Jalan Berliku Trem di Nusantara

Berawal dari kepentingan kolonialisme, trem melaju melewati zaman. Hindia Belanda menjadi negeri Asia pertama yang memiliki trem. Pemerintah Indonesia kemudian menghapuskannya.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Jalan Berliku Trem di NusantaraJalan Berliku Trem di Nusantara
cover caption
Trem bertuliskan slogan "Up! Republic Indonesia" di Jakarta tahun 1950. (KITLV).

NUN jauh di bumi belahan barat, penulis Belanda S.A. Reitsma dan istrinya sedang menikmati perjalanan darat menuju Praha, Ceko. Mereka menumpang kereta Balkan Express. Kala itu, Oktober 1933, parlemen Ceko sedang reses. Gerbong tempat Reitsma berada dipenuhi politisi parlemen yang sedang tur bareng. 

Reitsma merasa perjalanan ini membosankan. Matanya kemudian tertumbuk pada sebuah koran milik penumpang lain. Ya, membaca mungkin bisa mengusir jenuh. Dia pun meminta izin untuk meminjam koran tersebut. Segera koran itu berpindah tangan; sebuah koran pagi terbitan 4 Oktober 1933. 

Reitsma membolak-balikkan halaman koran. Tak ada berita menarik. Rasa jenuh kembali menyergap. Namun, tiba-tiba, matanya tertahan oleh sebuah berita. “Perhatianku segera tertuju pada Kronik Hindia di lembar ketiga, aku membaca: ‘Trem Uap Batavia Berlistrik’. Mulai beroperasi pada 1 Oktober,” tulis Reitsma dalam artikel “Over de Bataviasche Stadstram”, dimuat di Tropisch Nederland, 27 November 1933. 

Ingatan Reitsma langsung melayang ke masa lalu. Trem menjadi bagian dari sistem transportasi modern di beberapa kota di Hindia Belanda lebih dari setengah abad saat Reitsma membaca artikel itu. Pemerintah kolonial membangunnya guna menunjang perekonomian.

NUN jauh di bumi belahan barat, penulis Belanda S.A. Reitsma dan istrinya sedang menikmati perjalanan darat menuju Praha, Ceko. Mereka menumpang kereta Balkan Express. Kala itu, Oktober 1933, parlemen Ceko sedang reses. Gerbong tempat Reitsma berada dipenuhi politisi parlemen yang sedang tur bareng. 

Reitsma merasa perjalanan ini membosankan. Matanya kemudian tertumbuk pada sebuah koran milik penumpang lain. Ya, membaca mungkin bisa mengusir jenuh. Dia pun meminta izin untuk meminjam koran tersebut. Segera koran itu berpindah tangan; sebuah koran pagi terbitan 4 Oktober 1933. 

Reitsma membolak-balikkan halaman koran. Tak ada berita menarik. Rasa jenuh kembali menyergap. Namun, tiba-tiba, matanya tertahan oleh sebuah berita. “Perhatianku segera tertuju pada Kronik Hindia di lembar ketiga, aku membaca: ‘Trem Uap Batavia Berlistrik’. Mulai beroperasi pada 1 Oktober,” tulis Reitsma dalam artikel “Over de Bataviasche Stadstram”, dimuat di Tropisch Nederland, 27 November 1933. 

Ingatan Reitsma langsung melayang ke masa lalu. Trem menjadi bagian dari sistem transportasi modern di beberapa kota di Hindia Belanda lebih dari setengah abad saat Reitsma membaca artikel itu. Pemerintah kolonial membangunnya guna menunjang perekonomian. 

Kuda Gigit Besi

Kisah trem bermula dari daratan Britania. Pada 1807, perusahaan Swansea and Mumbles mengoperasikan trem untuk mengangkut penumpang antara kota Swansea dan Oystermouth di Wales Selatan. Sekalipun menggunakan rel, rangkaian gerbong yang lebih mirip gerobak beratap itu ditarik kuda. Tak butuh waktu lama bagi trem untuk merambah kota-kota di Eropa dan Amerika. Beberapa dekade kemudian, giliran penduduk kota-kota di Asia menikmati trem. Hindia Belanda adalah negeri Asia pertama yang memiliki trem, yakni pada 1869. 

Di Hindia Belanda, sejumlah perusahaan swasta mengajukan izin untuk membangun jalur trem dan mengoperasikannya. Setelah menimbang, pada 6 Desember 1867, pemerintah memberikan izin (konsesi) kepada perusahaan Dummler & Co. di Batavia atau lebih dikenal sebagai Bataviasche Tramweg Maatschappij (BTM) –kemudian berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Tramweg Maatschappij (NITM). Menurut konsesi tersebut, NITM diizinkan membangun jalur trem dan mengoperasionalkan trem antara Kota hingga Meester Cornelis (kini Jatinegara). 

