Jakarta dalam Kartu Pos

Bermula dari alat komunikasi, kartu pos lalu jadi media untuk banyak hal. Di lembar-lembarnya, Batavia ikut diabadikan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Jakarta dalam Kartu PosJakarta dalam Kartu Pos
cover caption
Rumah kampung di Batavia dalam kartu pos terbitan FB Smits. (Koleksi Olivier Johannes Raap).

SEWAKTU berkunjung ke sebuah pasar loak di Brussel, Belgia pada 2003, Olivier Johannes Raap penasaran terhadap serakan “sampah” yang menarik perhatiannya. Dia mendatanginya lalu mengubek-ubek “sampah” itu. Betapa girangnya dia ketika di antara tumpukan itu ditemukan selembar kartu pos bertahun 1934 yang dikirim dari Malang ke Belgia. Penemuan itu disertai rasa herannya bagaimana bisa ada orang yang membuang kartu pos berharga itu.

Sejak itu, Oli, demikian dia biasa disapa, jatuh hati pada kartu pos. Dia rajin berkeliling ke pasar loak untuk mencari kartu pos kuno, terutama tentang Jawa semasa Hindia Belanda. “Karena kartu pos kuno sering kali memperlihatkan sejarah dan hal yang kurang terdokumentasi oleh media lain, dan karena kartu pos kuno relatif mudah didapatkan oleh kolektor hobi. Mengoleksi kartu pos merupakan bagian dari kecintaan saya pada dunia filateli,” kata Oli kepada Historia.

Sebelum mengoleksi kartu pos, Oli menekuni hobi filateli sejak usia 10 tahun. Hobi itu terus berjalan hingga dia duduk di bangku SMA, “namun berhenti saat kuliah karena hobi itu tidak populer di kalangan mahasiswa,” kenangnya. Dia baru kembali menekuni filateli lagi setelah mengunjungi Indonesia pada 1998. Kunjungannya ke pasar loak di Brusel pada 2003 lalu mengalihkannya ke hobi koleksi kartu pos kuno.

SEWAKTU berkunjung ke sebuah pasar loak di Brussel, Belgia pada 2003, Olivier Johannes Raap penasaran terhadap serakan “sampah” yang menarik perhatiannya. Dia mendatanginya lalu mengubek-ubek “sampah” itu. Betapa girangnya dia ketika di antara tumpukan itu ditemukan selembar kartu pos bertahun 1934 yang dikirim dari Malang ke Belgia. Penemuan itu disertai rasa herannya bagaimana bisa ada orang yang membuang kartu pos berharga itu.

Sejak itu, Oli, demikian dia biasa disapa, jatuh hati pada kartu pos. Dia rajin berkeliling ke pasar loak untuk mencari kartu pos kuno, terutama tentang Jawa semasa Hindia Belanda. “Karena kartu pos kuno sering kali memperlihatkan sejarah dan hal yang kurang terdokumentasi oleh media lain, dan karena kartu pos kuno relatif mudah didapatkan oleh kolektor hobi. Mengoleksi kartu pos merupakan bagian dari kecintaan saya pada dunia filateli,” kata Oli kepada Historia.

Sebelum mengoleksi kartu pos, Oli menekuni hobi filateli sejak usia 10 tahun. Hobi itu terus berjalan hingga dia duduk di bangku SMA, “namun berhenti saat kuliah karena hobi itu tidak populer di kalangan mahasiswa,” kenangnya. Dia baru kembali menekuni filateli lagi setelah mengunjungi Indonesia pada 1998. Kunjungannya ke pasar loak di Brusel pada 2003 lalu mengalihkannya ke hobi koleksi kartu pos kuno.

Baginya, deltiologi (koleksi kartu pos) susah-susah gampang. Kartu pos termasuk gampang didapat. Banyak keluarga Belanda yang membuang, meloak, atau menjual murah kartu pos-kartu pos warisan leluhurnya. “Mereka dari generasi ketiga tidak lagi merasa terhubung dengan Hindia Belanda dan kartu pos dianggap tidak menarik dan tidak bernilai,” jelasnya.

Namun, itu berlangsung sampai awal 2000-an saja. Kini situasinya sudah berubah. “Sebagian besar benda koleksi sudah jatuh ke tangan kolektor (termasuk museum) atau pedagang antik,” ujarnya. Akibatnya, harga kartu pos untuk orang berkantong pas-pasan seperti Oli terlalu tinggi. Terkadang, katanya, harga yang dibanderol penjual sangat tak masuk akal. “Ketiadaan katalog harga seperti halnya perangko atau uang kuno menyebabkan barang deltiologi yang ini harganya tidak menentu,” jelas pria yang telah menerbitkan buku ketiganya, Kota di Djawa Tempo Doeloe.

