mengemudi, karena banyak pula migran Turki yang menjadi sopir taksi. Ada pula toko penjual ikan “Karadeniz Balikcisi” milik imigran Turki di Adalbertstr. Sebuah toko yang menjual buku, DVD, CD, dan kaset memakai identitas Turki dengan menulis “Tuerkischer Bloomer”. Ada pula toko yang menjual majalah-majalah dan koran berbahasa Turki. Di Jerman terdapat majalah khusus berbahasa Turki, Merhaba. Belum lagi kios kebab, toko peralatan musik tradisional Turki, hingga orang-orang Turki yang lalu-lalang. Kios-kios kebab mendominasi dengan menjual beraneka macam varian makanan khas Turki.

Sepanjang jalan utama di kota ini ramai oleh ragam aktivitas masyarakat. Orang-orang duduk mengobrol di kafe-kafe di trotoar. Ibu-ibu migran Turki duduk di taman-taman. 

Langkah kaki berhenti di Museum Kreuzberg yang terletak di Adalbertstraße 95a, Berlin. Lokasinya dekat dengan U-Bahnhof Kottbusertor, yang bisa dikatakan sebagai jantungnya Kreuzberg, kurang lebih 10 menit berjalan kaki. 

Museum Kreuzberg adalah bangunan tua dengan empat lantai yang menyimpan berbagai kenangan dan sejarah distrik ini berdasarkan negara asal masing-masing. Tiap-tiap lantai memiliki display yang berbeda. Ada juga pameran foto tentang Kreuzberg tahun 1989–1990-an pascaruntuhnya Tembok Berlin. Kreuzberg merupakan distrik yang dilewati Tembok Berlin yang membagi kota ini menjadi Berlin Barat dan Berlin Timur sebelum dirobohkan pada November 1989. 

Di Museum Kreuzberg, saya berjumpa dan mengobrol dengan Zehra Yilmaz, seorang pekerja freelance keturunan Turki. Penampilan Yilmaz sangat khas, memakai jilbab dengan model yang banyak dikenakan migran Turki. Dia bilang mahasiswi fakultas hukum di sebuah universitas di Berlin. Ayahnya bekerja sebagai pekerja yang telah datang ke Berlin sebelum dirinya lahir. Meski kini dia telah menjadi warga negara Jerman dan memiliki paspor Jerman, kedua orang tuanya masih memegang paspor Turki. Dia beralasan, karena lahir dan besar di Berlin, dia lebih merasa sebagai orang Berlin. 

Kedatangan migran Turki ke Jerman tak bisa lepas dari Program Marshall Plan yang digagas Amerika Serikat guna membantu negara-negara Eropa Barat yang porak-poranda akibat Perang Dunia II. Di Jerman, upaya membangun kembali industri membutuhkan banyak tenaga kerja. Namun, demografi Jerman belum pulih benar. Perang Dunia II telah merenggut banyak korban berusia produktif. 

Perempuan Turki tengah bercengkerama.

Turki, yang pernah mengalami masa kejayaan di masa Kesultanan Ottoman, justru kelebihan tenaga kerja. Tingginya angka kelahiran tidak ditunjang oleh kemantapan perekonomian. Selain urbanisasi ke kota-kota industri utama di Turki seperti Istanbul dan Ankara. Emigrasi menjadi jalan keluarnya. Menurut Eric J. Zurcher dalam Turkey: A Modern History, warga Turki pertama yang berangkat untuk bekerja di Jerman tahun 1957 adalah para lulusan sekolah teknik. 

Jerman, yang pernah menjalin hubungan persahabatan dengan Turki pada abad ke-19, menanggapinya dengan menjalin kesepakatan dengan Turki yang ditandatangani pada 30 Oktober 1961. Pada 1961, sebanyak 7.116 warga Turki menjadi bagian dari gelombang pertama yang berimigrasi ke Jerman sebagai gastarbeiter (pekerja tamu). Jumlahnya meningkat seiring waktu dan mendesaknya kebutuhan tenaga kerja di Jerman. Sebagian dari mereka adalah kaum urban karena keterampilan tak lagi menjadi pertimbangan. Kebanyakan dari mereka ditempatkan di pertambangan maupun pabrik otomotif dan telekomunikasi dan digaji rendah. 

