Kapten Raymond Westerling, komandan pasukan khusus Belanda. (groene.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
LIMA pasukan khusus terjun dari sebuah pesawat Sekutu dan langsung menginjakkan kaki di Medan. Tak lama setelah mereka menapak di bumi, parasut-parasut pembawa peti senjata dan logistik menyusul. Tapi satu parasut gagal mengembang. Komandan tim itu tampak resah. Acapkali dia memandangi langit. Tapi tak lama kemudian...braak! Suara peti jatuh menghunjam tanah dan terbelah. Lusinan rokok terburai.
“Aku menarik napas lagi,” ujar si komandan dalam memoarnya Challenge to Terror.
Komandan tadi adalah Raymond Westerling. Dia belum lagi berpangkat kapten dalam regu itu. Seorang perwira Inggris berpangkat kapten yang berada di dalam kelompok penerjun itu justru tak jadi komandan. “Karena pelatihan khusus dan kebangsaanku, akulah yang dipercaya mengomandani tim,” ujar Westerling.
LIMA pasukan khusus terjun dari sebuah pesawat Sekutu dan langsung menginjakkan kaki di Medan. Tak lama setelah mereka menapak di bumi, parasut-parasut pembawa peti senjata dan logistik menyusul. Tapi satu parasut gagal mengembang. Komandan tim itu tampak resah. Acapkali dia memandangi langit. Tapi tak lama kemudian...braak! Suara peti jatuh menghunjam tanah dan terbelah. Lusinan rokok terburai.
“Aku menarik napas lagi,” ujar si komandan dalam memoarnya Challenge to Terror.
Komandan tadi adalah Raymond Westerling. Dia belum lagi berpangkat kapten dalam regu itu. Seorang perwira Inggris berpangkat kapten yang berada di dalam kelompok penerjun itu justru tak jadi komandan. “Karena pelatihan khusus dan kebangsaanku, akulah yang dipercaya mengomandani tim,” ujar Westerling.
Regu pasukan khusus itu bertugas “membuka jalan” bagi pendaratan pasukan Sekutu. Perang Dunia II baru saja usai. Sesuai kesepakatan Perjanjian Potsdam di Berlin 2 Agustus 1945, Sekutu akan melucuti dan merepatriasi balatentara Jepang dan mengambil alih wilayah-wilayah yang dikuasainya. “Tentara Sekutu pertama yang masuk Sumatra setelah kapitulasi Jepang adalah tim yang terdiri dari lima penerjun payung yang diterjunkan di Medan, di utara Sumatra Timur, untuk mempersiapkan jalan bagi pendaratan Sekutu,” kata Westerling.
Westerling terlihat sangat menikmati penugasannya. Dalam memoarnya, dia menyanjung keindahan Medan dan sekitarnya. “Saya mendapati Medan merupakan tempat yang menarik, dengan vila-vila tampan yang terhampar di taman-taman bunga brilian,” kenangnya.
Maklum, itu adalah penugasannya pertama kali setelah beberapa kali gagal dikirim ke front terdepan pertempuran pada Perang Dunia II di daratan Eropa. Setelah mengikuti serangkaian pendidikan komando di Skotlandia, Westerling berangan-angan ikut bertempur di medan terdepan melawan Nazi Jerman. Namun tugas datang bukan untuk berperang, melainkan menjalankan peralihan kekuasaan setelah perang mereda.
Setelah didahului oleh pasukan khusus di bawah komando Westerling, rombongan tentara Sekutu yang dipimpin Brigjen T.E.D. Kelly resmi tiba di Medan pada 9 Oktober 1945. Rombongan tentara Sekutu itu terdiri dari satu unit artileri, satu unit administrasi, satu unit resimen Punjab, satu brigade infanteri India, dua resimen Rajput, dan dua unit Frontier Force Rifles. Jumlah pasukan Sekutu di Medan bertambah seiring kedatangan rombongan kedua pada 5 Januari 1946.
Hadirnya pasukan Sekutu ternyata membawa dampak besar terhadap orang-orang Belanda di Medan. “Kedatangan tentara Sekutu yang dianggap akan melindungi orang Belanda, membuat orang Belanda menjadi berani mengadakan provokasi,” tulis Tengku Luckman Sinar dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Luckman seorang sejarawan sekaligus keluarga bangsawan Kesultanan Deli yang terkena dampak revolusi sosial di Sumatra Timur pada 1946.
Kontraspionase
Hotel Inna Dharma Deli hingga kini masih berdiri megah di jantung kota Medan. Meski ada tambahan, bagian asli hotel yang berdiri pada 1898 itu masih utuh. Hotel yang dulunya bernama Mijn De Boer itu lebih akrab disebut Hotel De Boer, hotel papan atas yang pernah disambangi Raja Leopold II dari Belgia ketika berkunjung ke Medan.
