Thomas Stamford Raffles. Ilustrasi: Awaludin Yusuf
Aa
Aa
Aa
Aa
5 JULI 1781, kapal Ann berlayar lamban ke utara dari Port Morant, kota pelabuhan yang panas penghasil rum dan pisang di pantai tenggara Jamaika. Di atas kapal, seorang bayi lahir dari pasangan Benjamin Raffles dan Ann Lyde. Bayi itu diberi nama Thomas Stamford Bingley Raffles pada upacara pembaptisan di atas kapal.
Benjamin Raffles, ayah Raffles, adalah kapten kapal Ann milik Hibberts & Co. of Glasgow, perusahaan perdagangan budak di Glasgow, Inggris. Kapal Ann adalah bagian dari konvoi 200 kapal yang sedang dalam perjalanan ke Inggris dan Amerika Utara setelah singgah di Karibia, pusat perdagangan budak yang menguntungkan.
5 JULI 1781, kapal Ann berlayar lamban ke utara dari Port Morant, kota pelabuhan yang panas penghasil rum dan pisang di pantai tenggara Jamaika. Di atas kapal, seorang bayi lahir dari pasangan Benjamin Raffles dan Ann Lyde. Bayi itu diberi nama Thomas Stamford Bingley Raffles pada upacara pembaptisan di atas kapal.
Benjamin Raffles, ayah Raffles, adalah kapten kapal Ann milik Hibberts & Co. of Glasgow, perusahaan perdagangan budak di Glasgow, Inggris. Kapal Ann adalah bagian dari konvoi 200 kapal yang sedang dalam perjalanan ke Inggris dan Amerika Utara setelah singgah di Karibia, pusat perdagangan budak yang menguntungkan.
Stamford Raffles, yang lahir di atas kapal budak, kemudian justru jadi orang yang getol memperjuangkan penghapusan perbudakan. Dan ia berusaha merealisasikannya ketika berkuasa di Jawa.
“Pendudukan pulau ini oleh bangsa Inggris pada tahun 1811 menyebabkan masalah budak menjadi perhatian utama, meskipun kita tidak bisa langsung melarang perbudakan atau membebaskan para budak, namun kita bisa sedikit memperbaiki dan mengubah peraturan menyangkut praktik ini sehingga di masa depan seluruh budak dapat dibebaskan,” ujar Raffles dalam The History of Java.
Registrasi Budak
Perubahan terjadi di Jawa. Menyusul kekalahan Kerajaan Belanda atas Prancis, Hindia Belanda berada dalam kontrol Prancis. Pada 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai gubernur jenderal. Salah satu tugasnya memperkuat pertahanan dari kemungkinan serangan Inggris. Daendels juga diminta menerapkan prinsip-prinsip utama dalam Revolusi Prancis, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Pada 16 Februari 1808, dalam upaya mewujudkan kebebasan, Daendels mengeluarkan instruksi untuk membebaskan semua budak di Hindia Timur. Para budak ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan militer. Sementara demi kepentingan ekonomi dan militer, Daendels menerapkan kerja paksa dalam proyek pembuatan Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer, Banten sampai Panarukan, Jawa Timur.
“Sebagai seorang patriot yang menganut faham Revolusi Perancis, seharusnya Daendels mentaati pesan Louis Napoleon untuk menghapuskan atau sekurang-kurangnya membatasi perbudakan di Indonesia. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Pendiriannya berbalik 180 derajat. Dan lagi-lagi alasannya: butuh uang,” tulis S.Z. Hadisutjipto dalam Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta, 1750–1945.
Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens pada 1811. Namun empat bulan kemudian, Prancis harus menyingkir dari wilayah ini setelah kalah perang melawan Inggris. Dimulailah era Inggris di Hindia Belanda dengan Raffles ditunjuk sebagai Letnan Gubernur Jenderal.
Dipengaruhi oleh semangat Revolusi Perancis, Raffles membawa misi menghapus perbudakan di Hindia Belanda. Ia berpegang pada Slave Trade Act 1807 yang dikeluarkan parlemen Inggris untuk menghapuskan perdagangan budak di wilayah koloni Inggris.
Dalam The History of Java, Raffles mengkritisi aturan sebelumnya yang menganggap budak sebagai properti. Di masa depan budak harus dipandang sebagai objek yang memiliki hak pribadi. Budak tak boleh dipindahkan dari satu majikan ke majikan lain tanpa persetujuan yang bersangkutan di hadapan saksi atau notaris. Si majikan juga tidak boleh memiliki kekuasaan lain atas budaknya selain menuntut pelayanan dengan cara yang adil.
Untuk merealisasikan penghapusan perbudakan, Raffles mengeluarkan sejumlah aturan secara bertahap. Langkah pertamanya adalah registrasi dan pajak budak. Pajak digunakan sebagai alat untuk menghapus perbudakan. Dasar pertimbangan lainnya: perlu membentuk dana untuk para janda, yatim piatu, dan pensiunan pegawai pemerintah.
Kebijakan itu diatur dalam Proclamatie (Maklumat) 15 Mei 1812. Setiap budak harus didaftarkan dan dikenai pajak sebesar satu dolar Spanyol per tahun untuk setiap budak berusia di atas delapan tahun. Budak yang tak terdaftar dalam waktu tertentu dinyatakan bebas. Setelah pajak dibayarkan, pihak berwenang akan memberikan sertifikat yang mencantumkan nama budak dan tuannya.
Pendaftaran budak berlaku surut, yakni mulai 1 Mei 1812. Agar Maklumat berjalan efektif, Raffles meminta Kehakiman di Batavia serta residen di Jawa dan Madura menyampaikan salinan daftar budak kepada pemerintah setiap tahun.
Setelah pendaftaran budak, Raffles menerapkan larangan impor. Mulanya dibatasi untuk budak usia tertentu dan bea masuk impor dilipatgandakan. Pada 18 November 1812, Raffles memerintahkan larangan impor budak ke Jawa dan Tanah-tanah Jajahan mulai tanggal 1 Januari 1813. Kemudian secara lebih tegas dinyatakan dalam Maklumat 5 Februari 1813, yang melarang semua lalu lintas budak, kecuali hak milik budak yang sudah berada di Jawa. Semua kapal yang terdeteksi melakukan impor budak akan disita.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Untuk merealisasikan penghapusan perbudakan, Raffles mengeluarkan sejumlah aturan secara bertahap.</div>
Kebijakan Raffles ditindaklanjuti oleh para pejabat Inggris di berbagai wilayah. Misalnya, dicatat Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX, Gubernur Makassar Richard Phillips mengeluarkan keputusan pada 6 Januari 1813 yang melarang impor dan ekspor budak di wilayah Makassar dan daerah taklukannya.
“Keputusan ini merupakan awal dari kehancuran Makassar sebagai salah satu pusat perdagangan budak di wilayah kepulauan Hindia Belanda bagian timur,” tulis Edward.
Di lapangan, aturan larangan impor kerap diabaikan. Praktik perdagangan budak berlangsung secara sembunyi-sembunyi, yang melanggar Maklumat 5 Februari 1813.
Maka, pada 17 November 1815, Raffles menggeluarkan Maklumat yang menegaskan aturan sebelumnya. Ia memerintahkan pemilik budak untuk membawa budak-budaknya ke pengadilan dan menunjukkan bukti waktu dan cara mendapatkan budak tersebut. Jika ternyata ilegal dan tidak terbukti dibawa ke Jawa sebelum 5 Februari 1813, budak-budak itu dibebaskan. Para pejabat kehakiman dan polisi ditugasi untuk melaksanakan perintah ini. Pejabat pemerintah atau notaris yang terlibat akan dituntut secara hukum.
Agar Maklumat 15 Mei 1812 yang mensyaratkan pendaftaran tahunan semua budak berjalan efektif, Raffles mengeluarkan aturan tambahan yang termuat dalam Maklumat 20 Desember 1813. Yang diatur meliputi keharuskan melaporkan budak yang meninggal dunia atau seorang anak yang lahir dari orang tua budak ke Kehakiman, kewajiban notaris untuk menyimpan dan mengirimkan salinan daftar budak ke pemerintah, menghapus biaya pembebasan budak, dan larangan memenjarakan budak atas pengaduan pemilik tanpa bukti yang cukup mengenai kesalahannya.
Perkumpulan Kebajikan
Sejak awal Raffles tahu upayanya tak akan mudah. Namun ia tak pernah mundur kendati menghadapi perlawanan dari pendukung perbudakan. Ia harus berhadapan dengan para pemilik budak dan raja-raja di luar Jawa yang puluhan tahun meraih keuntungan dari perbudakan.
Ironisnya, tantangan terbesar justru datang dari sejawatnya. Dicatat Demetrius Charles Boulger dalam TheLife of Sir Stamford Raffles, kebijakannya dianggap salah oleh Lord Moira, gubernur jenderal Inggris di India, karena mengambil langkah ini di wilayah yang sebenarnya bukan milik Kongsi Dagang Hindia Timur (IEC), dan yang mungkin harus dikembalikan ke tangan Belanda. Ia juga dikecam kalangan Kerajaan Inggris karena melepaskan kekayaan sebelum waktunya yang mungkin menjadi milik IEC.