Banyak kuda yang pingsan dan kemudian mati kelelahan karena mengangkut puluhan penumpang dengan gerbong.

Dimulailah proses pembangunan. Semua perlengkapan didatangkan langsung dari Eropa. Jalur trem selesai pada 4 September 1869. Ia menghubungkan Gerbang Amsterdam dekat stadhuis (kini Museum Sejarah Jakarta), Glodok, Molenvliet (Jalan Gadjah Mada), Harmonie, Noordwijk (Jalan Veteran), Waterloo Plein (Lapangan Banteng), Senen, Salemba, Matraman, Jatinegara, dan Kampung Melayu. 

Setelah rel terpasang, trem siap beroperasi. Untuk menggerakkan gerbong, butuh 3–4 ekor kuda. Agar kuda bisa dikendalikan, mulut kuda dipasangi besi melintang yang kedua ujungnya ditambatkan ke tali kendali. Itulah kenapa, tulis Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi, masa itu disebut “zaman kuda gigit besi”. Namun, dalam kondisi minimnya sarana transportasi, penggunaan trem kuda sebagai moda transportasi massal tetap diperhitungkan. Ia juga efisien karena biaya operasionalnya lebih murah. Kuda hanya butuh rumput. Namun, penggunaan kuda bukan tanpa kendala. 

“Pemerintah kota kala itu direpotkan oleh kuda-kuda yang buang air dan kencing di jalan-jalan yang dilaluinya. Selain itu juga banyak kuda yang pingsan dan kemudian mati kelelahan karena mengangkut puluhan penumpang dengan gerbong,” tulis Alwi Shahab. Mengutip Historical Review 1904 karya Weyerman, Reitsma menulis bahwa pada 1872 saja sedikitnya 545 kuda mati. 

Trem tenaga kuda pernah beroperasi di Solo antara 1892-1900. (Ohannes Kurkdjian/KITLV).

Tersingkirnya Kuda 

Masa trem kuda tak berlangsung lama. Trem uap muncul dan populer di berbagai penjuru dunia karena lebih efektif dan efisien. Kuda digantikan dengan lokomotif bertenaga uap. Tak mau menunggu lama, Dutch East Indian Steamtram Company (DEISC) –kelanjutan dari NITM setelah berubah nama– mendatangkan lokomotif dan mengoperasikan trem uap pada 1881. Perusahaan itu melayani penumpang setiap hari mulai pukul 06.00 hingga 19.00. 

Dengan lokomotif, perjalanan jadi lebih cepat. Ia juga bisa menarik lebih banyak gerbong sehingga memperbesar daya angkut. Perlahan kuda tersingkir dan trem uap menjadi moda transportasi pilihan utama. Namun, keluhan pun muncul. Terutama menyangkut meningkatnya angka kecelakaan. Salah satu langkah ditempuh: laju trem dikurangi. 

Namun, siapa bisa mengelak dari kemajuan. Dengan cepat pula DEISC bisa mengembangkan bisnis. “Dalam tahun 1909, jalur-jalur trem di kota itu (Batavia, red.) sudah sepanjang 14 kilometer,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land. Tak lama kemudian DEISC membangun empat jalur trem baru, seperti Harmonie-Tanah Abang dan Kota-Menteng. 

Jalur-jalur trem juga dibangun di kota-kota lain di Jawa dan kemudian Deli di Sumatra, baik untuk kepentingan mengangkut penumpang maupun hasil perkebunan dan pertambangan. 

Di Semarang, Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) mendapat konsesi untuk membangun jalur trem antara Semarang dan Juwana pada 1879. Setelah pembangunan selesai pada 1881, trem mulai beroperasi setahun kemudian. Setelah itu, SJS membangun jalur trem dalam kota dan luar kota. Di dalam kota, jalur Jurnatan-Jomblang (menyusuri tepi Jalan MT Haryono sekarang) menjadi yang pertama beroperasi, disusul kemudian Jurnatan-Bulu. Sedangkan jalur luar kota: Semarang-Juana, Kudus-Mayong, Demak-Purwodadi-Blora, dan Purwodadi-Gundih. Pada 1895, perusahaan lain bernama Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) membangun jalur Semarang-Cirebon untuk mengangkut hasil industri gula dari 54 pabrik di daerah antara Semarang dan Cirebon. 

Di Surabaya trem sudah beroperasi sejak 1889. Ooster Java Stoomtram Maatschappij (OJS) mendapatkan konsesi pada 1886. Trayek OJS meliputi Ujung-Sepanjang, Mojokerto-Ngoro, dan Gemekan-Dinoyo.