Di hotel itu Westerling menetap selama bertugas di Medan, sementara itu dia pun membentuk markas lain yang terletak di “Pension Wilhelmina” Jalan Bali (kini Jalan Veteran), 20 menit dari Hotel Inna Dharma Deli. Markas di “Pension Wilhelmina” itu digunakan oleh orang-orang Belanda mantan KNIL yang direkrut oleh Westerling untuk jadi bagian tentara NICA.
Semenjak tiba di Medan, Westerling langsung menjalin kontak dengan mantan tentara KNIL. Dia juga terlibat langsung membebaskan tawanan Belanda dan meredam gerilya dari pihak Republik. Selain Westerling, Letnan Brondgeest dan Letnan Claessens, dua perwira Belanda yang tiba bersama pasukan Sekutu, juga mengumpulkan mantan tentara KNIL untuk dijadikan tentara NICA. Menurut Luckman markas mereka terletak di Hotel Siantar, Pematangsiantar.
Westerling juga bertugas sebagai Kepala Dinas Kontraspionase Belanda di Medan. Tugasnya menyusun dinas rahasia yang wilayahnya meliputi setengah Pulau Sumatra. Sehari setelah tiba, Westerling langsung berkeliling. “Karena dia adalah petugas spionase, sehari-hari dia berpakaian biasa saja,” ujar Muhammad Tuk Wan Haria, veteran perang kemerdekaan, kepada Historia. Tuk Wan pernah melihat Westerling di Medan.
Untuk menguasai kota sebelum kedatangan pasukan Sekutu, Westerling membentuk polisi pribumi. Polisi pribumi bentukan Westerling, yang awalnya hanya berpersonel sedikit dengan persenjataan kurang, terus membesar seiring perekrutan dari kalangan warga lokal. Penyergapan-penyergapan terhadap para gerilyawan terus mereka lakukan. Itu terpaksa mereka lakukan karena permintaan senjata mereka kepada Jepang tak pernah dikabulkan.
“Pelucutan senjata tak langsung dari Jepang ini berjalan baik. Para teroris mendapatkan senjata dari Jepang dan kami mendapatkannya dari teroris,” kata Westerling.
Milisi Kontragerilya
Westerling memanfaatkan pihak-pihak yang berseberangan dengan Republik untuk mengamankan kota. Banyak penduduk yang direkrut jadi spion. “Aku punya mata-mata di kelompok-kelompok berbeda dan mereka melaporkan kepadaku keadaan yang sedang dipikirkan para bandit,” kata Westerling.
Berdasarkan informasi dari mata-mata itu pada suatu sore, menurut pengakuannya sendiri kepada seorang perwira Inggris yang ikut dalam rombongan pasukan Sekutu, Westerling pernah memasuki rumah seorang gerilyawan. Begitu si gerilyawan pulang, dia langsung menangkapnya, lantas memasukkannya ke kamar mandi dan memberinya makan. Tak perlu menunggu lama, Westerling menggorok leher gerilyawan itu hingga putus. Kepala gerilyawan nahas itu ditunjukkan kepada seorang perwira Inggris yang menemuinya di Hotel De Boer. “Ini bajingan, sudah aku bunuh,” ujar Westerling.
Aksi brutal bukan saja dilakukan oleh Westerling, tapi juga oleh anak buahnya, mantan tentara KNIL, yang tinggal di markas “Pension Wilhelmina”. Pada 13 Oktober 1945 seorang pemuda bernama Abdul Wahid Marbun dihajar serdadu KNIL lantaran enggan mencopot lencana merah putih di dadanya.
Sejarawan Medan Nasrul Hamdani mengatakan versi lain: Wahid tak mau mengikuti kemauan serdadu KNIL agar menelan emblem merah putih yang dikenakannya. Wahid berhasil lolos dan mengadu kepada pemuda-pemuda lain seperti L.F. Hutapea dan Abdul Manaf Lubis.
“Di hari itu juga, pemuda dan pedagang menyerang asrama Pensionan Wilhelmina,” ujar Muhammad TWH.
Ketika NICA menggantikan Sekutu, Pao An Tui semakin agresif. Tak semua warga Tionghoa senang dengan keberadaan PAT.