Konsistensi Raffles juga dipertanyakan. Menurut Tim Hannigan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Tanah Jawa, Raffles memiliki delapan budak di rumah peristirahatannya di Buitenzorg (Bogor).
Lebih parah lagi, Raffles terlibat dalam skandal yang terkenal sebagai The Banjarmasin Enormity (Kekejian di Banjarmasin). Raffles tak menolak pengiriman ribuan budak dari Jawa ke Banjarmasin atas permintaan Alexander Hare, sahabatnya yang menjabat Resident-Commissioner dan pemilik perkebunan di Banjarmasin. Raffles diam-diam mengirim 5.000 budak dari Jawa dengan dalih mereka adalah penjahat dan gelandangan yang membahayakan ketertiban umum.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Lebih parah lagi, Raffles terlibat dalam skandal yang terkenal sebagai The Banjarmasin Enormity (Kekejian di Banjarmasin).</div>
Kebijakan pilih kasih itu akhirnya ketahuan. Menyusul suara protes, orang-orang Jawa itu dikembalikan ke tempat asal pada 1816. Hare diusir dan izin kepemilikan tanahnya dicabut. Raffles pun harus angkat kaki.
Beberapa saat sebelum lengser, Raffles mendirikan Java Benevolent Society (Perkumpulan Kebajikan Jawa).
“Koloni-koloni Belanda akan dikembalikan tanpa syarat [kepada Belanda], dan tanpa adanya kondisi yang menguntungkan kelas sosial yang tak beruntung ini, yang bisa saya lakukan hanyalah mendirikan komunitas, Java Benevolent Society, dengan harapan akan menarik perhatian penerus kita terhadap masalah ini,” catat Raffles dalam laporannya, Statement of the Services of Sir Stamford Raffles.
Ide pembentukan perkumpulan dilontarkan dalam sebuah iklan di Government Gazette tanggal 2 dan 9 Desember 1815. Lalu, pada 8 Januari 1816, sebuah pertemuan diadakan di Harmoni, Batavia, yang menyepakati terbentuknya Java Benevolent Society. Kendati mempromosikan penghapusan perbudakan, catat The Java Annual Directory and Almanac for 1816 Volume II, lembaga ini menolak semua niat apapun yang mengganggu hak milik budak selama ia eksis atau mungkin masih eksis di bawah hukum kolonial.
Selama masa pemerintahannya yang singkat sampai tahun 1816, Raffles belum berhasil menghapus perbudakan. Perbudakan terus berlangsung ketika Kerajaan Belanda kembali berkuasa. Namun gerakan penghapusan perbudakan semakin menguat.
Hilang dengan Sendirinya
Java Benevolent Society, yang jadi corong kaum antiperbudakan di Hindia Belanda, kemudian berubah menjadi Javaansch Menschlievend Genootschap pada 1818. Atas prakarsa lembaga ini lahir sejumlah peraturan mengenai perbudakan, yang meneruskan kebijakan Raffles.
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad 1817 No. 42 yang berisi larangan untuk memasukkan budak-budak ke Pulau Jawa. Kemudian terbit Regering Reglement (RR) 1818 yang antara lain berisi larangan jual beli budak dan mendatangkan budak dari luar Hindia Belanda. Disusul dengan peraturan tentang pendaftaran budak (1819) dan pajak atas pemilikan budak (1820).
Agar ketentuan-ketentuan tersebut berjalan, dikeluarkan beberapa peraturan pelaksanaannya. Yang paling terkenal adalah Staatsblad 1825 No. 44. Peraturan ini antara lain mengatur pembatasan jumlah dan kepemilikan budak, menghapus perdagangan budak dan larangan memasukkan budak dari daerah lain, mengusahakan budak yang telah berkeluarga tinggal bersama keluarganya, mengusahakan pembebasan para budak yang loyal, hingga kewajiban pemilik dan budaknya.
Peraturan-peraturan tersebut tentu belum memuaskan kelompok antiperbudakan. Mereka terus melontarkan kritik, baik melalui media maupun perdebatan di parlemen. Menurut Anwar Thosibo, dosen arkeologi sejarah Universitas Hasanuddin Makassar, dalam Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX, mereka akhirnya berhasil mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk Panitia Penyelidikan Nasib Budak yang bekerja pada 1819–1825.