Pada 1970-an, krisis minyak dunia ikut menyebabkan hancurnya perekonomian Jerman. Pemerintah Jerman sempat menghentikan pasokan tenaga kerja dari luar. Saat itu jumlah tenaga kerja Turki di Jerman sudah mendekati angka satu juta jiwa. Banyak migran memutuskan pulang ke Turki. Tak sedikit yang tetap tinggal, bahkan mereka mengajak keluarga atau saudara untuk datang ke Jerman dan beranak-pinak. 

Leo Lucassen, guru besar sejarah migrasi di Universitas Leiden Belanda, dalam “Poles and Turks in the German Ruhr Area: Similarities and Differences”, termuat dalam buku yang disuntingnya bersama David Feldman dan Jochen Oltmer berjudul Paths of Integration: Migrants in Western Europe (1880–2004) mengungkapkan bahwa migran Turki memiliki tendensi untuk hidup berkelompok dan terkonsentrasi di satu tempat tertentu seperti Marxloh di Duisburg serta Kreuzberg dan Neukölln di Berlin.

Generasi pertama migran Turki menghadapi kendala yang lebih berat, dari bahasa hingga xenophobia dari warga Jerman. Saat kali pertama tinggal di Kreuzberg, warga Jerman bereaksi keras dan marah karena menganggap migran Turki telah mendirikan ghetto di distrik Kreuzberg (Kreuzghetto) yang saat itu berbatasan langsung dengan Berlin Timur. Situasi semakin buruk tatkala sering terjadi bentrok antara migran Turki dan orang Jerman. Situasi tersebut berangsur membaik pada tahun-tahun berikutnya saat orang Jerman mulai menerima kehadiran mereka.

Saat tersesat di Kreuzberg, saya berkenalan dengan muslimah Bosnia yang cantik nan ramah. Dia berusia 22 tahun, berjilbab, dan mengenakan rok panjang. Matanya teduh berwarna abu-abu. Dia menyapa terlebih dahulu dengan mengucapkan “assalamualaikum” saat mengambil tempat duduk di samping saya di dalam U-Bahn yang melaju menuju U-Bahnhof Hermannplatz di Neukölln. 

Gadis ini bilang dia mahasiswi jurusan biologi di salah satu institut di Berlin. Dia sudah tujuh tahun tinggal di Jerman dan masih memegang paspor Bosnia. Dia tinggal di Neukölln. Sorot matanya hangat dan bersahabat saat menunjukkan line U-Bahn yang harus saya tumpangi untuk pergi ke U-Bahnhof Karl-Marx-strasse, stasiun terdekat dari tempat tinggal saya selama di Berlin.

Masjid Sehitlik Camii.

Neukölln

Neukölln terletak di sebelah selatan Kreuzberg, memiliki jumlah populasi migran terbanyak di antara distrik-distrik lain di Berlin. Neukölln lebih teratur dan bersih dibandingkan Kreuzberg yang memiliki banyak coretan di tembok-temboknya. Di Columbiadamn 128, Berlin, terdapat Masjid Sehitlik Camii, masjid terbesar di Berlin. Masjid ini dibangun migran Turki pada 1999 dan selesai pengerjaannya pada 2005. 

Di Neukölln, setiap hari Selasa dan Jumat terdapat pasar pekan Berlin (Turkish Market) bernama Maybachufer. Dinamakan Maybachufer karena pasar ini diadakan di Maybachufer, sebuah kawasan di wilayah Neukölln. Barang-barang yang dijual antara lain sayuran segar dan roti.

Sebagaimana di Kreuzberg, kebanyakan usaha yang dijalankan imigran Turki di Neukölln ialah agen perjalanan, internet kafe, toko roti, toko kebab, tukang kunci, minimarket, toko pakaian, toko makanan halal, pedagang sayuran kaki lima, hingga penjahit. Nuansa ke-Turki-an sangat terasa. Bagi migran yang membuka usaha perdagangan maupun jasa, mereka menggunakan berbagai macam bahasa dan aksara Turki pada papan nama toko atau kios. Mereka memakai atribut Turk, Turkish, Ankara, Istambul, Anatolya, atau Turkiyem yang mengacu pada identitas mereka sebagai orang Turki. Bahkan bendera Turki menghiasi toko dan tempat tinggal mereka.

Pasar sayuran.