Sisi tempat menulis alamat pada kartu pos terbitan FB Smits, Batavia. (Koleksi Olivier Johannes Raap).

Ketidaksengajaan pula yang mengawali Achmad Sunjayadi, pengajar di Universitas Indonesia, mengoleksi kartu pos. Suatu hari, dia mendapatkan hadiah sebuah buku karya Leo Haks, Indonesia 500 Early Postcards. “Saya tertarik pada gambar-gambarnya. Apalagi jika dikaitkan dengan situasi kehidupan yang digambarkan dalam kartu pos tersebut,” ujarnya kepada Historia. Ketertarikan itu lalu membuatnya penasaran mengenal lebih jauh.

Setelah mengajukan proposal penelitian ke tempatnya mengajar dan disetujui, dia berangkat riset ke Belanda. “Dari situ saya mengembangkannya dalam penelitian,” jelasnya.

Kartu pos memang jadi objek penelitiannya. Tapi tinggal jauh di negeri orang membuat Achmad juga menggunakan kartu pos untuk berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia. “Saya masih ingat ketika pertama kali ke luar negeri (Belanda) tahun 1996, saya mengirimkan kartu pos ke rumah dan menceritakan apa yang saya lihat dan alami di Belanda. Dapat dibayangkan dengan kartu pos pada masa Hindia Belanda dan mengirimkannya ke sanak saudara di Belanda. Menurut saya ini menarik.”

Pada 1996, Achmad mulai mengoleksi kartu pos. Meski sempat berhenti lama sejak 2003, hobi itu berlanjut lagi hingga kini. “Kartu-kartu pos itu saya dapatkan di Belanda dan Indonesia. Hal yang menarik adalah bagaimana kita mereproduksi objek/gambar-gambar dalam kartu pos pada masa kolonial dan menikmati reproduksi gambar tersebut sekarang,” katanya.

Kartu pos terbitan FB Smits, Batavia, menampilkan Gedung Societeit Harmonie. (Koleksi Olivier Johannes Raap).

Agen Internasionalisasi

Sejak Austria meluncurkan “correspondenz karte” atau kartu korespondensi –yang mengambil ide ekonom Emmanuel Hermann– pada paruh kedua abad ke-19, media orang untuk berkomunikasi jarak jauh kian beragam. Kartu pos, nama yang kemudian digunakan untuk kartu tersebut, segera diadopsi negara-negara lain. Belanda mengadopsinya pada 1871. Hindia Belanda mengikuti jejak induknya tiga tahun kemudian. Mengutip Bataviaasch Nieuwsblad edisi 7 November 1903, Achmad Sunjayadi menulis dalam “Mengabadikan Estetika: Fotografi dalam Promosi Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda,” pada 1902 jumlah kartu pos di seluruh dunia (tak termasuk Asia dan Afrika) sebanyak 900 juta lembar.

Namun, briefkaart (kartu pos) masa awal tak memiliki gambar. Kartu itu hanya memiliki perangko dan tempat untuk menulis alamat di satu sisi, serta tempat kosong untuk menulis berita atau pesan di sisi lainnya. Post, Telegraaf en Telefoon Dienst (Dinas Pos, Telegraf, dan Telepon) mengeluarkannya dalam ukuran 9x12 sentimeter.

Pihak swasta/perorangan melihat peluang bisnis besar di balik kartu pos. Mereka memanfaatkan kartu pos untuk mempromosikan produk-produk. Perusahaan air minum Appolonaris atau Nestle (untuk Susu Cap Nona), misalnya, lalu mengeluarkan kartu pos sendiri. Kemunculan kartu pos bergambar itu antara lain diabadikan De Locomotief edisi 25 Oktober 1899 dengan sebuah iklan penjualan kartu pos bergambar di Surabaya dan Jawa seharga 10 sen per lembar.

Pemerintah kolonial yang awalnya melarang, akhirnya menyerahkan penerbitan kartu pos bergambar pada pihak swasta. Percetakan-percetakan seperti G. Kolff (Batavia), Visser & Co. (Batavia & Bandung), atau Van Ingen (Surabaya) lalu memproduksi kartu pos. “Kartu pos bergambar pada periode awal menggunakan teknik litografi dan belum menggunakan foto,” ujar Achmad. Ukuran kartu pos itu 9x14 sentimeter, sesuai standar internasional yang ditetapkan Union Postale Universele.

