Partai Murba dihadapkan pada kegagalan konsolidasi partai dan perpecahan internal. Tapi pengaruhnya dalam pemerintahan perlahan naik. Siapkah bertarung melawan PKI?
Tokoh Partai Murba. Kanan-kiri: Djamaludin Tamin, Sjuaib, Adam Malik, Sumardo, Kamaludin, dan Abdul Hakim. (Repro Ayahku Maroeto Nitimihardjo).
Aa
Aa
Aa
Aa
KENDATI memainkan peran penting di seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia dan penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Peristiwa Madiun, orang-orang Murba tak jua mau terlibat dalam pemerintahan. Mereka konsisten menolak Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Setelah 1948, seperti sebelumnya, orang-orang yang memimpin Partai Murba menolak berpartisipasi dalam pemerintahan,” tulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Di parlemen, Murba terus menyuarakan tuntutan soal pencabutan Persetujuan KMB hingga penyitaan dan nasionalisasi semua milik Belanda. Murba juga beroposisi terhadap kabinet.
“Partai Murba tampil sebagai partai yang kurang penting,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5.
KENDATI memainkan peran penting di seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia dan penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Peristiwa Madiun, orang-orang Murba tak jua mau terlibat dalam pemerintahan. Mereka konsisten menolak Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Setelah 1948, seperti sebelumnya, orang-orang yang memimpin Partai Murba menolak berpartisipasi dalam pemerintahan,” tulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Di parlemen, Murba terus menyuarakan tuntutan soal pencabutan Persetujuan KMB hingga penyitaan dan nasionalisasi semua milik Belanda. Murba juga beroposisi terhadap kabinet.
“Partai Murba tampil sebagai partai yang kurang penting,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5.
Di internal, Murba yang dipimpin Sukarni berusaha memperkuat partai dan memperluas keanggotaannya. Dewan Partai menyiapkan organisasi di seluruh Indonesia. Utusan-utusan dikirim ke daerah untuk membentuk cabang. Sejumlah organisasi massa kemudian dibentuk. Majalah partai, bulanan Genderang Murba, diterbitkan Biro Agitasi dan Propaganda, yang didukung media-media sehaluan. Sejauh mana kekuatan Murba akan ditunjukkan dalam pemilihan umum 1955.
“Dalam hal ini prospeknya tidak menjanjikan,” tulis Poeze. Anggota partai naik dua kali lipat, menjadi 44.030 anggota dalam sembilan Komisariat Daerah dengan 143 cabang, sangat kurang dibandingkan dengan pertumbuhan PKI.
Sebagai ujian, pada 10-17 Agustus 1955, Murba menggelar Kongres Rakjat di Jakarta yang diikuti banyak partai politik. Semua resolusi, termasuk soal Irian Barat, mendapat persetujuan secara aklamasi. Suksesnya kongres memberi harapan akan hasil pemilu nanti.
Pesta yang Bikin Kecewa
Murba bersiap untuk pemilu. Nama-nama pimpinan teras partai masuk dalam daftar calon wakil partai di legislatif maupun Konstituante. Untuk meraup lebih banyak suara, Murba memasukkan nama-nama populer. Pencalonan Chairul Saleh, yang waktu itu masih di Jerman, tak menimbulkan keramaian. Tapi pencalonan Semaoen, tokoh PKI tua, memicu keributan di tubuh partai sekalipun. Tokoh yang baru kembali dari Moskow itu akhirnya batal menjadi calon.
Murba bersaing sengit dengan PKI di mana-mana. Menurut Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, “Kegiatan fokus partai itu terpusat pada proletariat di kota dan perkebunan, pada kelompok-kelompok pemuda dan veteran, serta pada kelompok pemberontak dan gerombolan bandit tertentu.”
Dalam kampanyenya, Murba menggelar kegiatan sosial, rapat umum, kursus-kursus, pertemuan umum disertai pidato, pertunjukan seni-budaya, hingga menempel poster. Salah satu terobosan yang tak dilakukan partai lain adalah, dalam kampanye, tokoh-tokoh Murba selalu mengunjungi taman makam pahlawan. Murba juga menyiapkan lagu untuk kampanye: “Mars Murba berdjuang” ciptaan Sri Artiningsih.