Sebuah retail Turki di Neukölln yang terletak di seberang U-bahnhof Karl-Marx- strasse menjual produk-produk yang sebagian besar diimpor dari Turki seperti air mineral, coklat, beras, kopi, teh, kosmetik, ikan asin, dan produk kalengan. Retail ini juga menyediakan bahan baku kebab seperti daging, roti, serta sayuran segar. Selain mengimpor produk-produk dari Turki, retail Turki menjual produk-produk Turki yang diproduksi di Jerman seperti makanan kalengan merk Baktat.

Berjalan kaki menyusuri Kreuzberg dan Neukölln bisa membuat kita lupa sedang berada di Eropa Barat. Perempuan berjilbab berlalu-lalang. Orang-orang saling berucap “assalamualaikum”. 

Tak semua migran Turki yang tinggal di Jerman fasih berbahasa Jerman atau memiliki paspor Jerman. Itu bukan hal yang mereka anggap serius. Tanpa dua hal tersebut mereka tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-hari dengan normal. Pemerintah Jerman menyediakan fasilitas-fasilitas umum dengan bahasa Turki sebagai petunjuk. Misalnya, mesin-mesin penjual otomatis, seperti mesin pembelian tiket kereta api, pun dilengkapi bahasa Turki, selain bahasa Jerman dan bahasa Inggris. 

Yang unik dari Kreuzberg dan Neukölln adalah keberagamannya. Kita juga bisa menyaksikan hal-hal yang jarang ditemui di sebuah negara makmur: pengemis. Peminta-minta di pinggir jalan maupun pembersih kaca mobil di perempatan jalan adalah hal yang dapat kita jumpai dengan mudah di Kreuzberg. Saat berjalan keluar dari U-Bahnhof Kottbussertor, saya menyaksikan sekelompok migran yang bekerja sebagai pengelap kaca mobil di perempatan dekat stasiun. Saat lampu merah menyala mereka dengan sigap mendatangi mobil-mobil yang berhenti dan mengelap kaca-kaca mobil tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah anak kecil dan anak muda.

Restoran Hasir.

Kulinari

Kurang afdol rasanya menjelajahi Istanbul Kecil tanpa mencicipi kuliner khas Turki hasil racikan orang Turki sendiri. Kios-kios kebab mendominasi dengan menjual beraneka ragam makanan khas Turki. Harganya pun bervariasi dari €1 hingga €12. Selain Döner Kebab yang terkenal dan telah mendunia, bahkan hingga ke Indonesia, ada juga Ayran atau Lahmacun (pizza ala Turki), Chicken Döner, Mc Kebap, Köfte Burger atau Mister Kebap.

Salah satu rumah makan tersohor dan ramai pengunjung ialah Restoran Hashir, yang letaknya berdekatan dengan Museum Kreuzberg. Restoran ini bercita rasa non-Eropa. Saat jam makan siang, semua kursi terisi penuh. Namun, banyak pelanggan rela mengantre. Ada sebuah testimoni yang menggambarkan mengapa restoran diburu banyak pengunjung: “embark on culinary magic carpet ride at the mother ship of this small chain whose owner, Mehmed Aygün, is said to have invented the Berlin-style donner kebab back in 1971. Tables at this cheerfully decorated restaurant are packed at all hours with patrons lusting after spicy lamb or the filling appetiser platter.” 

Di dekat Restoran Hashir, masih di sekitaran Zentrum Kreuzberg, saya mencicipi falafel, makanan khas Turki lain yang menurut saya bentuknya mirip perkedel namun terbuat dari kacang kapri atau kacang polong. Meskipun falafel kabarnya berasal dari Mesir, makanan ini menyebar ke sekitar negara-negara Timur Tengah, termasuk Turki. Karena itu, makanan ini lazim dihidangkan sebagai salah satu sajian di kios-kios kebab. 

Di toko kue Baeckerei Uelkem yang cukup besar di Sonnenaleestrasse, saya mencicipi baklava, makanan khas Turki lainnya. Kue khas Turki Ottoman ini bercita rasa sangat manis dengan variasi sirup, walnut serta almond. Konon, baklava merupakan makanan kegemaran anggota keluarga kerajaan Turki. Selain menjual baklava yang menjadi andalan, toko kue itu juga menjual Salziges Gebaeck dan Suesses Gebaeck.*

Foto-foto oleh Prima Nurahmi Mulyasari

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65e9ea10fed8ae6c02762ecd
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID