PADA 2007, ketika mengunjungi Istanbul, saya mendapat buku Emerald Hills of the Heart: Key Concepts in the Practice of Sufism. Buku yang dikarang ulama besar Turki Fethullah Gülen itu, mengupas kata-kata kunci dalam tasawuf dan penjelasan yang cukup mudah dimengerti. Bagi saya, buku demikian segera mengingatkan pada karya klasik Hamka, Tasauf Modern (ejaan yang tetap dipertahankan dalam buku itu tasauf, bukan tasawuf).
Sufisme, menurut Gülen, bermakna transformasi yang mengarahkan kehendak individu sesuai kehendak-Nya. Selain itu, sufisme merupakan upaya berkelanjutan membersihkan diri dari yang buruk dalam rangka memperoleh kebajikan. Karenanya, tasawuf merupakan jalan untuk memperoleh “kualitas malaikat dan bertabiat di jalan Tuhan”, hidup sesuai dengan persyaratan pengetahuan dan kasih Allah dan dalam kenikmatan spiritual yang dihasilkannya. Sebagaimana Hamka, bagi Gülen, sufisme tidak terpisahkan dari syariat.
Dalam Tasauf Modern (1939), Hamka bertutur tentang bahagia dan kebahagiaan, tema yang tidak lekang waktu. Apa yang tersaji di buku itu berasal dari kolom-kolomnya dalam rubrik “Tasauf Modern” majalah Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan. “Karena banyak permintaan pembaca,” catat Hamka, “kemudian dijadikan buku”. Dalam pengantar cetakan pertamanya, Hamka menjelaskan bahwa, “tasauf modern itu, kita maksudkan ialah keterangan ilmu tasauf yang dipermodern.”
Karenanya, bagi Hamka, tasawuf merupakan sesuatu yang tidak mengawang-awang, sehingga tidak bisa menyentuh kehidupan modern. Dia ingin memopulerkan tasawuf, justru untuk konsumsi manusia modern yang bergumul dalam aktivitas keseharian, untuk semua profesi, dan tanpa harus didekati melalui praktik ritual kebatinan yang aneh-aneh. Dalam konteks inilah menurut peneliti “Islam Jawa” Simuh (1988), Hamka telah melihat relevansi antara sufisme dengan kehidupan dunia modern dengan mengambil iktikad atau semangatnya saja, tetapi meninggalkan mistik yang lazim kurang begitu disetujui karena dianggap bisa mengaburkan syariat.
Dengan memperkenalkan “ilmu tasauf yang dipermodern” itulah, Hamka berikhtiar menyajikan khasanah, apa yang disebut Muhammad Damami (2000) “tasawuf positif ”, yang justru bisa menjadi inti semangat kemajuan. Benang merah pandangan dan sikap Hamka sedemikian, dipertegas kembali melalui bukunya yang terbit kemudian pada 1952, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad.
Apa yang dilakukan Hamka, sengaja atau tidak, merupakan jawaban tersendiri atas hiruk-pikuk “Polemik Kebudayaan” yang dipicu oleh gagasan Sutan Takdir Alisjahbana pada dekade 1930-an. Hamka memang tak ikut berpolemik, tetapi melalui rubrik “Tasauf Modern”, sesungguhnya ia tengah bersikap bahwa Islam, bahkan dengan tradisi tasawufnya, bisa menjadi pemicu kemajuan.
Di sisi lain, sebagaimana disinyalir M. Dawam Rahardjo (1994), Tasauf Modern Hamka sengaja atau tidak juga mengantisipasi, “pembahasan-pembahasan tentang soal-soal kesucian batin yang tadinya disangka hanya dapat dijumpai dalam teosofi.” Di sinilah letak keistimewaan Hamka, ketika ia mengambil terobosan memakai pendekatan tasawuf dalam menyerukan Islam.
Hamka berani memasuki wilayah tasawuf dan filsafat yang penuh ranjau dari segi keimanan. Dia berupaya menjinakkan tasawuf dan filsafat dengan caranya sendiri.
Pandangan-pandangan Hamka yang dalam kategori Nurcholish “Neo-sufisme” tetapi pro-kemajuan itu, selaras dengan gagasan-gagasan gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Hamka memang aktif di Muhammadiyah. Di usia muda, ia merantau ke Jawa, ke Yogyakarta, menimba ilmu secara informal kepada tokoh-tokoh Islam terkemuka dari H.O.S. Tjokroaminoto hingga A.R. Sutan Mansur.