Efektivitas kartu pos sebagai media promosi lalu menyebar. Sektor pariwisata ikut terjun menggunakannya. Pemerintah, yang giat membangun pariwisata Hindia Belanda sejak paruh pertama abad ke-20, lalu mendirikan Vereeniging Toeristenverkeer (VTV). Oleh VTV, kartu pos dijadikan media promosi pertamanya. “Setelah akhir Perang Dunia pertama di Eropa, ada tanda peningkatan dalam pariwisata di Hindia Belanda. Periode antara perang (dunia, red.) harus dilihat sebagai waktu positivisme dan internasionalisme di Hindia Belanda,” tulis Saskia Asser dalam A Critical History of Photography in the Netherlands: Dutch Eyes.

Suasana Pasar Baru, Batavia tahun 1910. Tio Tek Hong, penerbit kartu pos ini berada di tengah. (Koleksi Olivier Johannes Raap).

Bersama VTV, maskapai pelayaran KPM juga mengeluarkan kartu pos pada awal abad ke-20. Sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pengembangan pariwisata Hindia Belanda, KPM menjadikan kartu pos sebagai cenderamata yang dibagikan secara gratis. “Kartu pos-kartu pos awal abad ke-20 bergambar kapal-kapal KPM mengesankan bahwa kapal-kapal tersebut dengan antusias dianggap para wisatawan sebagai kendaraan yang memungkinkan perjalanan ke Timur,” tulis Susie Protschky dalam Images of the Tropics: Environment and Visual Culture in Colonial Indonesia.

KPM tak hanya membuat kartu pos bergambar kapal uapnya saja. Gambar-gambar lain, yang dalam kepala orang Eropa dianggap eksotisme Timur, seperti sekelompok penari Hongi dari Sorong, Papua. Kartu pos bergambar banyak yang menggunakan foto.

Setelah kemunculannya di akhir abad ke-19, fotografi memainkan peran penting tak hanya dalam perkembangan kartu pos, tetapi juga bagi pariwisata Hindia Belanda. Menurut Susie, pemandangan Hindia dan barang-barang konsumsi tropis sebagai komoditas utama pariwisata Hindia Belanda menyebar luas ke berbagai penjuru dunia melalui kartu pos bergambar-foto.

Foto-foto itu kebanyakan karya fotografer-fotografer terkenal saat itu seperti Kassian Cephas, Sam Cephas, atau Ali S. Cohen. Fotolah yang membuat gambar kartu pos lebih variatif, tak melulu pemandangan alam. Tempat wisata, resor, bangunan yang menandakan kemajuan sebuah kota, beragam kesenian, atau kehidupan sosial seperti pemadat dan perempuan nakal merupakan varian gambar yang ada di selembar kartu pos.

Pada gilirannya, kartu pos menjadi bisnis menggiurkan. Banyak biro perjalanan dan restoran lalu menjadi agen pemasaran kartu pos. Dari kartu pos-kartu pos yang mereka jual, kebanyakan sebagai cenderamata, mereka mendapat komisi dari penerbit atau percetakan yang menerbitkan. Pada 1930-an, ujar Achmad, pemerintah Hindia Belanda menyeleksi sekitar 12 ribu lembar foto yang disajikan dalam buku panduan wisata serta kartu pos yang dikirim ke 30 pusat turisme di seluruh dunia.

Suasana Pasar Baru, Batavia tahun 1940-an. Tio Tek Hong, penerbit kartu pos ini berada di tengah. (Koleksi Olivier Johannes Raap).

Batavia

Di antara sekian banyak kartu pos koleksi Achmad, sebuah kartu pos bergambar ilustrasi orang-orang sedang kongkow-kongkow di Hotel des Indes, Batavia sangat artistik. Menurut Achmad, yang membeli kartu pos tersebut di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), Amsterdam, ilustrasi kartu pos itu merupakan rancangan Jan Lavies. Jan merupakan salah seorang pelopor gaya art deco dalam periklanan. Banyak hotel di Hindia Belanda menggunakan jasanya dalam membuat logo.

Hotel des Indes sendiri menggunakan jasa Jan. Hotel termewah di Hindia Belanda –konon, bahkan di Asia– itu bertarif antara tujuh hingga 15 gulden per malam, setara dengan tarif menginap di hotel-hotel berkelas di Amerika Serikat kala itu. Selain kenyamanan dan kemewahan, hotel itu menawarkan berbagai kelebihan seperti pemesanan kamar jarak jauh menggunakan telegraf.

“Dari dekade pertama abad ke-20, Hotel des Indes muncul sebagai unggulan dari tiga hotel terkemuka di Jakarta, dan seluruh Indonesia, posisi itu terus didudukinya sampai pembukaan Hotel Indonesia di Jalan Thamrin pada tahun 1962,” tulis Scott Merillees dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900–1950.

Selain Hotel des Indes, pihak lain yang mengeluarkan kartu pos bergambar hotel tersebut adalah Penerbit Visser & Co. tahun 1910. Dua kartu posnya menggambarkan aktivitas orang-orang di hotel dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda.