Ketika trem uap dikembangkan di luar Batavia, trem listrik diperkenalkan di Hindia Belanda. Trem listrik pertama diperkenalkan di Berlin, Jerman, pada 1881. Batavia Electrische Tram-Maatschappij (BETM) mengoperasikannya pada 1899 dengan melayani lima jalur. Kehadiran trem listrik tak menghapus keberadaan trem uap namun ia segera menarik minat orang. Menurut Jaarveslag BETM yang terbit tahun 1911, di Batavia tahun 1909, dalam satu bulan, di jalur-jalur trem listrik, sebanyak 10.404 penumpang bepergian dengan kelas utama, 72.623 di kelas dua, dan 255.197 di kelas tiga. 

Dalam pengadilan, trem selalu dibenarkan karena peraturan lalu lintas memberikan voorrang (prioritas) kepada trem.

Perkembangan teknologi kembali mengubah wajah trem. Lokomotif model baru, yang memiliki mesin penghasil uap sendiri, mulai menggantikan lokomotif model lama yang hanya punya ketel penyimpan uap. Lokomotif model lama mempunyai banyak kelemahan. “Sistem ini tak sempurna, karena trem sering mogok karena kehabisan uap di tengah jalan, terutama pada jalan-jalan yang agak mendaki,” tulis Star Weekly, 29 Maret 1960.

Namun, BETM mengalami kegagalan. “Sebabnya ialah karena tak menguntungkan,” tulis Star Weekly. Pada 1930, Batavia Electrische Tram-Maatschappij (BETM) kembali menancapkan kuku-kukunya dengan mengoperasikan trem listrik. Kali ini BETM lebih optimis karena banyaknya keluhan terhadap trem uap. 

BETM kemudian merger dengan DEISC/NITM menjadi Bataviaasche Verkeer Maatschappij (BVM) pada 1933. Sejak itu, trem listrik menggantikan peran trem uap di Batavia. Di Surabaya, trem listrik dalam kota sudah dioperasikan OJS pada 1920-an dengan jalur sepanjang 19 km. 

Tapi trem listrik tak lantas tancap gas. Muncul penolakan terhadap pengoperasiannya. Salah satu sebab utamanya, keuangan pemerintah sedang payah akibat malaise (krisis ekonomi), yang dalam istilah orang Betawi disebut “zaman meleset”. Krisis ekonomi itu ternyata bukan hanya berdampak pada pemerintah. Perusahaan swasta terkena imbasnya. Beberapa perusahaan swasta kolaps, termasuk perusahaan trem. “Sekarang adalah masa malaise dan persaingan dengan mobil,” tulis Reitsma. 

Karenanya, sejak 1934, Staad Spoorwegen, badan perkeretaapian pemerintah, mengambil alih semua operasional trem. 

Di Batavia, trem listrik menjadi “penguasa” di jalan-jalan Batavia. Para masinisnya melarikan trem secepat mungkin karena bila telat taruhannya potong gaji. Tak ada kendaraan yang berani melintang di jalannya. Bila ada yang nekat, siap-siap saja celaka diterjang trem. “Dalam pengadilan, trem selalu dibenarkan karena peraturan lalu lintas memberikan voorrang (prioritas) kepada trem,” tulis Star Weekly.

Namun, trem tetaplah simbol dominasi orang kulit putih dan kuning, yang bisa naik di gerbong kelas satu. Penumpang bumiputra hanya boleh naik kelas dua di gerbong khusus –di masa trem uap dipisahkan sekat. Tak heran bila banyak bumiputra membenci trem. Di Batavia, kebencian itu ditunjukkan dengan mempelesetkan singkatan NITM menjadi “Naek Ini Trem Mampus”. 

Trem uap Semarang Joana Stoomtram Maatschappij melintas di Jalan Bojong (kini Jalan Pemuda), Semarang tahun 1920-an. (Tropenmuseum).

Terkubur di Bawah Aspal

Trem memasuki masa senja di masa pendudukan Jepang. Situasi perang membuat operasional trem terbengkalai. Semangat kemerdekaan menggerakkan para pemuda untuk merebut dan menguasai sarana-sarana penting, termasuk trem. Lalu rakyat jelata berjejalan di dalam trem. Kemerdekaan berarti bebas naik trem. Tak ada lagi diskriminasi. Tak perlu bayar. Trem juga menjadi wahana penyampaian pesan kemerdekaan. 

“Trem-trem listrik dengan penuh slogan-slogan dan propaganda kemerdekaan dengan sabarnya mondar-mandir dari bagian-bagian kota yang diduduki Sekutu dan daerah Republik,” tulis Star Weekly

Trem kembali bergeliat pada 1950-an di bawah pengelolaan Djawatan Kereta Api. “Meskipun lajunya lambat, tapi sangat murah dan populer di kalangan masyarakat sehingga selalu penuh sesak,” ujar Ella Ubaidi, Executive Vice President Unit Pusat Pelestarian, Pemugaran, dan Arsitektur Design PT KAI. Masyarakat kelas menengah ke bawah dan pedagang lebih memilih trem ketimbang angkutan umum lain. Trem lebih praktis lantaran tak perlu gonta-ganti angkutan (menyambung). “Ironisnya, kondisi itu justru menjadikan trem selalu merugi karena banyak penumpang yang tidak membayar,” sambung Ella. 