Berdasarkan hasil penyelidikan, panitia mengajukan beberapa usulan. Yakni, semua budak setelah berumur 45 tahun berhak menebus dirinya sendiri; anak-anak budak perempuan yang lahir setelah waktu tertentu dibebaskan, anak-anak tersebut turut ibunya dan bekerja sampai usia 14 tahun, dan selama itu mereka dipelihara sebagai pribadi tersendiri; bila seorang budak perempuan mempunyai anak merdeka yang dijual, anaknya itu sampai berusia 14 tahun turut ibunya bekerja pada tuannya yang baru sebagai pribadi tersendiri.
“Atas dasar pertimbangan Dewan Hindia Belanda (Raad van Indie), usul tersebut ternyata tidak dapat diterima,” tulis Anwar Thosibo.
Pertimbangannya, bila budak bisa menebus dirinya sendiri, pemilik budak yang merasa dirugikan akan menghalang-halangi budak yang berpenghasilan besar. Dengan bebasnya budak, pemilik budak akan kehilangan tenaga kerja pelayan rumah tangga. Selain itu, karena turunnya pajak budak setiap tahunnya berarti berkurangnya jumlah budak, pemerintah berpendapat tanpa peraturan pembebasan budak pun budak akan hilang dengan sendirinya.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Kelompok antiperbudakan berhasil mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk Panitia Penyelidikan Nasib Budak.</div>
Kelompok antiperbudakan tak mau menyerah begitu saja. Pada 24 Desember 1825, mereka mengajukan rancangan undang-undang tentang perbudakan, yang sebelumnya dibahas dengan Mahkamah Agung Hindia Belanda atas permintaan pemerintah.
Sayangnya, Mahkamah Agung Kerajaan Belanda menentang beberapa ketentuan dalam rancangan undang-undang tersebut. Misalnya mengenai membebaskan semua anak yang lahir dari budak dan menempatkan mereka di bawah perlindungan hukum, pemberian ganti rugi dalam pembebasan budak, serta kesempatan kepada para budak untuk membeli kebebasan mereka pada usia 45 tahun.
Rancangan tersebut menguap begitu saja tanpa persetujuan. Kendati demikian, terbit sejumlah peraturan mengenai perbudakan seperti peraturan larangan mengangkut budak yang masih kanak-kanak (1829), pendaftaran anak budak (1833), penggantian nama para budak (1834), dan pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak (1848). Sampai sejauh itu belum ada aturan yang melarang atau menghapus perbudakan.
Penurunan jumlah budak pada akhirnya bergantung pada niat baik majikan, yang sebagian tergerak oleh semangat emansipasi. Dalam The Results of Slavery Volume 2 (1863), Augustin Cochin mencatat, dalam tiga belas tahun, dari tahun 1830 hingga 1843, jumlah budak yang berusia di atas delapan tahun berdasarkan penerimaan pajak (hoofgeld der slaven) telah berkurang hampir setengahnya, yaitu dari 20.680 menjadi 9.907. Di Batavia sendiri, jumlah budak menurun dari 17.000 orang (1780) menjadi 12.419 (1824) dan turun lebih dari setengahnya menjadi 5.040 budak pada 1841.
Desakan Menguat
Dirk van Hogendorp mengenal betul praktik perbudakan di Hindia Belanda. Sebagai seorang administratur, ia menerapkan perubahan untuk membantu penduduk lokal dan orang-orang yang diperbudak. Atasannya tak setuju dengan pendekatannya. Ia ditangkap dan dipenjarakan, tapi ia berhasil melarikan diri ke Belanda.
Dirk van Hogendorp serupa ayahnya, Willem van Hogendorp yang pernah menjabat administratur Pulau Onrust. Pada 1780, Willem van Hogendorp mengecam perlakuan kejam terhadap para budak di Hindia Belanda dalam novel Kraspoekol, of de droevige gevolgen van eene te verregaande strengheid jegens de slaaven.
Pada 1800, Dirk van Hogendorp menggubah novel ayahnya menjadi lakon drama Kraspoekul of Slavernij, yang mendapat sambutan hangat. Setahun kemudian, Dirk van Hogendorp menerbitkan tulisan “Proeve over den slaavenhandel en de slaavernij, in Neerlands Indie” yang memaparkan penghapusan perbudakan secara bertahap dalam jangka waktu 20 tahun.
Dirk van Hogendorp memainkan peranan penting dalam diskusi mengenai perbudakan di Belanda. Ia kerap disebut sebagai salah satu pejuang paling berani melawan perbudakan dalam sejarah Belanda. Karya dan pemikirannya antara lain mempengaruhi Wolter Robert Baron van Hoevell.