Tak jauh dari Hotel des Indes, Societeit de Harmonie gagah berdiri. Klub mewah itu juga menjadi objek kartu pos semasa Hindia Belanda. Kartu pos Harmonie terbitan HM van Dorp & Co. tahun 1899 menampilkan gambar dengan angle menarik, sebuah ironi tampil dengan gamblang di mana di depan kemegahan Harmonie berjejer babu cuci dan tukang perahu yang tentunya bukan berasal dari kelas orang-orang yang bisa kongkow-kongkow di societeit tersebut. Bersama des Indes dan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen, Societeit de Harmonie menjadi objek kartu pos bergambar pertama yang mengabadikan Batavia. Ketiganya terbit bersamaan pada 1893.

Penetapan pemerintah kolonial bahwa kartu pos bergambar diterbitkan pihak swasta membuat banyak penerbit dan percetakan lalu menerbitkan kartu pos di luar perusahaan-perusahaan besar macam KPM. Mereka membuat kartu pos dengan beragam gambar, terlebih ketika era fotografi sudah masuk. Penerbit-penerbit kartu pos di Batavia antara lain G. Kolff & Co., Van Dorp & Co. (Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung), Visser & Co. (Batavia, Buitenzorg, Bandung), Loa Pong Seng & Co. (Weltevreden dan Meester Cornelis), dan Tio Tek Hong (Batavia). Tek Hong yang berada di Pasar Baru mengeluarkan kartu pos bergambar Batavia dan Buitenzorg. Harga jual kartu pos-kartu posnya mulai lima sen hingga 75 sen.

Sebuah keluarga Betawi pada kartu pos yang terbit sebelum tahun 1906. (Koleksi Olivier Johannes Raap).

Banyaknya penerbit kartu pos di Batavia dan banyaknya kartu pos yang mengambil objek kota tersebut erat kaitannya dengan keputusan pemerintah yang menjadikan Batavia sebagai destinasi wisata favorit Hindia Belanda. “Sehingga apabila Batavia menjadi kota terbanyak yang diabadikan sebagai objek kartu pos sepertinya wajar,” kata Achmad. Sebagai kota besar, Batavia punya kompleksitas tinggi. Orang dari berbagai tempat dengan latar belakang budaya masing-masing datang ke kota yang dibangun Jan Pieterszoon Coen itu.

Kartu pos-kartu pos yang mengabadikan Batavia umumnya tak menyuguhkan pemandangan alam. Dinamika kota dan masyarakatnya, yang juga mencakup modernitas, justru lebih banyak dihadirkan. Kartu pos tentang perempuan yang mengenakan kain dan penutup dada atau kain saja, misalnya, menceritakan dinamika sosial yang ada di Batavia. Para perempuan dengan pakaian seperti itu kala itu merupakan tunasusila. Mereka muncul tak semata karena dorongan pribadi, tetapi juga imbas dari modernisasi yang akan memakan siapapun yang tak siap mengikuti alurnya.

“Kartu pos-kartu pos tentang para perempuan tunasusila yang mengenakan kain dan penutup dada atau kain saja dicetak sebagai ‘kartu-kartu bisnis’ dan untuk koleksi-koleksi pornografi,” tulis buku Outward Appearances yang dieditori Henk Schulte Nordholt dan M. Imam Aziz.

Selain perempuan tunasusila, gambaran sosial lain yang umum diabadikan oleh kartu pos adalah pemadat. Mereka juga korban pembangunan dan modernisasi yang terus maju tanpa menghiraukan siap-tidaknya elemen-elemen yang ada di dalamnya. Kartu pos lain, bergambar para penatu (pencuci pakaian) di pinggir sungai. Ia, bercap pos tahun 1932, tak hanya menggambarkan aktivitas sosial di Batavia yang kala itu masih umum mencuci di bantaran kali. Lebih jauh, ia menggambarkan salah satu sumber mata pencaharian inlander di tengah kota besar yang terus bertumbuh. Dalam Guide Through Netherlands Indies (1903) disebutkan bahwa para tukang cuci itu umumnya pria, mereka pasang tarif 5–10 sen per pakaian.

Gambar dari foto-foto berfungsi untuk memuaskan fantasi kolonial orang Barat akan “otherness” atau dunia pinggiran yang mereka pelihara. “Tujuannya sebenarnya tentu adalah meyakinkan para calon turis bahwa mereka akan mengunjungi Tropical Holland di Asia,” kata Achmad.

“Dalam bentuk dan konteks ini, gambar pemandangan merupakan alat ampuh bagi pendidikan dan propaganda, berguna untuk membentuk memori, patriotisme, dan perilaku konsumtif,” tulis Susie.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66067b7302c7526195036c86