Buruknya manajemen pengelolaan membuat trem kian tak layak jalan. Perawatan minim, peremajaan nihil. Banyak gerbong sudah tua dan tak bisa dipergunakan lagi. Trem juga sering mogok akibat matinya pasokan listrik. 

Meskipun lajunya lambat, tapi sangat murah dan populer di kalangan masyarakat sehingga selalu penuh sesak.

Gagasan menghapuskan trem pun muncul. Presiden Sukarno menganggap trem tak sesuai dengan citra kota modern, karena tidak berada di bawah tanah. Masalahnya, pemerintah tak punya dana untuk membangun sistem transportasi kereta api bawah tanah di Jakarta. Bahkan tak cukup dana untuk menyelamatkan rel, sehingga banyak rel trem yang lama terkubur di bawah aspal. “Usaha-usaha saya untuk mempertahankan lintasan Jatinegara-Matraman dan Kramat ke Senen sebagai urat nadi perdagangan kecil tidak berhasil,” ujar Sudiro dalam Karya Jaya

Walikota Sudiro akhirnya setuju soal penghapusan trem asalkan ada gantinya: bus. Beruntung ada bantuan dari Kolombo berupa bis diesel yang kemudian dinamakan Rentjana Kolombo. 

Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) menjadi pihak yang paling keras menyokong gagasan tersebut. PPD didirikan sebagai konsekuensi pengambilalihan Batavia Verkeer Matchappij (BVM), yang juga mengoperasikan trem listrik. Kala itu PPD masih menangani operasional trem listrik dengan jalur Jatinegara-Kramat-Sawah Besar-Kota, Tanah Abang-Harmoni-Kota, dan Tanah Abang-Menteng-Kramat. Namun, baru dua tahun berjalan, Walikota Sudiro menghapus trem pada 1962. 

Di kota lain, nasib trem juga sama. Surabaya mengakhiri operasional tremnya pada akhir 1970-an. Semarang sudah jauh lebih dulu, tahun 1940. 

Perlahan trem mulai menghilang dari ingatan. Gerbong-gerbongnya lapuk dimakan karat atau jadi rongsokan. Relnya tertimbun di bawah aspal jalan-jalan kota yang terus dibangun. Trem tinggal sejarah. 

Siswa sekolah di Surabaya menggunakan trem sebagai sarana kegiatan tahun 1925. (KITLV).

Menggali Kubur Trem

Ketika Jakarta dirundung kemacetan, muncul gagasan untuk membuat moda transportasi massal yang bisa diandalkan. TransJakarta kemudian jadi pilihan. Namun, kritikan masih kerap menghampiri. Jalur TransJakarta (busway) yang memakan badan jalan dianggap justru memperparah kemacetan, sementara tujuan agar warga kota meninggalkan kendaraan pribadi belum mencapai sasaran. Jakarta masih macet total! 

Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) pun melontarkan gagasan menghidupkan kembali trem. Trem dianggap jauh lebih cocok untuk moda transportasi massal dalam kota. Trem punya keunggulan dibandingkan monorail yang sempat dikembangkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Proyek trem jauh lebih murah. Trem hanya memerlukan biaya pemasangan rel, sementara monorail perlu biaya pembangunan rel sekaligus tiang penyangganya. Selain itu, tak seperti monorail, trem tak butuh waktu berhenti lama dan bisa berhenti sembarang. “Hampir di setiap tempat dia bisa berhenti, bahkan ketika lampu merah dia bisa berhenti,” ujar Achmad Izzul Waro, pakar transportasi DTKJ. 

Untuk tahap awal, lanjut Izzul, DTKJ mengusulkan jalur trem dibangun di jalur TransJakarta koridor I (Blok M-Kota). Biaya pembangunannya bisa lebih hemat karena pemprov tak perlu membebaskan lahan. “Kebetulan kita ada referensi dari beberapa kota di dunia yang mengkombinasikan antara trem dan bus.” 

Upaya menghidupkan kembali trem memang masih sebatas gagasan. Di samping mendukung kebijakan pembangunan transportasi Pemprov DKI Jakarta, DTKJ juga bakal lebih keras memajukan gagasannya. “Jadi kami masih wait and see,” ujar Izzul. Belakangan Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk membangun MRT (Mass Rapid Transit) yang mulai beroperasi pada 2019 dan LRT (Light Rail Transit) pada 2023.*

Majalah Historia No. 15 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6539e7fae780bd0d56a686e2