Van Hoevell pernah menjadi pendeta di Batavia dan juga menceburkan diri dalam kegiatan ilmiah. Selama berkeliling Jawa, ia menyaksikan kesengsaraan penduduk akibat kolonialisme. Ia juga kecewa dengan sikap pemerintah mengenai perbudakan.
“Sebagai seorang pendeta Kristen, budayawan, dan politikus, Baron van Hoevell berusaha merumuskan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya perbudakan dan menawarkan konsep untuk menanggulangi masalah tersebut,” catat Anwar Thosibo.
Konsep pemikiran Van Hoevell diajukan kepada gubernur jenderal Hindia Belanda pada 23 September 1847. Namun tak ada tanggapan. Malahan pada 1848 ia dipaksa kembali ke Belanda karena membuat penyataan yang menimbulkan kemarahan gubernur jenderal.
Pada 1848, Van Hoevell menerbitkan pemikirannya mengenai penghapusan perbudakan dengan judul De Emancipatie der Slaven in Nederlandsch Indie. Ia menawarkan empat alternatif. Pertama, sesuai dengan usul Dirk van Hogendorp. Semua budak didaftar, tidak boleh diperjualbelikan, bekerja sebagai ganti uang tebusan, dan setelah 24 tahun semuanya dibebaskan. Kedua, sesuai usul panitia pada 1825, yakni semua anak budak yang dilahirkan setelah waktu tertentu dibebaskan. Ketiga, anak-anak budak dibebaskan dengan cara angsuran orang tua kepada pemilik sebagai penebus. Keempat, membebaskan budak dengan uang tebusan oleh pemerintah kepada para pemilik budak.
Van Hoevell juga menyuarakan soal perbudakan dalam novel berjudul Eene slaven-vendutie yang dimuat Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 15 tahun 1853. Setahun kemudian ia menulis Slaven en Vrijen onder de Nederlandsche Wet yang mengekspos perbudakan di Suriname.
Pemikiran Van Hoevell dianggap sebagai salah satu faktor yang mempercepat penghapusan perbudakan di koloni Belanda. Menurut Anwar, dari empat alternatif yang diusulkan Van Hoevell, pemerintah memilih pembebasan budak dengan uang tebusan.
Pada 2 September 1854 terbitlah Regerings Reglement (RR) yang menyatakan paling lambat tanggal 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Hindia Belanda dihapuskan. RR juga memerintahkan adanya peraturan persiapan dan pelaksanaan secara bertahap mengenai penghapusan dan ganti rugi.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Dari empat alternatif yang diusulkan Van Hoevell, pemerintah memilih pembebasan budak dengan uang tebusan.</div>
Pemerintah mulai mengatur ganti rugi untuk budak yang dibebaskan. Besarannya bervasiasi, dari yang terendah f.50 hingga tertinggi f.350. Menurut Soerabaijasch Handelsblad, 3 Maret 1934, tidak berarti semua pemilik menuntut kompensasi. Ada ketentuan bahwa para majikan yang tidak membayar pajak selama lebih dari empat tahun tidak dapat menuntut kompensasi apapun.
Akhirnya, pada 7 Mei 1859, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang secara resmi menghapus perbudakan di seluruh Hindia Belanda mulai 1 Januari 1860.
Reggie Baay, penulis buku mengenai perbudakan di Hindia Belanda dalam tulisan di historia.id, menyebut penghapusan 1 Januari 1860 hanya berarti penebusan budak dalam jumlah kecil. Persisnya hanya 4.739 orang. Jumlah yang lebih besar lagi, ribuan orang dan kebanyakan dimiliki oleh pemilik budak di luar Jawa, terus terkungkung dalam perbudakan.
Kabinet di Belanda tak benar-benar menghentikan perbudakan di Hindia Belanda karena takut terjadi kericuhan politik di antara penguasa lokal dan pemilik lahan besar. Selain itu, khawatir pembebasan budak akan menelan biaya besar serta berdampak pada turunnya penerimaan negara.
Ada pengecualian dalam penerapan penghapusan perbudakan. Penghapusan perbudakan di Sulawesi Selatan dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan pendaftaran budak pada 1875, sedangkan budak yang tidak terdaftar dalam jangka waktu tiga bulan dibebaskan termasuk anak-anak dari perempuan. Di Bali, pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877.
Dari sekitar 15.000 budak, sampai tahun 1890 pemerintah baru berhasil membebaskan 4.460 orang. Penebusan sisanya akan dicicil seiring berjalannya waktu.*