Pada hari-H, 29 September untuk pemilu legislatif dan 15 Desember 1955 untuk pemilu Konstituante, seluruh usaha Murba mendapat jawaban. Hasilnya mengecewakan: 199.588 suara (parlemen) dan 248.633 suara (Konstituante). Suara Murba mayoritas berasal dari Jawa Barat.
Jebloknya perolehan suara Murba didiskusikan dalam Sidang Pleno ke-5 Dewan Partai pada 11-13 Februari 1956. Kekalahan itu, menurut sidang, disebabkan antara lain adanya sifat meremehkan aksi-aksi reformasi dan parlementarisme, subjektivisme, dan sektarianisme. Akibat sektarianisme itu, tulis Poeze mengutip sidang, “Partai Murba hanya memusatkan perhatian pada organisasi buruh dan taninya sendiri, mengabaikan organisasi-organisasi buruh dan tani yang lain. Di samping itu massa hanya didekati dengan prinsip-prinsip politiknya sendiri, tidak dicari kaitannya dengan sikon (situasi dan kondisi) kehidupan massa dan mengabaikan pekerjaan praktis, seperti kursus-kursus pemberantasan buta huruf.”
Masalah yang sama, ditambah dengan konflik internal, menghinggapi perjalanan Murba. Praktis, Murba tak pernah menjadi partai besar. Kendati demikian, mereka mulai menanamkan pengaruhnya di kalangan militer dan kemudian Sukarno.
Mendekati Sukarno
Sejak awal Sukarno melontarkan gagasan Demokrasi Terpimpin, Murba memberikan dukungan penuh. “Demokrasi Terpimpin bagi Murba adalah kelanjutan logis daripada ‘Demokratis Sentralisme’ yang kami cetuskan waktu Murba didirikan,” tulis Adam Malik dalam otobiografinya Mengabdi Republik Jilid II.
Berkat dukungan itu, Murba diliirk Sukarno. Dalam Kabinet Djuanda, di mana Sukarno menjadi formaturnya, Murba mendapat tiga kursi kendati mereka duduk atas nama perorangan.
“Dengan adanya menteri di kabinet maka kelompok Murba dapat memasukkan ide-idenya langsung ke Bung Karno dan hubungan ini berlanjut menjadi lebih dekat,” tulis Hadidjojo dalam Ayahku Maroeto Nitimihardjo.
Kegaduhan politik yang berlarut-larut di Konstituante membuka jalan bagi Murba untuk memperkokoh posisinya. Dengan dukungan Murba dan militer, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Menurut Adam Malik, sejak Demokrasi Terpimpin, peranan partai politik tak punya arti lagi dalam kabinet maupun lembaga-lembaga pemerintah. Sejak itu pula Murba, bersama militer, menjadi kelompok terkuat dalam kabinet. Khusus untuk Murba, Malik menunjukkan data masing-masing empat wakil Murba dalam Kabinet Karya (Djuanda), Kabinet Kerja I, Kabinet Kerja IV, dan Kabinet Dwikora I.
Selain itu, tak bisa diabaikan, pelibatan wakil-wakil Murba dalam lembaga-lembaga lainnya, termasuk jabatan duta besar. Namun, konflik internal kian akut. Konflik mengemuka terutama antara Djamaludin Tamin dan Maramis, keduanya berasal dari Sumatra Barat dan anggota Dewan Partai.
Tamin menyerang “klik” Wasid Soewarto, Bambang Singgih, dan Maramis yang mengambil alih kekuasaan partai pada kongres tahun 1960 dan menentang veteran-veteran partai. Dia juga menuding klik itu hendak membawa partai seiring sejalan dengan PKI.
Padahal, Murba tengah bertarung untuk membendung PKI yang memuncak pada 1964. Dan dalam pertempuran itu, Murba berada di pihak yang kalah.*