Menurut M. Dawam Rahardjo, dalam menimba ilmu, Hamka “memilih diskursus yang lebih bebas”, serta “tidak hendak membatasi dirinya dalam ilmu kalam atau ilmu akhlak yang tradisional, demi menjaga kemurnian doktrin Islam”, tetapi, “dia berani memasuki wilayah-wilayah tasawuf dan filsafat yang penuh ranjau dari segi keimanan itu”. Dari sana, Hamka tampak berupaya keras untuk “menjinakkan tasawuf dan filsafat, dengan caranya sendiri”.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid (1983) mengapresiasi ikhtiar Hamka dalam memopulerkan tasawuf, yang justru di kalangan Muhammadiyah seringkali diposisikan secara dilematis, bahkan seringkali tenggelam oleh doktrin TBC alias Tahayul, Bid’ah dan Churafat (ejaan lama dari Khurafat). Bagi Wahid, melalui Tasauf Modern, Hamka mengembalikan kedudukan tasawuf sebagai wahana peribadatan yang mendekatkan seorang muslim dan Allah, dengan memisahkannya dengan ekses-ekses yang terjadi dalam penerapannya. Hamka, bagi Wahid, sangatlah besar jasanya dalam mengembangkan sikap asketik atau apa yang disebut Mitsuo Nakamura sebagai “akhlak tasawuf ” dalam kehidupan warga Muhammadiyah dan gerakan-gerakan pembaruan modernis lainnya.
Hamka memberikan pemaknaan kritis terhadap konsep-konsep tasawuf yang melemahkan muslim, sebagai bukan pembawaan Islam. “Semangat Islam,” catatnya, “ialah semangat berjuang. Semangat berkorban, bekerja, bukan semangat malas, lemah paruh dan melempem”. Karenanya, melalui Tasauf Modern, Hamka mengutarakan maksudnya untuk “menegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan kesentosaan diri”.
Dalam kerangka itu, Hamka mensinyalir demokrasi pun dapat dibungkus dengan akhlak tasawuf, bahwa “Kian lama bentuk pemerintahan kian maju. Dari sewenang-wenang telah meningkat kepada demokrasi. Tetapi demokrasi menjadi ‘besar bungkus tak berisi’. Sebab pemerintahan yang rendah mutunya, adalah cermin demokrasi dari bangsa yang juga bermutu rendah”. Jadi, pemerintah yang rendah mutunya, rendah pula akhlak tasawufnya. Karena itulah, Hamka pernah membuat syair, “Runtuh budi, runtuhlah bangsa”.
Tasauf Modern diawali dengan uraian Hamka tentang keimanan, beberapa kata kunci relevan yang dikaitkan dengan bahagia dan kebahagiaan, termasuk bagaimana menyikapi harta. Bahwa tidak ada jaminan bahwa orang yang hartanya, bisa membuatnya menjadi bahagia. Harta tidak dapat dipakai untuk menawar takdir kematian seseorang. Dalam Tasauf Modern, Hamka menguraikan betapa orang paling kaya Rockefeller dengan “uang yang bermilyar sebanyak aliran minyak tanah Socony itu” pun tidak dapat menawar Tuhan untuk menggenapkan usia kematiannya dari 97 ke 100 tahun. Dalam kalimat Hamka, “Tahun 1937 itu dia mati juga, tak dapat ditebusnya kekurangan yang tiga tahun itu dengan uang bermiliyar itu!”
Hamka juga mengisahkan absurditas manusia, misalnya ketika ia tinggal di Makassar pada 1932, ada sebuah rumah bernama “Rumah 100 ribu”, lantaran sang pemilik menang lotere Rp100.000. Lalu dia beristeri empat. Pun membeli “sebuah kereta indah dan mahal”. Tetapi hanya empat tahun saja semuanya habis: uang, kereta, pun “isteri keempat-empatnya lari” dan rumahnya. Si pemenang lotere kembali kepada keadaannya semula, bahkan “utangnya 55 sen pada sebuah toko pada 1928 sampai 1932 belum juga terbayar”.
Uraian Hamka tak lepas dari rupa-rupa masalah hidup untuk dicarikan rujukannya pada agama. Ia pun dikenal sederhana. Salah satu edisi majalah Tempo pada 1981 mencatat, “agaknya untuk pertama kalinya hidup gambaran seorang ulama besar yang begitu dekat dengan kalangan yang begitu ‘sangat umum’, yang bukan santri, yang seakan baru mengenal Islam untuk pertama kalinya. Mereka ini, ditambah separuh kalangan santri sendiri yang di masa ini ‘tak punya bapak’, memang benar-benar ‘anak-anak Hamka’.”*
Penulis adalah dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Penulis buku “HAMKA dan Bahagia”.
Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015