Saat bentrok terjadi, seorang di jip yang datang tiba-tiba menembaki para pemuda dan pedagang. Orang itu, menurut Muhammad TWH, adalah Westerling. Akibat konflik itu tujuh serdadu KNIL, seorang kapten bernama Groenenberg, dan dua orang berkebangsaan Swiss tewas. Korban luka-luka berjumlah 99 orang, termasuk tiga perempuan. Di pihak Indonesia, tak diketahui pasti. Minimal ada enam orang Aceh yang gugur. Setelah kejadian itu, Brigjen T.E.D. Kelly mengeluarkan maklumat 18 Oktober yang melarang rakyat memiliki dan menggunakan senjata api. Dalam maklumat yang sama Sekutu memerintahkan penyerahan senjata yang dimiliki gerilyawan. Situasi makin tak terkendali karena konflik makin sering terjadi.
Kalangan Tionghoa paling terkena dampak revolusi di Medan. Kecurigaan kaum Republiken kepada mereka begitu tinggi, hampir semua Tionghoa dicap sebagai mata-mata Belanda. Keadaan tersebut menimbulkan kecurigaan yang berlebihan kepada kalangan Tionghoa. Dalam risetnya, sejarawan Nasrul Hamdani mengatakan tak sedikit warga Tionghoa menjadi sasaran kejahatan atas nama patriotisme dan tuduhan jadi antek Belanda.
Kenyataan itu membuat Sekutu mengizinkan pembentukan Chinese Security Corps (CSC) atau yang disebut oleh Tionghoa Medan sebagai Pao An Tui (PAT) pada 1 Januari 1946. Milisi yang bermarkas di Hotel Wai Yat itu dipimpin Lim Seng, bekas pengurus Chung Hua Chung Hui di Medan. Fungsi PAT lebih sebagai peronda kampung dan hanya beroperasi di dalam garis demarkasi (Fixed Boundaries Medan Area). Namun, ketika NICA menggantikan Sekutu, PAT semakin agresif. Bersama-sama serdadu KNIL, milisi berkekuatan seribuan personel dan didukung Koumintang itu terus berpatroli dua-lima kali sehari untuk mencari gerilyawan. Di tiap sudut penting kota, berdiri satu pos yang menempati rumah-rumah warga Tionghoa.
Personel PAT kerap melakukan penggeledahan, termasuk ke toko-toko Tionghoa. Tak semua warga Tionghoa senang dengan keberadaan PAT. Mereka terkenal kejam terhadap Tionghoa kiri –untuk memastikan tak adanya gerilyawan yang bersembunyi di situ. Koordinasi dengan pasukan Belanda terus intensif. Dalam operasi di Deli Tua pada 11 Desember 1946 PAT menggeledah rumah-rumah penduduk sekaligus jadi interogator orang-orang yang ditangkap. Dalam penggeladahan itu, banyak anggota PAT yang merampas barang-barang penduduk. Para gerilyawan yang tertangkap, nyawa taruhannya. Belukar di Jalan Tempel, Deli menjadi tempat eksekusi sekaligus kuburan bagi penyusup dan pengacau.
Westerling sendiri beberapa kali melakukan pembunuhan terhadap gerilyawan-gerilyawan. Selain pernah menyembelih seorang gerilyawan di rumahnya, menurut pengakuannya sendiri, dia juga pernah menggorok leher gerilyawan bernama Terakan (kemungkinan bernama Tarigan, red.). Dia melakukannya setelah perwira Inggris menghampirinya dan mengatakan kalau pasukan Inggris dibuat pusing lantaran selalu gagal menangkapnya. Westerling bertaruh kalau dia bisa menyelesaikannya dalam 24 jam. Benar, setelah mendapati Terakan di gubuknya, pedang Westerling langsung menebas leher korbannya. Ada empat gerilyawan Republiken yang bernasib nahas di tangan Westerling.
“Dengan melakukannya, aku mengakhiri kejahatan mereka, yang memangsa ratusan korban tak berdosa,” kata Westerling.
Kekejaman NICA-PAT membuat banyak penduduk takut. Gubernur Sumatra Mr. Teuku Muhammad Hasan sejak awal keberatan dengan pendirian PAT. Dia menganggap PAT mengangkangi wewenangnya sebagai otoritas penjaga keamanan resmi. Bentrok PAT-NICA versus laskar pun sering terjadi. Pertempuran demi pertempuran terus terjadi sejak akhir Oktober 1945 sampai masa revolusi berakhir di tahun 1949.
Westerling sendiri sudah lebih dulu hengkang dari Sumatra. Sebelumnya, dia mengira bahwa tugasnya di Sumatra akan berakhir seiring mendaratnya pasukan Sekutu pada Oktober 1945, namun dia baru meninggalkan “Pulau Emas” itu pada 26 Juli 1946. Pesawat KNIL membawanya ke Jakarta. “Ini merupakan bagian paling menyenangkan dari [tugas di] Indonesia,” kata Weseteling.*